Aaron memenuhi panggilan. Pria itu tidak takut sama sekali atas apa yang dituduhkan, yakni Aaron sudah melakukan kekerasan kepada Zizi, karena itu memang benar adanya. Aaron datang ditemani pengacaranya dan Damian. Kedatangannya disambut orang tua Zizi. "Kenapa kamu tega lakukan ini kepada putriku? Bukankah kalian berteman baik? Padahal putriku hanya mengajak putramu bermain," ujar Louis --ayah Zizi penuh amarah. Aaron tersenyum sarkas. "Aku kasihan sama Om. Masih saja dibohongi oleh Zizi.""Apa maksudmu?!"Aaron merogoh ponselnya dalam saku, lalu menunjukkan foto Alessandro. "Lihatlah, bayiku bisa saja meregang nyawa karena Zizi!" Aaron pun mengatakan apa yang sudah Zizi perbuat. "Om mau lihat rekaman CCTV? Atau kita panggil saja orang bayaran Zizi?""Tidak mungkin! Putriku tidak mungkin berbuat seperti itu!"Aaron menoleh kepada salah seorang anggota polisi. "Pak Polisi, apa boleh Daniel turut di
Akhirnya, Aaron tetap memutuskan untuk membebaskan Zizi dan Daniel, walaupun John tidak puas dengan keputusannya. Aaron ke kamar. Dilihatnya Bella sedang merebahkan diri di kasur dengan posisi menyamping menghadap box bayi. "Maaf!" Kata itu yang mampu Aaron katakan, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berendam air hangat, rupanya cukup membuat Aaron lebih rileks. Apalagi, ditambah dengan aroma lavender milik Bella. Sambil duduk bersandar dengan wajah menengadah dan mata terpejam Aaron meyakinkan diri bahwasannya ia akan menggunakan sisa waktu enam bulan sebaik mungkin untuk menjadi ayah dan suami yang baik. Aaron membuka mata, lalu mengembuskan napas kasar. Ternyata dulu dirinya terlalu muna untuk mengakui segala hal. Seorang pecundang yang kalah oleh ego. Setelah merasa puas, Aaron segera membersihkan diri di bawah guyuran shower. Tubuh kekarnya kini sudah bersih dan wangi. Aaron segera ke luar. Nampak Be
Aaron dan Bella sudah kembali ke rumah. Alessandro pun tampak sudah tertidur. Malam yang kian larut turut mengantar Bella ke alam mimpi dengan membawa ragam tanya, ada apa dengan Aaron. Pagi-pagi sekali, Aaron sudah rapi. Bukan berpakaian kerja, tetapi pakaian olahraga raga lengkap dengan sepatu juga topi. "Siap-siap, kita akan ke taman," kata Aaron. Bella melongo. Wanita itu tampak terkesima dengan penampilan Aaron. Dengan berpakaian seperti itu penampilannya sungguh jauh lebih terlihat muda. Tik! Aaron menjentikkan jarinya, membuat Bella terperanjat. "Ka-kau tidak kerja?" tanya Bella. "Tidak! Aku mau menghabiskan waktu bersama kalian saja." Aaron berlalu meninggalkan kamar. Bella yang sudah berpakaian style rumahan pun langsung berganti dengan pakaian olahraga. Pun dengan Alessandro. "Kalian mau ke luar?" tanya Mitha. "Iya, Mi. Kita kau ke taman," jawab Aaron. "Tidak sarapan dulu?!" tanya Belinda. "Kita sarapan di luar, Mi, Bu," ujar Aaron. "Hati-hati," pesan Julio. Ya
Bella benar-benar bungkam, tetapi menuruti perintah Aaron. Ia memakan sarapan yang Aaron beli tadi. Setelah selesai, wanita itu lekas berbenah piring kotor, lalu menghampiri ibu serta mertuanya yang sudah menunggu di teras. "Nah, akhirnya! Yuk, kita berangkat." Mitha terlihat sangat antusias. Mereka menaiki mobil Aaron yang sedari tadi sudah terparkir di halaman. Sembari memangku Alessandro, Bella duduk di depan, sedangkan Miha dan Belinda duduk di belakang. "Sabuk pengaman!" Aaron memperingati. Setelah memastikan semua memasang sabuk pengaman, Aaron melajukan mobil kesayangannya diikuti dua mobil pengawal. **Sesuai petunjuk Mitha, sampailah mereka di toko khusus ragam aksesoris untuk pesta. Aaron berjalan di belakang para wanita sambil menggendong Alessandro, diikuti satu orang pengawal. Aaron tidak mau kecolongan seperti kemari. "Selamat pagi? Selamat datang di toko kami!" ucap salah seorang pelayan saat membuka pintu sembari menyunggingkan senyum. Belinda, Mitha dan Bell
Setelah hatinya tenang, Aaron kembali ke restoran untuk menikmati makan siang. Jika saja tidak ada Belinda, enggan baginya untuk kembali. Di dalam, ada Bella yang tetap memaksakan tersenyum. Kaki yang sakit terasa menguap begitu saja karena kalah sakit dengan hati. "Ayah sudah gak harus kontrol lagi, Bu?" tanya Bella, mencoba mengalihkan bahasan. "Tidak. Dokter sudah menyatakan sembuh, kok," jawab Belinda. "Yang Ibu khawatirkan sekarang itu John," lanjut Belinda. "Kenapa dengan John, Bu?""Sepertinya sekarang dia merokok, ya? Ibu mau menegurnya, tapi takut salah paham."Bella tersenyum. "Ibu tenang saja, aku sudah kasih peringatan dan dia berjanji tidak akan merokok lagi. Yaa ... mungkin sulit. Tapi, kalau ada niat apa pun pasti mudah.""Kamu tahu John merokok? Kapan?""Baru-baru ini, Bu. Pokoknya, Ibu jangan khawatir soal John. Dia biar aku yang awasi."Belinda tersenyum dan melanjutkan makan siangnya. "Ini, Nak, makan lagi!" Bella memberikan satu stik kentang kepada Alessandro
Malam menjelang. "Terima kasih, Dok!" ucap Bella, saat sang dokter selesai membalut kakinya dengan kain."Sama-sama, Nona. Besok kita lakukan hal yang sama. Kita pakaikan kain lagi setelah melakukan tiga kali perendaman di air dingin."Bella mengangguk. "Baik, Dok.""Jangan lupa juga obatnya diminum teratur, ya?" Dokter itu meninggalkan kamar diikuti Aaron. Setelah dokter itu pergi, Bella lekas meraih tongkat karena hendak buang air kecil. "Mau ke mana? Kata dokter juga diam, kan?!" Tiba-tiba saja Aaron menghardik di bibir pintu.Bella acuh. Ia terus melangkah tanpa memedulikan sosok Aaron yang berjalan ke arahnya. Brug! Bella menutup pintu kamar mandi cukup kencang. Setelah melakukan hajatnya, Bella lekas membersihkan wajah dengan cairan pembersih wajah andalannya. "Sudah belum?" tanya Aaron di luar. Bella tak menggubris. Ia tetap fokus pada wajahnya. Setelah dirasa cukup, Bella segera ke luar. "Aku bantu!" tawar Aaron sembari memegangi lengan Bella. Bella cepat-cepat menep
Bella cemberut, karena Aaron benar-benar memaksa untuk membantu Bella mengenakan celana dalam. Walaupun Aaron hanya membantu mengangkat kaki dan selebihnya Aaron membelakangi, tetap saja Bella tidak menerima. Malu, marah. Kata itu yang bersemayam dalam benak Bella. Jika saja bercermin, makan wajah Bella akan terlihat memerah karena menahan rasa itu. Mau bagaimana lagi, Aaron mengancam akan memanggil Belinda jika Bella menolak bantuannya. "Kenapa cemberut?" tanya Aaron. "Lain kali tidak usah membantuku!" ketus Bella. "Kenapa? Buktinya jadi cepat kau pakai baju!""Kau tidak boleh melihat apalagi memegang pakaian dalamku!" pekik Bella. "Oh .... Kalau begitu, sebagai gantinya kau boleh melihat bahkan memegang celana dalamku," ujar Aaron santai, lalu pergi begitu saja. Bella benar-benar merasa kesal. Kejadian itu tentu saja tidak akan pernah Bella lupakan. "Aaarrgghh! Menyebalkan!"Bella mengunci lemari dan disimpannya k
Bella sudah selesai perawatan. Aaron pun mengantar sang dokter ke teras. Alessandro yang sedari tadi menangis pun selesai disusui dan diajak bermain oleh John juga Belinda di taman. Merasa bosan di kamar, Bella memilih berdiam diri di balkon kamar. Wanita itu menyusun bantal di sofa sebelum akhirnya ia duduk dan merentangkan kakinya. Setelah duduk nyaman, Bella berselancar dengan ponselnya. Bella memberanikan diri menghubungi Alex. Bukan untuk mengungkapkan rindu, tetapi ia ingin tahu kabar ibunda Alex, karena setelah kejadian saat itu Bella tak sempat menghubungi Alex untuk sekadar bertanya kabar. "Ck! Tidak aktif," gumamnya, "apa Kak Alex mengganti nomornya lagi?"Bella memejamkan mata sembari menghela napas panjang, karena peristiwa itu seketika mewarnai ingatannya. Bella membuka matanya. "Maafin Bella, Ma.""Aku cari rupanya di sini!" ucap Aaron. Bella tak merespon sama sekali. Ia kembali fokus pada ponselnya. "Apa menariknya, sih, ponselmu?!" Aaron merebut ponsel Bella. A
Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis
Di rumah sakit, ada Bella yang sedang berganti pakaian. "Sayang? Apa kau bisa hubungi Kevin?" pinta Bella. "Untuk?""Aku mau minta maaf kepada Emilia."Aaron yang sedang melipat baju kotor pun menoleh. "Sudahlah, kita tidak usah berhubungan lagi dengan wanita itu. Lagipula, kau tidak bersalah.""Aku mohon!" Bella memelas. Aaron menghela napas. Tidak ingin mengecewakan Bella, akhirnya Aaron menghubungi sahabatnya itu. "Oke, dia akan datang ke mari. Paling nanti sore mereka tiba di rumah sakit.""Terima kasih, suamiku!"Aaron tersenyum. "Sama-sama." Aaron melanjutkan kegiatannya. "Tapi, kok, kalau kau yang menghubungi Kevin, dia menjawab. Sedangkan aku, nomornya selalu tidak aktif.""Nomornya ganti.""Oh, pantas kalau begitu."Aaron sudah mengemasi baju kotor. Sedangkan Bella berusaha turun dari ranjang. Ia akan belajar berjalan. Aaron yang melihat dengan sigap membantu. Saat asyik belajar berjalan, Bella berkata, "Kok, Ale belum ke sini, ya?""Kenapa memangnya?"Bella sedikit men
Hari menjelang malam. Aaron baru saja mengantarkan Alessandro ke rumah sang mertua. Ia tidak akan membiarkan Alessandro tinggal di rumah sakit meskipun sang istri dirawat di kamar dengan fasilitas paling lengkap. Alessandro sudah bisa berjalan dan pasti ingin bermain di luar. Kekebalan tubuh Alessandro belum tentu kuat menahan segala virus yang ada di sekitar. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah Alessandro tinggal bersama kakek dan neneknya. Mobil Aaron baru saja terparkir di area rumah sakit. Ia bergegas turun karena pasti Bella sudah menunggu, karena sang istri meminta dibawakan nasi serta sayur buatan Belinda. Aaron berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara dari orang yang sangat ia kenal, yakni Robert. "Apa kita bisa melewati hari tua bersama?" tanya Robert. "Entahlah."Aaron menajamkan pendengarannya. Rupanya Robert sedang bersama Mitha. "Apa cintamu sudah sepenuhnya hilang untukku?""Kita sudah tua, tidak usah bahas cinta.""A
Bruk! John tanpa sengaja menyenggol pundak seorang perawat di koridor, yang membuat dokumen di tangannya terjatuh. "Sorry!" ucap John. Perawat itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sang perawat meraih dokumen itu.John hanya bisa memerhatikan karena sedang menggendong Alessandro dan menenteng satu tas kecil. "Mau besuk?" tanya perawat. "Iya, mau ke kamar VVIP."John tersenyum saat sang perawat itu tersenyum menampakkan barisan giginya yang putih dengan satu gigi gingsul di bagian atas sebelah kanan. Sungguh terlihat manis di mata John. "Tampan sekali putranya," kata Sang perawat sembari mencubit gemas pipi Alessandro. "Ini keponakan saya. Saya masih single.""Ooh, masih single, maaf."Perawat itu tersenyum, lalu pamit pergi. Kepergian sang perawat ternyata menyisakan rasa penasaran di hati John. John ingin mengenal lebih jauh wanita itu. Tanpa berkedip, John melihat kepergian perawat itu sampai hilang di balik tembok. "Ah, ya Tuhan, maafin Om, Sayang." John tersadar saat Alessandro