"Aku tidak ingin jadi bonekamu! Tolong lepaskan aku!" teriak safia dengan memukul punggung Manan sebab manan menggendong Safia seperti karung beras."Sudah terlambat Safia seharusnya itu kau pikirkan saat kau menerima untuk menikah denganku," ucap Manan tidak mau mengalah."Kenapa hanya aku saja yang kau salahkan Mas, Kau sendiri tidak bisa menolak, apa bedanya dengan diriku!" teriak Safia."Tentu saja berbeda, Safia! Jika kau menolakku menikah denganmu mereka pun tidak akan menekanku dan menjadikan alasan bahwa Amar butuh figur seorang ibu dan butuh Asimu tanpa status pernikahan Amar tetaplah tetaplah menjadi anakmu karena kamu yang menyusuinya tetapi kondisinya jadi berubah total saat kau memberikan persetujuan pada mereka," ucap Manan"Apa sebenarnya maumu itu? Kalau kau tidak suka padaku tinggal abaikan diriku, kita hidup sendiri-sendiri. Kau hidup dengan duniamu dan aku hidup dengan duniaku dan jangan menyentuhku!" ucap Safia."Siapa kau? Kenapa justru kau yang mengaturku, Kau sa
Manan dengan langkah lebar menghampiri wanita itu ia angkat tubuh yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai itu dan di bawahnya ke dalam kamarnya dan di baringkan di sofa lalu berjalan kembali ke kamar Safia untuk mengambil handuk dan pakaian bersih, sebelum beranjak pergi dari kamar itu ia berdiri di depan kamera tersembunyi. "Apa kau melihat permainanku dengan mantan istrimu? Apa kau puas dengan penderitaannya? Kulakukan hal ini agar kamu tahu bahwa kaulah yang menjadi sumber dari semua yang telah terjadi, kembalilah ke Amerika, jika kau ingin dia bahagia, jika tidak tetaplah di sini dan membantu istrimu yang licik itu," ucapnya lalu pergi meninggalkan kamar Safia berjalan menuju kamarnya sendiri.Setelah sampai ia menghampiri tubuh Safia yang terbaring di sofa, melepaskan pakaian yang basah dan mengeringkan tubuh Safiah dengan handuk lalu menggantikan pakaian bersih kemudian membaringkan di ranjang. "Maaf, maafkan aku, setiap kali melihatmu aku teringat saat itu. aku akan mencob
Manan menatap Safia yang masih terlihat marah dan memunggunginya sambil memasang muka masam padanya hal itu justru terlihat lucu di hadapannya."Kau masih marah padaku?" tanya Manan pada Safia yang membuat wanita itu semakin jengkel.Safia mengusap air matanya yang meleleh di pipinya."Kenapa diam saja dan tidak menjawabku? Apa kau tidak ingin membalasku?" tanyanya sambil duduk di pinggir ranjang."Apa aku bisa membalasmu?" tanya Safia."Ah betul, kau semakin cerdas saja, kau tak mungkin bisa membalasku," ucapnya sambil terkekeh"Dia benar-benar menyebalkan," gumam Safia lirih "Apa kau mengatakan sesuatu? Katakan dengan keras agar aku bisa mendengarnya!" ucap Manan, Safia hanya terdiam."Ayolah! Kau punya mulut, 'kan? Apa aku harus membuat berbicara dan membuka mulutmu yang terkunci itu dengan bibirku ini?" tanyanya.'Safia mengepalkan tangannya. Bisa-bisa ia mengatakan itu setelah ia membuatku seperti ini,' batinnya."Sepertinya kau memang sudah tidak punya tenaga untuk melawanku,
Kenapa kau menatapku seperti itu, aku hanya berbaik hati untuk tidak mengganggumu tidur dan aku pun tahu di mana letaknya. Apa aku salah kalau mengambilkan Amar, dia tidak bisa ambil sendiri. Amar bisa menyusu tanpa harus membangunkanmu tidur."Bangunkan aku akan menyusuinya kau tidak perlu membantu untuk mengambilkannya. Biar aku sendiri saja melakukannya. Apa kau tidak pergi? " tanyanya pada Manan."Bagaimana aku bisa pergi kau seperti ini karena aku, lagi pula Amar juga belum bangun, kalau sudah bangun siapa mau mandiin dia, kalau bukan aku. Sudahlah tidur saja," ucap Manan."Bagaimana aku bisa tidur kalau dari tadi kamu bicara saja," ucap Safia sambil membalikan tubuhnya menunggungi Manan.Lelaki itu duduk di sofa tak lama kemudian terlihat Aman terbangun bayi itu tidak menangis hanya menggerakkan kaki dan tangannya."Hai jagoan Daddy sudah bangun ya. Yuk mandi sama Daddy, Mommy lagi sakit jadi Daddy yang akan memandikannya," ucapnya pada putranya.Lelaki itu melepas pakaian pakai
Safia mengeram, ia begitu jengkel akan jawaban Manan. 'Kenapa laki-laki itu tidak pergi saja.' pikirnya sebab ia sudah berangan- angan akan terhindar dari Manan untuk beberapa saat.Manan duduk di sofa sambil melihat Safia yang meringkuk membelakanginya itu. Ia masih mencari sesuatu yang membuat ia tertarik pada wanita itu. Dalam ketermaguannya handphone berbunyi. Ia pun menerimanya."Ia Citra ada apa?" "Mereka tidak mau menundanya, Pak, jika Anda menolak pertemuan besok maka kita dianggap memutuskan kerjasama secara sepihak, pak dan kita akan mengalami kerugian yang sangat besar," ucap Citra.Katakan di bagian keuangan, juga pengacaraku kita rapat virtual sebentar," ucap Manan lalu menutup sambungan teleponnya."Fi, kau tidak butuh apa-apa, 'kan? Aku mau pergi ke ruang kerjaku dulu karena akan ada rapat virtual hari ini. Jika kau butuh sesuatu katakan sekarang juga atau kau telepon aku nanti! Aku akan datang ke sini," ucap Manan."Tidak," ucap Safia singkat."Benarkah, tidak buang
Safia mendengus kesal, Manan benar-benar tidak bisa membiarkan dia tenang. Setiap hari selalu saja mengajaknya bertengkar.Tak lama kemudian terdengar suara Manan dari luar. "Apa sudah selesai? Aku masuk yaa, Fi.""Belum, pergilah! Aku bisa jalan sendiri dari pada kau mengangguku dari tadi," teriak Safia."Siapa yang menggangu? Aku itu cuma memastikan saja, Fi. Baiklah terserah kau saja," ucap Manan sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dan menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat.Tiga puluh menit kemudian Safia keluar dari kamar mandi, ia sangat terkejut melihat Manan berdiri di depan pintu."Kau masih di sini?" tanyanya sambil melotot ke arah Manan."Kenapa kau melihatku seperti itu? Kayak lihat hantu saja," ucap Manan sambil menyambar tubuh Safia, menggendong dan membawanya ke ranjang tidurnya."Sini Biar Amar Aku taruh di box-nya. Lihatlah kakinya sudah keluar dari ranjang! Bagaimana kalau dia jatuh tadi dan kau lupa menaruhnya di box?" protes Manan."Maaf, Mas," ucapnya s
Manan menutup panggilan telponnya termenung sejenak mempertimbangkan keputusannya apakah sepenuhnya benar. Ia mendesah, menyayangkan apa yang terjadi dulu persahabatan menjadi permusuhan yang tidak ada hentinya. 'Bukan aku yang memulai ini,' batinnya membela diri.Ia menimbang -nimbang keputusannya yang sangat berat, akhirnya ia pun menekan nomor telepon Citra, tak perlu menunggu waktu yang lama panggilan terhubung."Iya ada yang perlu saya bantu?" tanya Citra disambungan teleponnya."Atur pertemuanku dengan HS grup, kembali, aku ingin dua hari ke depan!" perintah Manan pada sekertarisnya. "Baik, Pak," ucap Citra lalu sambung terputus.Ia menghembuskan nafas kasarnya. 'Haruskah aku terlibat lagi dalam hal ini. Sudah tiga tahun yang lalu harusnya ini menjadi hal yang telah usang tetapi justru berimbas pada kehidupanku selanjutnya. Aku menunggu buah hatiku sekian lama begitu dia hadir kau ambil jantung hatiku. Hidupku terasa hampa tetapi aku harus hidup untuk anak kita bukan, Laila, s
Setelah beberapa lama Manan berjibaku dengan pekerjaannya, terhubung dengan berbagai divisi di perusahaan, akhirnya selesai juga ia melihat jam dinding sudah menunjukkan jam satu siang.Ia mengakhiri semua aktivitas yang terhubung dengan kantor, ia berjalan ke kamar dan terlihat Safia tengah melipat mukenanya dan terlihat rambutnya basah.Ia menghela napasnya sudah selama satu bulan lebih semenjak kepergian Laila, dia telah meninggalkan kewajiban sebagai muslim."Apa kau sudah bisa jalan sehingga tidak memanggilku untuk membantumu ke kamar mandi?" tanya Manan."Sudah, Kau tidak perlu mengkhawatirkanku, aku sudah sembuh," ucap Safia tanpa menoleh pada Manan."Aku tidak mengkhawatirkanmu, hanya saja jika kamu belum sembuh aku akan sangat repot membersihkan rumah ini sendiri walaupun banyak peralatan canggih di rumah ini tetap saja perlu dinyalakan seseorang. Aku tidak suka ada orang lain di dalam rumahku jadi aku tidak akan mengambil Art untuk membantu tugasmu sebagai istriku merawat ru
Hari berjalan terus Manan sibuk dengan Lala bahkan tidak memperhatikan anak-anaknya selalu berangkat lebih awal, dan tidak pernah lagi sarapan pagi di rumah, ia lebih suka melakukannya di apartemen Lala. Amar mulai kehilangan sosok sang ayah, berbeda lagi dengan Safia, ia selalu saja menyempatkan dirinya untuk sarapan pagi dengan anak -anaknya dan masih mengantar jemput mereka. Akan tetapi Amar merasa sangat tidak suka saat Safia bersama lelaki lain saat menjemputnya bersama sang adik. Namun, Amar tidak bisa memprotesnya sebab sang mama bilang mereka baru meninjau bersama dan sekalian menjemput mereka. Sesampainya di atar di rumah, Safia kembali ke kantor bersama pria itu sedangkan Amar dan Erina berada di rumah dengan Ira sang asisten rumah tangga. Amar menatap mobil yang keluar dari pintu gerbang rumahnya lalu mengajaknya sang adik masuk ke dalam sambil berfikir bagaimana cara agar orang tuanya tahu, bahwa ia dan adiknya membutuhkan mereka berdua. Sampai di dalam mereka disa
Safia dengan tergesa-gesa berjalan menaiki tangga menuju kamar Sang Putri, Ia pun berhenti beberapa saat untuk menetralkan kemarahannya pada Manan yang entah kenapa bersikap sinis padanya. ia menghembuskan nafas beratnya lalu tersenyum kemudian berjalan masuk ke dalam kamar yang putri terlihat wajah lelaki yang duduk di bibir ranjang menemani sang adik yang belum tidur sana menunggu papanya untuk menemaninya tidur. "Mana Papa? Kenapa Mama kembali ke sini sendirian?" tanya Amar "Papa masih harus menyelesaikan pekerjaannya dia akan menyusul kemari, nanti setelah pekerjaannya selesai dan kamu Amar, Pergilah tidur di kamar tidurmu biar mama yang akan menemani adikmu sampai bapakmu kemari," perintah Safia. "Mama mengusir Amar?" tanya bocah lelaki itu. "Tidak, hanya besok kamu harus sekolah, jadi lebih kamu beristirahat di kamarmu sendiri lagi pulang adiknya masih sakit kan takutnya kamu juga akan terkena virusnya lalu ikut sakit yang repot siapa kan Mama juga," ucap Safiah. "Oh
Safia menatap kepergian Manan dengan hati galau. 'Apa ini benar, andai pun terjadi masalah antara aku dan Manan harusnya aku tidak boleh mempunyai ketertarikan dengan pria lain hingga masalah rumah tanggaku beres, tetapi lelaki yang memenjarakan dirinya dalam hubungan pernikahan hanya mau melepaskanku saat ada seseorang pria yang mampu menyentuh hatiku dan saat ini pria itu hadir, Namun kenapa aku merasa Mas Manan tidak sungguh-sungguh untuk melepaskanku. Meski tak ada rasa cinta dari sebuah hubungan pernikahan, tetaplah salah jika membina hubungan dengan pria lain di atas pernikahan yang rapuh.' batinnya sedih ia menatap putra sambungnya dan tersenyum berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. "Apa Mama baik-baik saja?" tanya Amar pada Safia. "Mama baik-baik saja sayang, jangan cemas tidak ada sesuatu yang di perdebatkan dengan papa, kami hanya mitra kerja, jangan terlalu berfikir yang belum saatnya kamu pikirkan," ucap Safia pada Amar. "Aku hanya ingin selalu bersama kalian,
Saya yang minta maaf, karena menyentuhmu, saya tunggu di ruang tamu," ucap Manan berjalan keluar dari kamar Lala sambil merapikan pakaiannya. Lala menghebuskan napas. 'Liar juga si Bapak punya anak dua itu,' gumamnya dalam hati. sambil melihat bercak merah di leher dan dada. ia pun mengambil pakaian di dalam lemari dan memakainya lalu berjalan keluar menuju ruang tamu untuk menemui Manan. "Hemm ... Bapak mau minum apa?" tanya Lala menghilangkan kecanggungannya terhadap pria itu. "Tidak usah repot-repot, kamu duduk di sini dengan saya saja, sebenarnya saya ingin meminta maaf padamu tetang perbuatan Amar padamu, malah jadi berlaku tidak senonoh, mestinya kamu menampar saya," jawab Manan. "Saya yang salah, keluar hanya memakai handuk saja, jadi maaf bukan maksud saya untuk menggoda Anda. "Tidak, saya merasa kamu tidak menggoda saya wajar saja karena saya tidak memberi tahumu sebelumnya kalau saya datang. Justru saya minta maaf atas kelancangannya saya, Saya jamin tidak akan ter
"Bagaimana?" tanya Aran saat Safia telah tiba di ruang tamu. "Hem gak tahu, kayaknya di sekolah ada masalah sehingga seperti itu," jawab Safia pada lelaki itu. "Oke, karena anakmu sudah pulang aku pulang saja, takut menganggu quali time kamu saja," pamit Aran. "Oh ya, maaf penyambutan putraku yang mungkin membuat kamu tidak enak hati," ucap Safia pada pria itu. "Tidak apa-apa, jangan lupa besok pagi-pagi kita harus sudah sampai ke lokasi proyek, jika mobilmu masih di perbaiki maka nanti akan kujemput, bagaimana?" tanya pria itu pada Safia. "Tidak usah aku mau ke kantor dulu," ucap Safia. "Iya, di kantor maksudku," ucap Aran pada Safia. "Baiklah terserah Anda saja," ucap Safia tersipu dan Aran menggangguk sopan lalu pria itu pun keluar dari ruang tamu menuju mobilnya dan masuk serta mengemudikannya berjalan melewati gerbang rumah Manan. Safia menatap mobil itu hingga pergi menjauh. Ia menggelengkan kepalanya menepikan rasa yang ada dalam dirinya. Ia berjalan masuk kem
Taksi membawa Manan dan putranya pulang ke rumah, tadi dia berniat untuk pulang tetapi ia berfikir untuk meminta maaf secara langsung pada Lala. Ditengah perjalanan ia pun berubah pikiran. "Hem, sepertinyq Papa hanya bisa mengantarkanmu sampai pintu gerbang karena Sekertarisnya Papa, mbak Citra mengingatkan papa kalau jam satu akan ada rapat," jelas Manan pada sang putra. "Baiklah terserah Papa, dari tadi kan Amar ingin pulang sendiri, Papa saja yang memaksa untuk mengantarku pulang," jawab Amar pada Manan dengan ketusnya. Bocah lelaki itu menduga pasti sang ayah akan menemui Tante-tante yang menjemputnya tadi untuk miminta maaf. Manan menatap putra dengan lekat sambil menghelah napas. Taksi pun berhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya dan Amar pun turun sendiri tanpa sang ayah, menutup dengan keras dan berjalan tanpa menengok ke arah ayahnya. "Marah anaknya, Pak?" tanya sang sopir taksi dan Manan hanya tertawa lalu memberi tahukan alamat mana yang harus dituju dan tak
"Papa, membela Tante itu?" tanyanya pada sang papa. "Bukan membela, kalau sikapmu seperti itu, mungkin tadi papa tidak meminta tolong padanya. Papa akan Andi untuk menjemputmu. "kenapa tidak menyuruh paman Andi," tanya sambil memakan makanannya. "Oke Papa yang salah dan papa kira anak Papa bisa sopan terhadap teman Papa ternyata Papa salah anak Papa tidak sesopan yang papa harapkan," ucap Manan. Didalam kemasan itu pun disediakan pula alat pemecah cangkang dan Manan membantu memecahkan kulit cangkang makanan milik Amar. "Ya Amar minta maaf kan semua terjadi karena Amar gak sengaja membuat pakaian Tante kotor," ucap Amar tanpa merasa bersalah pada wanita itu. Manan tak lagi berbicara karena berbicara dengannya saat ini akan percuma saja karena anak itu pasti mengira dirinya ada hubungan Lala Manan menghelah napas dan menatap putranya dengan kecewa karena membuat pujaan hatinya terlihat buruk, mungkin Lala tadi juga dapat cemoohan dari karyawan yang tak sengaja berpapasan
"Ia menghembuskan nafasnya. 'Hemm ... anak kecil lihat aku menjadi pusat perhatian dan gunjingan mereka padahal ini baru mulai bagaimana nanti selanjutnya apa harus mundur, Aaahhh ... tidak, aku tidak boleh mundur walaupun apa yang terjadi.' Pintu lift terbuka Lala pun belum beranjak dari tempatnya berdiri, ia masih menatap pakaiannya yang sangat kotor. "Tante selanjutnya kita kemana?" tanya Amar sambil mengulum senyum samar ia sangat puas telah mengerjai wanita itu. 'jangan pikir muda untuk dapatkan Papa, hadapi anaknya dulu,' pikir Amar sambil menunggu jawaban dari Lala. "Ahh ... iya ayo keluar," ajak Lala saat tersadar kalau dia harus mengantar Amar sampai di kantor ayahnya dan ia sudah mengirim foto pada pria itu tetang pesanan makanan anaknya yang begitu banyak. Mereka berjalan menuju kantor Manan, Lala sangat beruntung di lantai ini hanya ada ruangan Manan dan Asistennya. Hingga sampai akhirnya mereka sampai di ruangan itu dan Lala mengetuk pintunya terbuka lalu Manan m
"Aku kenyang, Tante karena Tante cemberut," protes Amar. Lala duduk dengan memijit kepalanya sambil melirik bocah yang duduk tertunduk kepalanya itu. Ia menghela napas lalu berkata lagi," pesanlah kepiting lalu makanlah!" Wanita memecahkan cangkang kepiting dengan alat pemecah cangkang lalu menyuapkan dagingnya ke dalam mulutnya. "Baiklah aku akan coba beberapa porsi yang gak pedas," ucap anak itu sampai membuat Lala hampir tersedak. "Anak tampan pesan satu porsi saja dan makanlah, Oke, pesan yang biasa kamu makan dengan ayahmu, mengerti anak manis?" ucap Lala sambil menekan rasa jengkelnya yang sudah sampai ubun-ubun. "Baiklah aku hanya pesan satu porsi saja dan memakannya karena aku takut Tante kehabisan dan di suru cuci piring!" ucap amar tersenyum sambil memanggil pelayan. Tak berapa lama pelayan pun datang Amar mulai memesan makanan yang biasa di makannya dan dia juga memesan es krim coklat kesukaannya satu gelas besar. Beberapa saat kemudian pelayan kembali dengan