Tuuut Tuuut Morgan menunggu dengan gusar sembari menatap pada layar ponselnya. Ia baru saja keluar dari bandara dan kini tengah duduk di sebuah mobil yang membawanya menuju hotel sebelum pergi ke tempat pertemuan pertama. “Ck, mengapa tidak dijawab?” gumam Morgan dengan tidak sabar. Ia mencoba lagi dan kali ini Yuna langsung mengangkatnya pada dering kedua. “Halo—” “Mengapa baru dijawab sekarang?” Morgan langsung bertanya, khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Yuna. “Aku sedang bekerja, Morgan,” tutur wanita itu di seberang telepon. Morgan menghela napas panjang. Yuna sudah berada di tempat kerja, itu berarti dia baik-baik saja. “Aku hampir terbang kembali ke sana kalau kamu tidak jawab juga,” ucap Morgan. Di kursi depan, Benny hanya bisa merapatkan bibir menahan senyum. “Katakan pada Delvin untuk tidak memberimu terlalu banyak pekerjaan,” ucap Morgan lagi. Yuna terkekeh. Entah mengapa, suaminya menjadi lebih protektif hari ini. “Baiklah,” jawab gadis itu. Pa
“Ada hal yang janggal dalam kasus keguguran Nyonya Yuna.” Andrew, dokter spesialis obgyn yang baru saja mengoperasi Yuna berbicara. Morgan duduk di hadapannya dengan wajah kusut. Ia belum berhasil memulihkan diri. Belum berhasil menegarkan diri selayaknya seorang ayah. Namun, kini dokter itu sudah memanggilnya dan mengatakan satu fakta penting. Betapa pun kacaunya pikiran Morgan sekarang, pria itu dipaksa untuk fokus. “Apa maksudnya, Dok?” Dia bertanya. Tanpa mengatakan apa-apa, dokter Andrew menunjukkan secarik kertas ke arahnya. “Saat cek laboratorium, kami menemukan kandungan racun arsenik dalam tubuh sang ibu. Kami juga menemukannya pada area janin. Jumlahnya tidak banyak, tetapi menyebar di mana-mana sehingga tidak langsung membunuh sang ibu, tetapi mengancam keselamatan janinnya. Tidak heran jika pasien mengalami pendarahan. Apakah sebelumnya Nyonya Yuna tidak menunjukkan gejala apa-apa?” tanya dokter itu. Morgan mengernyitkan alis dengan tajam. Manik hitamnya menatap luru
“Ini ulah Tante, bukan?” Perkataan Evelyn menghentikan langkah Dimas dan Lina yang hendak masuk ke dalam mobil. Keduanya menoleh dan menatap Evelyn yang kini berdiri tak jauh dari mereka. Ketiganya masih mengenakan pakaian serba hitam dan berada di area pemakaman, tetapi sebagian besar orang telah pergi ke kediaman Morgan. Lina memberi isyarat kepada suaminya untuk masuk sementara wanita itu mengobrol dengan Evelyn. “Aku tidak mengerti apa yang kau katakan,” jawab Lina setelah sang suami masuk ke mobil. “Tante pembohong!” sergah Evelyn, “Aku tahu Tantelah yang melakukan ini!” Mendengar itu, dengan cepat amarah Lina tersulut. Ia memandang sekitar dengan waspada. “Kita masih di pemakaman. Apa yang ingin kau katakan?” tukasnya dengan geram. Wajahnya terlihat kesal sekaligus khawatir seseorang mendengar percakapan mereka. Sebaliknya, Evelyn justru menatap lurus ke arahnya dan terlihat tidak gentar. “Mengapa Tante bertindak sejauh ini? Tante baru saja membunuh seorang bay
Seminggu setelah pemakanan, rumah mewah Morgan masih dirundung duka. Namun, pria melakukan yang terbaik untuk menghadirkan kenyamanan bagi Yuna. Mulai dari menemani Yuna hingga mengajaknya ke tempat-tempat baru. Berharap hal itu dapat meredakan kedukaan dalam hatinya. Yuna pun sudah lebih banyak tersenyum meski Morgan tahu jika sebagian besar adalah senyum palsu. Senyum yang terpaksa Yuna tunjukkan agar Morgan tidak khawatir. Keduanya seolah hidup dalam sandiwara. Pagi ini, Morgan panik saat terbangun dan tidak mendapati Yuna di sisinya. “Yuna?” Dia memanggil seraya mengecek kamar mandi, tetapi nihil. Kepala Morgan langsung dipenuhi pikiran buruk dan pria itu bergegas keluar kamar. Wajah tegangnya kembali melega saat menemukan Yuna tengah berkutat di dapur. Disinari cahaya matahari yang menembus dari pintu kaca menuju halaman belakang. Morgan tidak langsung bersuara. Dia bersandar pada dinding dan mengamati Yuna yang terlihat serius memasak. Setelah berhari-hari, hatinya me
Morgan benar-benar mengalami kecelakaan untuk kedua kalinya dan kini terbaring tidak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Berita itu tidak hanya mengejutkan Yuna, tetapi juga mengguncang perusahaan. Para investor nyaris menarik kembali investasi mereka karena berita yang beredar dan desas-desus yang mengatakan pemimpin perusahaan itu tidak dapat memimpin dengan benar. Ditambah, tidak ada jaminan Morgan akan pulih dari komanya. Darurat, rapat besar-besaran pun kembali diadakan. Dimas tahu itu adalah kesempatan besar baginya. Di luar dugaan, kakek mereka justru maju dan memutuskan dia sendiri yang akan menjabat sebagai pemimpin perusahaan hingga Morgan pulih. “Ini tidak masuk akal, Ayah!” Dimas memprotes setelah ruang rapat menjadi kosong, hanya menyisakan keduanya. “Sudah jelas Morgan tidak mampu kembali menjalankan perusahaan ini, bahkan tidak ada yang tahu apakah dia akan terbangun. Mengapa Ayah justru menggantikannya?” protes Morgan dengan kesal. Dia sengaja menyusun rencana d
Jantung Yuna terasa tercekat. Mata Morgan benar-benar terbuka. Ini adalah momen yang telah Yuna tunggu selama berminggu-minggu. Tanpa buang waktu, Yuna bergegas menekan tombol untuk memanggil dokter. Para tenaga medis berdatangan untuk memeriksa pria itu, sementara Yuna menunggu dengan cemas. “Kesadarannya sudah benar-benar kembali. Tanda-tanda vitalnya pun baik. Nanti akan ada pengecekan intensif untuk berjaga-jaga seandainya muncul komplikasi,” tutur dokter yang memeriksa sebelum pergi. Setelah semua tenaga medis itu keluar, hanya tersisa Yuna dan Morgan di dalam ruangan. Yuna tidak dapat membendung air matanya dan langsung menghambur ke pelukan Morgan. “Akhirnya kamu sadar,” ucap Yuna dengan tulus. Dia terisak lega di bahu Morgan. Pria itu tidak menjawab. Ia hanya mengusap punggung ringkih Yuna dengan tangan besarnya. Tubuh gadis itu masih terasa hangat seperti biasanya. “Aku kira kamu akan meninggalkan aku,” ucap Yuna. Setiap malam, ia merasa takut dan berdoa. Kini
Kabar terakhir yang Delvin dengar adalah bahwa Morgan terbaring koma di rumah sakit. Yuna menemaninya siang dan malam. Komunikasi keduanya jarang terputus. Delvin berniat membesuk pria itu, tetapi selalu terbentur oleh jadwalnya yang padat. Hingga kini, Delvin sedikit terkejut mendapati Morgan sendiri yang mendatangi ruangannya. “Kau tahu aku sudah mengganti sekretarisku,” ucap Delvin, menerka Morgan kemari untuk melihat Yuna.Pria itu selalu menggunakan alasan yang sama, menjenguk Yuna, memastikan Yuna baik-baik saja, dan seribu satu alasan lainnya. Akan tetapi, kali ini Morgan justru menggelengkan kepala. Tatapannya terlihat dingin dan mati. Membuat Delvin langsung menyadari sesuatu telah terjadi di antara mereka. “Kau memiliki banyak kenalan pengacara, bukan?” Morgan bertanya, langsung pada inti pembicaraan mereka. Alis Delvin langsung mengernyit tajam. “Apakah kecelakaan itu mempengaruhi otakmu?” tanyanya, “Aku sudah berhenti menjadi pengacara. Jika kau membutuhkan bantuan h
Sidang perceraian berlangsung dua minggu kemudian. Seharusnya, orang-orang akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mengurusnya. Namun, dengan firma hukum Morgan dan kuasanya, mereka bisa mendapatkan jadwal sidang lebih cepat. Seluruh anggota keluarga hadir, menjadi saksi dan duduk di barisan bangku yang berbeda. Kini, Morgan tampak dingin dalam balutan tuksedo hitam dan kemeja putih. Rambutnya tertata dan Morgan mungkin satu-satunya pria yang terlihat begitu klimis pada hari sidang perceraiannya. Seakan perpisahan itu tidak mempengaruhi hidupnya. Yuna dan Morgan duduk bersisian pada meja yang berbeda. Keduanya menghadap kepada hakim. Morgan didampingi langsung oleh Max, sementara Yuna didampingi oleh Bara di sisinya. Delvin duduk di kursi saksi, tepat di belakang Yuna dan di sisi Dewi. “Dengan ini, pengadilan menyatakan bahwa pasangan atas nama Morgan Lewis Spencer dan Yuna Almira Pramudita secara resmi telah memutus hubungan dan tidak lagi menjadi suami istri secara hukum ne
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i