Jangan lupa berlangganan ya
"Aku ke kamar duluan, Mas." Linggar menundukkan kepalanya, melangkah melewati Pramudita yang masih terdiam di tempat. "Sebentar." Pramudita mencegah Linggar untuk melanjutkan langkah kakinya. Wajah pria tersebut masih datar dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Mau tak mau Linggar menghentikan langkahnya, ia menoleh. Alisnyaterangkat, seolah bertanya keinginan pria tersebut. Tampak dari wajah Pramudita ingin menyampaikan sesuatu hal. "Ada apa, Mas?" tanya Linggar, keningnya mengerut. Pria itu berdehem, kemudian melangkah mendahului Linggar. "Tidak baik berbicara di depan pintu. Kita bicarakan di dalam saja." Linggar mengembuskan napas panjang. Akhirnya menuruti apa yang dikatakan sang suami. Mereka masih berada di depan pintu, mengantar Juwanto yang baru saja pulang. Niat awalnya Linggar ingin menghindar dari suaminya, tidak mau membuka suara bila pria tersebut tidak mengajaknya bicara. Ia masih sakit hati atas penolakan dari sang suami pagi tadi, bahkan jika Juwanto tidak
Mata pria tiga puluh dua tahun tersebut memerah, semalam ia tidak dapat memejamkan matanya. Seluruh isi kepala mengajaknya untuk terjaga. Akibatnya rasa pusing terus meyerang, kepala terasa diremas-remas, Padahal ia hari ini masih harus kembali mejalani rutinitas seperti biasa. Rasa penyesalan seolah terus menghantui hati dan pikirannya. Pramudita merasa bersalah telah berbicara demikian dengan sang istri. Ia sangat yakin bila ucapannya semakin membuat Linggar sakit hati. Padahal niat awalnya untuk meminta maaf, malah berakhir menambah masalah. Pramudita menyayangkan sikapnya yang tidak bisa kontrol emosi sendiri, harus meledak di waktu yang salah."Kenapa aku selalu terbawa emosi?" Pramudita mengacak-acak rambutnya. "Bila aku sedikit bersabar, pasti keadaan sekarang tidak akan seperti ini. Aku yakin sekali hubunganku dengan Linggar akan semakin membaik."Langkah kakinya pergi ke kantor terasa sungguh berat, tidak seperti pagi sebelumnya. Ia merasa takut dan malu untuk bertemu dengan
“Semua sudah rapi dan cantik,” ucap Linggar. Wanita tersebut memandang penampilannya dari pantulan cermin di hadapannya. Kemeja berwarna merah muda lengan sampai siku, dipadukan dengan rok berwarna putih dengan motif bunga di atas lutut. Ia tersenyum puas menatap penampilannya sendiri, tidak akan membuat malu suaminya sendiri di depan karyawan. Senyuman seolah tidak perna luntur dari atas bibir Linggar. Rasa bahagia begitu merasuki dadanya, tidak pernah sebelumnya ia merasakan hal menyenangkan seperti sekarang. Harapannya ia dapat memperbaiki semua kesalahan di antara dirinya dan Pramudita. Ia juga turut andil atas kemarahan pria tersebut. “Semoga niat baikku dapat membuat hati Mas Pram menjadi lebih lunak. Aku berharap sekali dengan ini hubungan kami menjadi lebih baik dari sebelumnya.” Linggar membuang napas panjang. Kemudian, ia melangkah pergi dari kamarnya. “Setelah ini aku dapat membuat hati Mas Pram dapat terbuka. Dan aku satu-satunya yang mengisi hatinya kelak. Aku tidak
Mobil berwarna putih itu melesat membelah jalanan ibu kota siang ini. Kecepatannya di atas rata-rata, pengemudi meluapkan rasa kekesalan dan kekecewaan yang semakin penuh di dalam kepalanya. Air mata yang terus menetes kiranya tak dapat menjelaskan hal yang terjadi. Meski tidak memiliki perasaan spesial, ada perasaan tak rela yang diam-diam melesak di dalam hatinya. Pria itu kini berstatus sebagai suaminya, apa pun yang berkaitan dengannya tentu akan menyeret namanya. Dan niat menikah ia tunaikan satu kali dalam seumur hidupnya. Linggar menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Matanya memerah, air mata rasanya enggan surut dari pelupuk mata. Dadanya sesak melihat kejadian tersebut di depan mata kepalanya sendiri. Hatinya masih tak bisa menerima, bahkan tak percaya bila itu adalah suaminya. "Aku bahkan lebih rela kamu selingkuh dengan perempuan, Mas, daripada dengan seorang pria. Hatiku tidak terima jika kamu memang benar adanya mencintai seorang pria. Bagaimana aku bisa
Layaknya jatuh tertimpa tangga pula, Linggar merasa beban kepala semakin berat. Padahal masalah dengan Pramudita belum usai, kini harus berhadapan dengan kakak sepupunya. Tentu saja Linggar harus menyiapkan kesabaran seluas samudra. Rencana awal ingin mencari ketenangan di sini, malah berakhir sebaliknya. Tak menyangka bila Gendhis akan mendatangi tokonya. Padahal sebelum ia mendirikan bisnis tersebut, wanita yang kini menjadi adik iparnya itu menolak dan menentang keras. Bahkan secara terang-terangan menyindir dan menghina apa yang telah Linggar kerjakan. Seperti semua hal yang Linggar lakukan selalu salah di mata Gendhis dan keluarganya. Sebenarnya apa yang ingin Mbak Gendhis lakukan di sini? Pertama kalinya dia menginjakkan kaki di tokoku, aku yakin dia datang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Linggar membatin, lantas mengembuskan napas kasar. "Apa yang Mak Gendhis lakukan di sini?" Linggar berusaha memberikan pelayanan yang terbaik untuk seluruh pembelinya, ia tak membeda-bed
Pria itu termangu, tubuhnya terasa lemas, tidak berdaya. Dunia terasa runtuh seketika, ia menduga bila wanita yang telah menghilang dari pandangan mata itu memiliki persepsi buruk tentang dirinya. "Semua tidak tampak seperti yang kamu lihat, Dik Nggar." Pramudita meremas rambutnya. Ia sudah tertinggal jejak sang istri, wanita itu buru-buru menjalankan mobilnya. Melesat meninggalkan parkiran, seperti ingin segera enyah dari pemandangan yang cukup menusuk mata. Siapa saja tentu memiliki pemikiran buruk atas apa yang dilihatnya. "Maafkan aku," lanjut Pramudita. Lantas Pramudita memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Pikiran dan hati semakin tak tenang dibuatnya, seolah ada banyak cabang masalah yang mengisi kepalanya. "Pram, kenapa kamu tidak cerita bila sudah menikah? Bukankah kemarin itu pernikahan adikmu?" Pria yang berdiri di depan ruanganya, membuka suara. Sang asisten sekaligus sekretarisnya, Senopati Pamungkas, mengamati wajah bosnya lamat-lamat. Rasa gelisah dan khawatir
Rinjani melambaikan tangannya. "Hati-hati ya, Mbak Enggar."Linggar tersenyum di dalam mobilnya, kemudian melanjutkan tujuan terakhirnya. Berat hati untuknya kembali ke rumah Pramudita, terlebih masalah di antara mereka tak kunjung bertemu titik terangnya.Banyak cara Linggar lakukan untuk mengubah kondisi di antara mereka berdua, sayang sekali langkah yang ia lakukan berujung kegagalan malah menambah masalah baru. Pramudita seolah angkat tangan dengan masalah yang tengah mereka hadapi, acuh akan semua permasalahan. Semakin lama masalah semakin merembet ke mana-mana."Apa yah harus aku lakukan?" Linggar membuang napas, pandangan matanya terlihat sayu dan sendu. Mustahil untuknya berpikir positif saat ini, terlebih dengan kedua matanya sendiri melihat kejadian yang tak pernah ia sangka.Air mata mengajak sungai di pipi, tak dapat ia cegah kembali. Hati terasa semakin sesak, sekuat tenaga berusaha untuk menepis pikiran buruk itu malah fakta terkuak semakin besar. "Harus apa yang aku la
"Enggar." Suara pria bermanik cokelat itu menginterupsi, langkah Linggar kemudian melambat.Pria itu duduk di ruang keluarga, tatapan teduh tertuju pada wanita yang baru turun dari lantai dua. Ia memasang senyuman, meski terlihat aneh di wajahnya. Kemudian berdiri, menghampiri sang istri. "Kamu mau ke mana?" Pria itu membuka suara kembali.Tangan kanan masuk ke dalam saku celana pendek selutut itu. Bajunya pun santai, kaos berwarna krem polos. Tak seperti hati biasanya yang terlihat rapi dan formal. Bahkan rambutnya pagi ini sengaja tak ditata rapi.Tak mendapat jawaban, pria tiga puluh dua tahun itu kembali bertanya, "Enggar, aku bicara dengan kamu. Kamu mau ke mana?" Linggar berdehem. "Ke toko."Wajah wanita itu datar, tak seperti pagi sebelumnya yang selalu penuh dengan senyuman dan sambutan hangat. Bahkan untuk pertama kalinya, tak ada sarapan yang tersaji di meja makan. Wanita itu sengaja turun dari kamarnya saat matahari tergelincir sembilan puluh derajat. "Kamu ke sana sendi
"Kamu, kenapa senyam-senyum sendirian?" Wanita itu tampak tertawa, menatap wajah teman pria yang sedang tersenyum memegang ponsel di tangan. "Apa yang kamu lihat?" lanjutnya.Pria itu berdehem, wajahnya sumringah, kebahagiaan memancar begitu kental. Tidak ada keraguan sedikit saja. Ia memperlihatkan foto itu ke teman wanitanya, membuat tawa itu sirna dari garis wajahnya."Sudah lama aku suka sama dia, sayangnya aku tidak berani untuk mengungkapkan perasaan ini. Sepertinya selama ini pun dia hanya menganggap aku sebagai teman biasa saja. Menurut kamu bagaimana?" Pria itu menoleh.Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. "Kamu kenapa cemberut? Apa kamu nggak suka aku ada perasaan sama dia?"Wanita itu menggelengkan kepalanya kuat, kemudian memunculkan senyuman penuh dengan kehangatan. "Siapa bilang? Aku bahagia sekali!""Apa saja yang sahabat aku lakukan, pasti aku bahagia!" Wanita itu bersorak dengan mengepalkan tangan ke depan."Terima kasih, Rim. Kamu tahu tidak bagaimana cara mende
"Aku dengar, kamu sempat menikah. Lalu, kenapa sekarang kamu ada di sini?" Wanita dengan rambut cokelat gelap itu menoleh, mengerutkan dahinya.Pria itu membuang napas, wajahnya tampak seperti tak ingin membahas permasalahan tersebut. Sayangnya, wanita itu bertanya lebih detail mau tak mau harus ia jelaskan lebih detail. Tidak mungkin ia biarkan wanita cantik yang beberapa bulan terakhir ini mengisi harinya menunggu lebih lama lagi."Dari siapa?" "Bukankah seharusnya kamu menikah dengan temanku, mengapa bisa bertukar menjadi kakakmu? Aku menunggu penjelasan darimu," jawabnya.Pradipta termenung sesaat, ia membenarkan jaket bulu tebal yang membungkus tubuhnya. Pandangan mata lurus menatap danau di hadapannya. Bibirnya tampak kelu untuk memberikan penjelasan lebih sebenarnya, hanya saja ia tidak ingin membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.Wanita itu membuang napas, kemudian menundukkan wajahnya. "Mungkin pertanyaanku terlalu sensitif untukmu, tidak masalah jika kamu tidak ingin me
Linggar dan Pramudita dianugerahi anak laki-laki yang sehat dan tampan. Kelahiran putra pertama mereka disambut hangat dan sukacita oleh kakek dan neneknya dari keluarga Linggar dan juga Pramudita, maklum saja dia adalah cucu pertama mereka. Abimanyu, nama sapaan si ganteng keturunan Pramudita.Wajah Abimanyu tampan seperti ayahnya sayangnya sikap dan perilaku menurun dari ibunya. Ibarat kata Abimanyu adalah Linggar versi laki-laki. Terkadang bisa teramat cerewet layaknya anak perempuan pada umumnya. Tapi, di usianya yang menginjak empat tahun ini banyak progres dari pertumbuhannya.Bahkan Abimanyu gemar membaca buku tentang IPA dan Matematika, membuat Linggar takut jika anaknya terlalu cepat dari anak-anak sebayanya. Apa lagi Abimanyu juga belum ikut paud, masih belajar atau tidak bersama dirinya. Tapi kecerdasan yang dimiliki Abimanyu sudah melebihi seusianya, antara sedih dan senang Linggar malah bingung sendiri. Ia takut jika kelebihan yang anaknya miliki adalah sebuah beban di ke
7 bulan kemudian.Linggar yang sedang hamil tidak bisa menahan nasabnya untuk ngemil. Setelah melewati masa tiga bulan yang penuh beban seperti sering muntah, tidak bisa makan apa pun kecuali bubur dan sering lemas di pagi hari, menginjak bulan keempat dan hingga sekarang, bulan ketujuh kandungannya membaik. Berbagai makanan mulai dari rujak sampai camilan ingin ia coba semua kecuali olahan dari susu sapi, iya mual tiap kali mencium bau susu. Kehamilannya justru membuat Pramudita senang, karena setiap pulang kerja selalu ada makanan yang diminta untuk dibelikan.Selama hamil ia juga merasa perlu badan cantik dan wangi, iya juga tidak suka parfum miliknya dan lebih suka menggunakan parfum milik sang suami. Alhasil, beberapa deret parfum yang telah ia beli isi botolnya masih terisi penuh. Berbeda dengan milik Pramudita yang tersisa hanya seperempat botol saja setiap minggunya."Mas Pram mana sih, kok nggak pulang-pulang." Linggar kembali menggerutu dengan memangku satu toples keripik si
"Kamu mau anak berapa, Sayang?" Pramudita memeluk erat tubuh istrinya dari belakang, mereka masih berbalutkan selimut. Wanita tersebut tampak kurang nyaman, matanya sedikit terpejam. Badan terasa remuk, terlebih suaminya selalu minta penyatuan lebih dari satu kali. Hal ini menguras tenaganya lebih banyak, tentu membuat tubuh semakin lemas. "Sayang, jangan tidur dulu dong. Kamu ingin anak berapa nanti?" tanya Pramudita dengan menggoyangkan tubuh Linggar, membuat wanita itu membuka mata kembali. "Apa, Mas? Memangnya kamu tidak ngantuk?" Mata Linggar masih tertutup. Pramudita menggeleng. "Siapa kata aku mengantuk, Dik? Aku tidak pernah mengantuk, yang aku inginkan hanya bersama kamu selalu." "Aku saja capek, Mas, masa kamu tidak? Kita istirahat sebentar saja, Mas, nanti kita main lagi." Linggar mengusap tangan Pramudita yang berada di perutnya. "Aku ingin anak dua atau tiga, Dik. Aku ingin membuat rumah kita menjadi ramai, saat aku pulang disambut anak-anak dan kamu tentunya. Pasti
"Tini, aku ingin hubungan kita seperti dahulu kala. Apa kamu tidak ingin kita kembali memperbaiki hubungan kita?" Wanita dengan rambut digulung ke atas itu membuang napas kasar, wajahnya tampak tidak begitu antusias. Cenderung murung dan masam, bahkan pandangan matanya tertunduk. Tak menatap pria yang pernah ada di hatinya tersebut."Sudah aku katakan, Mas, aku tidak bisa. Hubungan kita telah berakhir dan aku tidak ingin memulainya kembali. Aku sudah menutup buku kenangan tentang kita, tidak akan ada lagi kita di masa depan. Sekarang aku hanya fokus untuk anak-anak saja," jawab wanita itu tegas."Kita menikah pun anak-anak pasti akan senang, Tini. Mereka akan bahagia melihat kedua orang tuanya kembali rukun. Apa lagi sudah lama mereka tidak pernah melihat kedua orang tuanya saling bahagia bersama," bujuk Juwanto.Aroma latte menguat di ruangan ber-Ac. Kartini memejamkan mata menikmati aroma yang begitu menggiurkan. Latte adalah salah satu kopi yang menjadi favoritnya sejak kepergian
"Kamu mau ke mana?" Pemaudita melipat kedua tangannya di depan dada, wajahnya tampak datar dengan rahang mengeras."Itu sudah menjadi tanggung jawab kamu, Dipta. Kamu ingin lari dari tanggung jawabmu?" Pria dua puluh tujuh tahun itu membuang napas panjang, berdebat dengan sang kakak selalu tak mendapat celah. Pramudita selalu berhasil membuat lawan bicara mati gaya. "Aku hanya ingin mencari ketenangan sebentar saja, Mas. Aku tidak pernah lari dari tanggung jawab, maka dari itu aku ingin kamu yang sementara ini memegang perusahaan. Satu tahun nanti aku akan kembali ke sini, Mas, aku hanya titip sebentar ke kamu. Tidak mungkin aku serahkan kembali ke Bapak 'kan, Mas? Bapak mana mungkin mau mengurus perusahaan," jelas Pradipta."Yang bisa mengurus itu hanya kamu, Mas. Aku percaya sama kamu, Mas. Lagi pula kamu bisa mengajak Linggar. Kalian bisa kerja sama berdua mengurus perusahaan 'kan, Mas? Ayolah, Mas, kamu pegang dua perusahaan. Aku satu bulan sekali bakal pulang," lanjutnya.Pramu
"Maaf, Dik, aku salah besar selama ini ke kamu. Maafkan aku." Linggar mengangguk, air mata terasa berada di pelupuk matanya. Ia tak dapat menahan rasa sedihnya melihat saudara sendiri memakai baju tahanan. Terlebih wajah kakak sepupunya itu begitu pucat dan melas, tidak seperti hati biasanya yang cantik dengan balutan riasan. "Terlalu banyak salah yang aku perbuat ke kamu ya, aku sampai bingung harus dengan cara apa aku meminta maaf ke kamu. Pasti jadi kamu pun tidak mudah, belum tentu hatimu lapang untuk memaafkan kesalahan aku. Tidak masalah, aku sama sekali tidak memaksa kamu untuk memaafkan kesalahanku." Wanita itu mengusap air matanya. "Setidaknya kamu masih mau bertemu denganku, artinya masih ada kesempatan aku untuk mengubah semua menjadi lebih baik. Maafkan kesalahanku, Dik.""Aku bahkan dengan sengaja merebut calon suami kamu di hari bahagiamu, Dik. Itu semua salah, aku sangat salah besar. Harusnya tidak seperti itu," lanjutnya berurai air mata."Iya, Mbak, aku sudah mema
"... 7 tahun penjara." Wanita menangis tersedu-sedu, tak dapat berbuat apa-apa. Nasibnya telah final, palu telah terketuk. Tak hanya itu saja, selain hukuman penjara ia harus menanggung persidangan yang lain, sidang cerai. Dalam waktu berdekatan wanita itu melakukan dua kali persidangan. Sang suami tega melayangkan gugatan cerai atas apa yang sudah ia lakukan. Akibat satu kesalahan berakibat cukup fatal, hingga merambah ke jalinan asmaranya. Pernikahan baru seumur jagung harus kandas di peradilan agama. Teringat akan kesalahan yang bertumpuk-tumpuk telah diperbuat ke adik sepupunya. Dari mereka belia hingga detik tak pernah surut rasa iri yang tertanam di dalam hatinya. Entah apa pun yang dapat dicapai oleh adik sepupunya, ia selalu tidak terima akan timbul rasa tidak suka. Lebih lagi seluruh keluarga besarnya selalu membanggakan prestasi adik iparnya dan membandingkan dengan dirinya.Jiwa kecilnya selalu terbentuk untuk balas dendam. Lantas melakukan segala cara agar semuanya dapa