Terima kasih ya sudah membaca, jangan lupa dimasukkan ke dalam perpustakaan ya! Share link ke teman-teman kalian semua.
"Dia tampan sekali, Ibu jadi ingat dengan anak sulung. Mungkin dia akan seusia suami kamu, Nak. Semoga saja dia tetap sehat dan bahagia di mana pun keberadaannya." Tidak dapat terlupa dari ingatan Linggar akan wajah dan gestur tubuh wanita paruh baya yang ia temui siang tadi. Ia merasa begitu dekat dan seperti telah mengenalnya lama, padahal ia yakin jika hari ini adalah pertemuan pertama untuk keduanya. Hatinya terasa tenang berada di dekat wanita itu yang mengaku namanya Kartini. Wajahnya anggun dan ayu sesuai dengan namanya. Linggar merasa seperti jatuh cinta pada pandangan yang pertama."Kenapa ya?" Linggar mengubah posisinya menjadi miring ke kanan, menatap tembok di depannya. "Kenapa aku memikirkan Bu Tin? Entah ini hanya kebetulan saja atau memang..., aku rasa tidak mungkin.""Bisa saja memang namanya sama. Ibu Tin dan Ibu dari Mas Pram hanya memiliki kesamaan nama saja," ucap Linggar. "Tapi, kenapa hatiku malah semakin tidak tenang seperti ini? Aku malah semakin penasaran den
"Bukannya kamu ada istri, kenapa penampilanmu begitu kusut? Atau jangan-jangan kamu sedang memiliki masalah dengan istrimu?" Pria dengan wajah masam itu tertawa menghina, tatapannya seolah menertawakan.Melirik sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, Pramudita membuang napasnya perlahan. Ia telah terlambat sepuluh menit, rapalan doa terus dipanjatkan dalam hati. Berharap jika koleganya pun terlambat seperti yang ia lakukan. Pandangannya mengarah pada pria yang kemungkinan ia rasa usianya tidak jauh darinya. "Mana mungkin istrimu mau mempersiapkan keperluan kamu? Tinggal satu rumah tak menjamin hidup kalian menjadi harmonis dan romantis, 'kan? Landasan cinta itu perlu sekali dalam pernikahan, bukankah begitu?" Pria itu kembali menambahkan.Pramudita tersenyum, mengelus wajahnya. "Apa sebenarnya yang kamu bicarakan? Mau sampai kapan kamu masih menunggu istriku? Padahal kamu sendiri tahu, hubungan kami baik-baik saja. Linggar pun hanya menganggap kamu sebagai teman d
"Mbak Enggar, ada satu pembeli yang ingin bertemu." Lia mengejutkanku Linggar, dahinya bertumpuk-tumpuk. Memikirkan siapa pembeli yang ingin bertemu dengannya. Mungkinkah ia sekarang memiliki penggemar?"Siapa Lia?" Linggar merapikan penampilannya sekilas. "Masih muda atau sudah dewasa?""Seorang Ibu, Mbak. Katanya kemarin sempat bertemu dengan Mbak Enggar di toko bahan-bahan. Saya kurang tahu nama Ibu tadi siapa, Mbak. Mungkin Mbak Enggar akan mengingatnya setelah ini," jawab Lia.Linggar mengangguk, wajahnya menampilkan senyuman. Teringat akan wanita paruh baya yang kemarin sempat ingin berkunjung ke tokonya. Ternyata bukan hanya sekadar janji, ditepati langsung oleh Kartini. Linggar merasa cukup senang dan gembira. "Itu Bu Tin, Lia. Beliau adalah tamu saya, tolong kamu siapkan minuman ya." Linggar beranjak, kemudian melangkah menuju depan. Sedangkan, Lia melanjutkan ke dapur, mengambil minuman dingin.Bibir itu tak henti menyunggingkan senyuman tipis, wajah terlihat begitu sumrin
"Aduh, Mas! Pelan-pelan! Sakit ini, Mas.""Sabar, kamu tahan sebentar ya. Kurang sedikit lagi ini.""Mas, cepetan sedikit. Aku sudah tidak kuat lagi.""Enggar tahan dulu, sedikit lagi hampir sampai."Linggar mengusap peluh, mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk membantu Pramudita menggotong sofa dari ruang kerja ke ruang keluarga. Pria itu beranggapan jika sofa di dalam ruangan kerjanya hanya menambah sesak dan semakin mempersempit ruangan. Maka dari itu meminta bantuan Linggar yang baru saja memasak. "Di sini saja, Mas?" Linggar kembali mempertanyakan, pria itu menjawab dengan anggukan kepala. "Apa ada yang kurang pas?"Pria yang sudah berkepala tiga itu menggeleng, terkekeh geli menatap wajah istrinya banjir keringat. Mungkin kecapekan menggotong sofa tersebut yang tergolong cukup berat bagi ukuran wanita. Hati Pramudita menghangat, tak menyangka jika Linggar akan membantunya. Kenapa jantungku deg-degan seperti ini? Enggar tidak ingin aku mengerjakan sendirian, apa pun pekerjaann
Pramudita mengangkat alisnya sebelah. "Kenapa di sana? Kamu tidak ingin masuk?""Tidak usah, aku tidur di kamarku saja." Linggar menggeleng, melangkahkan kakinya berlanjut ke kamarnya. Belum ada lima langkah, tangannya ditahan Pramudita. Pria itu menariknya lembut, lalu membawanya masuk ke kamarnya. Wanita itu memberontak, ia tak ingin berada dalam satu kamar terlebih setelah berdebat panjang. Bahkan kondisi Pramudita belum begitu dingin dan tenang. Ini untuk pertama kalinya mereka akan tidur di atas ranjang yang sama, momentum paling mendebarkan sekaligus belum pernah terpikir sebelumnya. Linggar membuang napas perlahan."Aku tidur di kamarku saja, Mas," ucap Linggar. "Mungkin lain kali saja, Mas, jika memang semua sudah siap""Apa yang kamu khawatirkan? Aku tidak ingin melakukan apa-apa sebelum kamu memberikannya. Lagi pula aku ingin menuruti ucapan kamu juga hatiku, sudah saatnya kita memulai dari awal. Pernikahan ini bukan sekadar permainan, Dik Nggar. Percaya denganku."Perkataa
"Sebenarnya apa yang kamu lakukan selama ini, Jodi? Aku sudah memberikan banyak waktu untuk kamu berusaha, malah kamu sia-siakan waktu yang aku berikan." Gendhis berkacak pinggang. "Katanya kamu bisa mengatasi sendiri, Jodi? Lalu, apa buktinya? Kenapa kamu malah ingkar dengan janji kamu sendiri?"Pria itu menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah berusaha, tapi tidak mudah membuat mereka berpisah. Entah apa ramuannya yang jelas hubungan mereka begitu erat, Gendhis. Semakin lama malah terlihat semakin harmonis. Bahkan suami Linggar setiap melihat aku selalu marah.""Kamu ini tidak becus, Jodi, semua sudah aku percayakan ke kamu. Aku percaya kalau kamu bisa mengatasi mereka. Kenapa malah sebaliknya, hah? Kamu sama sekali tidak dapat aku untungkan," bentak Gendhis, nada suaranya berubah menjadi tinggi.Tangannya mengepal kuat, bahkan matanya pun memerah. Gendhis tak bisa membohongi dirinya lagi akan hati yang semakin terasa membara. Ia marah, sebab sudah percaya
"Harusnya hari ini, Mas," ucap Linggar. "Kamu sengaja curi hari ini?" Pramudita duduk di kursi depan Linggar. Pria itu membuka kancing bawah jasnya, kemudian membuang napas begitu panjang. Kedua tangannya tertaut di atas pahanya. Pandangan mata tidak lepas dari wanita dua puluh lima tahun tersebut. Ia seperti tengah mengharapkan sesuatu hal."Aku sengaja mengambil cuti, Dik. Pikiran dan hatiku sama sekali tidak bisa tenang. Tidak fokus ke pekerjaan, jadi lebih baik aku pergi ke sini. Aku butuh banyak penjelasan dari kamu, Dik. Apa yang kamu ketahui, aku mohon jelaskan padaku semuanya." Pramudita merengek, memohon dengan menyatukan kedua telapak tangannya ke depan dada.Wanita itu membuang napas kasar. "Kalau aku yang menjelaskan, maka aku berada di posisi salah, Mas. Biarkan saja Bu Tin yang menceritakannya sendiri ke kamu ya. Beliau pasti lebih-lebih berhak menjelaskan semuanya, Mas. Lagi pula yang tahu ceritanya secara runtut itu beliau, Mas. Aku tidak tahu apa-apa."Helaan napas p
"Kamu tidak mau makan dulu, Mas? Masa cuma duduk aja? Kaki kamu tidak capek?" Linggar meletakkan satu kotak nasi ayam goreng di hadapan Pramudita.Wanita itu paham jika suaminya belum makan siang, terlebih sejak tiba di toko kue hanya duduk dan termenung di dalam ruangan kerja Linggar. Wajah Pramudita murung dan sedikit pucat, tak seperti biasanya. Tampak tengah memikirkan suatu beban di kepalanya. Linggar membuang napas, turut prihatin dengan suaminya yang masih memikirkan keberadaan sang Ibu."Makan, Mas," ucap Linggar dengan menyentuh lembut bahu Pramudita. "Kamu kenapa murung seperti itu, Mas? Apa yang sedang kamu pikirkan?"Embusan napas kasar, Pramudita menoleh kemudian menyunggingkan senyuman tipis. "Tidak ada, aku masih kepikiran di mana Ibu sekarang. Hatiku tidak tenang memikirkan Ibu, Dik. Bagaimana jika terjadi sesuatu hal dengan Ibu? Aku merasa sangat bersalah, Dik."Linggar menarik lembut lengan Pramudita, mengajaknya duduk di sofa, agar lebih santai dan nyaman. Mengusap
"Kamu, kenapa senyam-senyum sendirian?" Wanita itu tampak tertawa, menatap wajah teman pria yang sedang tersenyum memegang ponsel di tangan. "Apa yang kamu lihat?" lanjutnya.Pria itu berdehem, wajahnya sumringah, kebahagiaan memancar begitu kental. Tidak ada keraguan sedikit saja. Ia memperlihatkan foto itu ke teman wanitanya, membuat tawa itu sirna dari garis wajahnya."Sudah lama aku suka sama dia, sayangnya aku tidak berani untuk mengungkapkan perasaan ini. Sepertinya selama ini pun dia hanya menganggap aku sebagai teman biasa saja. Menurut kamu bagaimana?" Pria itu menoleh.Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. "Kamu kenapa cemberut? Apa kamu nggak suka aku ada perasaan sama dia?"Wanita itu menggelengkan kepalanya kuat, kemudian memunculkan senyuman penuh dengan kehangatan. "Siapa bilang? Aku bahagia sekali!""Apa saja yang sahabat aku lakukan, pasti aku bahagia!" Wanita itu bersorak dengan mengepalkan tangan ke depan."Terima kasih, Rim. Kamu tahu tidak bagaimana cara mende
"Aku dengar, kamu sempat menikah. Lalu, kenapa sekarang kamu ada di sini?" Wanita dengan rambut cokelat gelap itu menoleh, mengerutkan dahinya.Pria itu membuang napas, wajahnya tampak seperti tak ingin membahas permasalahan tersebut. Sayangnya, wanita itu bertanya lebih detail mau tak mau harus ia jelaskan lebih detail. Tidak mungkin ia biarkan wanita cantik yang beberapa bulan terakhir ini mengisi harinya menunggu lebih lama lagi."Dari siapa?" "Bukankah seharusnya kamu menikah dengan temanku, mengapa bisa bertukar menjadi kakakmu? Aku menunggu penjelasan darimu," jawabnya.Pradipta termenung sesaat, ia membenarkan jaket bulu tebal yang membungkus tubuhnya. Pandangan mata lurus menatap danau di hadapannya. Bibirnya tampak kelu untuk memberikan penjelasan lebih sebenarnya, hanya saja ia tidak ingin membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.Wanita itu membuang napas, kemudian menundukkan wajahnya. "Mungkin pertanyaanku terlalu sensitif untukmu, tidak masalah jika kamu tidak ingin me
Linggar dan Pramudita dianugerahi anak laki-laki yang sehat dan tampan. Kelahiran putra pertama mereka disambut hangat dan sukacita oleh kakek dan neneknya dari keluarga Linggar dan juga Pramudita, maklum saja dia adalah cucu pertama mereka. Abimanyu, nama sapaan si ganteng keturunan Pramudita.Wajah Abimanyu tampan seperti ayahnya sayangnya sikap dan perilaku menurun dari ibunya. Ibarat kata Abimanyu adalah Linggar versi laki-laki. Terkadang bisa teramat cerewet layaknya anak perempuan pada umumnya. Tapi, di usianya yang menginjak empat tahun ini banyak progres dari pertumbuhannya.Bahkan Abimanyu gemar membaca buku tentang IPA dan Matematika, membuat Linggar takut jika anaknya terlalu cepat dari anak-anak sebayanya. Apa lagi Abimanyu juga belum ikut paud, masih belajar atau tidak bersama dirinya. Tapi kecerdasan yang dimiliki Abimanyu sudah melebihi seusianya, antara sedih dan senang Linggar malah bingung sendiri. Ia takut jika kelebihan yang anaknya miliki adalah sebuah beban di ke
7 bulan kemudian.Linggar yang sedang hamil tidak bisa menahan nasabnya untuk ngemil. Setelah melewati masa tiga bulan yang penuh beban seperti sering muntah, tidak bisa makan apa pun kecuali bubur dan sering lemas di pagi hari, menginjak bulan keempat dan hingga sekarang, bulan ketujuh kandungannya membaik. Berbagai makanan mulai dari rujak sampai camilan ingin ia coba semua kecuali olahan dari susu sapi, iya mual tiap kali mencium bau susu. Kehamilannya justru membuat Pramudita senang, karena setiap pulang kerja selalu ada makanan yang diminta untuk dibelikan.Selama hamil ia juga merasa perlu badan cantik dan wangi, iya juga tidak suka parfum miliknya dan lebih suka menggunakan parfum milik sang suami. Alhasil, beberapa deret parfum yang telah ia beli isi botolnya masih terisi penuh. Berbeda dengan milik Pramudita yang tersisa hanya seperempat botol saja setiap minggunya."Mas Pram mana sih, kok nggak pulang-pulang." Linggar kembali menggerutu dengan memangku satu toples keripik si
"Kamu mau anak berapa, Sayang?" Pramudita memeluk erat tubuh istrinya dari belakang, mereka masih berbalutkan selimut. Wanita tersebut tampak kurang nyaman, matanya sedikit terpejam. Badan terasa remuk, terlebih suaminya selalu minta penyatuan lebih dari satu kali. Hal ini menguras tenaganya lebih banyak, tentu membuat tubuh semakin lemas. "Sayang, jangan tidur dulu dong. Kamu ingin anak berapa nanti?" tanya Pramudita dengan menggoyangkan tubuh Linggar, membuat wanita itu membuka mata kembali. "Apa, Mas? Memangnya kamu tidak ngantuk?" Mata Linggar masih tertutup. Pramudita menggeleng. "Siapa kata aku mengantuk, Dik? Aku tidak pernah mengantuk, yang aku inginkan hanya bersama kamu selalu." "Aku saja capek, Mas, masa kamu tidak? Kita istirahat sebentar saja, Mas, nanti kita main lagi." Linggar mengusap tangan Pramudita yang berada di perutnya. "Aku ingin anak dua atau tiga, Dik. Aku ingin membuat rumah kita menjadi ramai, saat aku pulang disambut anak-anak dan kamu tentunya. Pasti
"Tini, aku ingin hubungan kita seperti dahulu kala. Apa kamu tidak ingin kita kembali memperbaiki hubungan kita?" Wanita dengan rambut digulung ke atas itu membuang napas kasar, wajahnya tampak tidak begitu antusias. Cenderung murung dan masam, bahkan pandangan matanya tertunduk. Tak menatap pria yang pernah ada di hatinya tersebut."Sudah aku katakan, Mas, aku tidak bisa. Hubungan kita telah berakhir dan aku tidak ingin memulainya kembali. Aku sudah menutup buku kenangan tentang kita, tidak akan ada lagi kita di masa depan. Sekarang aku hanya fokus untuk anak-anak saja," jawab wanita itu tegas."Kita menikah pun anak-anak pasti akan senang, Tini. Mereka akan bahagia melihat kedua orang tuanya kembali rukun. Apa lagi sudah lama mereka tidak pernah melihat kedua orang tuanya saling bahagia bersama," bujuk Juwanto.Aroma latte menguat di ruangan ber-Ac. Kartini memejamkan mata menikmati aroma yang begitu menggiurkan. Latte adalah salah satu kopi yang menjadi favoritnya sejak kepergian
"Kamu mau ke mana?" Pemaudita melipat kedua tangannya di depan dada, wajahnya tampak datar dengan rahang mengeras."Itu sudah menjadi tanggung jawab kamu, Dipta. Kamu ingin lari dari tanggung jawabmu?" Pria dua puluh tujuh tahun itu membuang napas panjang, berdebat dengan sang kakak selalu tak mendapat celah. Pramudita selalu berhasil membuat lawan bicara mati gaya. "Aku hanya ingin mencari ketenangan sebentar saja, Mas. Aku tidak pernah lari dari tanggung jawab, maka dari itu aku ingin kamu yang sementara ini memegang perusahaan. Satu tahun nanti aku akan kembali ke sini, Mas, aku hanya titip sebentar ke kamu. Tidak mungkin aku serahkan kembali ke Bapak 'kan, Mas? Bapak mana mungkin mau mengurus perusahaan," jelas Pradipta."Yang bisa mengurus itu hanya kamu, Mas. Aku percaya sama kamu, Mas. Lagi pula kamu bisa mengajak Linggar. Kalian bisa kerja sama berdua mengurus perusahaan 'kan, Mas? Ayolah, Mas, kamu pegang dua perusahaan. Aku satu bulan sekali bakal pulang," lanjutnya.Pramu
"Maaf, Dik, aku salah besar selama ini ke kamu. Maafkan aku." Linggar mengangguk, air mata terasa berada di pelupuk matanya. Ia tak dapat menahan rasa sedihnya melihat saudara sendiri memakai baju tahanan. Terlebih wajah kakak sepupunya itu begitu pucat dan melas, tidak seperti hati biasanya yang cantik dengan balutan riasan. "Terlalu banyak salah yang aku perbuat ke kamu ya, aku sampai bingung harus dengan cara apa aku meminta maaf ke kamu. Pasti jadi kamu pun tidak mudah, belum tentu hatimu lapang untuk memaafkan kesalahan aku. Tidak masalah, aku sama sekali tidak memaksa kamu untuk memaafkan kesalahanku." Wanita itu mengusap air matanya. "Setidaknya kamu masih mau bertemu denganku, artinya masih ada kesempatan aku untuk mengubah semua menjadi lebih baik. Maafkan kesalahanku, Dik.""Aku bahkan dengan sengaja merebut calon suami kamu di hari bahagiamu, Dik. Itu semua salah, aku sangat salah besar. Harusnya tidak seperti itu," lanjutnya berurai air mata."Iya, Mbak, aku sudah mema
"... 7 tahun penjara." Wanita menangis tersedu-sedu, tak dapat berbuat apa-apa. Nasibnya telah final, palu telah terketuk. Tak hanya itu saja, selain hukuman penjara ia harus menanggung persidangan yang lain, sidang cerai. Dalam waktu berdekatan wanita itu melakukan dua kali persidangan. Sang suami tega melayangkan gugatan cerai atas apa yang sudah ia lakukan. Akibat satu kesalahan berakibat cukup fatal, hingga merambah ke jalinan asmaranya. Pernikahan baru seumur jagung harus kandas di peradilan agama. Teringat akan kesalahan yang bertumpuk-tumpuk telah diperbuat ke adik sepupunya. Dari mereka belia hingga detik tak pernah surut rasa iri yang tertanam di dalam hatinya. Entah apa pun yang dapat dicapai oleh adik sepupunya, ia selalu tidak terima akan timbul rasa tidak suka. Lebih lagi seluruh keluarga besarnya selalu membanggakan prestasi adik iparnya dan membandingkan dengan dirinya.Jiwa kecilnya selalu terbentuk untuk balas dendam. Lantas melakukan segala cara agar semuanya dapa