Di sini adakah yang pernah capek banget kerja sampai pas mandi hampir ketiduran kayak Yuna? XD Yang bacanya senyam-senyum, jangan lupa tinggalkan gift, ya!
Teror Morgan tidak berhenti begitu saja. Bahkan, pria itu berkata akan menambahkan seluruh pelayanan Morgan ke dalam bonus yang bisa Yuna dapatkan. Ini kali pertama Yuna mendapatkan keuntungan sekaligus teror dari pria yang sama. Semakin hari, pikirannya makin dipenuhi oleh sosok Morgan. Suaranya, keluhannya, dan perhatiannya. Kini, Cindy dan David tidak heran setiap kali melihat Yuna datang dengan wajah merengut. Bahkan hari ini, wanita itu sudah terlihat dongkol saat datang di pagi hari. “Apalagi kelakuan Tuan Morgan kali ini?” Cindy bertanya seraya melipat kedua tangan di depan dada. Yuna mengembuskan napas panjang dan menenggelamkan wajahnya pada meja resepsionis. “Dia meneleponku malam-malam karena tidak bisa tidur,” ucapnya. David berdecak dan menggelengkan kepala. Tidak habis pikir dengan kelakuan pemimpin mereka.“Sepertinya, ini sudah keterlaluan, Mira. Aku yakin kamu bisa menuntutnya sekarang.”Cindy mengangguk membenarkan. Ia amat mendukung ide tersebut. “David bena
Sepanjang perjalanan setelah meninggalkan kafetaria, Morgan tidak mengatakan apa pun. Pria itu hanya terus berjalan lurus. Tatapannya terlihat tajam. Sisi wajahnya tampak mengintimidasi sekaligus tegas. Bahkan, cekalan Morgan pada pergelangan tangan Yuna terasa kuat hingga Yuna merasa segan untuk memprotes. Lift terbuka dan Morgan berjalan terus menuju ruang kantornya. “Semua sudah disiapkan?” Morgan bertanya kepada Benny yang berjaga di kursi sekretarisnya. Pria itu seketika beranjak berdiri dan menganggukkan kepala. “Sudah, Tuan,” jawab Benny. Tatapan pria itu berubah saat memandang Yuna. Melihat tangan Morgan yang mencekal pergelangan tangan wanita itu, ditambah wajah Yuna yang terlihat setengah jengkel, Benny bisa langsung menyadari situasinya. Semenjak pria itu mengetahui identitas Yuna yang sebenarnya, tak pernah Morgan melewatkan kesempatan untuk mengamati Yuna. Tanpa berkata apa-apa lagi, pria yang mengenakan jas hitam itu melenggang masuk. Benny hanya bisa mena
Pergerakan sendok Morgan di atas piringnya sendiri berhenti seketika. Ia mengangkat wajah dan melihat Yuna tengah menatap ke arahnya dengan curiga. Entah mengapa, kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Morgan hingga tanpa sadar hampir membuat kedoknya terbongkar. Sementara itu, Yuna masih menatap Morgan dengan curiga. Selama bekerja, ia tak pernah mengungkit persoalan pribadi dan Yuna terkejut karena Morgan langsung berasumsi seperti itu. “Jangan lupa, saya pernah mengutus orang untuk menyelidiki kamu,” kilah Morgan, menggumamkan alasan yang masuk akal. Mendengarnya, kecurigaan pada wajah Yuna menghilang, kembali digantikan oleh raut jengkel. Morgan tersenyum tipis, tahu bahwa ia kembali memenangkan perdebatan itu. “Lagi pula, tidak mungkin wanita sepertimu sudah berkeluarga.” Morgan menambahkan, berusaha menguatkan alasannya. Mendengar itu, sudut bibir Yuna terangkat seakan tidak percaya. Mendadak ia merasa tertantang untuk kembali menyerang pria itu. “Sayangn
“Putra dari Aditya? Maksudmu, dokter itu adalah putra dari Pak Aditya?” Morgan menjawab dengan raut tidak percaya. Benny mengangguk membenarkan. Tepat setelah Yuna pergi, Morgan pun melanjutkan jadwalnya untuk menemui salah satu kolega bisnisnya. Sepanjang perjalanan, Morgan mencoba menggali informasi tentang Jason dari Benny. “Informasi itu sudah aku sertakan pada CV-nya, Tuan. Apakah Tuan tidak menyadarinya?” Benny bertanya. Morgan tidak menjawab. Bukan tidak menyadarinya, pria itu sama sekali tidak mengeceknya. Ini bukan kali pertama Morgan menerima dokter baru di rumah sakitnya. Hingga hari ini, rumah sakit miliknya sudah memiliki dua puluh empat cabang dan perekrutan dokter serta perawat dilakukan hampir setiap bulan. Awalnya, Morgan mengecek sendiri CV dan riwayat para dokter, hanya jadwalnya semakin padat hingga Morgan tak sempat lagi melakukannya. Pria itu baru menyadari tak hanya informasi mengenai Jason, ia pasti akan segera mengenali Yuna seandainya mengecek CV itu l
“Berhenti,” titah Morgan. Sopir yang duduk di kursi pengemudi seketika menginjak rem dan mobil yang ditumpangi pria itu pun berhenti di sisi jalan. “Ada apa, Tuan?” Sopir mereka bertanya seraya menatap sekitar. Morgan tidak langsung menjawab. Pandangannya menatap keluar jendela. Ke arah pedagang yang menjual berbagai macam kue. Perhatian Morgan langsung tersita pada jajanan berbentuk bulat bertabur wijen. Dahulu, itu adalah jajanan kesukaan Yuna. “Tunggu di sini,” ucap Morgan, kemudian melangkah keluar. Sopir pria itu terlihat heran. Tak biasanya Morgan membeli makanan di tempat seperti ini. Terlebih, Morgan adalah pria yang jarang membeli jajanan apa pun, tetapi kini majikannya itu benar-benar menghampiri pedagang tersebut dan membelinya. “Tidak biasanya Anda membeli makanan, Tuan,” gumam sopirnya setelah Morgan kembali beranjak masuk, membawa bingkisan berisi makanan yang baru saja ia beli. “Ini bukan untuk saya,” ucap Morgan seraya tersenyum, “Ayo jalan.” Sopir itu
Morgan tidak berhenti tersenyum sepanjang pagi. Tiap kali mengingat kebersamaannya dengan Yuna malam tadi, senyum tipis akan secara otomatis terbit pada wajah Morgan. Hal itu tidak luput dari pengamatan Benny. Mereka bertemu di rumah sakit pukul tujuh dan wajah Morgan sudah terlihat berseri, nyaris mengalahkan sinar matahari pagi itu. “Sampai jam berapa Dokter Mira tertidur semalam, Tuan?” Benny bertanya. “Jam dua belas.” Morgan menjawab, kemudian menguap. “Apa—” Benny terlihat kaget. Tadi malam, karena Morgan tidak kunjung keluar, ia meminta izin untuk pulang lebih awal. Saat Benny meninggalkan rumah sakit pukul sepuluh, keduanya masih berada di dalam ruang konseling. Pria itu tidak menyangka jika mereka benar-benar akan larut tertidur di sana hingga tengah malam. “Bagaimana Dokter Mira pulang?” tanya Benny. Mendengar itu, sudut bibir Morgan kembali tertarik. Kali ini membentuk senyum yang sulit dipahami. Flashback Mata Morgan masih terpejam, tetapi setiap kali Yu
“Anda yakin akan melakukan ini, Tuan?” Benny bertanya dengan raut gugup sekaligus ragu. Untuk pertama kalinya, Benny meragukan perintah bosnya itu. Selama ini, apa pun perintah yang Morgan ucapkan, Benny akan langsung melaksanakannya. Akan tetapi, kali ini pria itu merasa ragu. Morgan mengangguk yakin. “Percayalah padaku. Aku yakin kau bisa melakukannya,” tutur pria itu, terdengar menjanjikan. Keringat dingin mulai mengalir pada pelipis Benny. Sejauh ini, Benny selalu berhasil tenang dalam menghadapi segala situasi. Ia belum pernah segugup ini sebelumnya. “Bagaimana jika Nyonya Katherine mengetahui hal ini?” Benny kembali bertanya. Pria itu berusaha mengantisipasi seluruh kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. “Jika itu terjadi, aku yang akan mengurusnya.” Morgan menjawab dengan tenang. “Yang perlu kamu lakukan hanya masuk ke dalam restoran, kemudian mewakiliku untuk menemui wanita itu. Kau sudah sering mewakiliku pada beberapa pertemuan. Kau pasti bisa melakukannya,”
Bukannya menjawab, Morgan justru mengembuskan napas panjang. Ia masukkan salah satu tangannya ke dalam saku. “Apakah kamu harus selalu menjawab perintah saya dengan pertanyaan?” tutur Morgan, terdengar lelah sekaligus tidak senang. Yuna menelan saliva dengan gugup. Merasa bersalah, tetapi juga waspada terhadap sikap itu. Memang, interaksi mereka yang lebih intens belakangan ini membuat Yuna berani untuk bertanya, atau bahkan mengkritisi perintah Morgan. “Maksudku, ini di luar jam kerja, Tuan. Tentu saja aku harus bertanya agar tahu—” “Jika kamu mengetahuinya, apakah kamu menjamin kamu tidak akan menolaknya?” Morgan menyela lagi. Kali ini, wajah dan nada suaranya terdengar lebih serius. Alis Yuna mengernyit seketika. “A—apa?” Kali ini, Morgan tidak menanggapi. Pria berambut hitam itu langsung menarik tangan Yuna dan mendesaknya masuk ke dalam mobil. “Apa yang Anda lakukan, Tuan—” Yuna berusaha memprotes. “Tenang saja, saya tidak akan mengajakmu ke tempat yang aneh-aneh
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i