Sementara di tepi pantai, Bella mengajak Aaron kembali, karena khawatir jikalau saja Alessandro rewel ingin minum ASI. Aaron yang baru menyadari pun tergesa-gesa menuju restoran dimana keluarganya berkumpul sembari menggandeng Bella. "Lain kali bekal alat pumping, Yang. Biar Ale bisa kita tinggal lama," kata Aaron. "Aku lupa. Sudah kebiasaan langsung, sih.""Iya, sih, emang enak langsung daripada lewat perantara," celetuk Aaron sambil menaikturunkan alisnya."Iih! Dasar omes!" Bella hendak memukul Aaron, tetapi meleset karena Aaron lari. "Eh, tunggu!" seru Bella mengejar. Tibalah mereka di depan pintu restoran dengan napas terengah-engah dan senyum yang mengambang dari bibir keduanya. "Capek, tauk!" cicit Bella dengan bibir mengerucut. "Suruh siapa lari, coba?"Plak! Kali ini Bella berhasil memukul pundak Aaron. "Ya, karena kamu!"Aaron tertawa, lalu menggandeng tangan Bella dan mengajaknya masuk. Bella memerhatikan wajah Aaron ketika melihat sosok Emilia dan Mike di sana. Bel
Malam menyapa. Tepat pukul tujuh, semua sudah berkumpul di restoran. Menikmati makan malam dengan hidangan spesial di hotel tersebut. Setelah menikmati makan malam, keluarga terbagi menjadi dua kubu, dimana laki-laki dan perempuan memisahkan diri. Kedua kubu jelas saja membicarakan bahasan sekitar mereka. Canda dan tawa sesekali menggema menambah hangat suasana. Tibalah saatnya pesta dansa. Keluarga Aaron bergabung dengan pengunjung lainnya. Hanya saja, malam itu keluarga Aaron memegang kendali acara. Namun, ada pasangan yang belum nampak sedari tadi, yakni Emilia dan Mike. John yang masih jomlo memilih menemani Alessandro yang sedang menikmati biskuit bayi sembari duduk di sofa. Aaron mengulurkan tangan, mengajak Bella berdansa. "Aku tidak bisa," tolak Bella halus. "Ikuti saja gerakanku," kata Aaron. Bella mengangguk yakin, lalu menerima uluran tangan Aaron. Semua sudah berpasang-pasangan bersiap untuk memulai dansa. Tiba-tiba saja ... "Maaf, kita terlambat!"Semua menoleh ke
Voucher belanja sudah Aaron dapatkan. Namun, Aaron memberikannya kepada Kevin, karena berkat sahabatnya itu ia selamat dari akal bulus Emilia. Aaron tidak memperpanjang masalah itu karena ia tidak merasa dirugikan. Acara pun dilanjutkan dengan pesta minum-minum. Semua orang bebas mau minum apa saja. Akan tetapi, Aaron membatasi jika mereka ingin meminum anggur merah. Aaron tidak mau mereka sampai mabuk. Bella memilih untuk pulang karena memang Alessandro sudah rewel ingin tidur. Bella tak sendiri. Ia diantar John menuju kamar. Di sana, ada Emilia dan Mike yang sangat menikmati acara tersebut."Pesananku dibawa?" tanya Emilia kepada Mike. Mike merogoh sesuatu dalam saku jasnya. "Tentu saja!"Emilia menerimanya. "Thanks!" "Kamu nikmati saja malam ini. Atau gabung saja sama calon kakak iparmu!" Emilia tersenyum genit. Mike membalasnya dengan senyuman sinis, lalu beranjak bergabung dengan Aaron. "Mas, biar aku aja yang antar minumannya." Emilia memegang nampan dari seorang waiters.
"Kakak? Kakak kenapa?" tanya Emilia sok polos sembari memegang lengan Aaron. "Pergi! Jangan mendekat!" ketus Aaron. Terdengar suara sepatu yang beradu dengan lantai mendekat. Emilia menoleh. Dalam hatinya menggerutu karena lagi-lagi Kevin datang. "Lu kenapa, bro?" tanyanya kepada Aaron. "Antar aku ke kamar!""Lu tunggu di sini! Awas kalo lu ngikutin!" cegah Kevin kepada Emilia. Emilia dengan kesal memilih bergabung dengan Robert. Kevin cepat-cepat memapah Aaron sampai akhirnya tiba di kamar. "Mike ke mana, Pa?" tanya Emilia kepada Robert. "Entahlah, sedari tadi tidak ada di sini."Emilia mendengkus.Lima menit, sepuluh menit, Emilia yang ingin tahu kondisi Aaron pun berpamitan kepada Robert. Emilia berlari. Tibalah ia di depan pintu kamar Aaron. Namun, tidak ada yang bisa ia perbuatan selain mondar-mandir sembari mengibaskan kedua tangan pada wajahnya. Ya, Emilia merasakan hawa aneh pada tubuhnya. "Mikir Emilia, mikir!" gumamnya. Ya, jelas saja Emilia harus memutar otak bagai
Pagi datang. "Sayang? Terima kasih, ya, sudah membantu," ucap Aaron di balik selimut. "Sama-sama. Ya, sudah, aku turun duluan, ya? Cepetan mandi, gak enak yang lain nunggu."Aaron mengangguk, lalu bergegas ke kamar mandi. Sementara di ruangan VIP restoran, suasana seketika menegang ketika Kevin mengatakan jika Emilia kembali berulah. "Apa maksudmu?" tanya Mitha. "Iya, apa? Katakanlah!" desak Robert. "Semalam Emilia memasukan obat perangsang pada minuman Aaron," jawab Kevin. "Apa?!" Semua kaget, kecuali John dan Damian. Belinda turut bertanya, "La-lu apa yang terjadi? Karena saya lihat Bella dan Ale tidur di kamar John. Apa Bella tahu Aaron tidur dengan Emilia sehingga ia marah dan memilih tidur di kamar John?"Kevin malah bingung untuk menjawab. "Emm ... begini, Tant ...,""Pagi semua?"Ucapan Kevin menggantung karena Bella datang. "Pagi, Sayang." Mitha membalas sapaan Bella. "Aaron mana, Nak?" tanya Robert. Bella menarik kursi untuk ia duduki. "Lagi bersiap, Pa. Mungkin se
Robert hendak ke kamar Aaron untuk menemui Emilia. Namun, baru saja ke luar lift, ia berpapasan dengan Mike yang hendak masuk ke dalam lift yang sama. Robert mematung. "Itu, kan, Mike. Mau ke mana dia?" gumamnya. Robert menatap ke arah lift. Pintu lift sudah tertutup bahkan sudah meluncur ke lantai dasar. "Dia kabur?!" Robert menerka. Robert tidak akan membiarkan Mike lari dari tanggungjawab. Ia mengejar Mike dengan menaiki lift lain."Hei, tunggu!" teriak Robert saat pintu lift baru saja terbuka. Pria lansia itu berlari mengejar, membuat Mike menoleh, lalu melanjutkan langkahnya cepat sampai akhirnya tiba di gerbang hotel. Lagi, Robert berteriak. "Aku bilang berhenti atau kau mati!" Mendengar ancaman itu membuat Mike menghentikan langkahnya sembari mengangkat kedua tangannya, lalu menoleh. Mike yang memang bukan berasal dari keluarga berada tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa, selain pasrah. "Ada apa, Tuan?" tanya Mike. "Kau mau kabur, hah?!" tanya Robert dengan sorot mata
Robert sudah berada di ruang ICU salah satu rumah sakit.Mitha dan Emilia duduk bersebelahan di ruang tunggu. Emilia, wanita itu hanya mampu tertunduk lesu. "Bagaimana Papa, Ma?!" tanya Aaron panik, yang datang bersama Bella juga Kevin. "Dokter sedang melakukan tindakan," jawab Mitha. Emilia mendongak. Tatapannya nyalang, menatap Kevin dan Aaron bergantian. "Ini gara-gara kalian!" pekiknya. Aaron dan Kevin saling memandang. "Kenapa salah kita?" Kevin bertanya. "Terutama kamu! Kamu sudah mengacaukan semua rencanaku!" Emilia semakin berteriak. Mitha angkat bicara. "Emilia? Tante harap kamu bisa mengontrol dan introspeksi diri! Jangan hanya menyalahkan orang lain saja! Tante juga akan bersikap seperti Kevin jika saja Tante tau apa yang kamu rencanakan kepada Aaron!"Emilia memalingkan wajahnya, lalu memilih pergi. Kepergian Emilia tak luput dari perhatian Kevin. Ada rasa kasihan, bersalah, sekaligus kesal kepada wanita itu.Seorang dokter ke luar dari ruang ICU. "Dokter bagaiman
Sikap Emilia berhasil membuat Mitha dan Bella terharu. Mereka tidak menyangka betapa besar sayangnya Emilia kepada Robert. Ternyata, musibah yang menimpa membuat Emilia semakin dewasa. Sedangkan Aaron, tak lantas percaya kepada Emilia. Wanita picik tetap picik di mata Aaron. Emilia mencoba tersenyum. "Ah, untuk itu lebih baik kita bahas nanti, Pa."Aaron tersenyum sarkas. Sudah ia duga jika Emilia akan menjawab demikian. Mengalihkan pembicaraan?"Menikahlah! Papa ingin punya cucu darimu!" desak Robert. "Tapi ... siapa yang mau denganku, Pa? Tidak ada. Jadi, mulai detik ini aku akan menjadi putri Papa yang baik, mengurus Papa saja dan ...,""Nanti Papa carikan pria yang cocok denganmu."Emilia bergeming. Ia tidak punya pilihan lain selain membuktikan janjinya tadi, yakni akan menuruti apa yang Robert inginkan. Emilia mengangguk yakin. "Baiklah, kalau itu yang Papa mau. Aku akan tunggu hari bahagia itu. Dan sekarang, lebih baik Papa istirahat, jangan banyak bicara."Aaron mengangkat
Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis
Di rumah sakit, ada Bella yang sedang berganti pakaian. "Sayang? Apa kau bisa hubungi Kevin?" pinta Bella. "Untuk?""Aku mau minta maaf kepada Emilia."Aaron yang sedang melipat baju kotor pun menoleh. "Sudahlah, kita tidak usah berhubungan lagi dengan wanita itu. Lagipula, kau tidak bersalah.""Aku mohon!" Bella memelas. Aaron menghela napas. Tidak ingin mengecewakan Bella, akhirnya Aaron menghubungi sahabatnya itu. "Oke, dia akan datang ke mari. Paling nanti sore mereka tiba di rumah sakit.""Terima kasih, suamiku!"Aaron tersenyum. "Sama-sama." Aaron melanjutkan kegiatannya. "Tapi, kok, kalau kau yang menghubungi Kevin, dia menjawab. Sedangkan aku, nomornya selalu tidak aktif.""Nomornya ganti.""Oh, pantas kalau begitu."Aaron sudah mengemasi baju kotor. Sedangkan Bella berusaha turun dari ranjang. Ia akan belajar berjalan. Aaron yang melihat dengan sigap membantu. Saat asyik belajar berjalan, Bella berkata, "Kok, Ale belum ke sini, ya?""Kenapa memangnya?"Bella sedikit men
Hari menjelang malam. Aaron baru saja mengantarkan Alessandro ke rumah sang mertua. Ia tidak akan membiarkan Alessandro tinggal di rumah sakit meskipun sang istri dirawat di kamar dengan fasilitas paling lengkap. Alessandro sudah bisa berjalan dan pasti ingin bermain di luar. Kekebalan tubuh Alessandro belum tentu kuat menahan segala virus yang ada di sekitar. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah Alessandro tinggal bersama kakek dan neneknya. Mobil Aaron baru saja terparkir di area rumah sakit. Ia bergegas turun karena pasti Bella sudah menunggu, karena sang istri meminta dibawakan nasi serta sayur buatan Belinda. Aaron berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara dari orang yang sangat ia kenal, yakni Robert. "Apa kita bisa melewati hari tua bersama?" tanya Robert. "Entahlah."Aaron menajamkan pendengarannya. Rupanya Robert sedang bersama Mitha. "Apa cintamu sudah sepenuhnya hilang untukku?""Kita sudah tua, tidak usah bahas cinta.""A
Bruk! John tanpa sengaja menyenggol pundak seorang perawat di koridor, yang membuat dokumen di tangannya terjatuh. "Sorry!" ucap John. Perawat itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sang perawat meraih dokumen itu.John hanya bisa memerhatikan karena sedang menggendong Alessandro dan menenteng satu tas kecil. "Mau besuk?" tanya perawat. "Iya, mau ke kamar VVIP."John tersenyum saat sang perawat itu tersenyum menampakkan barisan giginya yang putih dengan satu gigi gingsul di bagian atas sebelah kanan. Sungguh terlihat manis di mata John. "Tampan sekali putranya," kata Sang perawat sembari mencubit gemas pipi Alessandro. "Ini keponakan saya. Saya masih single.""Ooh, masih single, maaf."Perawat itu tersenyum, lalu pamit pergi. Kepergian sang perawat ternyata menyisakan rasa penasaran di hati John. John ingin mengenal lebih jauh wanita itu. Tanpa berkedip, John melihat kepergian perawat itu sampai hilang di balik tembok. "Ah, ya Tuhan, maafin Om, Sayang." John tersadar saat Alessandro