Ryan berjalan dengan langkah cepat menghampiri Silva. Dari kejauhan, ia melihat gadis itu menunduk dengan tangan memegang tepian meja, kepalanya terus ia benturkan pelan ke meja. Pemandangan itu membuat dada Ryan sesak. Ia tahu betapa beratnya tekanan yang Silva rasakan, tetapi ia tidak bisa membiarkan gadis itu menyakiti dirinya sendiri."Silva, hentikan!" ucap Ryan tegas, tangannya langsung menahan kepala Silva agar tidak lagi terbentur meja. Matanya menatap gadis itu dengan campuran emosi—cemas, marah, sekaligus iba.Silva mendongak, air mata mengalir deras di wajahnya. Ia memandang Ryan dengan tatapan penuh keputusasaan. "Kenapa kamu bisa tahu aku di sini?" tanyanya dengan suara bergetar. Namun kehadiran Ryan membuat Silva merasa lega dan aman."Sebuah kebetulan itu ada Silva. Jadi jangan bertanya lebih banyak lagi." Jawab Ryan.Ryan menarik kursi dan duduk di depan Silva, tangannya masih memegang bahu gadis itu. "Aku dengar semuanya. Semua yang kalian bicarakan tadi aku mendengar
Dirga duduk di sofa ruang tamu, tubuhnya kaku dan rahangnya mengeras. Ia mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Silva, namun pikirannya sulit untuk mencerna semuanya. Hatinya bergejolak antara rasa percaya dan tidak percaya. Bagaimana mungkin ibunya sendiri, bisa merencanakan hal-hal sekeji itu? Tapi melihat bagaimana ibunya meracuni makanan yang dibawa beberapa hari yang lalu. Bagaimana ia melihat Kiara yang bertahan dari rasa sakit akibat keracunan itu. Ia sedikit merasa percaya namun tak sepenuhnya, karena apa yang Silva ceritakan jauh lebih buruk. Tak Mungin maminya benar-benar mau mencelakai Amora. Dan bagaimana mungkin seorang ibu tega menghancurkan keluarga anaknya sendiri? Logikanya menolak, tapi kata-kata Silva terdengar begitu meyakinkan."Aku tahu sulit untuk mempercayai ini, Dirga," kata Silva dengan suara serak, matanya menatap penuh harap ke arah Dirga. "Tapi aku nggak punya alasan untuk berbohong sekarang. Aku mempertaruhkan keluargaku dengan menceritakan ini
Di kamar yang luas dengan pencahayaan temaram, papi Dirga duduk di kursi dekat meja kerja kecil. Ia menatap istrinya yang sedang duduk di depan cermin, sibuk menyisir rambutnya. Hening melingkupi ruangan, tetapi pikirannya terus dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Akhirnya, ia memutuskan untuk memecah keheningan."Nina," panggilnya dengan nada tegas namun lembut, "aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan keluarga Dirga."Nina, yang sedari tadi tampak tenang, menghentikan gerakannya. Ia menatap bayangan suaminya di cermin. "Apa maksudmu?" tanyanya, mencoba mengulur waktu."Jangan pura-pura tidak tahu," jawab pria itu dengan nada yang sedikit lebih keras. "Dirga sudah beberapa kali datang ke sini dengan wajah yang terlihat gusar. Dia tidak mengatakan banyak hal, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi."Nina menghela napas panjang, berusaha tetap tenang. "Aku hanya tidak suka dengan Amora," ujarnya singkat.Papi Dirga mengernyit. "
Ryan duduk bersandar di sofa apartemen Silva, matanya terfokus pada wajah wanita itu yang terlihat kusut dan lelah. Silva tampak berbeda hari ini, lebih pendiam dari biasanya. Bahkan, ketika ia mulai bercerita tentang ancaman dari Tante Nina, suaranya bergetar, seolah menahan sesuatu. Ryan hanya mendengarkan dengan sabar, tanpa banyak komentar. Ia tahu, Silva membutuhkan seseorang untuk mendengar, bukan menghakimi."Dia bilang aku harus menuruti apa yang dia suruh, Ryan," ujar Silva pelan, mengusap wajahnya yang mulai memerah karena menahan emosi. "Kalau tidak, dia akan memastikan keluargaku tidak bisa hidup tenang. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan."Ryan menarik napas panjang, lalu menatap Silva dengan pandangan yang lembut namun tegas. "Kamu tidak perlu takut. Selama aku ada di sini, aku tidak akan membiarkan dia menyakitimu atau keluargamu. Kamu harus percaya itu," ucapnya, mencoba memberikan ketenangan. Namun, ia tahu ucapan itu tidak cukup untuk menenangkan hat
Bandung, kota yang dikelilingi oleh pegunungan hijau dan udara sejuk, menawarkan pesona yang sulit dilupakan. Di pagi hari, kabut tipis sering menyelimuti kota, menciptakan suasana magis yang memikat hati siapa saja yang memandang. Jalan-jalan utama dihiasi dengan pohon-pohon rindang, seolah-olah menjadi pelindung dari hiruk-pikuk dunia modern. Bandung tidak hanya memberikan ketenangan, tetapi juga keindahan yang memanjakan mata setiap kali melangkah keluar.Sebagai surga wisata, Bandung menyimpan banyak destinasi menarik. Kawah Putih di Ciwidey menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi, di mana danau kawahnya yang berwarna putih kehijauan memberikan pemandangan eksotis. Di sini, langit biru yang membentang seperti menyatu dengan air kawah, menciptakan perpaduan warna yang sulit dilupakan. Suasana tenang di sekitar Kawah Putih membuatnya menjadi tempat sempurna untuk melarikan diri sejenak dari keramaian kota.Lembang, kawasan wisata yang berada di ketinggian, menjadi favorit ba
"Ghhhmm..." Amora mendesah saat Dirga menggelitiki daging kenyalnya dengan lidah suaminya itu. sudah dua menit ia duduk di sofa dan Dirga berada dibawah dengan lututnya yang tertekuk ke atas. setelah menidurkan Aksa, keduanya memutuskan untuk memanaskan tubuh mereka dan agar Aksa tak terganggu, Dirga dan Amora memutuskan untuk bermain di sofa yang ada di dalam kamar. Amora mendongak ke atas karena rasa geli dari lidah suaminya yang menggelitiki pusat intinya. ia menggenggam rambut tebal Dirga. suara decapan dari kecupan lembur serta sapuan lidah Dirga di bawah sana menjadi melodi indah untuk membangkitkan gairah mereka."Ghmm Mas. Enak mas." Desahnya. Dirga cukup bisa berbangga diri karena sapuan lidahnya berhasil membuat istrinya mendesah nikmat. Tak hanya bermain pada daging kenyal Amora, Jemari Dirga juga menggelitiki puncak dada Amora membuat desahan itu berubah menjadi erangan yang sulit untuk dihindarkan.Sampai Amora tak tahan lagi. Ia menautkan pahanya pertanda ia akan meleda
Pagi di pegunungan Lembang terasa segar dan menenangkan. Cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui celah-celah tirai di vila yang Dirga dan Amora tempati selaaberada di Bandung. Di kamar utama, suara tangisan kecil bayi mereka memecah keheningan, membuat Amora terbangun lebih dulu. Ia dengan lembut menggendong si kecil, mencoba menenangkannya sambil menikmati udara pagi yang masuk melalui jendela yang sedikit terbuka. Dirga, yang masih setengah tertidur, menggeliat di tempat tidur sebelum akhirnya ikut terbangun.“Pagi, Sayang,” ujar Dirga dengan suara serak khas orang yang baru bangun. Ia menguap kecil sambil melihat Amora yang kini sedang menyusui bayi mereka di kursi dekat jendela. “Pagi,” balas Amora sambil tersenyum. “Udara di sini enak banget, ya. Rasanya pengin lama-lama di tempat ini.” Dirga mengangguk, kemudian bangkit dari tempat tidur.Ingin rasanya ia berlama-lama d tempat tidur, namun tujuannya ke sini bukan untuk rebahan saja melainkan untuk liburan.Dirga melangkah
Setelah beberapa hari menikmati liburan di Bandung, Dirga kembali ke rutinitasnya di kantor pusat perusahaan yang berada di tengah hiruk-pikuk kota. Pagi itu, ia tiba lebih awal dari biasanya, mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang rapi. Raut wajahnya terlihat segar setelah liburan, meskipun kesibukan sudah menanti. Sekretaris pribadinya, Hendrik, langsung menyambut dengan jadwal rapat yang sudah penuh dari pagi hingga sore. “Selamat datang kembali, Pak Dirga. Ini jadwal hari ini. Ada rapat dengan tim keuangan pukul sembilan, lalu presentasi proyek dari divisi pemasaran.”Dirga mengangguk sambil membuka map yang diserahkan oleh Hendrik. “Baik, pastikan semua tim sudah siap. Saya tidak ingin ada yang tertunda,” ucapnya dengan nada tegas. Ia kemudian melangkah ke ruangannya, ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota. Sebelum rapat dimulai, Dirga meluangkan waktu untuk membaca laporan keuangan yang telah menumpuk selama ia liburan. Fokusnya langsung terpusa
Kehamilan Silva berjalan lancar, meski seperti kebanyakan wanita hamil, ia juga mengalami morning sickness yang cukup parah. Setiap pagi, Ryan selalu membantu istrinya menghadapi mual dan muntah yang tidak bisa dihindari. Ia memastikan Silva tetap terhidrasi dengan memberikan air jahe hangat yang bisa membantu meredakan rasa mualnya. Namun, hal yang paling membuat Ryan pusing adalah ketika Silva mulai mengidam. Keinginan Silva seringkali datang tiba-tiba, dan bukan hal yang biasa. Mulai dari rujak pedas tengah malam hingga kue-kue tradisional yang sulit ditemukan, semua itu harus Ryan usahakan demi membahagiakan istrinya.Suatu malam, Silva tiba-tiba membangunkan Ryan yang sedang tertidur lelap. Dengan wajah memelas, ia berkata, "Sayang, aku pengen makan durian." Ryan yang setengah sadar hanya bisa mengernyitkan dahi. "Durian? Sekarang? Sayang, ini sudah hampir tengah malam," jawabnya sambil melirik jam di meja. Tapi melihat wajah Silva yang tampak begitu menginginkan hal itu, Ryan
Dua bulan setelah pernikahan mereka, kehidupan Ryan dan Silva berjalan begitu tenang dan bahagia. Tidak ada lagi bayangan Adrian yang mengusik, dan masalah-masalah yang dulu sempat menghantui mereka kini hanya menjadi kenangan buruk yang semakin memantapkan hubungan mereka. Pagi itu, Silva bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya—mual ringan dan rasa lelah yang tidak biasa. Selain itu, ia menyadari bahwa siklus bulanannya terlambat beberapa hari. Rasa penasaran langsung menggelitik pikirannya.Setelah memastikan Ryan masih tertidur lelap di kamar, Silva memutuskan untuk memeriksa hal itu sendiri. Ia mengambil tes kehamilan yang sudah ia simpan sejak satu bulan yang lalu. Tangannya sedikit gemetar saat mencelupkan alat itu ke dalam sampel yang ia ambil. Beberapa menit menunggu terasa seperti seabad baginya. Ketika hasil akhirnya keluar, dua garis merah muncul di alat itu, jelas dan nyata. Silva terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kenyataan
Pagi itu, Tuan Wijaya melangkah masuk ke ruang kerja Dirga dengan langkah yang terasa berat. Pria paruh baya itu membawa beban yang begitu besar di pundaknya. Wajahnya yang biasanya penuh dengan wibawa kini tampak suram. Dirga yang sedang memeriksa dokumen di mejanya itu dibuat terganggu dengan kehadiran sekretarisnya yang memberi kabar jika ada tamu yang ingin bertemu dengan Dirga di luar. Awalnya Dirga sedikit ragu namun akhirnya ia mengizinkan tamu tersebut untuk masuk.Saat suara ketukan pintu terdengar Dirga pun langsung mengangkat kepala ketika melihat tamunya. "Tuan Wijaya?" tanyanya, setengah terkejut. Tamu ini adalah seseorang yang jarang sekali mau menemui orang lain terlebih dahulu. "Silakan duduk," sambung Dirga sembari mengisyaratkan kursi di depannya. Tuan Wijaya tersenyum tipis, lebih seperti usaha untuk menyembunyikan rasa malunya.Setelah duduk, Tuan Wijaya langsung membuka pembicaraan tanpa basa-basi. "Dirga, aku datang ke sini bukan hanya sebagai pemimpin perusaha
Adrian duduk di kursi kantornya dengan wajah yang penuh emosi. Berkas-berkas laporan keuangan yang berserakan di mejanya menjadi bukti nyata kehancuran yang tengah melanda perusahaannya. Sementara itu, Tuan Wijaya, ayah Adrian, tampak berdiri di depan jendela besar ruangan tersebut dengan wajah penuh kekhawatiran. “Adrian, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa para investor kita tiba-tiba menarik diri tanpa alasan yang jelas?” tanyanya dengan nada tajam. Adrian hanya menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. “Aku sedang mencoba mencari tahu, Ayah. Tapi ini semua terjadi begitu cepat. Aku yakin ini bukan kebetulan,” jawabnya dengan suara rendah namun penuh amarah.Adrian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perusahaan mereka, yang selama ini berdiri kokoh, kini berada di ambang kehancuran. Salah satu manajer keuangan masuk ke ruangan dengan raut wajah cemas, membawa kabar yang semakin memperburuk suasana. “Pak Adrian, maaf mengganggu. Kami baru saja menerima kabar bahwa bebera
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan suasana pesta perlahan mereda, Ryan dan Silva akhirnya masuk ke kamar yang telah disiapkan khusus untuk mereka. Kamar itu begitu hangat, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan bunga mawar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Silva berjalan pelan, matanya menyapu setiap sudut kamar dengan ragu-ragu. Gaun pengantinnya masih dikenakan, membuatnya terlihat seperti sosok putri di negeri dongeng. Sementara itu, Ryan berdiri di dekat pintu, memandangi istrinya dengan senyum kecil yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," bisik Ryan, membuat wajah Silva memerah.Silva memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Kamu terlalu sering memujiku hari ini," jawabnya pelan. Ryan melangkah mendekat, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi dekat tempat tidur. "Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat," balasnya sambil menatap Silva dengan lembut. Malam itu terasa begitu berbeda, ada kehangatan yang me
Pagi itu, udara terasa segar di villa yang terletak di daerah pegunungan. Silva sedang duduk di depan meja rias dengan wajah yang dihiasi senyum tipis. Di belakangnya, seorang perias sedang sibuk menyempurnakan make-up-nya. Gaun pengantin berwarna putih dengan detail renda yang indah tergantung di dekat jendela, memantulkan sinar matahari pagi. Silva menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Nona, Sepertinya kau terlihat sangat gugup. Cobalah untuk menenangkan diri. Sebuah pernikahan itu memang mendebarkan." Ucapnya.Silva tersenyum kikuk. "Aku tak tahu rasanya akan sungguh segugup ini. Supercar dari kebun kupu-kupu yang saat ini berterbangan dalam perutku." Jawabnya yang langsung membuat penata rias tersebut tertawa. "Dulu saat aku menikah, aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang gak nona rasakan. Jantungku bahkan berdegup tak karuan, tubuhku panas dingin dan keringat dingin keluar dari pori-pori wajahku. Tapi satu hal yang membuatku ban
Begitu orang tua Adrian meninggalkan rumah, suasana di ruang tamu keluarga Silva terasa sangat tegang. Ayah Silva menyandarkan tubuhnya di sofa, mencoba menenangkan diri, sementara ibu Silva tampak mondar-mandir dengan ekspresi cemas. "Mereka benar-benar tidak menyerah, yah? Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa tadi," ucap ibu Silva dengan nada bergetar. Ayah Silva menghela napas panjang, mencoba meredam amarah yang sejak tadi ia tahan. Kekhawatirannya terpusat pada Silva. Ia tak ingin Adrian nekat pada anaknya itu yang membuat Silva berada dalam masalah."Aku akan menelepon Ryan. Dia harus tahu tentang ini," katanya sambil mengambil ponselnya dari meja. Ibu Silva berhenti sejenak, menatap suaminya dengan mata penuh kekhawatiran. "Kamu yakin mas kita perlu melibatkan Ryan? Aku tidak ingin masalah ini semakin besar, apalagi Ryan dan anak kita akan segera menikah." ucapnya ragu. "Justru karena ini semakin serius, kita perlu memberitahunya, apalagi perihal Adrian ini Ryan juga sud
Pagi itu, meja makan keluarga Adrian diisi suasana yang berbeda. Biasanya, sarapan mereka dipenuhi dengan obrolan ringan tentang pekerjaan atau rencana hari itu, tapi kali ini topiknya berpusat pada satu nama: Silva. Adrian duduk dengan raut wajah serius, tatapannya kosong saat menyendok sarapannya. Ibunya, yang duduk di sebelahnya, memecah keheningan. "Adrian, mungkin kita harus mencoba cara lain. Bagaimana kalau kita menemui orang tua Silva langsung?" ucapnya hati-hati, berharap tidak memancing emosi putranya. Adrian berhenti mengunyah, menatap ibunya dengan sedikit ketertarikan. "Ayah sama bunda yakin mereka tahu di mana Silva dan akan memberitahukan pada kita?" tanyanya dingin. Sang ayah, yang duduk di ujung meja, menimpali, "Kalau mereka tidak tahu, siapa lagi yang tahu? Lagipula, mereka pasti tidak akan bisa menutupinya terlalu lama. Lambat laun semua akan terbongkar." Ucap pria paruh baya tersebut.Adrian memandang kedua orang tuanya dengan penuh harap, seolah menemukan sece
Ryan sedang sibuk mengurus semua dokumen dan administrasi yang dibutuhkan untuk mendaftarkan pernikahannya dengan Silva. Ia ingin memastikan semuanya berjalan lancar tanpa hambatan sedikit pun. Meski hari pernikahan itu akan dilaksanakan secara sederhana sesuai permintaan Silva, Ryan tak ingin mengurangi makna dari momen sakral tersebut. Dengan bantuan Dirga yang memastikan keamanan acara dan Amora yang mendampingi Silva dalam setiap persiapannya, Ryan merasa tenang. Ia sangat menghargai dukungan keluarga Dirga, terlebih hubungan Silva dan Amora yang semakin dekat membuat segala sesuatunya terasa lebih ringan.Di tempat lain, Silva baru saja tiba di sebuah butik bersama Amora. Mereka ditemani dua orang penjaga yang ditugaskan oleh Ryan untuk memastikan keamanan Silva. Amora, dengan gaya cerianya, segera menarik tangan Silva ke rak-rak gaun pengantin yang berjejer dengan desain menawan. "Kita harus pilih yang paling cantik! Ryan pasti bakal terpukau melihatmu," ujar Amora sambil terkek