"Kalau iya, apakah … apakah laki-lakinya itu … em, … laki-lakinya itu B–Bang Panjul?" Huwh … bak bisul yang sudah meletus. Aku pasrah atas tanggapan Mas Aryo."Nur?" Dia kaget."Kenapa, Mas? Mas kaget ya?" Wajah Mas Aryo memperlihatkan raut wajah kurang enak. Aku pun kini seperti paham."Nur … kenapa kamu …?"Ah, aku sudah menduga memang hasratku tidak salah. "Jadi … jadi Mas Aryo pernah melihat Mbak Widya dengan suamiku, Mas?" Aduh, sesak sekali nafas. Tenggorokan juga tercekak bicara seperti ini.Mas Aryo geleng-geleng kepala bermaksud tak habis pikir. "Maafkan Mas yang tidak bisa menjaga dan mendidik mbakmu, Nur."Tegh!Dan liurku terteguk lagi dengan susah payah. Meski berat, tapi ini kenyataan. Bahkan Mas Aryo sudah tahu sejak awal, sedangkan aku belakangan. Berarti kebejatan mereka sudah berulang kali."Jadi … jadi Mas Aryo juga … hiks!"Astaga, Nur, kamu ternyata sekarang baru bisa meneteskan air mata untuk pria bajingan dan mbakmu yang bunglon itu. Ya Gusti, hatiku benar-ben
Saat ini Mbak Widya seperti biasa keluar. Sepertinya dia mau shoping lagi. Astaghfirullah, Bu, kenapa Ibu amanatkan harta dari Bapak ke Mbak Widya? Astaghfirullahaladzim! Istighfar, Nur, istighfar.Surat gugatan cerai dari Mas Aryo baru akan kuberikan nanti saja. Aku juga sudah ijin padanya, supaya besok saja aku memberikan pada Mbak Widya. Biar Mbak Widya tidak tahu kalau aku sudah bertemu dengan suaminya itu. Lagipula, Mas Aryo juga tidak menghubungi mbakku dulu.Kucari ke sana dan ke mari, ternyata sertifikat rumah ini tak juga kutemukan. Entah di mana Mbak Widya menumpuknya. Apa ditanam di tanah? Hadeuh, ampun!Di setiap laci tidak ada, di bawah kasur tidak ada, di belakang lemari tidak ada. Dia pasti menyembunyikannya. Namun aku salah, terlalu luas pikiranku mencari sertifikat itu, yang ternyata ada di laci meja rias Mbak Widya. Dia punya banyak peralatan make up, dan ini pasti meja rias peninggalan orang yang tinggal di rumah ini.Akhirnya, aku temukan juga sertifikatnya. Lantas
Terus suaraku semakin keras. Dan benar saja, si pria semprul itu muncul. Pasti dia sangat kaget dan kesal."Sayang, Nur, kenapa?" Bang Panjul menyergapku yang kini terduduk di lantai dengan wajah cemas. Wajah dia nampak begitu berkeringat. Dasar semprul!"Kenapa, Yang?" Dia terus bertanya sembari kini membenarkan resleting. Pasti mereka akan … ah, sakit, sakit sekali hati ini. Tusukannya tidak terasa tapi aku sudah lemas seakan mati.Mbak Widya tidak berani keluar, sepertinya karena dia hanya pakai lingerie saja. Mungkin mereka tidak tahu aku mengetahui ini."Bang, Bang! Di dalam ada itu … tadi … tadi kayak ada bayangan hitam, Bang. Aduh, jangan-jangan hantu, Bang!" Aku mengerang ketakutan. Sumpah, sebenarnya ini hanya sandiwara saja untuk mengurangi perzinahan mereka lebih lanjut. Hanya ini yang bisa aku lakukan."Hah, bayangan?" Dia kaget, dan itu yang aku harapkan. Bang Panjul benarkan sarung sembari dikibas-kibas. Pasti gegara hasrat yang tertunda."Iya, Bang, jangan-jangan rumah
Tok tok tok!Tok tok tok!"Nur!"Siang hari tepat pukul sepuluh siang pintu rumah diketuk seseorang. Apa Bank Emok? Ah, aku tak punya tunggakkan. Atau Bu RT? Ah, ini bukan jadwal tagihan bulanan. Siapa ya?Daripada batin yang rusuh menduga-duga, lebih baik kubuka saja pintunya. Tak berselang lama, tamu pun kini menampakkan wajahnya.Eh, aku kaget. Di balik pintu ada sosok wanita yang tidak asing bagi bola mataku."Ibu?"Yang datang adalah ibunya Bang Panjul, Bu Romlah yang profesinya tukang dagang nasi uduk di tempat tinggalnya."Eh, Ibu?" sapaku langsung lalu menyalami beliau pun mengecup punggung tangannya."Nur, sehat, Nur? Ibu ke mari dapat alamat rumah ini dari Panjul." Ibu mertua menjawab manis. Lekas kusuruh Ibu untuk masuk dan duduk. Lalu kubawakan segelas air putih tapi bersama pocinya. Supaya kalau mau lagi tidak jauh."Silahkan diminum, Bu," tawarku lalu duduk setelah menyibak rok supaya rapi saat ditindih bokong.Seperti biasa basa-basi bertanya kabar dan sejenisnya. Hingg
"Eh, kalau dikasih tahu orang tua itu ya jangan jawab terus, Nur. Kamu ini." Ibu mertua nampak semakin kesal. Dia pasti kaget kenapa aku bisa menjawab demikian.Sebenarnya memang kami sudah tak begitu asing. Dengan jarak rumah memang kadang terlewat, jadi bagiku keluarga Bang Panjul tidak seasing itu. Tapi, gara-gara ini, Ibu mertua jadi berani nyerocos seenak jidatnya."Nur, jangan lupa sisihin untuk beli sawah dan tanah, untuk bekal hari tua, biar nanti setelah tua gak kuli." Ibu mulai lagi. Karena tadi bilang kalau dia bicara aku jangan jawab terus, makanya tidak kujawab. Aku anteng saja menyidik kuku-kuku jari tangan dengan santai."Ibu ingetin juga, kalau jajan jangan yang aneh-aneh dan gak ada vitaminnya. Jangan jajan cuma seblak, bakso, itu gak boleh. Kalau mau ngemil, kamu itu lebih baik yang alami, kayak ubi, singkong direbus. Begitu."Aku tidak ingin menjawab karena katanya juga kalau Ibu bicara, aku jangan jawab. Lihat saja, bagaimana Ibu saat ini."Nur," heran Ibu.Aku asy
"Nur Sayang, besok Abang kerja agak jauh. Proyek bangunan yang kemarin sudah selesai. Sekarang baru lagi, tapi tempatnya agak jauh. Abang akan pulang Minggu depan. Bagaimana, apa boleh? Kamu tidak keberatan 'kan?" Sebelum tidur Bang Panjul bicara masalah pekerjaan. Katanya dia akan pindah proyek ikut atasan."Seminggu? Jauh sekali ya, Bang memang?" heranku."Iya, jauh, makanya kalau bolak-balik, sayang uangnya. Mending buat kamu beli lipstik." Dia merayu dan menggoda. Sedangkan uang ongkosnya tidak dia berikan. Parah sekali dia."Oh, gitu. Ya sudah, Nur sih gak apa-apa, Bang, asal Abang selamet. Nur jadi harus siapin baju Abang yang banyak, ya?" ucapku lagi."Ah, jangan banyak-banyak, nanti juga dicuci. Tiga setel aja cukup. Baju ganti yang bagusnya bawa aja dua," sarannya."Iya, Bang." Aku langsung mengambil tas dan segera menumpuk pakaian bekal ke dalamnya. Entahlah dia benar atau tidak, yang jelas, aku hanya tahu suamiku ini adalah seorang pembohong."Tapi kamu gak keberatan 'kan
"Oh bukan, bukan. Jadi begini, Pak RT kemari karena ingin memberitahukan informasi. Sekarang sedang ada pembuatan sertifikat bangunan dan bumi yang diselenggarakan secara gratis dari pemerintah. Mungkin Dek Nur ada niat untuk menyertifikatkan benda atau barang yang belum ada dokumen sertifikatnya. Program pembuatan sertifikat gratis ini untuk seluruh warga kecamatan kita. Bila memang berminat, bisa langsung datang ke balai desa, atau bisa juga lewat Pak RT untuk menyampaikan syarat dokumennya. Nanti Pak RT yang sampaikan."Begitu terenyuhnya batinku mendengar informasi ini. Memang seliweran dengar di TV kalau akan ada pembuatan sertifikat serentak se-provinsi. Oh, dan itu benar?"Wah, benar itu Pak RT?" kejutku di depan Pak RT baru. Karena sekarang kami sudah pindah domisili. Masih satu kecamatan, namun beda desa."Benar, benar ada. Waktu pengumpulan syaratnya akhir bulan ini. Lebih cepat lebih baik. Bagaimana, apa Dek Nur memang ada benda yang belum disertifikatkan?" tanya Pak RT mem
[Dek, Nur, segera lengkapi persyaratannya, ya. Nanti bisa diantar ke rumah saya. Sembari membuat surat kuasa]Sore hari Pak RT mengirimiku pesan. Ya, dan aku belum tahu dari mana harus mendapatkan identitas si pemilik sebelumnya. Butuhnya hanya fotokopinya saja. Tapi, seharusnya mereka sudah kasih sama Mbak Widya supaya balik nama tidak sulit. Beserta dokumen pendukung lainnya.Maka dari itu kucari di kamar Mbak Widya lagi. Tadi aku berikan pada Pak RT hanya identitasku dan juga sertifikat asli. Mengenai surat-surat yang lainnya, itu akan Pak RT bantu uruskan. Nah, tinggal aku kumpulkan data diri pemilik sebelumnya. Kata Mbak Widya, dibeli dari orang yang aku kenal, tapi dia sudah pindah kota. Masak iya aku harus minta identitasnya jauh-jauh?Aku yakin, pasti fotokopi identitas pemilik sebelumnya sudah diminta oleh Mbak Widya. Kalau tidak, ya mau bagaimana balik nama? Untungnya lagi dia pas balik lagi ambil barang ketinggalan tidak selidik sertifikat rumah yang sudah tidak ada. Jadiny
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa