Pagi hari di kediaman Fariz, lelaki itu tampak panik karena Nesya mendadak demam tinggi, apalagi Nesya terus berteriak histeris saat dirinya hendak mendekat. Sepertinya Nesya trauma dengan apa yang diperbuat Fariz kemarin malam.
“Pergi Kak! Jangan sentuh aku!” ujar Nesya dengan suara parau, tubuhnya bergetar saat Fariz sudah duduk di tepi ranjang, seperti biasa, tak ada senyuman yang tampak di wajah rupawan itu.
Fariz hanya diam, namun tangannya bergerak untuk mendudukkan Nesya meski gadis itu terus memukul dadanya.
“Makan!!” ucap Fariz datar.
“Nggak mau! Aku mau makan kalau sama kak Abi,” jawab Nesya seraya menautkan jari jemarinya.
“Lihat aku!” Fariz menangkup pipi Nesya, lelaki itu terlihat menggeratkan giginya.
“Kurang baik apalagi diriku hah? Jika saja aku tidak mengenal kalian, mungkin saja kakak sialanmu itu sudah mendekam di balik jeruji besi. Dan kamu, aku pasti tidak akan segan-segan untuk menyiksamu!!” ujar Fariz berapi-api.
Fariz menarik tangannya dari tubuh Nesya, laki-laki itu memberikan ponselnya yang sudah terhubung dengan Abi pada istrinya. Seketika dia terperanjat saat Nesya berteriak sambil memanggil nama yang membuat darahnya mendidih. Namun, sebisa mungkin Fariz mengontrol dirinya agar tidak berbuat sesuatu saat ini. “Mereka siapa, Kak?” tangan Nesya menunjuk dua lagi-lagi bertubuh kekar yang berdiri di belakang kakaknya. “Bukan siapa-siapa, apa yang terjadi? Kenapa kamu berada di rumah sakit hmm??” Abi mengalihkan pembicaraan, ia tidak ingin memberi tahu Nesya bahwa mereka adalah orang suruhan Fariz yang ditugaskan untuk mengawasinya, bahkan sesekali menyiksanya jika Nesya membuat Fariz murka. “Aku hanya demam biasa Kak,” Nesya tersenyum, namun hati kecilnya menjerit, ingin rasanya dia berteriak mengatakan bahwa dia ingin pulang. “Waktunya sudah habis!” Fariz langsung menyambar ponselnya dan memutuskan panggilan itu. “Apa-apaan? Belum ada lima menit!” p
Pagi harinya, kondisi Nesya sudah mulai stabil. Dia juga sudah siap untuk pergi ke sekolah, kebetulan hari ini dia mendapat giliran piket membuatnya harus berangkat lebih pagi. Seperti biasa, dia pergi dengan berjalan kaki tanpa membawa uang serupiah pun. Tanpa bekal makanan ataupun minuman, Fariz benar-benar membuat Nesya tersiksa. Dengan langkah sedikit berlari, akhirnya Nesya sampai di sekolah, menatap di sekeliling, rupanya hanya dirinya yang berada di sekolah itu.“Ah sudahlah, mending aku mulai bersih-bersih,” gumam Nesya, tangannya mulai menyapu di setiap sisi.Terdengar langkah kaki yang kian mendekat, bersamaan dengan tawa nyaring yang menggema di area itu, Nesya sudah tahu jika mereka adalah Tika dan kawan-kawannya. Mereka dikenal sebagai gadis pembuat onar, sering menghina atau merendahkan orang yang dirasa lebih rendah darinya, entah karena status sosial ataupun penampilannya.“Jadi ini yang namanya Nesya? Si gadis centil sok cantik
“Apa yang kamu rasakan?” tanya Fariz saat melihat Nesya sudah terbangun, manik elang itu seakan menusuk jantung Nesya yang belum sadar sepenuhnya.“K-kakak..” seraya menahan rasa pusing yang menerjang kepalanya, tubuh mungil itu meringsek ke dada bidang Fariz, dia menangis tersedu-sedu mengingat kejadian yang dialaminya beberapa jam yang lalu.Fariz bergeming, tidak menolak dan juga tidak membalas. Laki-laki itu bisa merasakan kausnya yang basah karena air mata Nesya, namun seketika tangannya menghempas tubuh Nesya hingga terlentang di tempat tidur.“Katakan! Sejak kapan kamu meminumnya!” sentak Fariz seraya melempar beberapa pil kontrasepsi ke wajah Nesya. Rupanya sebelum Nesya sadar, Fariz sempat memeriksa tas istrinya, dan betapa terkejutnya saat di menemukan sesuatu yang bisa menjadi penghalang rencananya.“A-aku,” Nesya gelagapan, dia benar-benar takut melihat Fariz yang tengah diselimuti kemurkaan. Ing
Pagi ini, Nesya berangkat ke sekolah dengan perasaan senang. Berulang kali ia mengulum senyum sambil sesekali melirik pria tampan di sebelahnya. Entah ketempelan jin atau setan mana, Fariz tiba-tiba menyuruh Nesya untuk masuk mobil. Meskipun terkesan karena keterpaksaan, namun bagi Nesya tidak apa-apa.“Pulang sekolah jangan keluyuran! Ini uang jajan untuk seminggu, jangan makan sembarangan, aku tidak mau melihatmu merintih kesakitan, sangat merepotkan!” ujarnya seraya melempar selembar uang berwarna merah pada Nesya.Mengangguk dengan mata berbinar-binar, kalimat yang keluar dari bibir suaminya, berhasil membuatnya terbang melayang. Entah ini namanya perhatian atau apalah, Nesya tidak peduli, ia tidak ingin merusak suasana hatinya karena berasumsi yang tidak-tidak.Selepas kepergian Fariz, Nesya melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah yang menjulang tinggi itu. Tiba-tiba dia terkesiap saat sebuah tepukan mendarat di bahunya, dilihatnya seorang
“Sya, pulang bareng yuk!” Fabian menepuk jok belakang motornya, dengan senyum penuh harap, dia menatap gadis manis itu yang setiap hari mengusik hatinya.“Ogah!” Nesya menolak mentah-mentah, dia kembali teringat dengan peristiwa menyebalkan saat dirinya bersama Fabian.“Kenapa? Ayo lah... Kali ini aja kok.” bujuk Fabian, dia tidak akan menyerah sebelum Nesya mengatakan iya. Pemuda itu tidak tahu bahwa Nesya sedang berusaha menghindar karena ancaman Fariz beberapa waktu yang lalu.“Ish.. Kalau aku bilang nggak ya enggak!” jawab Nesya ketus, lama-lama dia jengkel harus menghadapi dua lelaki yang tidak ada beresnya. Yang satu tukang ancam, dan yang satunya lagi pemaksa.“Dih galak amat. Buruan naik, udah mau hujan loh,” tangannya menunjuk ke arah langit, memang benar jika sebentar lagi akan turun hujan.Nesya menghela nafas, dia pun mengiyakan permintaan Fabian membuat lelaki itu senang bukan
Nesya langsung menutup mulutnya rapat-rapat, matanya sesekali mencuri-curi pandang pada Fariz yang terlihat sangat murka, apalagi setelah menyadari perbuatannya. Masih di tempat yang sama yakni parkiran, pikiran Nesya mulai melayang, memikirkan sesuatu yang akan terjadi setelah ini.“Masuk!” Nesya tersentak, saat tubuhnya didorong dengan kasar, belum lagi pintu mobil yang dibanting membuat jantungnya hampir copot.“Kak, tadi itu Fabian cuma ngajak aku makan,” Nesya memberanikan diri untuk berbicara pada singa jantan yang sedang mengemudi.Fariz tak menanggapi ucapan Nesya, pria itu terlihat mencengkeram kemudi karena saking kesalnya dengan Nesya, bisa-bisanya gadis itu malah membela Fabian disaat Fariz tengah marah.“Kak..” mulut mungil menggemaskan itu seolah belum puas mengoceh sebelum mendapat respons dari Fariz.“Apa kamu nggak bisa diam hah?” Fariz menepikan mobilnya, dia langsung mencengkeram pi
“Kak hentikan!”Suara erangan dan desahan memenuhi seisi kamar mewah itu, sore hari di kediaman Fariz dilalui dengan pergulatan panas dengan lawan yang tak sebanding, seorang gadis belia harus mengimbangi permainan pria dewasa, suaminya. Berulang kali Nesya memohon agar Fariz menyudahi aktivitasnya, namun pria itu seakan menghilangkan pendengarannya.“Aku mohon, Kak. Berhenti!” lirih Nesya seraya menggenggam erat sprei berwarna putih itu. Bahkan lututnya hampir copot karena kegiatannya yang sudah dilakukan berjam-jam tanpa jeda, gadis itu kelelahan, namun berbeda dengan Fariz yang tampak puas karena bisa menyalurkan hasratnya.Nesya terjebak dengan manusia licik itu, Fariz tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan untuk menyiksa Nesya yang tentunya menguntungkan dirinya. Saat Nesya memilih akan mengerjakan pekerjaan rumah tanpa makan, namun Fariz justru membalikkan keadaan. Dia memaksa Nesya agar membawanya terbang menuju surga dunia, tak p
Keesokan harinya, Nesya berjalan mengendap-endap menuju pintu utama. Gadis itu sudah membulatkan tekadnya untuk pergi dari neraka ini, jam masih menunjukkan pukul 04.00 pagi, tidak banyak yang dia bawa. Nesya hanya membawa dompet kecil yang ia selipkan di sakunya. Fariz pun tidak tahu menahu mengenai rencana kabur perdana itu, dengan tenangnya dia tertidur tanpa tahu bahwa Nesya sudah berhasil lolos dari gerbang yang menjulang tinggi itu.“Ayo Nesya, kamu pasti bisa!” Nesya berlari dengan langkah yang terseok-seok, ia masih merasakan nyeri di area intinya akibat ulah Fariz kemarin.Setelah dirasa cukup jauh, Nesya mulai memperlambat langkahnya, matanya melirik kesana ke mari. Sepi, hanya itu yang dilihat Nesya, namun dia tetap berusaha tenang, menyingkirkan rasa takutnya yang malah datang di saat yang tidak tepat.Mendekati area pasar, dimana sudah banyak orang-orang yang berlalu lalang. Nesya baru busa bernafas lega, meskipun dia tidak tahu posisiny
“Kau salah paham Kak, bukan Kak Abi yang membunuhku, dia ingin menyelamatkan Amel, namun sudah terlambat.” Lirih seorang gadis berambut panjang dengan pakaian serba putih.“Aku melihatnya, ya aku melihat Kak Abi menghampiriku, dia memangku kepalaku sebelum semua menjadi gelap.” Bibirnya yang pucat tersenyum, seolah menyesal karena dulu pernah menyia-nyiakan lelaki baik seperti Abi.“Tapi kakak? Kakak malah menyiksa Nesya! Bukankah dulu kau berjanji akan menjaganya seperti kau menjagaku? Tapi kenapa kau melakukan itu? Membuatnya hancur dan kini dia sedang mengandung anakmu! Baj*ngan!” kini mimik wajah yang awalnya sendu menjadi menyeramkan.“Aku benci Kakak! Kau iblis! Kau bukanlah Fariz kakakku!”“AMEL..!!” Fariz melebarkan netranya, masih mengatur nafasnya yang terengah-engah, dengan segera dia menyambar segelas air mineral yang terletak di nakas.“Mimpi itu lagi, kenapa hampir tiap
“BABIan!!” teriak mereka serempak seraya melambaikan tangannya kecuali satu pemuda yang tampak tidak peduli dengan kedatangan Nesya dan Fabian.“Damn! Mereka benar-benar,” Fabian memijit keningnya, entah kenapa dia bisa memiliki sepupu gila seperti itu.Nesya terkekeh geli mendengar teriakan dua sepupu sahabatnya itu.“Dasar tidak waras, namaku Fabian bukan Babian!” lelaki itu memukul kepala pemuda yang bernama Rey dan menjewer telinga adiknya yang bernama Baby.“Awwh lepas! Bang Ray!! Tolongin Baby,” gadis itu meronta, meminta agar Fabian berhenti menarik telinganya yang sudah memerah akibat ulahnya.“Itu akibatnya karena sudah tidak sopan denganku!” Fabian menjitak kening Baby membuat gadis itu meringis.“Dia siapa?” Ray yang sedari tadi diam menghampiri mereka.“Dia sahabatku. Nesya, kamu masuk sama Baby, aku ingin berbicara dengan dua manusia aneh ini!&r
Seorang gadis tampak sedang mencicipi rujak ala-ala dari seorang Radit, sementara lelaki itu tampak harap-harap cemas, semoga saja tak ada komentar yang nanti menyusahkan dirinya.“Kenapa rasanya seperti ini?” Nesya memuntahkan rujak itu, matanya mendelik tajam menatap sahabat sekaligus tangan kanan suaminya.“Memangnya seperti apa?” jawab Radit ketus, dia seolah sedang menjalani simulasi menjadi suami siaga dan pengertian, namun nyatanya ia tak kuat.Namun gadis itu hanya diam dengan tangan bersedekap, bibirnya bergetar, mungkin sebentar lagi dia akan menangis.“Jangan menangis, kau mau apa?” Radit mencoba menahan emosinya, dia menatap pipi gadis itu yang sudah basah.“Tidak ada, aku hanya ingin sendiri.”“Baiklah, aku akan pergi, karena suamimu saat ini sedang sakit,” ujar Fariz seraya melangkahkan kakinya ke luar rumah.Nesya terkejut, namun beberapa saat kemudian dia ters
“Bagaimana?” Seorang lelaki tampan menatap bawahannya yang menunduk, sudah dipastikan bahwa tidak ada kabar baik yang akan keluar dari bibir yang masih setia mengatup itu.“Maaf, Nona belum ditemukan,” jawab Radit ragu, dia merasa iba melihat Tuannya yang kini kurus, lingkaran hitam di bawah mata menandakan bahwa Fariz selama ini tidak bisa beristirahat dengan tenang.“Lalu bagaimana dengan anakku? Gadis itu kini mengandung darah dagingku, bagaimana jika perkembangannya buruk karena tidak mendapat nutrisi yang baik?” Sentak Fariz, sejak mengetahui bahwa Nesya mengandung, entah kenapa rasa dendamnya perlahan sirna, mungkinkah kehadiran malaikat kecil itu mampu memperbaiki hubungan yang nyaris berantakan itu?Radit mengepalkan tangannya, ingin sekali dia berteriak bahwa tidak perlu khawatir tentang pola makan Nesya, bahkan gadis itu dirawat dengan baik oleh lelaki itu. Namun dia juga tidak tega pada Nesya, melihat gadis itu baha
Sang surya mulai menampakkan sinarnya, namun seorang calon ibu muda masih betah bergelung di bawah selimut mengabaikan seorang laki-laki tampan yang sedari tadi menggerutu. “Jika saja dia tidak sedang hamil, mungkin aku sudah menendangnya dari sini!”“Hei, jangan mengumpatku atau nanti aku putuskan lehermu!” gumam Nesya dengan suara serak, tanpa merasa bersalah sedikit pun karena semalaman menyusahkan Radit.Lelaki itu berdesis, jika bukan karena Nesya yang merengek minta ditemani dengan alasan takut sendiri, Radit pasti sudah kembali ke apartemennya dan bisa beristirahat dengan tenang tanpa ada gangguan. Kini laki-laki itu harus menahan sakit dan pegal di sekujur tubuhnya karena harus tidur dengan posisi duduk ataupun di lantai.“Nesya, bangunlah. Sudah pagi, itu susu dan sarapanmu, aku pergi dulu,” ujarnya saat hendak keluar dari kamar Nesya.“Tunggu!” Nesya langsung menyingkap selimut dan melihat Radit ya
“Apa kakak akan pergi?” Nesya bertanya pada Radit yang sudah hendak keluar dari rumah itu.“Iya, aku akan mengatakan pada Tuan kalau aku tidak bis menemukanmu.” Radit tersenyum kecut, dia sudah membayangkan dirinya akan menjadi samsak hidup saat sudah berhadapan dengan Fariz.“Kenapa wajahmu seperti itu? Apa kamu tidak rela membantuku?” Nesya melotot tajam seraya berkacak pinggang, Radit pun semakin kesal, apa mungkin karena hidup berdampingan dengan Fariz membuat Nesya menyebalkan seperti ini.“Tapi...” raut wajah Nesya mendadak sedih, dengan bibir yang ditekuk, gadis itu ragu untuk mengutarakan maksudnya.“Apa?” lelaki tampan itu mengangkat sebelah alisnya, meski jujur dia sudah lelah menghadapi Nesya yang sedari tadi menyusahkannya.“Bisakah kakak tinggal di sini?? Aku takut jika berada di rumah sendirian, dan kenapa kakak membuat rumah seperti di hutan begini?” Nesya menata
Jika Nesya kini sedang berdebat perihal roti dengan anak buahnya, berbeda dengan Fariz yang dilanda kebingungan memilih istri atau perempuan yang dicintainya, di satu sisi dia ingat bahwa dia sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah, tapi di sisi lain, ada perempuan yang kini datang menagih janjinya.“Bukankah dulu kamu berjanji jika suatu saat nanti aku sudah sukses, maka kita akan menikah. Apa kamu masih mencintaiku seperti dulu?”Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Fariz, bohong jika Fariz sudah melupakan cintanya pada gadis berparas ayu itu, selain berpendidikan tinggi, gadis yang bernama Clara itu juga kini sudah berhasil menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang model. Tapi janji tetaplah janji, Fariz mengira jika Clara sudah melupakan janji itu, janji di mana jika Clara sudah sukses, barulah mereka melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Memang berat rasanya saat Fariz membiarkan orang terkasihnya untuk mengej
Hanya bisa menghela nafas karena harus mendengar tangisan beserta curhatan hati seorang istri dari bosnya. Namun seketika Radit panik bukan main saat tiba-tiba Nesya tak sadarkan diri, beberapa kali dia menepuk pipi gadis itu, hingga akhirnya pria itu yakin bahwa Nesya benar-benar pingsan dan membawanya ke klinik terdekat.“Apa??” Radit membulatkan matanya tak percaya, sesekali dia melirik Nesya dengan atribut sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Pria itu terkejut saat mendengarkan penjelasan dokter yang menangani Nesya.‘Hamil? Apa mereka melakukan atas dasar suka sama suka? Atau ini memang skenario Tuan Fariz?’ Pria yang dikenal sebagai tangan kanan Fariz itu tampak berpikir, ia bahkan tidak sadar bahwa Nesya sudah tidak berada di sana.“Maaf Mas, apa Anda tidak ingin menyusul istri Anda??”“Istri?” Radit mengernyitkan dahinya, bagaimana bisa dia dikatakan mempunyai istri jika menikah saja belum. Namun
“Kenapa ha? Kenapa??” Fabian menatap Nesya dengan tatapan yang susah diartikan, jelas dia kecewa saat mengetahui jika sahabatnya hamil yang ia pikir masih lajang. Harapannya untuk menjadi pasangan Nesya seketika sirna.“A-aku..” Nesya tak mampu melanjutkan ucapannya, gadis itu masih terus menangis. Dia bingung antara harus senang atau sedih.“Ceritakan semuanya, bukankah kita sahabat?” pemuda itu mulai bisa mengendalikan egonya, besar rasa kecewanya namun tak bisa mengalahkan rasa cinta yang sudah tertanam rapi di hatinya pada gadis cantik itu, Fabian merengkuh tubuh mungil yang sedang rapuh tersebut, mendekapnya dalam kenyamanan, membiarkan calon ibu muda itu menumpahkan kesedihannya.Dengan berderai air mata, Nesya menceritakan semuanya, sebuah untaian kalimat yang di dalamnya mengandung makna yang mendalam, menggambarkan betapa tertekannya Nesya selama ini. Isak tangis yang terdengar memilukan, bagaikan ribuan panah yang me