Kemenangan yang baru saja dinikmati Sinta telah minggat bersama hilangnya Smith dari pandangan orang-orang. Ia jelas langsung kalang kabut atas pertanyaan Smith menyoal sang pacar. Apalagi kalau sampai membayangkan Smith menikah! Batin Sinta benar-benar seperti dihantam palu besi raksasa. Tueeeng! Nyeri bukan kepalang.
Hal itu akan mengancam posisi dari keturunan Sisil sebagai pewaris utama kekayaan Hendry. Angan-angan Sinta terhadap suami Sisil yang kelak akan meneruskan bisnis Hendry menjadi sedikit buyar.
Sinta tidak percaya jika Smith mau menjalin hubungan dengan laki-laki. Rasanya tidak masuk akal kalau Smith memiliki pacar. Apalagi kalau sampai akan melamar Smith pula.
"Atau mungkin selama ini gadis itu sudah berbohong? Dia mengaku pada semua orang tidak akan pernah menikah sampai mati. Tapi sebenarnya, diam-diam dia sudah berpacaran! Kurang aj*r! Bangs*t! Ternyata dia jauh lebih licik dari yang aku kira. Bagaimana bisa aku me
Malam ini Smith tidak bisa tidur. Meski tubuhnya telah rebah di atas ranjang empuk, matanya masih terjaga mengamati sekeliling.Pikiran gadis itu melayang. Besok adalah hari baru untuknya. Janu akan datang dan melamar dirinya dengan cara yang mungkin akan penuh drama.Setelah malam ini pastilah semua akan menjadi sangat berbeda. Ia harus berbagi semuanya dengan Janu. Mulai dari kasur, lemari, dan seluruh isi kamarnya. Lalu Smith merasa ngeri hingga bulu kuduknya berdiri ketika membayangkan harus berbagi tubuhnya juga.Sementara itu, di lain tempat yang cukup jauh dari kediaman Smith, hal yang sama juga terjadi pada Janu. Pemuda itu belum juga terlelap meski hari sudah melampaui batas malamnya. Tapi berbeda dengan Smith, Janu tidak tidur bukan karena tidak mau tidur, namun karena pekerjaan yang belum selesai.Benar, Janu memang memutuskan untuk mengambil pekerjaan tambahan agar memiliki cukup uang sebelum kelah
"Janu! Janu! Bangunlah!" ujar Pak Jack masih dengan senyum, kentara sekali garis kesabaran di wajahnya.Janu menggerakkan tangannya dan mulai mengangkat kepalanya yang bertumpu di atas meja. Betapa terkejutnya pemuda itu ketika ia mulai membuka matanya dan melihat sang dosen sedang berdiri di hadapannya.Wajah Janu yang menjadi pucat seperti kertas putih membuat gelak tawa menggema lebih keras di dalam ruangan itu.Dengan kepala menunduk dan wajah menyesal Janu berkata, "Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Tidak seharusnya saya tidur di dalam kelas. Silakan Bapak memberi hukuman apa saja kepada saya. Saya akan melaksanakannya dengan ikhlas. Saya memang sudah melakukan kesalahan besar."Janu yang tidak pernah tertidur di dalam kelas menjadi cemas lantaran mengira Pak Jack akan tersinggung karena ulahnya yang konyol. Ia sadar, sebuah hukuman sangat pantas untuk mengganjar tindakan kurang ajarnya itu.Menurut pandangan Janu pribadi,
Melihat wajah Janu yang melas diliputi rasa bersalah, emosi Smith melunak. Raut mukanya tidak lagi menunjukkan kekesalan. Walau bagaimanapun, Smith tahu benar bahwa Janu bukan orang yang suka bermalas-malasan hingga memilih tidur saat jam kuliah berlangsung. Janu selalu bersemangat sampai kadang-kadang membuatnya enek. Pasti ada hal tertentu yang menyebabkan pemuda itu sampai terlelap di dalam kelas."Sebaiknya kita segera kembali ke kelas. Aku yakin mereka sedang sibuk bergosip setelah aku keluar kelas. Tapi itu tidak masalah. Akan tidak enak saja jika Pak Jack menjadi terganggu karena hal itu," ucap Smith pelan saja sambil berjalan menuju kelas. Diikuti Janu yang mengekor di belakangnya seperti anak ayam mengikuti induknya.Dalam perjalanan itu, muncul sedikit rasa tak enak hati yang mendiami halaman hati Smith. Ia pun berkata, "Apa kepalamu masih sakit?""Em, tidak, tidak. Aku sudah baik sekarang," jawab Janu gugup, sekaligus senang karena Smith masih peduli pad
Angin segar yang membawa oksigen dari pohon besar yang banyak terdapat di taman kota berhembus berkali-kali. Menebarkan kesegaran tersendiri di antara teriknya matahari siang. Namun, tampaknya hal itu tidak cukup untuk mendatangkan tenang pada diri Janu.Pasalnya, sudah hampir seperempat jam Janu menunggu. Tapi Smith tidak kunjung keluar dari toilet yang letaknya sekitar 15 meter dari bangku tempat Janu duduk.Janu pun mengeluarkan ponselnya, berencana untuk menelepon Smith, memastikan apakah semua baik-baik saja, atau telah terjadi sesuatu hingga Smith begitu lama di kamar mandi.Namun, belum sampai ia melakukan panggilan atas kekhawatiran yang dirasa, Smith sudah lebih dulu mengirimkan pesan padanya. Janu tersenyum lantaran berpikir bahwa mungkin kemistri antara dirinya dan Smith sudah mulai terbangun."Pulanglah lebih dulu. Aku akan pulang sendiri." Begitu pesan dari Smith tertulis. Membuat Janu m
Kediaman Hendry Sasongko tampak sangat sibuk. Orang-orang tengah bersiap atas kedatangan tamu istimewa yang diakui Smith sebagai kekasihnya.Bibi Ipah dibantu Pak Jono tengah mengangkat segala macam jamuan spesial dari dapur ke ruang makan. Mereka terlihat sangat bersemangat melakukannya. Seolah tidak terasa lelah sama sekali.Sang kepala keluarga, Hendry Sasongko, sedang melihat bayangannya di cermin sembari mengayunkan sisir di rambutnya yang telah ditumbuhi beberapa helai uban. Lelaki itu tampak sangat sumringah, sudah tidak sabar menunggu pertemuannya dengan sang calon mantu.Bahkan, saking senangnya, Hendry menjadi sedikit gugup. Ia sungguh ingin tahu, pemuda seperti apa yang telah menakhlukkan anak gadisnya yang super ekstra galak sekali.Sementara sang istri, terlihat suram. Sinta terus saja manyun dan tidak bergairah untuk mempercantik diri. Tidak seperti biasanya yang selalu semangat dalam bersolek.&n
Sesuai informasi yang disampaikan Smith, tamu istimewa itu akan datang pukul 19.00. Maka, setelah lima belas menit berlalu dari jam tersebut, orang-orang mulai gelisah mempertanyakannya. Tentu saja yang paling lantang bertanya adalah Sinta."Apa mungkin pacarmu belum siap untuk menemui kami dan mendadak berubah pikiran?" kata Sinta dengan batin terbahak-bahak. Ia sungguh berharap pacar yang diceritakan Smith tidak akan pernah datang. Entah karena takut, lupa, atau mati sekalipun."Aku rasa itu tidak mungkin. Jika memang dia membatalkan pertemuan ini, pastilah akan mengabari Smith. Mungkin dia sedikit terlambat karena ada urusan penting lainnya yang harus diselesaikan," bantah Hendry tidak terima."Aku setuju dengan ayah. Mungkin dia memang masih repot, jadi sedikit terlambat. Tapi aku yakin, sebetar lagi dia pasti akan datang. Iya 'kan Smith?"Smith hanya melempar senyum. Dalam hatinya ia terus mengumpat karena Janu
"Mas Janu ingin bertemu Nona Smith? Haaah, sayang sekali!"Melihat wajah Bibi Ipah yang tampak kecewa atau mungkin juga sedih, Janu menjadi cemas dan berkata, "Ada apa Bi? Apa terjadi sesuatu?""Sebenarnya, Bibi merasa sedih kalau mengingat pacar Nona Smith akan datang. Entah mengapa, sejak pertama kali melihat Mas Janu, Bibi sangat berharap, Mas yang akan jadi kekasih Nona Smith. Tapi, ya sudahlah. Yang penting Nona Smith senang," cetus Bibi Ipah begitu saja. Ia berkata sangat jujur sekali, menyampaikan isi hatinya."Bibi, sebetulnya ....""Siapa yang datang, Bi?" teriak Sinta sangat lantang membuat ucapan Janu langsung mandek."Sebentar ya, Mas. Bibi masuk dulu. Mas tunggu di sini. Bibi tidak berani mengizinkan Mas untuk langsung masuk karena ada acara penting di dalam. Semua orang sedang menunggu pacarnya Nona Smith. Katanya mau datang jam tujuh tadi. Tapi sampai sekarang belum datang juga," ucap
Sinta langsung berdiri melihat Janu telah sampai di ruang makan. Sedangkan Hendry, tersenyum simpul mengetahui tangan Sisil menggenggam erat tangan Janu."Janu, duduklah. Sini-sini, duduk di sini!" Sinta sampai menyiapkan kursi untuk Janu."Om, Tante," kata Janu tersenyum. Ia mencium tangan Hendry dan Sinta bergantian. Membuat senyum di wajah pasangan suami istri itu semakin lebar saja.Janu sudah sangat memesona pada pertemuan malam itu. Aura kewibawaan terpancar jelas dari kesantunannya.Hendry yang sudah terbiasa bertemu dengan banyak orang dengan karakter yang berbeda dari berbagai kalangan, bisa dengan mudah menilai orang seperti apakah Janu. Dan singkat kata, Hendry suka. Ia berpikir, akan sangat baik jika Janu bisa menikah dengan Sisil dan menjadi bagian dari keluarga Sasongko.Hendry tidak tahu, untuk siapa Janu datang dan apa yang membuat pemuda itu berkunjun
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j