Aldi menerjang angin, mengabaikan rasa takut dan gemetar di kakinya saat melewati pembatas balkon rumahnya dan rumah Ana.
Benar - benar modal nekad. Dia bahkan pasrah kalau saja kamar itu bukan kamar Ana.
HAP!
Aldi berhasil mendarat dengan tanpa cidera, dengan jantung berdebar. Aldi mengetuk kaca jendela.
Beberapa kali karena tidak ada respon. Aldi bahkan hampir menyerah namun suara derit, tanda jendela terbuka membuat Aldi menegang di tempatnya.
Aldi mengerjap, merasa kalau kelegaan menyerangnya. Aldi bahkan rasanya ingin berteriak senang saking bahagianya melihat Ana yang membuka jendela.
"Ana." panggil Aldi dengan suara gemetar saking bahagia.
Ana mengerjap, menatap Aldi dengan kedua mata berkaca - kaca. Ana terisak pelan.
"Kak, Ana lagi sakit." adunya membuat Aldi mendekat, mengusap wajah pucat nan han
Ana melambaikan tangannya pada Aldi yang berada di balkon sebrang. Keduanya harus berpisah karena waktu sudah akan menunjukan pukul 10 malam."Ana masih mau sama kak Al." akunya dengan masih berdiri di tempatnya.Ana benar - benar sudah nyaman dengan Aldi, bahkan Ana jadi takut kehilangan Aldi. Mungkinkah dia akan di pisahkan oleh semesta lagi?Aldi menatap Ana lekat, bisa dia lihat kalau Ana masih ingin bersamanya. Aldi merasakan hatinya menghangat. Haruskah dia yang menyelinap dan menginap di rumahnya malam ini."Apa kak Al ga bisa tidur sama Ana di kamar Ana?" tanyanya dengan kedua mata berbinar polos.Aldi jelas saja tidak bisa menolak keinginan Ana. Bagi Aldi, saat ini Ana dunianya."Bisa, aku ke sana." Aldi mulai naik, melewati balkon.***Brian menatap pon
Vina melempar senyum, dia akhirnya bisa bertemu lagi dengan Brian. Cintanya yang belum usai itu. Vina hanya ingin melepas rindu namun takdir seolah ingin membuatnya tidak hanya sekedar rindu."Lo ngapain di sini?" Brian terdengar tidak santai."Ini Cafe, tempat di mana orang bebas main dan makan di sini." Vina dengan tidak tahu malunya duduk di kursi sebrang Brian.Brian sudah mulai was - was, dia tidak mau sampai kejadian ini menjadi masalah untuk keluarga kecilnya.Brian diam tidak merespon atau bahkan melirik Vina. Brian hanya sibuk membalas pesan Biya."Kita kerja di kantor yang sama walau tugas kita beda, aku lebih ke pemasaran." Vina menjelaskan tanpa peduli Brian tidak merespon.Brian meneguk kopinya lalu beranjak mengabaikan keberadaan atau panggilan Vina.Brian harus berusaha menjauhi perempuan itu, bahkan Brian akan te
Vina menghadang Brian yang akan berpulang itu. Jelas saja wajah Brian yang awalnya cerah karena akan segera bertemu Biya dan Glen menjadi mendung."Boleh aku ikut mobil kamu sampe ke tem—"Brian menoleh pada Bara, teman satu kantornya."Bar, dia lagi butuh pertolongan tapi ga bisa ku tolong, anak, istri nunggu dari tadi." potongnya.Bara yang memang pada dasarnya baik dengan siap akan membantu."Boleh, lagi santai kok." balasnya seraya melirik Vina yang mendatarkan ekspresinya."Kalo gitu duluan ya—" Brian menatap Vina dengan tidak ramah."ada Bara, lo bisa minta tolong sama dia. Dia single." jelasnya lalu berlalu.Brian sengaja menekan kata single pada ucapannya agar Vina sadar kalau dia bukan Brian yang bisa tergoda seperti dulu. Brian benar - benar hanya butuh Biya dan Glen.Vina menatap kepergian Brian dengan tangan terkepal.
Ana memakan makanannya, sesekali melirik televisi yang menayangkan film remaja itu. Sepertinya Ana cukup suka dengan film itu.Aldi mengamati hotel yang cukup mewah itu. Semua karena keinginan Ana, katanya lelah tapi tidak mau pulang dulu.Ya di sinilah mereka berakhir. Di hotel dengan banyak fasilitas. Jelas saja Aldi tidak mempermasalahkan."Ga bikin kamu mual?" Aldi mengusap perut rata Ana yang sedikit berlemat itu.Ana menggeleng dengan masih mengunyah.Aldi masih betah mengusap perut Ana, menatap Ana dengan banyak menilai dan memujanya."Apa?" Ana menatap Aldi, dia sadar kalau Aldi sedari lama menatapnya terus."Kenapa emang?" tanya Aldi balik."Kak Aldi liatin Ana terus, mau tidur kayak yang di kamar kak Aldi lagi ya?" godanya dengan mencolek - colek dagu Aldi usil.Aldi ter
Ana menghela nafas lega, begitu pun Aldi yang berhasil mengantarkan Ana lewat balkon rumahnya."Apa Ana keluar kamar? Pastiin kalau papa sama kakak ga cariin?" Ana bermonolog dengan gelisah di depan pintu kamarnya.Dengan berdebar Ana memutuskan keluar, menuju dapur yang sudah sepi.Ana meraih gelas kosong, mengisinya dengan air lalu meneguknya sedikit."An?"Ana tersentak pelan lalu berbalik, ternyata Agam yang memanggil."Kapan pulang? Kata papa kamu ke—""Baru kak, Ana baru sampe." potong Ana dengan senyuman canggung."Oh." Agam melanjutkan langkahnya menuju kulkas."Kenapa belum tidur kak?" Ana berdiri di samping Agam yang sibuk mengobrak - abrik kulkas."Harusnya kakak yang tanya gitu, kamu kenapa belum tidur? Kakak'kan emang sering begadang."Ana menggaruk
Brian dan Biya membawa Rudy ke sebuah salon. Rudy di perbaiki penampilannya dengan baik, bahkan kini terlihat segar."Ayah benar - benar malu, mengingat tingkah ayah yang lalu." Rudy terlihat tidak seangkuh dulu.Biya mengusap lengan Rudy, mendekat dan memeluknya."Biya cuma minta sama ayah, jangan kayak dulu lagi. Kali ini ayah harus bener - bener berubah, ada cucu ayah sekarang."Rudy mengangguk, mengusap kepala Biya dengan banyak penyesalan. Harusnya dia tidak banyak berubah. Harusnya dia bangga memiliki anak sebaik Biya.Rudy melepas pelukan Biya, beralih menatap Brian lalu mendekat dan memeluknya."Maafkan ayah, Brian—" Rudy terdengar sekali begitu menyesal."ayah banyak melukai kalian." sesalnya.Brian mengusap punggung Rudy."Brian udah maafin semuanya, Brian cuma minta, jangan bikin Biya sedih lagi." pintanya.
Aldi seperti biasa, membawa makanan pesanan Ana lewat jendela kamarnya. Sudah hampir satu minggu Ana banyak maunya, mungkin pengaruh kehamilan atau biasa di sebut ngidam."Ana jadi ga mau, mungkin cuma maunya ketemu kak Aldi." akunya dengan senyum yang begitu manis.Aldi yang berusaha mencari makanan itu jelas agak kesal namun hilang dalam sekejap karena pengakuan Ana barusan.Aldi menjadi bucin sekarang."Yaudah, sini peluk." di rentangkannya kedua tangan Aldi di udara."Kakaknya yang kesini, Ana lemes abis muntah." akunya.Aldi jelas saja langsung mendekat, naik ke atas kasur Ana dengan khawatir."Mual banget? Kalau di muntahin, kamu harus makan dong." kata Aldi perhatian."Tapi Ana mual, rasanya ga enak aja. Tadi sih mau, tapi tiba - tiba ga mau, mungkin karena muntah." Ana terlihat lesu dan pu
Brian dengan malas membawa langkahnya masuk ke dalam restoran yang penuh dengan para karyawan ayahnya itu."Ulang tahun kamu ke 23 ya?" tanya salah satu pegawai pada Vina.Vina mengangguk."Iyah, sekaligus nitipin diri ke senior - senior Vina yang baik - baik, biar makin jaga Vina dengan baik." balasnya membuat para pria tertawa dan tersipu.Brian berdecih lalu mengambil tempat paling jauh dengan Vina.Vina yang sadar dengan kehadiran Brian pun terlihat senang, dia pikir Brian tidak akan datang.Brian meraih beberapa kentang lalu melirik meja sebelah yang agak berisik, mungkin karena kumpulan para wanita.Brian membolakan matanya kaget saat melihat siapa yang di lihatnya dan juga kebetulan orang itu melihatnya juga."Yuna Cs?" gumam Brian, dia jelas saja ingin menyapa. Toh mereka saat lulus berpisah baik - baik.
Glen terlihat diam, semenjak Biya hamil anak yang kedua memang gelagat Glen berubah. Mungkin karena akan memiliki adik."Sebenernya, Glen kenapa ya bun?" Biya menatap Glen dari kejauhan.Zela menyeruput teh jahe buatannya itu."Mungkin karena mau punya adik, dia murung dan takut perhatian kedua orang tuanya beralih ke sang adik." jawabnya."Mendadak baik, mendadak murung dan mendadak marah - marah atau bahkan rewel dan manja." terang Biya dengan sesekali mengusap perutnya yang kini sudah memasuki bulan ke 5."Itu sih jelas, alasannya karena takut perhatian kamu beralih." tebak Zela yang mungkin bisa saja iyah."Sayang."Zela menoleh, menatap Jayden yang semakin tua malah semakin terlihat segar itu."Kenapa?" tanya Zela seraya mengusap telapak tangan keriput Jayden yang bertengger di pundaknya itu."Kita
"Ga mau!" Glen terus meronta di gendongan Junior."Mama sama papa pergi sebentar kok." Junior mengusap punggung Glen yang bergetar karena menangis itu."Ga mau! No-no!" amuknya dengan suara meninggi bahkan hampir serak.Amora mengusap kepala Glen, menenangkannya dengan penuh kelembutan.Zela dan Jayden menuntun kedua cucu kembarnya yang terlihat memandang Glen dengan bingung harus bagaimana."Kita pulang, bawa masuk ke mobil." kata Jayden yang di angguki Junior dan Amora.Sedangkan Biya dan Brian, keduanya tengah berada di perjalanan udara menuju salah satu pantai yang terkenal bagi para pasangan yang akan honeymoon."Kenapa?" Brian merangkul Biya, mengusap puncak kepalanya dengan sayang."Pertama kali ninggalin Glen, rasanya khawatir. Padahal bunda, ayah sama Amora pasti jagain."Brian paham dengan perasaan Biya, dia pun
"Astaga! Itu buat tanaman, bukan makanan." Biya berlari menuju Glen yang hampir saja memakan tanah."Tapi walnanya kayak coklat, mama." Glen melempar sekepal tanah di tangannya dengan sebal.3 tahun usia Glen sekarang, usia yang membuat Biya hampir kewalahan. Untung Brian sudah memutuskan bekerja di rumah.Mungkin ini juga yang menjadi alasan kenapa Tuhan tidak kunjung memberi adik untuk Glen.Glennya sungguh nakal dan ingin banyak tahu. Biya tidak akan sanggup jika harus memiliki bayi sekarang."Kenapa lagi, ma?" Brian datang dengan tenang."Itu Glen, hampir nyobain tanah yang katanya mirip coklat." Biya mencuci jemari Glen dengan telaten."Penasalan, milip soalnya." Glen terlihat tidak suka di sudutkan."Glen pasti mau coklat?" Brian berjongkok di belakang Glen yang masih menyerahkan jemarinya di cuci oleh sang mama."Iy
Waldi dan Angga sedikit kaget saat melihat Yuna dan Luna datang yang ternyata di undang oleh Brian dan Biya."Ha-hai" Yuna terlihat canggung, sempat ragu juga sebenarnya. Dia hampir saja tidak akan ikut kumpul kalau saja Luna tidak datang."O-oh hai." Angga tersenyum ramah, mereka terlihat berbeda. Mungkin karena zaman dan usia yang berubah."Maaf telat." Luna duduk di samping Yuna yang duduk dekat Waldi.Waldi terlihat gugup di duduknya, pergaulan remaja mereka yang membuatnya jadi ingat saat di mana dia nakal dan bermain dengan Yuna dan Luna."Gimana kabar kalian?" Angga tersenyum ramah, seolah mereka memang baik - baik saja. Melupakan semua tentang kenakalan remaja dulu."Baik." jawab Yuna dan Luna bersamaan."Kabar kalian?" tanya Yuna."aku ga sangka bisa ketemu dan kumpul kayak gini." akunya.
Brian terlihat mesem - mesem, melirik dan sesekali mencolek Biya yang tengah mengamati Glen dan satu gadis cantik yang kebetulan sama, tengah berlibur dengan keluarganya."No! Danan (jangan)!" Glen berseru tidak suka, bahkan menepis tangan gadis seusianya itu yang hendak mengambil mainan Glen.Gadis kecil itu hanya cemberut.Biya melirik Brian yang tidak bisa diam itu, terus saja menggodanya."Apa, Brian?" tanyanya dengan lembut, pura - pura tidak paham."Abis dari sini ya, kita program." Brian gelayutan di lengan Biya yang pendeknya jelas lebih pendek darinya."Program apa sih, Bri." kekehnya geli, mengusap pipi sang suami sekilas."Kamu suka pura - pura, aku udah kasih kamu kode tadi, bahkan kamu bales, sayang."Biya mengulum senyum."Iyah, asal kamu bisa atur waktu. Baru aku mau." balasnya."Bisa - bisa, aku usahain pa
Ana menggendong bayi cantik yang bernama Alana Pashania. Bayi yang kini baru berusia 2 bulan itu. Bayi miliknya dan Aldi."Mana Aldi, Na?" tanya Brian."Ada, lagi di belakang, kak." jawab Ana dengan masih menimang Alana yang belum kunjung tidur itu."Al!" panggil Brian seraya celingukan mencari Aldi."Apa?" Aldi berjalan santai melewati Brian."Pinjem tenda dong, lo kan kadang naik gunung." kata Brian seraya mengekori Aldi."Ada, di gudang. Bentar gue ambilin." kata Aldi."mau kemana?" tanyanya.Brian memutuskan untuk mengekor Aldi."Piknik, udah lama ga liburan sama keluarga." jawabnya."Nah gitu dong, jangan telantarin anak istri lo."Brian memukul pundak Aldi."Enak aja! Gue ga pernah nelantarin mereka." semprotnya tidak terima."Terserah.""Nyebelin lo masih aja
Brian terlihat menatap langit - langit kamar, menunggu Biya yang sepertinya baru selesai mandi. Suara pintu terbuka pun menyadarkan Brian."Kenapa? Kamu kayak lagi ada pikiran." kata Biya seraya berjalan menuju meja rias.Brian menghela nafas panjang."Banyak." jawabnya singkat namun penuh beban."Banyak? Salah satunya? Ceritain biar enak. Siapa tahu aku bisa bantu." Biya memakai cream malam lalu lipbam.Biya melangkah menghampiri Brian yang menyambutnya dengan memeluknya."Kenapa, hm?" Biya mengusap kepala Brian seperti anak kecil, tapi Brian tidak terganggu, malah dia suka."Kamu liat Glen? Dia sering marah, di ajak main ga mau. Apa dia marah karena selama ini aku ga ada saat siang?"Biya tersenyum tipis."Kamu sadar ternyata soal itu, Glen emng sering ngeluh, dia ingin main tapi papa kerja." terangnya.
1 tahun kemudian... Yuna datang berdua dengan Luna. Hari ini mereka ingin berdamai dengan masa lalu. Belum ada kata maaf yang terucap, maka saat inilah waktunya. Setahun mereka urung terus dengan niat baik itu, rasanya mereka tidak bisa menundanya lagi."Om, saya teman Biya dan Brian." kata Yuna pada Rudy.Rudy tersenyum ramah."Silahkan masuk." sambutnya."Makasih, om."Rudy hanya tersenyum, membawa langkahnya ke dapur. Kebetulan Biya sedang di dapur bersama Zela."Biya, ada teman di depan." kata Rudy yang membuat Biya bingung sesaat, siapa?"Iyah, ayah." Biya melepas celemeknya, bergegas ke ruang tamu.Brian yang tengah turun tangga kini mengikuti Biya."Kemana?" tanyanya."Katanya ada temen di depan." Biya terus melangkah di ikuti Brian."Oh mungkin—" Brian tidak melanjutkan lan
Ana terdiam di dalam mobil, pikirannya masih berputar pada pertemuannya bersama Anita."Sayang, bukannya mau beli makanan?" Aldi melirik Ana sekilas.Aldi merasa ada yang aneh, apa karena pertemuan dengan Anita? Aldi sih yakin, pasti soal itu."Anita emang mantan terakhir aku, alasan aku pulang ke sini." Aldi akan mencoba terbuka, toh mereka sudah menikah."Tapi asal kamu tahu, soal perasaan aku ke kamu itu bukan main - main, aku serius jatuh cinta sama kamu." lanjut Aldi dengan masih fokus mengemudi."Hubungan kakak sama kak Anita berapa lama?" tanya Ana dengan masih tidak menatap Aldi."3 tahun.""Lama ya, kok cepet move onnya." Ana terlihat seperti ingin menangis, entah kenapa dia jadi mudah menangis. Mungkin karena kehamilannya."Sayang, bahkan dalam semenit bisa jatuh cinta. Jangan berpikir yang aneh - a