Rasa sakit di badan sirna saat mendengar suara tangisan bayi yang baru saja aku lahiran. Aku terisak dalam tangis bahagia, sementara Alan yang sedari tadi menemani di sampingku mengelus rambutku halus, dia tersenyum ikut bahagia.
Tangisnya kencang, setelah bayiku dimandikan dan rapi, Alan mengazaninya. Aku melirik ke arah bayiku, walau dalam posisi agak jauh jelas terlihat dia memiliki hidung ayahnya. Aku seakan melihat potret Lucas saat bayi ketika bayi itu berada di sampingku. Aku pun pelan-pelan memegang hidungnya gemas.
Baiklah, aku kena jahitan, tidak masalah! Sakit yang kualami belum juga usai tapi setidaknya hati sudah lega jikalau buah hati sudah dapat kusentuh secara langsung. Rasa khawatir yang mendera lenyap dan yang kurasakan adalah bahagia.
"Kamu sudah siapkan nama, Flo?" tanya Alan saat aku sedang berbaring setelah semua rangkaian pengobatan kujalani.
"Sudah. Masalah nama aku menyerahkan sepenuhnya pada ayahnya. Dia lebih berhak, kak."
<Renata lapar di tengah malam, dia menangis minta susu. Aku beranjak dari tempat tidur, dan saat aku duduk Lucas memberikan Renata ke tanganku. Pria itu belum juga pulang rupanya. Aku risih, saat memberi ASI Lucas menatap wajahku lekat-lekat. Untuk apa dia menatapku? Apa hanya untuk menyaksikan seberapa payahnya aku tanpanya. Kurang puas kah dia membuatku seperti ini.Aku tidur di ruang tengah bersama ibu dan Cherry. Hadirnya Lucas di sini malah membuat ruangan makin pengap, karena kontrakan ini tidak luas."Kamu bisa tidur di kamar bareng Alan, di ruang ini semua perempuan," ucapku pada Lucas tanpa menatap wajahnya."Aku ingin berjaga di sini untuk kalian.""Kamu ada di ruangan ini malah bikin suhu ruangan jadi panas, tahu gak?""Di sini panas gara-gara tidak dipasang AC, bukan karena aku ada di sini. Lagipula jika aku temui Alan, aku khawatir Alan mengusirku."Aku tidak menanggapi Lucas, bisa habis waktu istirahatku jika menanggapi orang yang tid
Aku menyisir rambut warna coklat milik Renata. Lalu menguncir rambut tersebut dengan pita warna merah muda kesukaannya. Dia kini sudah berusia empat tahun, berarti sudah sekitar empat tahun pula aku berpisah dengan Lucas.Setelah aku pulih, dan bisa beraktivitas secara mandiri. Aku memilih lebih menjauh lagi dari Lucas supaya bisa fokus membesarkan Renata. Tapi kami punya kesepakatan, setiap hari-hari tertentu akan membawa Renata mengunjungi ayahnya. Yaitu saat hari raya idul Fitri, hari ulang tahun Renata dan hari ulang tahun Lucas.Renata sekurang-kurangnya akan bertemu dengan ayahnya tiga kali dalam satu tahun. Bisa lebih dari tiga kali, contohnya waktu itu saat Lucas sakit, Lucas meminta Renata untuk datang sebagai penghibur hati, katanya.Renata berlari ke sana ke mari saat dirinya sudah merasa cantik hanya karena aku menata rambutnya lebih indah. Dia paling suka pakai gaun warna merah muda seperti sekarang ini jika main di taman. Terkadang, dia akan mem
Lucas menatapku dengan lekat. Entah lah, mungkin dia memberi kode agar aku ikut atau pergi bersamanya, atau ada hal lain yang dia pikirkan. Nafas yang berembus dengan berat, mengartikan bahwa hatinya tidak sedang baik-baik saja. Namun tidak ada satu patah kata pun terucap darinya, membuat jiwaku tidak mempunyai jawaban pasti atas reaksi yang samar-samar dari Lucas. Dia begitu penuh misteri, bahkan setelah berpisah pun aku bisa merasakan bahwa dia memiliki banyak rahasia. Begitu pun dengan aku, lidah terasa kaku meski sekadar bertanya hal apa yang menggangu benaknya selama ini. Lucas kini menatap Renata. "Renata, ibumu pasti ada alasan kenapa dia tidak bisa ikut bersama kita. Dia mungkin sedang sibuk. Kita bisa jalan-jalan bersama bertiga lain kali. Sekarang, kamu pergi berdua dulu sama ayah, Oke?" Renata tidak menjawab, bibirnya bergerak-gerak, dia sering melakukannya jika akan menangis, atau menahan tangis. Renata yang masih balita memeluk kaki Lucas d
Dari kejauhan, aku memantau anakku yang sedang bermain dengan ayahnya setelah acara ulang tahun selesai. Aku menyendok salad buah di tanganku sambil melihat ada gelak tawa antara ayah dan anak yang tidak bisa kudengar karena jarak membatasi pendengaran. Namun aku mampu merasakannya, bahwa saat ini Renata sedang bahagia.Aku melirik arloji, sudah cukup sampai di sini bermain bersamanya. Karena aku tidak ingin ambil resiko kemalaman di jalan. Bisa-bisa, itu dijadikan alasan Lucas untuk mengajak kami menginap di hotel. Pria itu bilang tidak akan berbuat tidak senonoh, mana aku percaya pada seorang pria plin plan seperti dia.Aku menghampiri Lucas dan Renata, dengan terpaksa semua keseruan harus berakhir sore ini dan kami akan menjalani hidup masing-masing seperti biasa, sepulangnya dari tempat ini."Lucas, Renata, ayo kita pulang sekarang! Kalian sudah cukup lama menikmati hari dan harus beristirahat."Renata murung, dia tahu akan menunggu lama lagi un
Aku ketiduran sepulang dari rumah mamahnya Lucas, dan menatap jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Tanganku meraba-raba sekitar karena seingatku aku sedang berbalas pesan dengan supplier bahan baku pembuatan pastry untuk keperluan di Cofee Shop. Tapi nyatanya tidak ketemu walaupun aku sudah berjongkok takut hapeku terjatuh, dan hasilnya nihil hapenya tidak ketemu.Ah, bukan hanya handphone, rupanya Renata yang tadi rebahan di sisiku juga tidak ada. Aku tersenyum sendiri karena tidak ada kemungkinan lain selain handphone-ku diambil Renata.Aku melangkah menuju ruang keluarga, mengedarkan pandangan mencarinya. Ada rambut cokelat yang timbul dibalik sofa dekat jendela. Saat aku hampiri dia sedang duduk di lantai seolah sedang bersembunyi dibalik sofa tersebut. Namun suaranya yang cempreng dan bawel malah membuat persembunyiannya gagal total.Dia tertawa terbahak sambil menatap layar handphone di mana ada wajah ayahnya di situ. Entah apa yang mereka bica
Aku terbangun dini hari. Saat mata ini baru terbuka, sosok yang pertama kali kulihat adalah putriku. Aku tersenyum saat melihat wajah polosnya masih pulas tertidur. Kuusap rambut coklat berkilau miliknya sebelum ragaku memulai aktifitas pagi ini. Luar biasa, gadis kecilku membuat aku bertahan menjalani kisah sunyi. Berdua dengannya terasa indah walaupun terkadang akan tersadar ada hal yang kurang dalam hidupku, yaitu kehadiran sosok suami.Aku mengecek beberapa pesan masuk. Kebanyakan dari GC Alumni teman masa SMA yang setelah aku periksa tidak terlalu penting, gambar-gambar stiker lelucon mendominasi papan pesan itu. Dan ada dua pesan balasan dari Lucas. Ah, dia mau juga membalas pesanku."Selamat pagi, Flora. Maaf semalam aku mengantuk dan tidak sempat membalas. Terimakasih karena sudah peduli padaku. Kamu sama sekali tidak lancang. Aku akhir-akhir ini khawatir pada kesehatan mamahku. Dia murung setiap saat. Tapi Alhamdulilah kamu datang dia lebih segar, kemarin.
Entah mengapa, lirikan tajam dari Lucas mampu merobohkan hatiku. Aku sakit hati, dia tidak berhak atas diriku namun aku diperlakukan seolah tertangkap basah selingkuh. Aku menghela nafas panjang, mengingat pagi tadi kita berbalas pesan dengan perhatian. Dia mendoakan kebaikan untukku, walaupun tidak bisa bersamanya.Perkataan dan tindakannya berlainan. Namun baiklah, akan aku lupakan semua yang dia lakukan barusan. Yang penting hubungan ini masih terjalin baik. Sudah jadi mantan bukan berarti harus musuhan 'kan?Aku menyuguhkan senyum untuknya, tetap santun karena mau bagai Pana pun dia itu ayahnya Renata. "Terimakasih karena kamu sudah menyempatkan diri bertemu Renata di tengah kesibukan. Aku yakin Renata sangat bahagia dapat perhatian dari ayahnya."Renata sedang sibuk dengan boneka besar, dari tadi dia berbicara sendiri dengan boneka dan tidak mendengarkan obrolan kami.Lucas melirik pada Renata yang duduk paling pojok karena harus menyandarkan T
Detak jantung berdegup kencang saat melihat ayahnya Lucas. Aku tidak menyangka akan bertemu dia di sini, karena setahuku dia jarang berada di rumah kalau siang. Tenggorokan seakan tersekat sesuatu, aku tak bisa mengeluarkan suara saat dia menyapaku. Bayangan dia pernah menghinaku saat berbalas pesan dengan Lucas, membuatku terpukul dan tak ingin melihat dirinya lagi.Dia menyuruh Lucas menceraikan aku, dan menghinaku wanita miskin. Aku tidak terima karena aku masih punya cukup uang untuk dijejalkan ke dalam mulutnya. Sayangnya, aku masih tahu sopan santun."Aku mau bertemu mamah, dia memintaku membuat makanan untuknya," ucapku setelah mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Dia ada di dalam," kata Marco dengan suara datar.Aku jarang berinteraksi dengannya, ternyata dari dekat dia lebih menyeramkan. Dan lagi, ada bekas luka yang dalam di lengannya, aku kurang memperhatikannya. Itu seperti luka bekas kecelakaan."Kamu lihatin apa? Kenapa kamu begitu ti
Aku seakan bermimpi, saat membuka mata di pagi hari, dan yang pertama kali aku lihat adalah sosok wanita yang kucinta. Dulu, dia mengisi hati ini kemudian pergi dengan membawa luka. Aku tidak bisa mencegahnya walaupun sudah berusaha menahannya. Dia tidak setuju dengan tawaran yang aku berikan. Tawaran untuk berpoligami. Entahlah, aku merasa tidak ada yang salah waktu itu. Hatiku tetap ada untuknya. Lalu sudah aku katakan berulang kali bahwa menikahi wanita lain hanya sebatas alasan yang mendesak. Bukankah pria mempunyai hak jika mampu? Tapi istriku tidak mau peduli dengan apa pun alasannya. Amanda mantanku, dia kembali setelah cukup lama tidak berjumpa. Dia datang dengan tidak berdaya, sakit dan menyedihkan. Dia memintaku untuk melindunginya. Karena katanya, tidak ada satu pria pun yang mencintai wanita lumpuh dengan tulus. Karena akulah penyebab dia kecelakaan. Aku merasa bersalah mendengar kata-katanya. Dia memukul terus kakinya yang pincang, dan ha
Semua mata tertuju padaku bukan karena pernyataan Lucas, tapi karena aku tersedak dengan tiba-tiba. Wajahku pasti terlihat konyol saat ini, aku malu. Lucas memberiku segelas air putih dan aku menandaskannya dengan segera. Saat ada kalimat selamat yang terlontar dari mulut mereka secara bergantian, hatiku belum sepenuhnya sadar. Seakan Lucas sedang membuat konten prank di Chanel YouTube untuk menjahiliku. Tapi saat aku melirik ke arahnya dia nampak serius. Kami pulang. Sepanjang perjalanan pulang Lucas nampak tersenyum. Pria gila itu selalu berhasil mewujudkan keinginannya. Sementara aku mendadak gugup, tak berselera untuk bicara namun jiwaku terasa hangat. Walau caranya membuat aku jengkel, tapi aku suka saat dia meminta aku kembali jadi miliknya. Lucas menerima panggilan telepon, entah dari siapa. Namun raut wajahnya nampak lesu dan risau. "Huh, merepotkan!" umpat Lucas. "Ada apa?" tanyaku ragu-ragu. "Papah masuk rumah sakit, dia pecah pembul
Aku paham, butuh waktu cukup lama untuk seseorang memahami isi hati orang lain. Begitupun bagi Andrean, meskipun Lucas sudah merangkul dan meminta maaf. Dia mematung, tidak ada minat sedikitpun untuk berbicara dengan Lucas. Tak lama dia memilih pulang. Dia hanya pamit kepadaku dan tidak menanggap Lucas ada di dekatnya. Lucas menatap punggung Andrean hingga menghilang. Tertunduk dan melamun, mungkin saja Lucas ingin hubungannya baik seperti dulu kala. Menjalani masa kecil bersama, sekolah dan masuk universitas yang sama dan kini hubungannya retak hanya karena masalah hati. Aku paham pahitnya ditinggalkan sahabat sendiri. Cukup lama aku dan Lucas berada di ruang yang sama namun memilih saling diam dari tadi. Akhirnya Lucas menatap ke arahku dan tersenyum. "Flora, lagi sibuk? Apa bisa minta waktumu sebenar saja buat ikut denganku?" Aku tersenyum, tidak biasanya dia meminta waktuku dengan sesopan itu. Lucas berkata kembal
Aku melempar pakaian Lucas ke lantai di kamar. "Cepat pakai pakaianmu! Memalukan! Mentang-mentang tidak ada Renata, so merasa jadi anak muda? Jangan coba-coba tebar pesona padaku! Tidak akan mempan." "Siapa yang tebar pesona? Terus menurutmu, cara pakai handuk seorang bapak satu anak bagaimana? Apa dililitkan di leher, hah? Atau diikat pada dua kaki seperti orang yang sedang diculik penjahat? Kamu akan lebih menjerit histeris jika melihat aku seperti itu." Ah sialan, kenapa Lucas berkata seperti itu aku malah membayangkan Lucas melilitkan handuk ke leher dan kaki. Aku jadi frustrasi membayangkan visual aneh itu. Sepertinya Lucas melangkah mengambil pakaiannya yang tercecer. Entahlah, setelah dengar ocehannya aku langsung menutup pintu tanpa menatap ke arahnya. Kemudian aku menyeduh macchiato untuk kami berdua. Lucas keluar kamar dengan stelan casual warna denim. Seingatku, pakaian itu aku yang pilihkan, belanja di online shop saat ada diskon dan grati
Lucas menggendong Andrean. "Mau kita buang ke mana pria brengsek ini?"Aku teramat resah, masa iya Lucas mau membuang Andrean seperti barang bekas. Apa mungkin dia akan melempar Andrean ke lapangan yang tandus seperti halnya membuang Amanda kemarin itu?"Jangan becanda, Lucas." Aku mengikuti langkah Lucas yang pelan karena beban di punggungnya."Kamu parkir mobil di mana?" tanya Lucas."Aku gak bawa mobil, mobil ada di parkiran Cofee Shop. By the way, aku hanya berniat membawa Andrean ke pinggir dekat pohon itu. Kita bisa taruh dia di sana saja, lalu pura-pura tidak tahu apa yang terjadi." Aku menunjuk pohon besar yang di depannya terdapat tong sampah."Andrean tidak akan muat jika masuk ke tempat sampah sekecil itu. Kita butuh TPS berukuran besar.""Ayolah, Lucas! Kamu tahu sendiri maksudku adalah taruh Andrean di pinggir pohon, supaya tidak menghalangi jalan. Bukan menaruh Dean di tong sampah."Lucas tersenyum, sambil terus berjalan
Sejenak, aku merasa diri ini kehilangan akal sehat karena membiarkan mantan suami mengecup puncak kepalaku. Dan bisa-bisanya aku memejamkan mata menahan degup jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Bibir Lucas enggan berpindah selama beberapa menit, mungkin dia keterusan. Aku membuka mata, tersentak saat melihat ada orang yang lewat sehingga tanpa sengaja menyundul kepala Lucas. Menyisir rambut dengan jari, dan merapikan posisi baju yang hampir kusut. Aku hampir melupakan Lucas yang sedang meringis menahan sakit pada bibir. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya, dengan ekspresi bodoh sedang menahan sakit. Lucas menatapku. "Agghh ... dasar cewek preman! Lihat ini! lukaku bertambah lagi di bibir. Apa bedanya kamu dengan scurity di kantor Papah?" Sembarangan, bisa-biaanya Lucas menyamakan aku dengan scurity kantor yang bertubuh besar. "Suruh siapa kamu begitu lancang mencium kepalaku? Lagian kamu pikir kepalaku juga tidak sakit beradu dengan
Saat itu, Ibuku yang selama ini tidak pernah tahu menahu urusanku tiba-tiba hadir di pemakaman mamahnya Lucas. Ternyata bukan tanpa alasan, karena Mamah Lusi yang memanggil beliau sebelum wafat. Hanya untuk menyampaikan satu permohonan terakhir sebelum melepas nyawanya satu Minggu yang lalu. Dia meminta aku dan Lucas rujuk demi kebahagiaan Renata.Aku diam sebagai tanda protes. Ibuku datang-datang menodong dengan permintaannya tanpa berniat memperbaiki hubungan dulu denganku. Dan apakah tidak pernah terbersit dalam hatinya, meminta maaf padaku? Maaf karena dulu berniat melenyapkan aku dari dunia ini. Walau belum lahir, tapi aku hidup di dalam perutnya. Untung usahanya gagal.Ibu berkata padaku dan Lucas, "Flora, Lucas! Ibu rasa permintaan Lusi adalah satu amanah yang harus dipenuhi. Kalian mungkin bisa menurunkan ego masing-masing karena sudah terikat oleh seorang anak."Aku berdiri, memberi senyum ke arahnya. "Ibu! Aku bukan orang yang dengan mudah terpengaruh
"Kenapa dari kemarin pesan dariku tidak kamu baca?" Andrean bertanya padaku saat dia berkunjung ke rumah tanpa persetujuan dariku.Satu pertanyaan itu membuatku tertekan. Aku masih terlarut dalam duka, dua Minggu yang lalu mamah Lusi meninggal, aku pun sedang malas menerima tamu. Namun dia tidak pernah mengerti. Ditambah, sudah ketahuan bahwa Andrean sekongkol bersama Amanda membuat aku tidak ingin menemuinya dulu.Andrean mencengkram pundakku. Aku menepisnya. "Tolong jangan kasar gini, Andrean! Aku mau istirahat, lebih baik kamu pulang saja!""Kita harus lanjutkan membahas pernikahan kita! Please!" Andrean mendesak."Tidak sekarang!""Kapan kamu bisa?""Tidak sekarang dan tidak juga untuk selamanya. Aku rasa kita lebih cocok jadi teman dan partner bisnis. Aku kehilangan kamu yang dulu. Kamu sudah berubah jadi over protektif padaku."Andrean meraup udara yang banyak disekitarnya, wajahnya nampak resah bercampur kesal. "Kamu pikir, aku
Rungan ini pengap dan gerah karena tidak ada pendingin ruangan, ditambah melihat Amanda dari tadi meraung-raung seperti kucing di dalam karung yang hendak dibuang ke hutan, membuat kepalaku terkena sakit kepala sebelah gara-gara mendengar suaranya. Dia lebay dan bikin pusing, aku tidak bisa membayangkan bagaimana saat Amanda di samping Lucas. Pasti hidup Lucas bagaikan lelucon bernuansa tragedi.Aku membuka pintu untuk keluar dari tempat ini. Saat pintu terbuka aku melihat wajah Lucas yang penuh tanda tanya saat melihatku. Aku yakin, dia yang mengetuk pintu dari tadi.Lucas bertanya lirih setelah sebelumnya melirik ke belakangku ada Amanda di sana. "Ngapain kalian ada di tempat ini?""Lagi bicara sesuatu."Tangan Lucas bergerak, perlahan terangkat hendak menyentuh pipiku namun tertahan di udara, kemudian dia mengepalkan tangannya dan menaruhnya lagi ke tempat semula. Dia mendengus dan menyimpan semua hasrat untuk diri sendiri."Di sini panas, kamu