Kena deh Delvin ketahuan! Lunas sudah janjiku untuk update 5 chapter hari ini, yaa <3 Terima kasih buat semua yang sudah bantu mendukung I Love You all!
Delvin tidak bisa menjawab. Seakan kehabisan kata-kata, pria itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Mengungkapkan perasaannya kepada Yuna tidak ada dalam rencana pria itu. Lebih tepatnya, Delvin berniat mengatakannya setelah Yuna bercerai. Kini, tiba-tiba gadis itu bertanya. Untuk sesaat, Delvin hanya bisa menatap ke arahnya seakan hanyut dalam iris hitam Yuna yang menatapnya dengan lekat. Mungkinkah … Yuna mulai menyadari cinta terlarang yang ia simpan untuk dirinya? Delvin menelan saliva satu kali sebelum menjawab, “Jika iya, apakah itu akan mengubah tatapanmu?” “A—apa?” Kali ini justru wajah Yuna yang diwarnai kebingungan. “Apa maksudmu ….” Ini adalah saat yang tepat bagi Delvin untuk mengutarakan perasaannya. Hanya ada mereka berdua di ruangan, dengan mata saling terkunci, apalagi yang Delvin butuhkan? Kata-kata aku menyukaimu sudah berada di ujung lidah Delvin, tetapi lidahnya seakan kelu dan sulit untuk digerakkan hingga akhirnya Delvin hanya kembali mengukir senyum han
Saat Yuna selesai, Morgan masih duduk di tempat yang sama. Tampak serius memandangi layar ponselnya, tetapi pria itu langsung beranjak berdiri saat menyadari Yuna berjalan keluar ruangan. “Sudah selesai?” tanya Morgan seraya berjalan menghampiri gadis itu. Yuna mengangguk. Dalam hati, ia merasa sedikit dongkol karena itu berarti ia harus pulang bersama Morgan. “Kalau begitu, kami akan pulang sekarang. Hati-hati di jalan,” pamit Yuna kepada Delvin. Gadis itu mengangguk sopan dan beranjak pergi. Sementara Morgan, dia pamit dengan menunjukkan senyum penuh kemenangan dan lanjut berjalan di sisi Yuna. Sopir pria itu telah menunggu di depan pintu masuk utama dan mereka langsung masuk ke mobil. “Ambil ini.” Morgan memberikan secarik kertas saat mobil itu mulai melaju pergi. “Apa ini?” Alis Yuna mengernyit. Ia mulai membaca dan bertambah heran saat melihat daftar pekerjaan beserta rincian pekerjaan tersebut. “Itu adalah posisi yang dapat kamu pilih di perusahaanku,” jawab Morgan.
Waktu Evelyn semakin menipis. Di luar dugaan, Morgan benar-benar sulit untuk didekati. Tidak seperti dahulu yang selalu memujanya, kini Morgan sulit untuk dipalingkan dari Yuna. Pria itu terus menatap Yuna dan hanya memedulikan istrinya. Meski demikian, Evelyn terus mencoba. Malam ini, ia sudah mengenakan gaun terbaiknya untuk menghadiri pesta yang diadakan keluarga Morgan. Pesta itu diadakan di kediaman kakek mereka. Area itu merupakan daerah elit yang hanya bisa dimasuki oleh segelintir orang. Jika bukan karena kenalan orang dalam, satpam yang berjaga tidak akan membiarkan Evelyn masuk.Gadis itu datang seorang diri dan saat ia tiba, sebagian besar keluarga Morgan telah datang. Evelyn mengenal hampir mereka semua. Dahulu, Morgan pernah mengajaknya pada acara seperti ini. Gadis berambut hitam bergelombang itu tersenyum saat melihat Katherine. Ia langsung mendekati sembari menyapa para tamu lainnya. “Aku tidak tahu apakah aku pantas datang ke acara seperti ini,” ucap Evelyn, berb
Tubuh Yuna membeku. Matanya membelalak kaget menatap pada Morgan yang sudah terbaring di lantai. Tubuhnya tertimpa oleh lampu hias besar. Pecahan kaca menyebar di sekitarnya dan cairan merah mulai menyembul melalui kemeja putih serta jasnya. “Mo—Morgan …,” ucap Yuna lirih. Mobil ambulans melaju cepat di jalan raya. Sirinenya membuat beberapa mobil dan motor di jalan menyingkir seketika. Di dalam, sudah ada Yuna, Morgan, dan beberapa petugas medis yang mencoba melakukan pertolongan pertama. Di sisinya, Yuna tidak bisa berhenti sesenggukkan melihat sang suami terbaring tidak sadarkan diri. “Morgan, tolong bertahanlah,” isak gadis itu. Pria itu tidak berkutik. Matanya masih terpejam sementara alat bantu pernapasan menutupi sebagian wajahnya. Sepuluh menit kemudian, ambulans itu tiba di rumah sakit terdekat. Morgan langsung diangkut oleh para petugas medis menuju IGD. “Maaf, Ibu, Anda harus menunggu di luar.” Seorang petugas menghentikan Yuna saat hendak mengikuti Morgan me
“Apakah harus kamu yang merawatnya, Yuna?” Suara Delvin terdengar di seberang. Ia baru saja terbangun dan menemukan pesan berisi izin dari Yuna. Katanya, Morgan tertimpa kecelakaan yang cukup serius meski Delvin meragukan hal itu sebab Morgan bukan tipe pria yang mudah lengah. Sembilan puluh persen Delvin yakin itu hanya akal-akalan pria itu. “Maafkan aku,” ucap Yuna, terdengar tulus dan menyesal, “Dia terluka untuk menyelamatkanku, jadi aku merasa bertanggung jawab untuk kesembuhannya.” Delvin mengembuskan napas panjang dan mengurut pelipisnya. “Haruskah aku ke sana dan melihat kondisinya?” Delvin menawarkan diri. Pria itu penasaran dan ingin menyaksikan sendiri seandainya Morgan bersandiwara atau benar terluka. “Tidak perlu, Delvin. Aku akan berusaha untuk kembali bekerja lusa,” ucap Yuna. Pikirannya sudah diliputi kecemasan hanya dengan membayangkan mereka bertemu. “Kalau begitu, bagaimana dengan pekerjaanmu, Yuna? Kamu tahu aku tidak bisa melakukan semuanya tanpa bantuan s
“Dunia ini benar-benar sempit, Morgan,” ucap Lintang seraya menatap lurus ke arahnya. Morgan mengembuskan napas panjang. Siapa yang menyangka jika orang yang hendak mengambil alih kamar itu darinya adalah sepupu jauhnya sendiri. “Aku benar-benar sakit sekarang, jangan menggangguku. Pergilah dan cari tempat lain,” tutur Morgan dengan acuh tak acuh. Menegaskan perkataannya, pria itu membaringkan diri pada ranjang dan menarik selimut seakan tak berniat beranjak ke mana pun. “Cih.” Lintang mendecih angkuh. Pemuda itu memang tidak ikut saat Morgan dilarikan ke rumah sakit. Pun pria itu tidak tahu rumah sakit mana yang dituju. Hingga sekarang keduanya justru bertemu seperti ini. “Menyingkir. Aku membutuhkan kamar ini,” ucap Lintang, tidak ingin mengalah semudah itu. Perawat yang masih berdiri terlihat bingung melihat sikap keduanya. “Tuan ….” “Kau jelas baik-baik saja,” ucap Morgan, “Apakah kau coba menjauh isu media?” Wajah Lintang yang semula terlihat angkuh seketika menj
Yuna bisa mendengarnya dengan begitu jelas. Namun, bibirnya terkatup rapat seakan terkunci. Gadis itu tidak memberikan jawaban apa pun. Morgan pun tidak menyerah. Pria itu masih menatap lurus ke arah Yuna dengan iris hitam yang serius. “Aku benar-benar tersiksa dengan perpisahan ini,” tutur Morgan, “Rumah itu terasa sepi dan asing tanpa kamu. Jadi, aku hanya akan kembali bersamamu, Yuna.” Tenggorokan Yuna bergerak naik turun dengan gugup saat ia menelan saliva. “Aku …”“Aku tidak akan memperlakukanmu dengan buruk. Kita akan tidur di kamar yang sama dan bersikap seperti suami istri. Aku akan menjadi suami yang mencintai kamu. Aku akan mengajakmu ke setiap pesta yang aku datangi. Aku akan mengenalkanmu pada seluruh kolegaku. Kamu akan kembali bertemu dengan Lastri, dan kita akan berkumpul bersama. Aku akan menemanimu sarapan setiap hari,” tutur Morgan. Kepalanya tertunduk dan bersandar pada perut Yuna yang membukit. “Aku akan melakukan semua itu, Yuna. Karena itu, kembalilah.” Ha
Beberapa jam sebelumnya …. “Apakah aku harus bekerja lembur malam ini?” tanya Bara dengan bersemangat. “Ternyata jauh lebih mudah menjadi sekretaris daripada seorang pengacara.” Keduanya telah berhasil menjalani sepanjang hari bersama. Kini, Delvin dan Bara berada di ruangan Delvin dan pria itu tengah bersandar di kursinya dengan wajah lelah. “Tidak perlu lembur,” jawab Delvin, “Lebih baik kamu pulang sekarang juga. Aku semakin lelah melihat wajahmu.” “Padahal, aku cukup tampan,” gumam Bara seraya mendelik tajam ke arah abangnya. “Kalau begitu, aku akan pulang lebih dulu. Ah, aku mau ke pub setelah ini, kau mau ikut? Ada banyak perempuan cantik—” Delvin mendesis sebal dan Bara langsung melesat pergi sebelum sesuatu melayang ke arahnya. Kini, suasana di dalam ruangan itu menjadi begitu hening dan Delvin mengembuskan napas panjang. Ia menatap layar ponselnya yang menampilkan gambar kontak Yuna. Bekerja sama dengan Bara tidak terlalu berat. Kinerja pria itu cukup bagus, hanya
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i