Sidang perceraian berlangsung dua minggu kemudian. Seharusnya, orang-orang akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mengurusnya. Namun, dengan firma hukum Morgan dan kuasanya, mereka bisa mendapatkan jadwal sidang lebih cepat. Seluruh anggota keluarga hadir, menjadi saksi dan duduk di barisan bangku yang berbeda. Kini, Morgan tampak dingin dalam balutan tuksedo hitam dan kemeja putih. Rambutnya tertata dan Morgan mungkin satu-satunya pria yang terlihat begitu klimis pada hari sidang perceraiannya. Seakan perpisahan itu tidak mempengaruhi hidupnya. Yuna dan Morgan duduk bersisian pada meja yang berbeda. Keduanya menghadap kepada hakim. Morgan didampingi langsung oleh Max, sementara Yuna didampingi oleh Bara di sisinya. Delvin duduk di kursi saksi, tepat di belakang Yuna dan di sisi Dewi. “Dengan ini, pengadilan menyatakan bahwa pasangan atas nama Morgan Lewis Spencer dan Yuna Almira Pramudita secara resmi telah memutus hubungan dan tidak lagi menjadi suami istri secara hukum ne
“Nyonya Yuna mengembalikan semua uang kompensasi, Tuan.” Benny memberitahu saat ia datang ke kediaman pria itu untuk menjemputnya. Hari ini adalah hari pelantikan CEO baru yang menggantikan Morgan. Sejak awal, Benny sudah cemas Morgan akan kembali kacau seperti sebelumnya. Di luar dugaan, pria itu berhasil kembali berdiri tegak dan tengah bersiap saat Benny datang. Mendengar kabar itu, tangan Morgan yang sibuk merangkai dasi seketika berhenti. Tatapannya menjadi lebih gelap. “Biarkan saja,” ucap pria itu, “Dia tidak akan pernah mau mengambilnya meski diancam.” Benny menelan saliva dengan gugup. Sebelumnya, Morgan hancur dan kacau saat berpisah dengan Yuna. Kali ini, ia berbeda. Ia berhasil menguatkan diri dan kembali bangkit. Namun, aura dingin mati selalu terdengar dari nada suaranya, membuat siapa pun yang mendengarnya menjadi segan seketika. “Tapi, apa yang akan kita lakukan pada uangnya, Tuan?” Benny bertanya lagi. Tidak main-main, jumlah yang Morgan berikan hampir
Satu tahun kemudian …. “Selamat, Mira! Ini tahun pertama, tapi kamu sudah membuat pencapaian yang bagus,” ucap Jaceline, teman satu kampusnya. Pelajaran baru saja berakhir dan dosen mengumumkan bahwa pada ujian semester kedua ini, Yuna kembali unggul. Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Di tempat ini, ia lebih dikenal sebagai Mira. Satu yang tidak mereka ketahui, ia bukan unggul karena jenius. Bahkan setelah satu tahun berlalu, Yuna masih sering teringat akan keluarganya hingga tidak bisa tertidur. Satu-satunya cara untuk meredam semua itu adalah dengan mengalihkan pikirannya untuk belajar. “Mira!” Mahasiswi lain datang dan menghampiri gadis itu. Berbeda dengan Mira, wanita bernama Sarah itu berada satu tingkat di atasnya. “Aku membawa buku-buku bekas belajarku di tahun pertama. Masih bagus, kamu mau meminjamnya?” tanya Sarah. Raut wajah Yuna menjadi cerah seketika. Dia mengangguk bersemangat. “Terima kasih banyak!” Yuna berseru. Buku-buku kedokteran sangat tebal dan
“Ini adalah daftar dokter baru yang menjadi anggota rumah sakit kita mulai besok, Tuan,” ujar Benny seraya memberikan setumpuk kertas berisi CV dan ijazah yang telah ia kumpulkan. Saat itu hari sudah malam dan Morgan baru saja beristirahat di kamar hotelnya. Seharian penuh ia telah menghadiri pertemuan dengan banyak orang penting. Ia mengembuskan napas panjang dan hanya melirik saat Benny menaruh tumpukkan kertas di meja nakas. “Aku akan membacanya nanti,” ucap Morgan, tampak tidak tertarik. “Bagaimana dengan dokter itu? Yang katamu dapat menyembuhkan penyakitku?” Benny menggelengkan kepala. “Kami kesulitan mencari keberadaannya, Tuan. Menurut info, dia sudah kembali ke negara ini,” jawab Benny. “Seharusnya akan lebih mudah untuk menemukannya.” Morgan bergumam. Mata lelahnya tampak serius saat menatap pada tumpukan kertas itu. “Kau harus menemukan dia. Hanya dia satu-satunya orang yang dapat menyatukan aku dan Yuna.” *** *** “Ya ampun! Kamu benar-benar terlihat berbeda,
Semua orang berkumpul mendekati titik yang diarahkan, bersiap untuk menyambut pemimpin rumah sakit mereka. Sementara itu, Yuna justru menerjang ke arah sebaliknya. Wanita itu bergegas pergi sebelum Morgan melihatnya. Satu-satunya tempat yang aman bagi Yuna saat ini adalah toilet. Begitu masuk ke dalam salah satu bilik, Yuna langsung menggigiti kuku tangannya dengan gugup. “Mengapa harus pria itu?” gumamnya dengan resah. Tangannya gemetaran saat ia menarik ponsel dari saku jas putih khas dokter miliknya. Ia langsung menghubungi Nara. Wanita itu jelas masih tertidur, tetapi dia langsung berseru setelah Yuna menjelaskan keadaannya. “Apa!? Bagaimana bisa?” tukas wanita itu. Yuna menggigit kuku jarinya dengan gugup. Bahkan ia sendiri tidak tahu bagaimana takdir seperti ini bisa terjadi. “Apakah kau tidak mencari tahu sebelum mendaftar ke sana?” tanyanya. “Untuk apa aku mencari tahu pemimpin rumah sakitnya?” Yuna membalas. Sama sekali tidak terbesit untuk melakukan hal itu. Kini, ia
Mira. Sejak awal, Yuna tak ingin menggunakan penggalan namanya itu. Namun, keadaan dan kehadiran Morgan mendesak dirinya untuk melakukan itu. Mira adalah nama yang sering ia gunakan semasa di Illinois. Pada awalnya, ia memperkenalkan diri sebagai Yuna, tetapi salah satu teman kampusnya mulai memanggil sebagai Mira. Di luar dugaan, hal itu menyebar dengan sangat mudah hingga semua orang di kampus lebih mengenalnya sebagai Mira. Bahkan, saat Yuna menjalani residensi di salah satu rumah sakit, seluruh pegawai dan pasien memanggilnya sebagai dokter Mira. Kini, ke mana pun ia pergi, Yuna akan dipanggil menggunakan nama yang sama. Hingga Yuna hampir lupa namanya adalah Yuna. Ia kira, ia tidak akan mendengar nama itu lagi di tempat kelahirannya. Siapa sangka, keadaan justru mendesak dirinya untuk kembali menggunakan panggilan itu. Hingga Morgan tiba di ruangannya, ia masih mengiang akan dokter itu, tetapi perhatiannya langsung teralihkan saat melihat kehadiran sang ayah. Pria it
Suara itu muncul dari belakang punggung Yuna dan berhasil membungkam semua orang seketika. “Tu—Tuan ….” Dokter Rangga cepat-cepat menarik tangannya dan membenamkan pada saku jas putihnya. Wajah pria itu terlihat pucat seketika, sementara wajah dokter lain terlihat segan. Yuna tidak berbalik. Tubuhnya seakan membeku saat mendengar suara yang amat ia kenali. Suara berat Morgan. Pria itu berada tepat di belakangnya. Suasana menjadi hening dan bunyi sepatu pantofel Morgan berdentum-dentum di lantai rumah sakit yang dingin. Melalui sekat kaca di sisi dokter Rangga, ia bisa melihat raut wajah Morgan dan tatapan tajamnya saat memandang lurus ke arah pria itu. “Ini akan menjadi peringatan kedua untukmu, Dokter Galang,” ucap pria itu. Yuna tahu pria itu tidak ditujukan kepadanya, tetapi jantungnya ikut membeku dan terindimidasi mendengar keputusan Morgan. Sejak kapan Morgan menjadi begitu berwibawa dan berpengaruh? “Kau mengerti?” Dokter Rangga mengangguk satu kali. “Mengerti,” cic
Wajah Yuna terlihat pucat saat wanita itu berjalan keluar dari ruangan Morgan. Hanya Cindy dan David, dua orang dokter baru seangkatan Yuna, yang berani mendekati wanita itu. “Apa yang terjadi? Kau tidak dipecat, ‘kan?” tanya Cindy dengan penuh penasaran. Pemuda tampan di sisinya, David, hanya menatap ke arah Yuna dan menunggu jawaban. Yuna menggelengkan kepala dan mengukir senyum yang dipaksakan. “Tidak. Dia hanya melakukan konsultasi denganku,” jawab Yuna, setengah berbohong. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang dokter untuk menjaga rahasia pasien. Walaupun sesungguhnya Morgan bukanlah pasien Yuna. “Maksudmu, Tuan Morgan melakukan konsultasi? Dengan kamu?” Cindy bertanya dengan nada tidak percaya. Yuna mengangguk membenarkan. “Di antara semua dokter hebat di sini, Tuan Morgan memilih mengobrol dengan kamu?” David menambahkan, terlihat sama tidak percayanya. Namun, Yuna kembali mengangguk membenarkan meski mimik wajahnya sendiri terlihat sangsi. “Aneh, bukan? Untun
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i