Sudut pandang Anya:"Jason?" seruku kaget.Seketika, aku teringat bahwa tadi aku hendak menelepon Maximus. Tanpa pikir panjang, aku langsung menekan tombol merah dan tidak memeriksa apakah panggilanku tadi tersambung atau tidak."Tunggu sebentar," kataku.Aku bergegas kembali ke kamar dan menaruh ponselku di sana. Setelah menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri, aku kembali ke ruang tamu."Ini buatmu," kata Jason.Pria itu mengulurkan seikat mawar merah dan cokelat berbentuk hati yang kuterima dengan perasaan campur aduk. Aku melirik ke samping dan melihat keluargaku berdiri menonton dengan mata terbelalak."Kalian lanjutkan saja. Kami mau keluar sebentar," kata Ibu sambil tersenyum canggung."Ya, Bu," jawabku.Satu per satu, keluargaku buru-buru pergi. Aku memperhatikan mereka dengan tenang sampai hanya ada aku dan Jason di ruang tamu."Ayo duduk dulu," kataku sambil menunjuk ke sofa."Terima kasih," jawab Jason dengan senyum yang membuatnya terlihat makin tampan.Sejak dahulu,
Sudut pandang Anya:Entah sudah berapa lama aku duduk di tepi ranjang. Bahkan saat ibuku mengetuk pintu, aku tidak menjawab. Setelah beberapa saat dia akhirnya menyerah dan meninggalkanku sendirian di kamar.Aku memutuskan untuk mandi setelah merasa cukup tenang. Semoga saja setelah tidur, aku akan merasa lebih baik keesokan harinya.Malam itu aku tidak makan dan langsung berbaring di ranjang. Mataku nanar menatap langit-langit hingga akhirnya getaran ponsel membuyarkan lamunanku.Awalnya, aku mengabaikannya. Namun, saat getaran ponselku tak kunjung berhenti, aku pun berusaha meraihnya. Ternyata ponselku tergeletak di ujung ranjang. Aku baru ingat kalau tadi aku menaruhnya sembarangan.Aku menarik napas dalam-dalam dan melihat nama Maximus di layar. Sebenarnya aku sedang tidak ingin bicara dengannya, tetapi aku tidak mau membuatnya khawatir. Setelah beberapa detik, barulah aku menjawab panggilannya."Halo?" sapaku dengan nada datar dan tak bersemangat. Saat ini, aku bahkan terlalu leti
Sudut pandang Anya:"Kenapa kamu ke sini? Aku pikir kamu sudah pergi," ujar Ruth dengan nada penuh kebencian.Tanganku terkepal erat dan aku bisa merasakan darahku mendidih. Aku masih mencoba bersabar meskipun adegan romantis yang baru saja aku lihat membuatku sulit melakukannya."Nenek, Anya itu istriku," sela Maximus.Alisku terangkat saat mendengar Maximus cepat-cepat membelaku. Ternyata dia berani melawan neneknya."Aku nggak peduli!" seru Ruth dengan mata yang menyala karena marah. Ekspresi tidak suka terlukis jelas di wajahnya saat menatapku."Kalau aku tahu kamu dan perempuan genit itu ada di sini, aku nggak bakal repot-repot datang. Mending aku tetap di rumah menikmati liburan," balasku kepada Ruth."Kamu berani kurang ajar?" desis wanita tua itu.Dengan langkah lebar, Ruth bergegas ke arahku. Telapak tangannya terangkat ke atas, lalu mendarat keras di pipiku.Aku tidak menduga Ruth akan menamparku, jadi aku tidak sempat bereaksi. Aku benar-benar lupa, memang beginilah sikap or
Sudut pandang Maximus:"Halo," jawabku saat Haris menelepon."Pak, saya sudah menemukan Bu Anya," lapornya."Ikuti dia dan jangan sampai kamu kehilangan jejaknya. Aku harus tahu ke mana saja dia pergi," perintahku."Baik, Pak," jawab Haris.Aku mengakhiri panggilan, lalu berbalik menghadap Nenek dan Miranda. Meskipun saat ini aku benar-benar marah, wanita itu tetaplah nenekku."Miranda, aku nggak mau lihat wajahmu lagi. Kalau kamu nggak segera pergi, aku nggak bakal ragu menghancurkan kehidupan keluargamu. Ingat itu," ancamku."Tapi, Sayang ....""Jangan panggil aku sayang! Aku bukan pacarmu!" bentakku yang membuat perempuan itu terkejut."Maximus," panggil Gerald Kusuma, temanku yang juga seorang dokter.Gerald kelihatannya juga terkejut dengan kejadian ini. Barusan dia datang bersama seorang perawat, mungkin karena menerima laporan ada keributan di bangsalku."Jangan ikut campur, Gerald," kataku dingin."Kalau begitu, aku permisi dulu," kata Gerald yang segera mengangguk dan pamit.D
Sudut pandang Maximus:Setelah lebih dari satu jam, Haris kembali menelepon. Aku segera meraih ponsel yang kuletakkan di meja."Anya di mana? Dia pulang ke apartemen nggak?" tanyaku."Nggak, Pak. Dia ke hotel," jawab Haris."Hotel apa?""Di Hotel Biru, Pak.""Oke, kamu lanjut bekerja saja," perintahku.Setelah mengakhiri percakapan, aku memanggil Gerald dan memintanya membantuku mengurus administrasi rumah sakit."Omong-omong, aku sama sekali nggak paham kenapa kamu mau repot-repot begini buat istrimu. Apa kamu cinta banget sama dia?" tanya Gerald dengan nada heran."Aku sudah kayak nggak bisa hidup tanpa dia. Aku sendiri nggak tahu kenapa. Aku belum pernah kayak begini sama wanita lain," ujarku mengakui."Itu namanya jatuh cinta, Max. Ya sudah, semoga kalian cepat berbaikan. Tapi, dari yang aku lihat tadi, istrimu kayaknya tertarik sama cowok lain," komentar Gerald.Ucapan temanku itu membuat otot-ototku menegang. Tanpa sadar, rahangku mengeras dan tinjuku terkepal.Gerald melanjutkan
Sudut pandang Anya:Tidurku sangat nyaman. Entah mengapa, aku merasa seperti bayi yang sedang digendong dan dininabobokan. Aku tidak tahu apakah itu pengaruh AC atau hal lain, tetapi aku merasa begitu ringan dan damai.Perlahan, aku membuka mata dan berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya temaram lampu di kamar. Saat mengusap air mataku yang telah mengering, aku baru sadar kalau ada orang di sampingku."Maximus?" seruku sambil segera duduk.Namun, gara-gara terlalu cepat bangun, tubuhku limbung. Maximus langsung menahan dan menarikku mendekat agar aku tidak jatuh dari tempat tidur.Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Mengapa Maximus bisa berada di sini? Bukankah tadi aku tidur di hotel?"Mau apa kamu di sini? Kok kamu bisa masuk?" tanyaku."Memangnya kenapa aku nggak bisa masuk?" jawabnya santai sambil bersandar pada sandaran kepala."Maksudmu? Ini kamar hotelku! Kamu nggak bisa masuk kalau aku nggak mengizinkan," balasku."Aku bisa masuk ke kamar mana saja
Sudut pandang Anya:Aku terkejut mendengar perkataan Maximus. Namun, saat aku hendak menanggapi, ciumannya langsung mendarat di bibirku. Aku bisa merasakan isapannya yang khas saat dia melumat bibirku. Dia selalu melakukannya tiap kali kami berciuman dan hal inilah yang aku suka darinya.Tangannya menangkup pipiku, membuatku tidak bisa memalingkan wajah. Ketika aku berpegangan pada bahunya, dia melepaskan pipiku dan membiarkan tangannya menjelajahi tubuhku.Aku segera membalas ciumannya, sesuatu yang kupelajari darinya. Sebelum bersama Maximus, aku hanya berbagi ciuman dengan Jason. Namun, itu hanya ciuman ringan, bukan sesuatu yang bisa membangkitkan hasrat seperti ini. Maximus benar-benar berbeda. Dia membuatku menginginkan lebih dari sekadar ciuman biasa.Panasnya gairah kami menyelimutiku. Sebelum aku sadar, pinggulku sudah bergerak sendiri di pangkuan Maximus. Tangannya meraih pinggangku, sementara tanganku menjelajahi dadanya. Bibir kami menyatu dalam ciuman yang penuh hasrat.Ak
Sudut pandang Anya:"Kenapa kamu pilih kamar biasa kalau bisa pesan kamar yang lebih bagus?" tanya Maximus.Kami baru saja selesai makan dan aku harus mengakui bahwa aku makan sangat banyak. Seharian ini aku memang belum makan, jadi aku senang Maximus memesan banyak sekali makanan. Setelah semua makanan yang ada di meja tandas, aku baru sadar bahwa aku sebenarnya sangat lapar."Aku nggak punya uang," jawabku jujur.Kami sekarang duduk di sofa. Aku bersandar pada lengan Maximus yang merangkulku, sementara tangannya yang satu lagi mengusap-usap tanganku yang dipegangnya."Lho? Aku sudah kasih kamu kartu kredit, 'kan?" tanyanya."Aku nggak mau pakai kartumu biarpun aku sempat tergoda tadi. Nenekmu pasti bakal mara-marah lagi kalau tahu aku pakai uangmu," jawabku."Jangan pedulikan nenekku. Sudah tanggung jawabku sebagai laki-laki dan suami untuk memenuhi kebutuhan dan keinginanmu. Lain kali, jangan ragu untuk menghabiskan uangku," katanya padaku."Nggak usah, Max. Aku punya uang sendiri."
Sudut pandang Maximus:Andy yang tengah memeluk wanita di sampingnya, menimpali, "Kami sudah bilang bahwa kamu nggak dibutuhkan di sini.""Hei, Max bukan satu-satunya pria di sini," balas Sherly.Aku dengan jelas melihat Anya memutar matanya. Jelas kami semua sudah memiliki pasangan."Kalau begitu carilah seseorang yang sedang sendirian untuk kamu temani," kata Andre."Hei, Jalang, pergi dari sini," bentak Sherly pada wanita di samping Lucky."Apa?" tanya wanita itu dengan terkejut."Diam, Sherly!" teriak Lucky padanya.Dia paling benci pada orang yang mengacaukan apa pun atau siapa pun yang dia anggap miliknya."Apa? Jadi, kamu lebih pilih dia daripada aku?" tanya Sherly dengan nada genit."Aku nggak akan pernah memilihmu, Jalang," balas Lucky.Lucky memiliki lidah yang tajam. Dia akan mengatakan apa pun yang terlintas dalam pikirannya tanpa memedulikan siapa lawan bicaranya."Napa kamu terus-terusan ngelihatin wanita jalang itu?" tanya Anya dengan lembut."Apa? Aku nggak melakukannya
Sudut pandang Maximus:"Hei, Bro, aku nggak tahu kalau kamu sudah menikah!" komentar temanku, Lucky Susatyo sambil menyeringai dan menatap Anya.Sikapnya membuatku merasa tidak nyaman karena aku tahu betapa pandainya dia merayu wanita. Lucky lebih parah dariku. Dia bahkan pernah menikung pacar temannya. Meskipun dia tidak pernah terlibat hubungan serius dengan wanita, tetap saja tidak pantas baginya untuk menggoda istriku."Ya, dia istriku, jadi bersikaplah sopan padanya," kataku sambil menatapnya tajam, berharap dia menerima pesanku. Aku tidak akan pernah memaafkannya kalau sampai dia mendekati satu-satunya wanita yang kucintai."Hei, hei, cukup," sela Andy sebelum melirik ke arahku dan Anya. "Lucky juga tahu diri. Ya 'kan, Sobat?"Aku mengangguk dan dengan lembut meremas tangan Anya untuk meredakan kecanggungan. Mungkin aku salah memilihkan baju untuknya. Meski Anya berdada rata, lekuk tubuhnya yang seksi tetap terlihat jelas. Dengan cepat, aku melepaskan mantelku untuk menutupi paka
Sudut pandang Anya:"Cepat masukin, Suamiku!" perintahku. Tubuhku sudah mengantisipasi penetrasinya yang kasar. "Ahh! Enak sekali!" Aku tidak bisa menahan erangan sensualku lagi. Apa yang dikatakan orang mesum itu benar. Wanita mana pun akan mengerang oleh sentuhannya."Kamu masih sangat ketat, Istriku," katanya dengan suara sensual saat melakukan penetrasi.Awalnya, dia memegangi pinggulku, tetapi kemudian salah satu tangannya bergerak ke bahuku, mendorong batangnya masuk lebih dalam. Dia melakukannya dengan sepenuh hati, dan aku menikmati setiap momen."Maximus, teruskan ... lebih cepat ... ahh!" Aku mengerang berulang kali, kehilangan diriku dalam sesi bercinta yang intens ini. Kenikmatan di antara pahaku sedang terbangun, dan aku tahu dia juga merasakannya, jauh di dalam diriku. Aku mencengkeram bantal erat-erat saat dia terus menggoyangkan pinggulnya dengan cepat.Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Maximus, pastikan untuk nggak keluar di dalam, oke?"Dia tiba-tiba berhenti dan menat
Sudut pandang Anya:"Sial! Istriku, kamu nggak pakai celana dalam?!" serunya dengan matanya terbelalak."Yah, celana dalamku terlihat di balik gaun ini. Berhubung aku nggak punya celana dalam seamless, jadi aku melepasnya," jawabku.Sejujurnya aku merasa agak risih dengan gaun yang kami beli di Baharimudra. Awalnya, aku tidak terlalu memikirkannya. Aku telah mencobanya di depan cermin sambil hanya berfokus pada bagian depan tanpa memperhatikan bagian belakang.Namun, ketika aku memakainya lagi barusan, aku baru sadar kalau celana dalamku terlihat jelas. Penampilan gaun ini tampak mengerikan dari belakang, dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Jadi, pada saat Maximus memasuki kamar, aku sudah melepas celana dalamku."Sial ...," gumamnya.Dia kemudian memasukkan satu jari ke dalam organ intimku, membuatku memejamkan mata dan bersandar ke dadanya yang bidang dan berotot."Maximus, kamu lagi ngapain? Sebentar lagi kita berangkat," aku mengingatkannya, tapi suaraku terdengar lebih seperti e
Sudut pandang Anya:"Benarkah? Tadinya aku berharap kamu mau ketemu dengan teman-temanku di sini," kata Jason.Seharusnya dia tidak perlu melakukan itu, tapi aku tidak memberitahunya karena tidak ingin menyakiti perasaannya."Maaf, Jason, aku benaran nggak bisa," jawabku."Oke. Lain kali saja kalau begitu," katanya."Oke. Dah."Setelah mengakhiri panggilan, aku menarik napas dalam-dalam.Kenangan saat-saat kami masih bersama tiba-tiba membanjiri benakku lagi. Aku tidak bisa mengatakan hal-hal buruk tentangnya. Aku tahu dan masih bisa merasakan cintanya kepadaku. Tidak pernah terjadi kesalahpahaman di antara kami karena dia sangat pengertian. Mungkin itu karena kami saling mengenal satu sama lain.Tentu saja kami pernah bertengkar, tetapi seringnya kami bertengkar karena hal-hal kecil. Walau demikian, dia selalu berusaha keras untuk menebusnya. Itulah alasan yang membuatnya menjadi satu-satunya pria yang pernah sangat aku cintai.Sayangnya semua itu sudah berlalu. Kami tidak lagi bersam
Sudut Pandang Anya:"Ayo, istriku. Ikutlah denganku," ajak Maximus yang memaksa. Aku benar-benar tidak mau ikut. Percakapan bisnis tidak menarik bagiku. Lagi pula, aku hanya akan bengong selama rapat. Jadi, aku lebih baik diam di kamar hotel ini."Aku mau di sini saja, Maximus. Kamu sudah ditemani dua sekretarismu, itu cukup," balasku."Kamu mau ngapain di sini?" tanya dia."Memangnya kamu mau aku ngapain di sana?" jawabku."Mendengar percakapan kami," katanya."Kamu tahu kenapa aku jadi perawat?" tanyaku yang mulai bicara dengan nada kesal."Agar kamu bisa bersama Jason?" balasnya. Aku pun mengerlingkan mata karena kesal dia masih cemburu. Maximus memang mengaku kalau dia cemburu saat melihatku bersama Jason, dan benci saat melihatku terlihat begitu senang saat bersama Jason. Maximus berpikir aku memberi tahu Jason kalau kami akan datang dan Jason juga sedang ada di sana.Aku sudah menjelaskan semuanya, alasan aku dan Jason masih berkomunikasi dan alasan dia ada di sini. Aku kira mas
Sudut pandang Maximus:Kepalaku sakit dan aku tidak bisa berhenti mengerang saat membuka mata dengan perlahan. Aku berusaha mengingat kenapa aku merasakan ini, lalu kejadian kemarin pun muncul kembali di benakku. Aku bernapas dalam-dalam sebelum menoleh ke samping, lalu merengut karena tidak melihat Anya di sana.Aku pun segera bangun dan memeriksa kamar mandi. Lampunya mati, jadi sudah pasti dia tidak ada di sana. Kemudian, aku ingat Anya menanggalkan pakaianku semalam, tetapi sekarang aku sudah mengenakan singlet dan bokser.Aku keluar kamar dan melihat Anya sedang tidur di sofa. Aku diam-diam menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sofa itu cukup besar untuk menampung kami berdua, tetapi Anya tidak seharusnya di sana. Dia seharusnya ada di kamar bersamaku, tetapi dia malah memilih untuk tidur di sini.Aku memutuskan untuk membiarkannya dan mulai memperhatikan diri sendiri. Saat mandi, aku teringat bagaimana aku harus menahan diri kemarin setelah menghukum Anya. Lain kali, aku akan m
Sudut pandang Maximus:"Apa? Kamu mau minum?" tanyaku."Iya," jawabnya. Dia melanjutkan, "Aku juga mau kamu." Aku pun melirik ke arah pelayan bar dan memberikan isyarat agar dia menuangkan segelas minuman untuk wanita itu. Aku tidak bermaksud untuk mendekati wanita itu dan hanya ingin menemani dia minum. Aku sadar kalau aku mengusirnya, akan ada orang lain yang datang menggantikannya.Jadi, aku minum bersama wanita yang tidak mau kukenal itu, lalu aku pun mulai merasa pusing. Aku bahkan tidak tahu saat itu pukul berapa karena aku hanya memikirkan Anya yang mungkin tidak mau menghubungi atau menanyakan kabarku. Aku begitu terpuruk di bar, terus-terusan memanggil nama Anya saat seseorang mengangkat kepalaku.Aku pun mendengar seseorang berkata, "Tampan, jangan tidur di pangkuanku." Kejadian itu akan lebih baik kalau aku melihat wajah Anya. Sayangnya, bukan itu yang terjadi. Aku pun menyingkirkan tangan wanita itu saat dia menyentuh wajahku. Namun, wanita itu begitu bersikeras menarik wa
Sudut pandang Maximus:Bahkan saat aku bersama teman-temanku, pikiranku masih terpusat pada Anya. Mereka menggodaku saat kami mengobrol, karena mereka menyadari kalau perhatianku teralihkan. Mereka juga yang telah mendatangkan seorang wanita ke kamar hotel kami. Namun, aku bahkan tidak bisa mengingat nama wanita itu.Saat itulah mereka menyadari bahwa hubunganku dengan Anya cukup serius. Aku menegur teman-temanku, dan menjelaskan bahwa aku tidak tertarik bermain dengan wanita lain. Mereka mengira aku telah menikahi Miranda dan menerima keputusan nenekku, tetapi mereka salah.Menjelang sore, aku sudah tidak tahan lagi. Aku pun berpamitan pada teman-temanku. Aku menduga Anya mungkin merasa lapar, dan memutuskan untuk pulang agar kami bisa makan bersama. Namun, saat aku berbalik ke arah lift, aku melihat Anya keluar bersama Jason.Apa yang dia lakukan di sini? Apakah Anya telah memberi tahu Jason bahwa kami ada di sini sehingga dia mengikuti kami ke tempat ini?Amarah berkobar dalam hatik