"Sepertinya kamu sedang bahagia sekali, Pram." Senopati terkekeh perlahan, ia meletakkan berkas di meja bos muda tersebut.Pramudita mengangkat kepalanya, senyuman terlukis di bibirnya. "Tentu saja. Tidak ada alasan untuk tak bahagia, Seno."Pria yang menjabat sebagai sekretaris itu terkekeh perlahan, kepalanya menggeleng pelan berulang kali. "Pasti ada sebabnya, Pram. Tidak biasanya kamu seperti ini.""Bukannya hari ini kamu masih mengajukan cuti? Kenapa sudah masuk?" Seno bertanya."Linggar yang menyuruh masuk saja, di rumah sudah ada mertua yang menjaga dia. Aku dipaksa untuk kembali masuk saja. Akhirnya aku pasrah," jawab Pramudita membuang napas panjang.Seno mengangguk berulang kali. "Paham sekali aku, Pram. Bukankah kondisinya sudah membaik?""Iya, sudah sangat membaik. Aku senang sekali melihat dia pulih dengan cepat, setidaknya membuat hatiku tidak terlalu cemas memikirkannya. Rasanya khawatir jika dia sendirian di rumah, Seno, aku takut terjadi hal seperti kemarin terulang k
"Urus urusanmu sendiri," tegas pria yang tengah sibuk memakai jam tangannya. Rahangnya tampak tegas, tidak terlalu peduli dengan ratapan melas dari sang istri. Ia malah enggan menoleh, bahkan tatapannya lurus dan tajam. Wanita itu berjalan mendekat, berupaya menggoda dan merayu sang suami. Meski berakhir nihil."Mas, aku butuh kamu. Aku butuh dukungan kamu, Mas. Kenapa kamu malah seperti malas untuk membantu dan mendukung istrimu sendiri? Kamu seperti lebih memihak kakakmu sendiri ya?" Wanita itu menudingkan tatapan menyipit. Pria itu menoleh, tatapannya tajam. "Kenapa? Aku membela mana yang benar. Kamu yang salah, Ndhis. Lagi pula kenapa kamu sampai tega melakukan hal itu? Dia itu adik sepupu kamu, sampai hati melakukan itu semua." "Dia yang membuat perhatian kamu menjadi jauh berbeda dengan aku, Mas. Aku tidak suka hal itu terjadi. Aku tidak mau! Aku benci jika kamu terlena sama aku," jawab wanita itu dengan nada tak kalah tinggi.Pradipta memijat keningnya yang tiba-tiba terasa
"Siapa saja, Bapak berpesan jangan pernah kalian menemui Ibu. Bapak tidak suka! Ibu yang meninggalkan kita selama ini demi pria lain. Ibumu mementingkan kepentingan pribadi daripada kalian. Kalian tahu, Ibu kalian itu malah menjadi pelacur." Pramudita membuang napas kasar, ucapan Juwanto selalu terputar di kepalanya. Bahkan hingga usianya tiga puluh dua tahun tidak pernah berani menentang ucapan Juwanto. Hingga akhirnya rasa penasaran itu muncul, lebih lagi puluhan tahun tidak lagi bersama dengan wanita tersebut. Pada umumnya mulai dari kecil hingga sampai detik ini seorang Ibu tetap mendampingi, malah ia terpisah jauh.Tangan lembut Linggar menepuk bahu Pramudita, pria itu menoleh disambut senyuman oleh istrinya. "Kenapa, Mas? Kamu ada masalah?"Pria itu menggeleng, menarik lembut tangan sang istri. Merengkuh pinggang wanita itu, kemudian mengecup pipinya. "Tidak ada, aku hanya sedikit bingung.""Bingung kenapa, Mas? Kamu takut bertemu Bu Tin?" tanya Linggar menyentuh wajah Pramudit
Dahi semakin mengerut di kulitnya yang tidak lagi kencang, tampak bagaimana raut wajahnya cukup khawatir. Ia takut jika apa yang direncanakan berakhir kegagalan. Sejak pagi, ia memilih menyendiri dan merenung di taman belakang. Sembari memandang tanaman hijau di depannya. Awan hitam menggumpal, sebentar lagi hujan turun, tak ada niat dalam hatinya untuk beranjak dari sana.Kopi di cangkir telah tandas tak tersisa, tetap saja tak membuatnya hengkang. Kedua tangannya tertaut di atas meja, kembali menatap lurus gerombolan tanaman di hadapannya. Pikiran tak ingin tenang, pindah dari masalah satu ke yang lainnya. Raga diam, tapi tidak dengan isi kepalanya."Mas, nanti aku ingin dibangunkan taman kecil untuk kita bersantai ya? Aku ingin menikmati sore atau pagi hari dengan duduk santai." "Apa kamu masih hidup di sana, Tini?" Senyuman simpul terbit tiba-tiba di bibirnya. "Sudah tidak lama bertemu, apa kamu masih sama seperti yang dulu?"Pria itu terkekeh. "Apa mungkin wajah cantikmu masih s
"Tidak semudah itu, Dipta. Jangan memutuskan sesuatu hal dengan penuh emosi, Nak, penyesalan itu datangnya selalu ada di akhir. Dinginkan kepalamu terlebih dahulu, baru dapat berpikir dengan jernih. Kamu ini masih diselimuti rasa marah dan emosi yang begitu besar," ucap Juwanto kepalanya menggeleng berulang."Lagi pula jika masih bisa diperbaiki, kamu perbaiki terlebih dahulu, Nak. Bapak ingin yang terbaik untuk kamu dan keluarga kecilmu. Tidak ada yang ingin pernikahannya berakhir pada perceraian, selesaikan masalahmu dengan berbagai cara," lanjutnya.Helaan napas Pradipta terdengar berat, ia memijat kepalanya yang terasa pusing tiba-tiba. "Masalah kami tidak memiliki jalan keluar yang lain, Pak. Satu-satunya kamu harus berpisah, aku tidak memiliki cara lain. Sudah aku pikirkan matang-matang, tetap saja jalan buntu.""Dipta, tidak mungkin selalu berakhir buntu 'kan? Kamu bisa mencari jalan lain, tidak hanya jalan itu saja." Juwanto menepuk bahu anak bungsunya. "Pak, hidup bersama de
"Bagaimana kelanjutan masalah Mbak Gendhis, Mas?" Wanita dengan gaun tidur satin berwarna hitam duduk di pinggir ranjang sambil mengurai rambutnya. "Aku sudah lama tidak dengar kabar tentang dia, bahkan Dipta sekarang juga tidak bersama Mbak Gendhis lagi."Pramudita membuang napas berat, menoleh sesaat. "Kenapa memangnya? Masalah itu semua sudah aku serahkan ke pengacara dan polisi, mereka yang lebih berhak menangani. Aku ingin Gendhis mendapatkan hukuman yang setimpal. Masalah hubungan Dipta dan Gendhis, aku tidak tahu. Memang akhir-akhir ini mereka jarang sekali bersama.""Yang aku dengar dari Bapak, Dipta tidak ingin melanjutkan pernikahannya. Katanya dia lelah menjalani hubungan dengan wanita yang tidak dia sukai. Ibu Gendhis katanya juga suka ikut campur," tambah Pramudita."Jadi, mereka cerai?" Linggar membulatkan matanya.Pria itu berjalan mendekati Pramudita, kemudian duduk di samping sang istri. Tangannya merengkuh bahu wanita tersebut, mencium puncak kepalanya begitu lembut.
"Bapak mohon, dekatkan Ibu dengan Bapak kembali ya?" Pramudita membuang napas panjang, bibirnya perlahan mengunyah sereal di depannya. Keningnya mengerut dalam mendengarkan permohonan dari Juwanto. Pasalnya ia sendiri pun bingung harus bagaimana. Terlebih lagi Kartini seperti telah enggan untuk memiliki hubungan kembali dengan mantan suaminya. "Apa yang bisa Pram lakukan, Pak? Ibu juga punya perasaan, tidak bisa dipaksakan begitu saja. Mungkin Ibu telah lelah menghadapi Bapak, Pram yakin sekarang Ibu sudah bisa berdamai dengan masa lalunya, Pak." Linggar menatap suaminya, dahinya mengerut meminta penjelasan yang lebih. Sayangnya pria itu hanya memberikan kode tangan, tentu akan memberitahukan nanti. Bagiannya hanya mendengarkan tipis-tipis. "Pram, Bapak tahu kamu lebih dekat dengan Ibu. Hanya kamu yang bisa bantu Bapak sekarang, Pram. Tolong, Pram. Bapak ingin kembali rujuk dengan Ibu. Apa kamu tidak ingin melihat Bapak dan Ibu kembali rukun bersama?" Suara Juwanto terdengar begi
"... 7 tahun penjara." Wanita menangis tersedu-sedu, tak dapat berbuat apa-apa. Nasibnya telah final, palu telah terketuk. Tak hanya itu saja, selain hukuman penjara ia harus menanggung persidangan yang lain, sidang cerai. Dalam waktu berdekatan wanita itu melakukan dua kali persidangan. Sang suami tega melayangkan gugatan cerai atas apa yang sudah ia lakukan. Akibat satu kesalahan berakibat cukup fatal, hingga merambah ke jalinan asmaranya. Pernikahan baru seumur jagung harus kandas di peradilan agama. Teringat akan kesalahan yang bertumpuk-tumpuk telah diperbuat ke adik sepupunya. Dari mereka belia hingga detik tak pernah surut rasa iri yang tertanam di dalam hatinya. Entah apa pun yang dapat dicapai oleh adik sepupunya, ia selalu tidak terima akan timbul rasa tidak suka. Lebih lagi seluruh keluarga besarnya selalu membanggakan prestasi adik iparnya dan membandingkan dengan dirinya.Jiwa kecilnya selalu terbentuk untuk balas dendam. Lantas melakukan segala cara agar semuanya dapa