Bahu Yuna seketika menegang mendengar suara baritone Morgan. Wanita itu mereguk saliva dengan gugup, kemudian menoleh ke belakang dengan takut-takut. “Tu—Tuan Morgan,” gumamnya, menunjukkan senyuman yang canggung, “Sebenarnya, aku baru saja berniat mengecek kondisi pasien. Kalau begitu, aku pergi sekarang.” Yuna berkelit, kemudian bergegas pergi dari sana, meninggalkan tiga pria itu. Morgan tidak berkutik. Senyum miring timbul di bibirnya saat memandangi Yuna yang berjalan semakin jauh. Tawarannya memang ditolak mentah-mentah. Namun, paling tidak, ia berhasil memisahkan mereka dan mencegah keduanya untuk menghabiskan waktu bersama. Raut lembut itu seketika berubah menjadi penuh permusuhan saat memandang ke arah Jason yang masih berada di dekatnya. Ia memandanginya selama beberapa saat, berusaha mencari persamaan pria itu dengan Aditya.“Kamu pasti Dokter Jason.” Morgan menyapa dengan suara profesional yang kaku. Ia memaksakan diri untuk menyapa. Padahal, apa yang Morgan inginkan
“Anda ingin menemuiku, Tuan?” Jason bertanya saat melihat seorang pria berjalan mendekatinya. Beberapa saat lalu, ia tiba di kafe terdekat untuk menemui seseorang dan kini pria itu langsung berdiri saat melihat sosok yang menemuinya datang mendekat. Pria itu tidak lain adalah Benny dan ia langsung duduk pada kursi tepat di depan Jason. “Aku akan langsung ke intinya,” ucap Benny, “Hubungan apa yang terjadi antara kau dan Dokter Mira?” tanya Benny tanpa berbasa-basi. Kecurigaannya tidak bisa ia tahan lebih lama. Setelah pertemuan Morgan dengan Jason pagi ini, ditambah alasan Yuna yang ikut menyeret namanya, membuat Benny tahu ia harus menemui Jason secepat mungkin. Kedua pria itu bukannya tidak saling mengenal. Beberapa kali, Benny pernah menemui Jason yang dikenalkan oleh Aditya kepadanya. Jason setengah tersenyum. Ia pikir, Benny akan memanggilnya untuk hal yang amat penting. Ia tak menyangka justru nama Dokter Mira yang akan keluar dari bibirnya. “Dokter Mira?” Jason bertanya
Morgan hanya mengatakannya untuk menggoda Yuna. Perut pria itu tidak benar-benar terasa kosong dan ia tahu Yuna tak akan pernah mengabulkan permintaannya. Namun, siapa sangka, wanita itu benar-benar memotong makanan tersebut dan mengangsurkannya ke arah Morgan. “Ini,” tutur Yuna. Sesaat, Morgan seakan mematung. Matanya berkedip ke arah Yuna dengan tidak percaya. Apakah … Yuna tengah mencoba menyuapinya sekarang? “Anda mau atau tidak?” Yuna bertanya karena Morgan tak kunjung menyambutnya. Morgan menelan saliva, kemudian membuka bibirnya dan mengambil satu gigitan. Pandangannya kembali terpusat ke jalan raya saat ia mulai mengunyah. Secara otomatis, bibir pria itu tertarik ke samping membentuk senyum tipis. Merasakan kebahagiaan bersama Yuna yang amat ia rindukan. Jika seperti ini, rasanya seakan mereka kembali menjadi pasangan suami istri yang tidak memiliki masa lalu pahit.“Ini lagi.” Yuna kembali menyodorkan makanan tersebut ke arah Morgan dan pria itu menyambutnya dengan se
Yuna menelan saliva untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering kerontang. Ia tidak dapat mencerna kata-kata pria itu. Menjadi wanita Morgan? Bagaimana mungkin ia dapat melakukannya? Yuna menggelengkan kepala. “Sepertinya, aku tidak bisa—”“Sst.” Morgan mendesis dan menaruh satu jarinya di dekat bibir, memberi isyarat bagi Yuna agar terdiam. “Saya tidak mau menerima penolakan,” ucapnya. Pria itu sedikit menekuk tangannya, menyediakan celah bagi Yuna untuk mengamit lengannya. “Ayo,” ucap Morgan dengan nada meyakinkan. Yuna mati-matian menolaknya. Ia barus menolaknya. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri sikap lembut dan suara teduh Morgan berhasil meluluhkan akal sehat Yuna hingga tanpa sadar ia memasukkan tangannya ke dalam cekalan Morgan. Pria itu tersenyum tipis, tetapi terlihat begitu manis. Berdua mereka melintasi area restoran yang mewah dan menggunakan tema semi-formal tersebut. Beberapa kali, Yuna kedapatan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.“Mereka mem
Morgan tahu mengajak Yuna berpesiar adalah keputusan yang tepat. Waktu menunjukkan pukul sepuluh saat selesai membersihkan diri. Pria itu tengah membaca buku di kamarnya dan suara ketukan terdengar di pintu. Tok tok tok Morgan tidak langsung menjawab. Pikirnya, itu mungkin hanyalah pelayan yang datang untuk pelayanan kamar, sebab Benny tidak berkata ia akan datang malam ini. Apalagi Yuna, amat mustahil wanita itu mendatanginya malam-malam begini. Tok tok Suara ketukan kembali terdengar dan kali ini Morgan beranjak bangkit untuk memeriksa.Wajahnya terperangah kaget saat menemukan Yuna berdiri di depan pintu. Pipinya memerah dan matanya terlihat sayu. “Apa yang—”Perkataan Morgan terhenti saat tiba-tiba tubuh Yuna menjadi limbung dan pria itu dengan sigap menangkapnya. Wajah wanita itu terlihat pucat. “Dokter Mira.” Morgan memanggil. Pria itu mencoba menepuk pipi Yuna, berulang kali, tetapi kelopak mata wanita itu justru semakin terpejam dengan lemah. “Yuna!” seru pria itu. I
Tubuh Yuna terasa jauh lebih enteng saat wanita itu terbangun. Ia menghirup udara dalam-dalam dan sedikit mengernyitkan alis saat merasakan aroma di sekitarnya. Aroma kamarnya berubah. Kali ini, tercium lebih maskulin. Namun, Yuna mengabaikan hal itu dan menoleh ke samping. Tepat pada jendela terbuka yang menampilkan pemandangan laut biru nan luas. Bibirnya refleks melengkung membentuk senyuman. “Jadi, seperti ini pagi hari di kapal pesiar,” gumam Yuna. Meski malam tadi ia merasakan perutnya bergejolak begitu hebat. Ia merasa jauh lebih baik sekarang. Hingga alis Yuna menukik tajam saat tahu-tahu seorang pria berjalan keluar dari arah kamar mandi. Dia adalah Morgan. Tengah memasang kancing kemejanya satu per satu. “Kamu sudah bangun? Jika sudah membaik, segera bersiap dan kenakan pakaian santai untuk sarapan,” tutur pria itu. Nada suaranya terdengar begitu santai. Seakan mereka telah terbiasa menghabiskan waktu bersama. Yuna berkedip berulang kali, kemudian mengucek matan
Jika bisa, rasanya Yuna ingin melompat ke laut sekarang juga. Tubuhnya terasa begitu lemas dan kehilangan seluruh rasa malunya hingga Yuna belum sempat berdiri saat Morgan berhenti di dekatnya. “Ada apa? Kamu baik-baik saja?” Morgan bertanya seraya melirik ke arah Yuna dan Benny bergantian. Benny hanya menyengir canggung. Ketiganya berjalan menuju restoran untuk sarapan dan Yuna berusaha berjalan belakangan untuk menghindari dua pria itu. Paling tidak, sinar matahari yang hangat dan lautan biru lepas membuat perasaan Yuna menjadi mudah lebih lega. Mereka menikmati sarapan dalam keheningan. Beberapa kali, Yuna sempat mendapat firasat dirinya tengah diperhatikan, tetapi ia tak berani menoleh. “Apakah ada yang harus aku lakukan hari ini?” Yuna bertanya. Mencoba menelan bulat-bulat kecanggungan dalam dirinya. Bagaimanapun, ia harus berjaga-jaga dan mempersiapkan diri seandai diminta untuk mendampingi Morgan. Di luar dugaan, Morgan menggelengkan kepala. “Hari ini saya akan menghad
Ombak laut berdebur membentur badan kapal pesiar dan Yuna bisa merasakan ombak yang lebih besar berdebur di antara dua pria itu. Tatapan Morgan terlihat tajam dan posesif. Sekilas, Yuna seakan melihat malaikat maut yang siap untuk mencabut nyawa pria itu sekarang juga. Wajah pria asing itu terlihat kaget. Perlahan, ia melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Yuna. “Su—sudah,” ucap pria itu dengan terbata, “Sekarang, lepaskan tanganku,” pintanya. Akan tetapi, Morgan tak langsung melepaskannya. Rahang pria itu bertambah kencang dan ia mencengkeram bahu pria itu lebih erat. “Akh! Sakit! Lepaskan! Bahuku bisa remuk jika kau bersikap seperti ini!” protes pria itu, mengerang kesakitan. Ia tak bisa melawan sebab bergerak sedikit saja bisa mengancam keutuhan tulang bahunya. “Memang itu tujuannya,” jawab Morgan, datar. Raut wajahnya tidak berubah, masih terlihat dingin dan tidak berperasaan. Cengkeraman pria itu bertambah erat hingga jalinan urat mulai menyembul dari pungg
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i