Pluk!Amplop di tanganku seketika jatuh beriringan dengan kagetnya bola mata ini yang semakin melebar. "Pecat? Saya dipecat? Saya salah apa, Bos?" "Salah kamu, karena kinerja kamu tidak memuaskan saya. Kalau saya ini adalah orang yang harus terus mempekerjakan orang-orang seperti kamu, mana bisa perusahaan saya maju! Sekarang kamu tinggalkan proyek ini dan jangan pernah kembali lagi. Kamu saya PECAT!"Seperti petir yang tiba-tiba menggelegar di siang bolong. Kata 'pecat' yang terlontar dari mulut Bos membuat para pekerja melirik ke arahku. Pasti mereka juga kaget."Bos, tapi …!" Aku merengek tak mau dipecat. Mau makan apa nanti? Apalagi pengeluaranku membengkak sejak menikah dengan Widya. Belum lagi biaya sewa rumah yang begitu besar karena aku hanya menyewa rumah mewah itu dan pura-pura membelinya. Itu supaya Widya bahagia menikah denganku dan bisa membanggakanku kepada orang lain. Maka dari itu aku tak setuju saat Widya usul rumah Ibu dijual."Bos, Bang Panjul dipecat?" sahut salah
PoV Nurul***"Bagaimana kalau Bang Yadi meminta lebih dari hubungan kita sebelumnya yang hanya sering chatan. Bang Yadi ke mari sengaja ingin melihat kabar Dek Nur. Entah kenapa Bang Yadi malah nyaman bila bisa dengar kabar Dek Nur."Jleb!"Apa, Bang?" Kuteguk liur yang begitu pekat ini setelah mendengar pernyataan Bang Yadi barusan. Dia menghampiriku di rumah di sore hari ini. Sebelumnya dia juga sudah bilang, akan main-main ke mari. Dia adalah pria yang satu kontak denganku, dan tak ayal kami sesekali ngobrol di kedai tempat aku bekerja. Maksudnya kedai milikku, yang tak diketahui oleh orang lain."Hati Bang Yadi tidak bisa dibohongi. Bang Yadi tidak maksa, karena rasa suka tidak bisa dipaksakan. Hanya saja, Bang Yadi datang ke mari itu karena rasa suka ini berlebihan. Mungkin kedengarannya kurang tahu diri. Apalagi Bang Yadi bukan orang kaya. Sedangkan Dek Nur sekarang sudah punya segalanya." "Punya segalanya apa, Bang?" heranku."Eh. Ya maksudnya punya rumah loteng, dan juga be
PoV Nur***"Nur, katanya kamu mau kawin sama si Yadi ya? Yang sekampung sama kita itu dulu? Aduh, memang kalian cocok. Udik bin blangsak. Hahaha."Kupikir akan ada ucapan baik dari mulutnya, tapi sayang, bukan itu yang aku dengar. Malah ocehan dan hinaan saja. Kudengegar pula desas-desus kalau Mbak Widya hamil, karena pernah waktu itu melihat status w.a-nya. Sayangnya pas aku tanya, dia tak membalas. Sampai detik ini. Entah apa maksudnya ingin nomor w.a ku. Apa cuma untuk pamer?"Makasih, Mbak. Doakan saja, Nur akan segera menikah dengannya. Meski bukan orang kaya, setidaknya dia mungkin tidak akan selingkuh!" jawabku menanggapi."Hahah. Iya, iya, aku doakan. Tapi aku tidak akan datang ke pernikahan kamu kalau tidak diundang. Kamu harus mengundang Mbak secara terhormat, baru Mbak akan datang," ujarnya lagi dengan angkuh."Mbak datanglah, Mbak itu satu-satunya keluargaku. Atau nanti aku akan datang ke rumah Mbak untuk secara langsung mengundang kalian. Kalau di sini, rasanya kurang ho
PoV Nurul*"Bang Yadi! Sedang apa Abang di sini? Siapa wanita ini?" tegurku setelah tubuh ini kudorong ke depan mereka berdua. Tatapanku tak beralih ke arah mana pun sesenti pun.Seperti digigit kepiting, Bang Yadi loncat karena kaget. Ngomongnya saat aku kirimi pesan tadi, dia sedang persiapan untuk Pernikahan kami. Seperti ngepak makanan untuk dibawa ke kediamanku yang namanya bisa disebut seserahan. Tapi dia bohong, batang hidung dan segala batangnya ada di sini."Dek Nur?" Bola matanya melebar tak menyangka. Bibirnya yang sudah mulai menghitam karena asap rokok itu seperti gerak-gerak bergetar malu dan gugup. Dan wanita yang ada di dekatnya menunduk malu juga ketakutan."Dek Nur, Dek Nur! Tak usah pangggil aku lagi. Jadi kamu bohong sama aku ya, Bang? Kamu mau menipuku hah? Mentang-mentang aku janda yang sudah dibodohi mantan suami dan kakakku?" tandasku menahan emosi. Entah kenapa ingin sekali aku menangis dan menjerit. Kenapa hidupku begini sekali. Tak adakah pria yang menjadik
"Alhamdulillah, dibuka juga. Dek Nur, Dek Nur gak malu dilihat orang? Dek Nur tadi selingkuh, dan sekarang Dek Nur yang marah. Abang ke sini hanya mau bilang, Abang tidak keberatan Dek Nur jalan dengan pria lain. Asal nanti setelah kita menikah Dek Nur berubah!" Degh! Semua orang terperangah kaget, pun dengan Pak RT. Oowh, dia mau macam-macam denganku dengan cara memfitnahku? Apa kamu pikir akan berhasil? Belum tahu kamu berurusan dengan siapa hemh! Aku berkacak pinggang menanggapi lontaran pria hidung belang itu. "Apa yang barusan kamu bilang, Bang? Aku yang selingkuh? Aku? Logikanya, mana ada yang selingkuh yang dikejar ke rumahnya? Hemh?" pekikku. Lantas semua yang berkumpul di teras rumahku pun saling terheran. "Eh, ini jadi siapa yang selingkuh? Kamu yang selingkuh, Nur? Atau bagaimana kejadiannya?" Tetanggaku kepo dengan sangat lantang. Dia maju ke depan membelah kerumunan. "Jadi begini Pak RT, Dek Nur mau menggagalkan rencana pernikahan kami yang tinggal menghitung hari. Ya
Bang Yadi merajuk. "Loh, Pak RT. Tidak bisa begitu. Tidak bisa putus sepihak. Pokoknya saya akan tetap menikah dengan Dek Nur!" sungutnya.Aku pun terkekeh sinis. "Mau menikah sama aku? Menikah saja sama bakul sana! Menikah mana bisa kalau pengantin wanitanya gak mau. Waliku juga sudah kuberitahu batal. Hemh!" Aku mencebikkan bibir.Hingga pada akhirnya Bang Yadi tak terima dan emosi. Tapi apa daya, bodyguardku lumayan banyak. Warga dan Pak RT berhasil mengusirnya. Ah, aku lega sekali.Kabar gagalnya pernikahanku sudah ramai diperbincangkan warga. Apalagi setelah kulihat video beredar di mall waktu itu. Dengan caption calon istri labrak calon suaminya yang selingkuh. Sedikit demi sedikit aku sekarang sudah gaul. Gunakan media sosial juga sudah sampai tiktok, tapi tidak tertarik tiktokan. Hanya untuk hiburan saja di saat penat.Laras yang tinggal di rumahku pun sudah tahu perihal batalnya nikahanku. Dia terus menguatkan dan mendoakan. Kue-kue yang sudah kubuat banyak dibantu Laras unt
"Siapa itu?" batinku merusuh karena takut. Tidak mungkin ada orang yang bisa masuk selain aku dan Laras. Apalagi orang itu sudah sampai di depan pintu.Hati sudah berdebar bukan karena mendapatkan pernyataan cinta. Tapi takut kalau malah maling datang dan ingin melenyapkan nyawaku. Mana adiknya Menul belum gajian, bagaimana kalau dia butuh dan aku sudah tiada. Oh tidak!Ketukan pintu itu tidak juga berhenti. Untung saja pintu dikunci, meski aku lupa dikunci atau tidak. Yang jelas, orang itu berusaha memainkan gagang pintu namun sepertinya sulit terbuka. Astaghfirullah! Siapa di sana?Kusempatkan untuk menghubungi Laras, tapi dia sudah tidak sedang online. Aku yakin, di luar adalah orang jahat. Keringat sudah mulai bermunculan. Aku panik sekali. Tangan juga sudah sangat dingin.Kuhubungi Bu RT, tapi beliau juga sudah tidak mengaktifkan data seluler. Ya, dan aku pun menghubungi Mbak Elis yang ada paling dekat dengan rumahku. Sayangnya, dia juga tidak mengaktifkan ponselnya. Aku kirim
"Diam, Nur, Abang tahu kamu kesepain 'kan? Makanya kamu ngebet nikah sampai kamu sekarang gagal nikah. Abang paham," sungutnya yang bau jengkol itu membuat jiwa pencak silatku meronta-ronta. Wajahnya sudah penuh keringat yang ada artian dia ada rasa takut.BKKKG!Kutendang kepunyaannya yang sebesar kuda jantan itu. Iya, dia memang punya pusaka yang lumayan besar, dan kini hasilnya setelah ditendang dia tak begitu kesakitan. Ini di luar dugaan, dia tak kalah. "Eh, jangan berontak. Jangan malu-malu. Abang paham. Abang minta ya malam ini, Nur! Sekali saja. Nanti Abang kasih uang. Biar Nur gak usah kerja lagi di tempat makan itu. Ya?" bujuk rayunya yang membuat kupingku begitu sakit. Sialan!Aku tak bisa berontak dengan mulut. Sepertinya dia sudah belajar seni membungkam mulut orang dari film aksi. Sialan! Aku berhasil semakin di dorongnya.Ya Rabb, selamatkan hamba.Aku terus mengerang dan berusaha berteriak. Dia malah cekikikan dan terus membuatku diam. Akhirnya aku pun ada ide, biar k
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa