"Siapa yang ngontrak?" tanyaku penasaran.Si Fitri simpan HP di meja lalu dia menjawab, "itu, si Lastri. Dia 'kan baru pindah dari rumah mertuanya. Nyari kontrakan di daerah sini, karena ada iklan kontrakan kosong. Kamu mau ikut ke sana? Kita hampiri dia!" "Oh si Lastri teman SD kamu itu, Fit?" "Iya, dia. Dia katanya mau ajakin kita ngerujak. Mau gak? Kamu 'kan lagi bunting! Enak lho ngerujak, seger!" serunya. Hinggga akhirnya kami pun pergi dengan sepeda motorku yang masih cicil ini. Si Fitri tahunya aku beli cash. Gengsi kalau bilang nyicil.~~POV Widya"Di sini kontrakannya? Bukannya ini sudah gak bisa dihuni ya? Halamannya kotor banget waktu itu. Kayak Beberapa tahun gak ditempatin!" ejekku dengan angkuh. Ini adalah kontrakannya Lastri, teman si Fitri. Sebenarnya aku juga kenal, hanya tak akrab.Kami sudah tiba 10 menit yang lalu."Heem, ini kontrakan aku. Apa kabar, Widya? Lagi hamil ya? Perut kamu buncit," tutur Lastri sembari membawa buah-buahan untuk dirujak, dan juga ule
"Dia tetangga, pasti lagi teleponan. Memang suaranya keras," kata si Lastri seakan tahu isi hatiku."Gak apa-apa, ramai banyak orang. Haha." Si Fitri berkomentar."Ah, kalau aku lebih suka yang adem-adem. Kebayang kalau aku ngontrak, apalagi di rumah susun. Malas sekali kupingku. Tercemar!" Aku dengan angkuhnya menanggapi. Ya iya, tidak level."Ah kamu, Wid. Jangan begitu. Banyak orang jadi ramai tahu." Si Fitri lagi.Dan kini terdengar lagi suara tetangga si Lastri ini. "Iya, makasih ya, Mbak Nur. Mbak Nur baik sekali. Hehe. Assalamualaikum."Deg!"Nur? Kok aku denger wanita itu sebut nama 'Nur'. Nur siapa ya? Aku malas kalau dengar nama orang itu," celetukku kesal."Ah kamu ini, Wid!" tegur Fitri."Oh, mungkin yang punya kontrakan. Namanya itu Mbak Nurul, suka dipanggil Nur!" Mana bisa aku tidak kaget dengan penjelasan dari si Lastri secara polos dan spontan barusan. Dia tidak tampak sedang bergurau karena sekarang pun lahap menyiduk kuah rujak dengan mangga muda."Eh, Nurul? Janga
PoV Nur"Nur pulang dulu ya, Budhe, Pakde!" pamitku pada orang tua Mas Aryo. Pakde dan Budhe Seperti sudah ia anggap sebagai pengganti ibu dan bapaknya yang sudah diambil Sang Pencipta."Iya, Nur. Hati-hati. Maaf jauh-jauh ke mari dijemput Aryo. Budhe cuma mau, kamu berkenalan sama keluarga di sini. Main-main sebelum hari akad. Hihi." Budhe malah nyengir. Ya, aku tadi dijemput Mas Aryo menggunakan motornya untuk ke mari. Lumayan lama jarak yang ditempuh. Dan kalau sekarang pulang, pasti akan tiba tengah malam."Mas, jangan ngebut-ngebut, ya. Dingin nanti pas kalau malam. Nur juga gak bawa jaket tebal!" pintaku pada Mas Aryo yang kini sudah siap akan mengantarku lagi."Gak bakalan dingin kok. Kita pulangnya sekarang gak pakai motor, tapi pakai angkot, ya," katanya.Aku pun heran. "Angkot? Kenapa gak naik bus aja, Mas? Memang ada angkot bisa antar ke daerah saya langsung?" "Sudah, diam saja dulu di sini. Mas mau ambil dulu angkotnya," jawabnya lagi.Dahiku mengernyit masih heran. "Ken
PoV Nur**Namun sekarang, perkebunan yang dikelola engkongnya itu sudah jadi miliknya. Karena Pakde juga memiliki perkebunan, tapi tidak sama jenisnya. Warisan juga. Intinya, Mas Aryo punya pemasukkan uang dari sana-sini. Aku masih kaget? Iya, masih kaget sekali.Pokoknya aku tidak mau bertanya banyak saat itu. Yang jelas, banyak sekali kejutan yang aku temukan pada diri Mas Aryo. Aku malah seperti menghina dia bilang sewa mobil. Ah, tapi dia duluan yang ngomong. Mas Aryo jujur karena Pernikahan kami tinggal menghitung hari.Hingga tiba hari ini, Mas Aryo mengajak aku pergi membeli kebaya untuk akad. Ia tidak pulang, karena aku juga tahu sekarang, toko bangunan yang sering aku belanjai itu adalah miliknya. Uang separuhnya ia sisihkan untuk buka usaha di sini dalam bidang yang berbeda. Astaga, aku benar-benar malu dan tidak bisa berkata apa-apa. Mas Aryo bukan orang miskin seperti yang Mbak Widya sering katakan. Aku benar-benar sangat malu selama ini. Setelah dari toko kebaya, aku l
PoV Panjul***Kepulan asap rokok dan juga asap knalpot kendaraan kini menjadi pemandangan untuk hidung dan mataku. Heurkh! Sudah parah ini"Saya bon lagi ya, Mak! Lusa saya bayar," ucapku pada tukang warung pinggir jalan. Ini sudah yang ke sekian kalinya warung tempat singgah hanya untuk ngebon pada akhirnya. Hem, proyek ngutang pindah-pindah.Wanita tua itu mencebik kesal. "Hemh, jangan lama-lama! Saya butuh buat modal lagi. 100 ribu bagi saya itu gede. Pokoknya lusa harus bayar!" pintanya dengan sangat.Aku pun bangkit setelah menghabiskan kopi hitam yang hanya diaduk sekali saja. Kalau terlalu manis, lambung suka sakit. Sayang kalau satu gelas tidak dihabiskan. Mana semuanya mahal, satu gelas 10 ribu. Apa-apa sepeuluh ribu. Yang mahal, yang murah pun 10 ribu. Emak-emak somplak! Astaga, kuwalat!"Ya sudah, saya pulang dulu, Mak! Lusa saya bayar dilebihin," ujarku lagi dengan sudah mengangkat kaki sebelah kanan untuk bangun dari tempat duduk kayu.Si Emak yang sedang mengantongi ker
PoV Panjul*"Yang, kenapa? Syok dananya besar ya?" Aku menggesekkan kedua telapak tangan mengekspresikan rasa penasaran. Widya seperti melongok. Aku yakin, uangnya sangat banyak sampai-sampai dia diam."Bang …." Dia bersuara masih terus menatap HP."Kenapa? Cair ke rekening atau ketahan?" ujarku penasaran.~Bukannya raut wajah yang membahagiakan, dia malah membuatku semakin penasaran karena mulutnya menganga kaget."Gak, gak mungkin! Aku harus telepon dia!" tuturnya sembari mengusap layar menghubungi seseorang."Ada apa, Yang?" Aku malah was-was. Widya tidak menghiraukan pertanyaanku namun dia malah bicara pada seseorang dengan nada yang emosi."Ini kenapa? Kamu jangan coba-coba menipu aku ya!" pekiknya. Lalu Widya loud speaker percakapan mereka."Sumpah, Wid, aku juga kena. Kamu lihat di televisi, beritanya viral. Kamu lihat deh! Kamu gak bisa marahin aku, lagian aku juga jadi korban!" jawab wanita itu dengan lantang juga."Sayang, ada apa ini? Apa yang terjadi?" cecarku dengan pe
"Gak ada, em … dia udah gak kerja lagi di sana. Kayaknya aku kena tipu juga," erangku dengan takut."Hah?" Ia berkacak pinggang penuh emosi. Sialan, kenapa ini terjadi beruntun seperti tabrakan di jalan tol."Bang jangan bercanda. Anak kita sebentar lagi lahir, dan kamu pokoknya harus punya pekerjaan yang bagus. Aku gak mau jadi blangsak!" kesalnya."Mau bagaimana lagi, Wid, rezeki siapa yang tahu. Kamu jangan emosi lah, buat aku jadi males kerja," ujarku."Males? Males kerja? Pokoknya ya, Bang, aku gak mau tahu, ini rumah buat aku. Cepat mana surat-suratnya, aku akan alih namakan rumah ini!" pekiknya lagi dengan nada sopran. Heurkh, kotoran telingaku hampir saja loncat-loncat."Sudahlah, Wid, jangan marah-marah terus, ntar cantikmu hilang. Kita ke kamar, yuk!" ajakku mencari pembahasan lain."Ke kamar ngapian? Gak ada, gak ada jatah! Ingat ya, Bang, pokoknya kamu gak boleh bolos kerja. Kalau susah dapat uang banyak, ambil aja sedikit uang untuk beli bahan bangunan. Kamu ingat, kebut
PoV Widya***"Alhamdulillah, sudah sah. Alhamdulillah!" Terdengar dua orang yang menjaga aku dan si Bang Panjul mengangkat tangan dengan artian akad nikah si Nur sama si Mas Aryo terlaksana dengan baik.Pwuih! Kurang asem mereka. Ya, hari ini mereka menikah tepat di depan emosiku. Sayang, mataku tidak melihatnya karena kami malah disingkirkan sejenak.Aku dan si Bang Panjul diundang, tapi kami dikurung di sebuah ruangan dijaga oleh dua orang yang tinggi besar dengan ketat. Katanya mereka bilang, supaya aku dan Bang Panjul tak mengganggu akad nikah mereka. Takutnya kami bikin onar. Iya sih, niatnya begitu, tapi semuanya gatot alias gagal total. Hurkh! Setakut itulah mereka? Sebenarnya sandiwara apa ini? "Hemh, tega kamu sama Abang, Nur," rengek si suami yang duduk di samping. Apa dia tidak sadar dengan apa yang dia ucapkan? Maksudnya apa, tega? Setelah mendengar orang-orang membaca doa, kenapa dia ekspresi wajahnya lecek?"Bang?" Kusenggol lengannya.Dia langsung menutup mulut dan m
Saat ini ada kesempatan Bang Panjul untuk mengurung Mbak Widya di kamar. Dia langsung menguncinya hingga kini suara godor-gedor pintu pun terdengar dari balik kamar pribadi mereka."Bang! Bang! Buka! Buka, eh, buka! Itu di sana ada Mas Aryo yang mau datang untuk mengajak aku jalan-jalan. Kamu jangan terlalu cemburu Bang Panjul, biarkan aku jalan sama dia sekarang. Buka pintu ini! Cepetan muka!"Dari balik kamar sana Mbak Widya masih terus berteriak dan menggedor-gedor pintu. Aku dan Mas Aryo benar-benar jadi bingung untuk membawa Mbak Widya ke psikiater. Kalau dibiarkan pasti gangguan emosinya pasti lebih parah.Kini si Bang Panjul duduk di kursi dengan tatapan lesu dan lunglai. Dia juga mengacak rambut seolah-olah pusing dengan keadaan yang saat ini ia hadapi."Kenapa si Widya jadi begitu? Kenapa dia malah parah seperti ini ya?" Dia bicara sendiri di depan kami berdua."Istri kamu memang gila, Panjul! Pokoknya kamu harus ganti semua barang ibu yang pecah ini. Pokoknya Ibu juga nggak
PoV Nur***"Mau ngapain? Pokoknya aku gak mau, ya? Awas kalau kalian berani bawa aku ke mana-mana. Mati kalian!" Akan dibawa ke psikiater, Mbak Widya malah ngamuk-ngamuk di depan aku dan Mas Aryo, di depan Bang Panjul dan juga ibunya. Dia benar-benar brutal. Baru kali ini aku melihat Mbak Widya sengamuk ini. Betul-betul, otaknya sudah berat sebelah."Ya udah, kalau gak mau ya udah. Jangan kamu rusak semua barang saya, Widya!" Mantan mertua ngomel. Lihat saja apa yang terjadi, Mbak Widya acak-acak isi rumah. Sampai panci, wajan, centongan, semuanya berhamburan keluar. Seperti ada pertempuran antara istri dan selingkuhan suaminya.Brang! BRENG!Pluk!"Sinting kamu, Widya! Apa yang kamu lakukan? Rusak saja barang lain, jangan barang milik saya! Heurkh!"Bu Nengsih murka habis-habisan. Apalagi karena kekacauan ini malah berhasil mengundang perhatian para tetangga. Beberapa warga berhamburan menjadikan rumah Bu Nengsih ini sebagai pusat perhatian.Aku dan Mas Aryo pun bingung harus bag
Semakin aneh lagi Mbak Widya. Jangan-jangan …"Sebenarnya ada apa, Bang?" Aku sangat penasaran dan langsung menanyakan pada si Bang Panjul."Sejak minum baygon sama so Klin lantai, otaknya jadi gesrek, Nur! Abang 'kan pernah cerita sama kamu waktu itu." Bang Panjul menjelaskan dengan fasih."Hah, jadi itu beneran?" Aku kaget, Mas Aryo pun masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."Beneran, Nur. Sepertinya kalau tidak keburu dicegah, dia bisa mati. Eh, malah stres!" kesal si Bang Panjul."Astaghfirullahaladzim!""Heh, jangan bilang aku stres ya, Bang? Kurang ajar! Kamu yang stres, kamu gak bisa kasih aku uang banyak! Kamu yang stres!" Mbak Widya nyolot.Aku tak habis pikir dengan tingkah Mbak Widya saat ini. Dia seperti lain, ini bukan dia. Kalau pembahasannya sih masih sama, tapi cara dia tampil dan dia ngelantur, ini beda."Lihat 'kan, Nur? Dia tidak gila semacam amesia, dia masih sadar, hanya kadang ngelantur dan kayak orang gila. Lihat aja, baju dia pakai dobel-dobel kayak gitu
PoV Nur***"Sebenarnya istri saya kenapa, Dok? Kok bisa sampai muntah-muntah begini, ya? Apa asam lambung?" Dokter malah senyam-senyum. "Selamat, Bu Nur sedang mengandung. Sepertinya sudah mau jalan 4 Minggu."Deg!Aku dan Mas Aryo yang duduk di depan dokter, di ruang pemeriksaan ini pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. "Yang bener, Dok? Jadi istri saya hamil?"Aku hanya mampu berkali-kali meneguk liur saking terharunya. Kalau ini benar, alhamdulillah, kami memang benar-benar menanti. Itu alasan kenapa aku tidak ikut KB."Betul sekali. Apalagi istri Bapak telat datang bulan, ya?" ucap dokter lagi.Mas Aryo melirikku. "Kamu telat datang bulan?" tanyanya padaku.Aku pun manggut-manggut dengan senyum yang ragu. Memang tadi dokter bertanya mengenai hal itu."Alhamdulillah, jadi beneran hamil, ya?" Mas Aryo memastikan lagi pada dokter perempuan yang tengah memeriksaku.Begitu bahagianya kami. Ini adalah rezeki terindah sepanjang sejarah. Ah, aku hamil? Jadi pusing-pusing belakangan ini
"Ya pakek nomor suamimu lah! Pakek nomor siapa lagi? Lagian, pasti pesannya udah dihapus. Tadi, barusan aja suamimu hubungi aku. Eh, kamu keburu datang aja, Nur. Hemh." Seharusnya ini bisa membangkitkan emosi anak kurang ajar ini. Tapi, bukannya dia marah, wajahnya malah lesu dan malas."Pakai nomor yang mana, Mbak? Pakai nomor yang ini?" Ia merogoh hp dari tas kecilnya, "ini hp Mas Aryo kebawa sama aku waktu tadi Mas Aryo peluk aku dan genggam-genggam tangan aku, kayaknya dia simpan hp di keranjang belanjaan tanpa sadar. Kayaknya gak ada kiriman pesan atau pesan masuk dari kamu deh, Mbak. Atau Mas Aryo pakai nomor mana ya?" Dengan penuh keyakinan dia membuat emosiku berapi-api. Hah? Bagaimana bisa hp Mas Aryo tertinggal di keranjang si Nur? Ah, lalu tertinggal saat si Mas Aryo meluk dia?"Eh, kamu lancang ya bawa-bawa hp suami!" tegurku kesal. Entah kenapa kesempatan membuat mereka adu mulut jalannya sesulit ini. Kenapa kebetulan? Lalu alasan apalagi?"Sudahlah, Wid, kamu pulang sa
PoV Widya***"Eh, eh, eh, apaan ini?"Seorang wanita paruh baya yang kehadirannya membuatku terkejut itu sudah berkacak pinggang. Ia menatapku dengan sengit. Ibu, kenapa mertuaku ada di sini?"Ibu?""Dasar istri kurang ajar! Bilang mau nyari kerja, kenapa kamu di sini? Mau ngapain di sini? Jangan-jangan kalian berdua main di belakang lagi ya?" cerocosnya. Mas Aryo pun bukannya kaget tapi dia malah geleng-geleng kepala. "Jangan asal tuduh, Bu. Lihat menantu Ibu yang menyodorkan dirinya pada saya. Sudah saya suruh pergi malah makin nyosor." Mas Aryo tega seserius itu membicarakan aku.Aku di sini panik."Eh, eh, eh, si Widya ini bikin malu. Sudah lagi perut bunting, sekarang malah begini. Gak waras kamu, ya?" celetuk mertua."Bu, diam dulu. Aku ke mari … aku ke mari karena ada urusan. Iya 'kan, Mas?" Aku melirik Mas Aryo berharap dia mau kongkalingkong. Kukedip-kedipkan mata memberikan kode."Urusan apa, Wid? Kamu mau ganggu aku lagi ya? Aku malu sih pernah jadi suami kamu. Lebih baik
PoV Widya***Tok tok tok!Ehm!Aku pun berdehem untuk menetralisir kegugupan. Mungkin sudah jodohnya, pintu pun langsung dibukanya dan kini Mas Aryo pun telah menatap wajahku yang cantik ini."Eh, Wid? Ngapain?" Sepertinya urat malu ku bermunculan. Betapa tampannya dia, masih sama seperti dulu. Bahkan, jam tangan di pergelangan tangannya menambah kesan elegan dan sangat rupawan."Mas Aryo, boleh masuk aku, Mas?" ujarku malu-malu."Ada apa? Duduk saja di sana, ayok!" sarannya. Huwh, sebenarnya aku kesal, dia tak membawa aku masuk ke dalam rumahnya. Padahal, sat-set, sat-set, di kamar 5 menit juga beres. Dia pasti klepek-klepek.Mas Aryo duluan duduk, aku pun mengekor dan duduk di kursi kayu yang ada di teras ini. Wangi parfumnya meski masih berkeringat tetap melekat. Apalagi sekarang dia sudah kaya, pasti parfum ini juga mahal harganya."Ada apa, Wid? Nur sedang ke warung. Lebih baik kalau ada perlu, nanti saja ke sini lagi. Aku mau mandi ini."Mendengar kalimat 'mau mandi' entah ken
PoV Widya***Seharusnya aku tak melepaskan Mas Aryo kalau pada akhirnya dia akan jadi kaya seperti ini. Setelah aku telusuri lebih jauh sampai ke kota tempat ia tinggal, ternyata Mas Aryo dapat warisan dari kakeknya yang baru saja meninggal. Aku tidak ke sana, hanya menghubungi, cari informasi dari tetangganya yang kontaknya masih tersimpan.Huwh … kenapa si kakek tidak meninggal sejak dulu? Kenapa harus setelah aku cerai. Lagipula, yang aku tahu Mas Aryo ini hanya orang-orang biasa. Bukan keturunansultan.Pantas dia beli tanah dan bangun rumah sebesar ini. Di sini harga tanah masih relatif murah. Mendengar warisan yang disebutkan dari tetangga si Mas Aryo.Kuelus perut yang sudah semakin buncit ini. Darah daging siapa? Hurkh … si miskin! Si penipu!Aku sekarang dari kejauhan sedang menatapi rumah si Nur yang dibangunnya menggunakan jasa suamiku, mantan suaminya. Apa keduanya termasuk si Bang Panjul tidak sadar dengan posisi masing-masing sejak awal? Lihatlah, si Bang Panjul sampai
PoV Panjul***"Huwh … huwh …." Hanya mampu mengatur pernapasan tanpa bicara. Ibu juga pasti mendengar gunjingan barusan."Oh, begitu? Mujur ya nasib perempuan itu. Sudah punya kedai makanan, punya kontrakan, katering, sekarang punya suami kaya. Ck, ck, ck."Aku malah semakin sesak napas dan gemetar mendengar kehidupan keduanya. Kenapa harus kebetulan ada tetangga rempong di sini. Meski aku pernah melihat dua orang ibu-ibu ini namun tak begitu akrab, bicaranya tak bisa membuat telingaku seketika mati pendengaran."Sialan! Mereka ngoceh apaan? Aku yakin, si Mas Aryo hanya nipu kayak laki-laki di sampingku ini. Aku juga yakin, beberapa bulan akan terbongkar apa sebenarnya maksud dari si Mas Aryo. Tidak mungkin dia baru menikah langsung membuatkan rumah mewah itu untuk si Nur. Apa berharganya anak itu." Dengarlah ocehan pedas Widya. Tapi sebenarnya bisa jadi. Oh tidak, aku kebas dan kesemutan."Aneh, dari jalan keluar rumah sampai Ibu ke pasar, sampai ibu ke warung balik lagi ke rumah sa