Mobil Pak Yogi berhenti di depan sebuah salon. "Ayo turun!"
Aku pun mengekori langkah Pak Yogi. Kami masuk ke sebuah salon yang begitu mewah. "Pak. Bapak mau nyalon di sini?" Pak Yogi hanya diam tanpa menghiraukan pertanyaan dariku.
Terlihat beberapa karyawan salon yang sangat cantik. "Pantes nyalon di sini. Karyawannya saja cantik-cantik begitu." Pak Yogi menghentikan langkahnya dan menatapku serius.
"Kamu bisa diam ngga?"
Segera kututup bibirku dengan tangan.
"Saya minta, kalian rubah perempuan aneh ini menjadi cantik!" pinta Pak Yogi pada karyawan salon.
"Eh, Yogi. Ada yang bisa kami bantu?" tanya perempuan cantik dengan rambut berwarna cokelat dan postur tubuh yang semampai.
"O - oh. Aku nganter istriku nyalon."
Perempuan tersebut menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Di - dia istri kamu, Gi? Aku denger sih, kamu udah nikah. Tapi ...."
"Maaf. Pernikahan kami memang dipercepat. Jadi banyak teman yang lupa ku-undang." Pak Yogi memotong ucapan perempuan tersebut.
"Ternyata perempuan ini istrinya." Terdengar karyawan salon saling berbisik.
Huh ... ngapain juga Pak Yogi ngajakin aku ke salon ini. Harusnya bilang dulu kalau mau ngajak ke salon. Aku 'kan sudah punya salon langganan.
"Kenapa malah pada diam? Tadi saya sudah bilang sama kalian 'kan?" tegur Pak Yogi pada karyawan salon. "Mel. Aku harap kamu tidak berpikir macam-macam tentang istriku. Dia perempuan baik-baik. Makanya aku pilih dia menjadi pendampingku."
Ish ... ternyata pinter akting juga, Pak Yogi.
"Ma - maaf, Gi. Aku tidak ada maksud apa-apa. Okey. Akan aku rubah penampilan istrimu biar cantik."
"Biar cantik? Maksud Mbak, saya jelek?"
"Mak - maksud saya, biar lebih cantik lagi. Maaf. Saya salah bicara!"
"Mari, Mbak. Ikut kami!" ajak karyawan salon yang seketika berubah menjadi ramah.
Pak Yogi terlihat menganggukan kepalanya padaku.
Gegas aku pun mengikuti langkah karyawan salon tersebut.
Baru kali ini aku perawatan di salon mewah. Ternyata nyaman juga. Tapi masih tetap nyaman di salon langgananku. Murah lagi.
Hampir 3 jam lamanya. Akhirnya selesai juga. Aku benar-benar tidak percaya dengan perubahanku ini.
"Cantik. Aku terlihat cantik sekali," ucapku dalam hati.
Sesaat Pak Yogi menatapku. Tapi tidak berapa lama, dia memalingkan wajahnya.
"Terima kasih ya, Gi. Jangan lupa mampir lagi ke salon kami."
Pak Yogi langsung menarik tanganku untuk ke luar. "Pak. Tadi Bapak membayar sampai jutaan. Apa ngga salah? Coba tadi ke salon langganan saya. Paling cuma habis tiga ratus ribu."
"Nay. Bisa tidak, kamu diam sebentar saja? Tidak usah banyak protes!"
Hmm, apa ngga kebalik? Siapa coba yang dikit-dikit protes.
***
Pak Yogi mengajakku ke suatu tempat lagi. Kali ini dia mengajakku ke butik. Butik ini sangat terkenal. Hanya orang-orang berduit yang ke luar masuk tempat ini.
"Pak. Bap ...." Belum selesai aku bicara, Pak Yogi menutup bibirku dengan jari telunjuknya.
"Saya sudah bilang 'kan? Jangan banyak bicara!"
Kali ini Pak Yogi menggandeng tanganku setelah turun dari mobil. Pasti ada alasannya dia melakukan hal ini. Aku yakin itu.
"Biasa saja kalau memandang saya! Nanti kamu bisa beneran suka sama saya."
"Jangan GR, Pak! Bapak itu bukan type saya." Kubalas ucapan Pak Yogi yang kemarin bilang begitu padaku.
"Selamat siang Pak Yogi. Wah. Pengantin baru. Mesra sekali."
Benar 'kan dugaaanku. Pasti Pak Yogi sedang cari muka. Biar dibilang suami baik, penyayang. Padahal aslinya super nyebelin.
"Nay, kamu ambil saja baju-baju yang kamu suka!"
"Beneran, Pak? Banyak boleh?"
"Terserah."
Aku mulai berselancar melihat baju-baju yang sangat bagus di butik ini. Netraku tertuju pada dress panjang berwarna ungu. Bagus sekali.
Ya ampun. Mahalnya. Buat beli baju yang biasa kupakai bisa dapat sepuluh potong.
Aku mendekati Pak Yogi yang duduk menungguku di kursi panjang. "Pak. Kita cari toko baju yang lain saja, yuk! Sumpah, Pak. Harganya mahal banget." Aku berbisik di telinga Pak Yogi.
"Mbak. Ambilkan semua koleksi baju di butik ini!"
"Baik, Pak."
Karyawan butik dengan cepat mengambil beberapa baju dan memperlihatkan semuanya pada kami.
"Nay, sekarang kamu coba satu per satu!"
"Ta - tapi, Pak."
"Kamu jangan bikin saya malu. Kamu pikir saya tidak mampu membayarnya? Toko pun bisa saya beli, Nay."
Huh ... sombong sekali.
Aku mulai mencoba satu per satu baju tersebut dan memperlihatkan pada Pak Yogi.
Semua yang kucoba ditanggapi Pak Yogi biasa saja. Wajahnya pun begitu datar.
"Mbak. Saya ambil semua baju-baju tersebut."
***
"Tadi Pak Yogi tidak memberi komentar apapun saat saya mencoba baju-baju ini. Terus kenapa Pak Yogi membeli semuanya?"
"Harusnya kamu itu terima kasih sama saya. Karena saya sudah membelikan baju-baju yang mahal untuk kamu."
"Salah Pak Yogi sendiri. Ngapain beliin saya baju mahal. Buat saya, baju itu yang penting sopan dan bersih. Masalah harga atau bagus. Itu nomor sekian."
"Tapi kamu juga harus ingat. Kalau sekarang ini status kamu sebagai istri Yogi Adijaya. Sampai di sini. Paham 'kan?"
Hemh ... kenapa malah jadi ngga bebas seperti ini jadi istri orang kaya. Heran. Sama perempuan yang selalu berharap memiliki suami kaya.
"Pak. Kalau nanti Kakek Jaya tau soal pernikahan kita yang memiliki perjanjian, gimana?"
Cittt
Seketika Pak Yogi menghentikan mobil dengan mendadak. "Kamu tidak ada niat ingin memberitahu Kakek soal ini 'kan Nay?" Tatapan Pak Yogi begitu serius.
"Ti - tidak, Pak. Saya 'kan hanya tanya saja."
"Saya sudah membantu kamu untuk melunasi hutang orang tuamu dari rentenir. Jadi kamu juga harus membantu saya. Simpan rahasia ini baik-baik! Karena yang tau soal ini hanya kita berdua."
"Memangnya Pak Yogi tidak punya pacar? Harusnya 'kan Pak Yogi bisa menikahi pacar Bapak tanpa harus ada perjanjian seperti pernikahan kita saat ini."
"Kamu tidak perlu tau masalah pribadi saya. Saya harap kamu bisa menepati janji."
"Kalau akhirnya Pak Yogi sendiri yang ingkar janji, bagaimana?"
Pak Yogi kembali menatapku. Kali ini tatapannya semakin dekat. Wajahnya mendekat ke wajahku. Netranya yang indah tak berkedip sedikitpun. Lagi-lagi napasku terasa sesak ketika berdekatan dengan Pak Yogi.
Ya Tuhan. Pak Yogi mau ngapain? Aku memejamkan mata karena tak sanggup menatapnya. Kini bibir Pak Yogi terasa menyentuh bagian telinga. "Yogi Adijaya tidak mungkin ingkar janji. Paham," ucap Pak Yogi di telingaku.
Langsung kubuka netraku kembali. Seketika Pak Yogi menjauhkan wajahnya dariku.
Hah ... ya ampun. Hampir saja aku pingsan. Aku pikir Pak Yogi mau ngapa-ngapain. Ternyata, hanya ingin bicara begitu saja.
Bersambung
Kakek Jaya tersenyum melihat perubahanku."A - aneh ya, Kek?""Bukan aneh, tapi kamu sangat cantik, Nay. Pantes cucu Kakek terpikat."Aku tersenyum malu menanggapi pujian Kakek Jaya. Sedangkan Pak Yogi, seperti biasa, dia hanya diam dengan sikapnya yang kaku."Kamu betah 'kan Nay, tinggal di rumah ini? Kalau kurang nyaman karena ada Kakek, kalian bisa tinggal di rumah yang satunya lagi. Kakek tidak keberatan. Kalian 'kan sudah menikah."Sebenarnya enakan tinggal di rumah Bapak dan Ibu. Bisa nyantai. Rumah sebesar dan semewah ini tak menjamin rasa nyaman. Apalagi ... punya suami nyebelin, kaku dan sombong, ucapku dalam hati dengan melirik Pak Yogi yang duduk di sampingku.Seketika Pak Yogi menatapku. Dia menggeser duduknya lebih dekat. "Kamu membatin saya?"Aku melihat ke arah Kakek Jaya dengan senyum yang dibuat-buat."Kalian ini. Sudah dekat hampir satu tahun. Tapi masih terlihat kaku."
Pagi ini aku joging dengan Kakek Jaya di depan rumah."Kakek tiap hari joging seperti ini, ya?" tanyaku dengan menggerakkan tangan ke kanan dan ke kiri."Iya, Nay. Sudah jadi rutinitas wajib untuk Kakek. Dulu Yogi selalu menemani Kakek. Sekarang dia terlalu sibuk dengan kerjaannya.""Iya tuh, Kek. Di kamar saja sibuk dengan laptopnya."Kakek Jaya tersenyum dengan pandangan tetap ke depan. "Tapi kamu cinta 'kan Nay dengan cucu Kakek?""Cinta? Pak Yogi itu bukan type Nayla, Kek. Jadi mana mung ... kin." Astaga. Keceplosan. Aduh, Nay ... to*ol banget sih, kamu, ucapku dalam hati dengan menepuk bibirku sendiri.Kakek Jaya langsung menghentikan gerakan jogingnya. "Apa, Nay?"Ma*pus. Tamat riwayatmu, Nay.Belum sempat aku menjawab. Pak Yogi tiba-tiba datang di situasi yang begitu menegangkan."Kek. Besok Yogi sudah mulai berangkat ke kantor lagi." Kakek Jaya tidak menjawab ucapan Pak Yogi. Beliau masih teru
Netraku membulat sempurna ketika melihat isi kotak yang diberikan Kakek Jaya.Sebuah kalung yang begitu indah. Sangat indah. Dan juga sebuah kunci. Tapi aku sendiri tidak tahu itu kunci apa.Di dalam kotak tersebut terselip sebuah surat.Untuk Kanaya, cucu mantu tersayang.Kanaya. Kakek berharap, kamu mau memakai kalung tersebut.Sebelum neneknya Yogi meninggal, dia pernah berpesan agar kalung tersebut diberikan pada siapapun perempuan yang menjadi istrinya, Yogi. Dan Kakek sudah memenuhi wasiat dari neneknya Yogi.Sedangkan untuk kunci. Kamu simpan baik-baik! Jangan sampai siapapun tahu tentang kunci tersebut! Bahkan Yogi sekalipun.Suatu saat, kamu pasti akan membutuhkan kunci itu.Salam sayang dari Kakek Jaya.Memangnya ini kunci apa? Kenapa Kakek memberikannya padaku? tanyaku dalam hati dengan begitu penasaran."Apa isi kotak itu, Nay?"Segera kusimpan kunci dan surat di kantong celana sebel
"Dari tadi Kakek perhatikan, sikap kalian tidak seperti biasanya? Ada apa? Kalian sedang bertengkar?" Setelah kejadian tadi malam, sikap Pak Yogi lebih banyak diam. Ya ... meskipun setiap hari memang cuek, tapi ada kalanya dia bicara. Meskipun menyebalkan. Apa dia marah karena kejadian tadi malam? Aku 'kan tidak sengaja tidur di kasurnya. Lagian aku sudah berusaha bangunin, juga. Terus. Salahku di mana? "Ng - ngga ada apa-apa kok, Kek," jawabku dengan senyum kaku. "Mas Yogi mau sarapan roti pake selai apa? Biar Naya ambilin?" Aku berusaha bersikap perhatian. Semua ini kulakukan untuk Kakek Jaya. Sama sekali Pak Yogi tidak menanggapi ucapanku. Hih, benar-benar ya, nih, cowok. Kaya' anak kecil saja ngambeknya. "Sayang ... pake selai apa?" tanyaku dengan suara halus sembari menginjak kakinya. "Aaa ...," teriak Pak Yogi karena kakinya kuinjak. "Ada apa, Gi? Kamu seperti kesakitan." Pak Yogi men
POV Author--------Yogi segera mengunci pintu kamar setelah Kanaya keluar dengan membawa bunga yang sangat mengganggunya."Lama-lama bisa gila menghadapi kelakuan Kanaya. Kenapa bisa, waktu itu saya memilih dia untuk perjanjian menikah selama enam bulan? Hahh ..., tapi semua sudah terjadi," gerutu Yogi dengan memegang kepala.Baru saja Yogi sedikit tenang. Tiba-tiba Kanaya sudah balik lagi.Dok dok dok"Pak Yogi ... bukain pintunya! Saya mau ambil ponsel!" teriak Kanaya dengan terus menggedor pintu."Hari ini kamu tidak boleh masuk kamar, Nay! Saya mau istirahat tanpa ada gangguan dari kamu.""Okey. Tapi ambilin ponsel dan baju saya, Pak! Nanti saya ganti pakai baju apa?""Bukan urusan saya," jawab Yogi ketus."Iiih ... awas saja kamu, Pak Yogi." Dengan perasaan kesal, Kanaya pun langsung pergi."Ada apa, Mbak Naya? Kok cemberut begitu?" tanya Minah salah satu ART yang sedang sibuk memb
Tin tin tin Ketika Kakek Jaya dan Kanaya sedang asyik berjoged. Tiba-tiba datang sebuah mobil mewah berwarna hitam. Kakek Jaya pun langsung menghentikan gerakan tangan dan kaki yang dari tadi membuat beliau tertawa begitu lepas. Satpam yang berada di pos jaga dengan cepat membukakan pintu gerbang. Kini pandangan Kakek Jaya, Yogi serta Kanaya tertuju pada mobil yang sudah berhenti di halaman. Terlihat perempuan cantik dengan rambut berwarna cokelat serta berpakaian seksi keluar dari mobil. Dia menatap Yogi sembari mengulas senyum indah. Kakek Jaya langsung menoleh ke arah Yogi ketika melihat perempuan tersebut. Tidak berapa lama, datang lagi sebuah mobil yang tak asing bagi Kakek Jaya dan Yogi. Terlihat Papa dan mamanya Yogi serta laki-laki tampan keluar dari mobil tersebut. Kejutan yang luar biasa. Ketika mereka semua datang secara bersamaan tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Apalagi per
"Kenapa, Siska? Kamu kok sedih begitu?" tanya Dina dengan mendekati Siska."Kakek sudah berubah, Tante. Dulu sebelum Yogi menikah, sikap Kakek begitu baik. Tapi sekarang, sepertinya Kakek tidak suka dengan kedatangan Siska di rumah ini," adu Siska.Ketika Siska dan Dina sedang bicara, Kakek Jaya, Yogi dan Kanaya datang."Yah, boleh Dina bicara sebentar?""Nanti saja!" jawab Kakek Jaya tegas.Tiba-tiba Kanaya mendekati mama mertuanya. Dia mengulurkan tangan hendak berpamitan karena mau diajak pergi oleh Kakek Jaya. Tapi niat baik Kanaya diabaikan begitu saja. Siska terlihat begitu senang atas sikap Dina tersebut.Kanaya menarik kembali tangannya. Dia tetap mengulas senyum meskipun sudah diacuhkan oleh mama mertuanya sendiri."Kanaya, ayo!" ajak Kakek Jaya dengan menepuk bahu cucu mantu kesayangannya. Kakek Jaya menatap tajam Dina-menantunya dan juga Siska sebelum akhirnya beranjak pergi.***"Pak Yogi. Mama
Malam sudah semakin larut. Setelah tiga puluh menit Yogi pergi meninggalkan Kanaya di taman sendirian. Akhirnya Kanaya pun masuk ke dalam.Berkali-kali Kanaya menguap karena sudah mengantuk. Dia pun langsung berjalan menuju ke kamar. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika sudah di depan pintu. Kanaya merasa ragu untuk masuk ke dalam."Masuk ngga, ya? Kalau masuk, takutnya ganggu Pak Yogi. Apa lebih baik aku tidur di kamar lain saja? Tapi bagaimana kalau Kakek tahu? Ya sudahlah. Aku tidur di kamar lain saja. Besok pagi-pagi sekali aku akan bangun. Sebelum semua orang di villa ini terbangun. Dengan seperti itu, Pak Yogi tidak akan terganggu olehku." Kanaya bicara sendiri.KlekKanaya begitu kaget ketika Yogi tiba-tiba membuka pintu."Kamu ngapain berdiri di sini? Mau ngerjain saya lagi?" cecar Yogi."Tidak, Pak Yogi. Permisi," ucap Kanaya langsung membalikkan badan dan pergi meninggalkan Yogi."Tunggu!" titah Yogi menghentik
Sudah sore, tapi Yogi belum pulang dari kantor. Dia masih sibuk menyelesaikan masalah yang terjadi di perusahaan selama dipegang oleh Zein.Kanaya yang sudah selesai membantu Dina memasak. Dia langsung mandi dan dandan begitu cantik. Malam ini Kanaya ingin menyambut kepulangan Yogi dengan penampilan spesial. Tidak berapa lama, terdengar suara mobil Yogi. Kanaya merasa senang sekali. Akhirnya yang dia tunggu pulang juga.Yogi pun langsung masuk ke dalam kamar. Dia meletakkan tas kerja dan langsung merenggangkan dasi."Ekhem ...." Kanaya berdehem kecil.Yogi hanya diam. Dia sama sekali tidak menanggapi Kanaya. "Mas, kamu capek, ya?" tanya Kanaya dengan mendekatkan wajahnya agar Yogi melihat dia yang sudah dandan cantik.Lagi-lagi Yogi mengabaikan Kanaya.'Ini orang kenapa, sih? Apa karena masalah di kantor? Ya ... percuma dong aku dandan cantik begini. Kalau Mas Yogi saja cuek,' Kanaya pun duduk di sampingnya."Kamu kenapa, Mas? Apa karena masalah kantor yang kemarin?" Kanaya ingin me
Pagi yang sangat indah. Kanaya terlihat enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Semalam, Yogi memeluk erat dirinya. Meskipun sampai saat ini, mereka belum melakukan malam pertama sebagai suami istri.Kanaya belum tersadar kalau sebelahnya sudah tidak ada Yogi. Melainkan guling yang ditutup selimut."Mbak Naya. Mbak ...," panggil ART sembari mengetuk pintu."Ya ... sebentar!"Kanaya segera beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu."Ini, Mbak, sarapannya. Tadi Mas Yogi yang meminta saya untuk mengantar sarapan buat Mbak Naya.""Mas Yogi? Lha. Mas Yogi 'kan masih tidur."ART yang mengantar sarapan tersenyum. "Mas Yogi sudah berangkat ke kantor dari tadi, Mbak Naya.""Terima kasih ya, Mbak." Kanaya segera mengambil nampan dari tangan Mbak Minah dan meletakkan di atas meja. Lalu balik lagi ke tempat tidur dan menyibak selimut. "Guling? Aku pikir Mas Yogi masih tidur." Drrttt drrrttt drrtttPonsel di atas nakas bergetar. Kanaya pun langsung mengambilnya."Mas Yogi, VC? Tumben."K
Teriakan amarah terdengar dari kamar Zein. Semua barang-barang dia lempar sampai berserakan. Dia sangat kecewa dan kesal dengan keputusan Kakek yang menurutnya tidak adil. Sangat tidak adil. "Zein. Kamu tidak boleh menyerah begitu saja!" ucap Dina yang langsung masuk ke kamar anaknya. "Rayu Kakek kamu, Zein!" Menoleh dengan wajah yang memerah. "Mama pikir, Kakek mau mendengar ucapan Zein? Tidak, Ma." "Semua ini gara-gara Yogi. Dia selalu mendapat apa yang Kakek punya. Mama juga kecewa dengan keputusan kakekmu." Dina tak kalah kesal. "Mama jangan salahkan Yogi! Tadi kalian dengar sendiri 'kan? Sebenarnya Yogi juga berat menerima keputusan tersebut." Dina yang tadi duduk di tepi tempat tidur langsung beranjak mendekati suaminya dengan tatapan penuh amarah. "Apa Papa tidak lihat? Zein begitu terpukul dengan keputusan kakeknya. Dan sekarang, Papa justru membela Yogi. Apa karena dia anak kandung Papa? Iya?" Rudi menghembuskan napas berat. Dia berjalan menuju arah jendela. Berdiri d
Sampai juga Yogi dan Kanaya di rumah Kakek. Rumah yang telah menumbuhkan benih-benih cinta pada mereka. Yogi hanya terdiam. Ketika Pak Didik sudah memarkirkan mobil di depan rumah. Pandangan lurus ke depan seakan Yogi masih ragu untuk keluar. Kanaya pun memandang laki-laki tampan yang telah memikat hatinya tersebut. Tangannya dikibaskan di depan wajah Yogi. "Mas ... Mas Yogi."Seketika Yogi menoleh ke arah Kanaya."Sudah sampai, Mas. Kenapa diam saja? Ayo turun!" Dengan langsung membuka pintu mobil. Kanaya turun lebih dulu.Dia segera membukakan pintu mobil untuk Yogi. "Ayo turun! Kalau ngga mau turun, ngapain tadi ke sini?" Kanaya menarik tangan Yogi.Yogi akhirnya menerima ajakan Kanaya untuk keluar dari mobil. Netranya langsung terarah pada mobil milik papanya. Yogi hanya diam dan berdiri di depan rumah. Lagi-lagi Kanaya harus sedikit memaksa agar Yogi mau masuk ke dalam."Assalamu'alaikum. Kakek ...," ucap Kanaya. Sikapnya masih sama seperti dulu. "Wa - Wa'alaikumsalam." Terden
"Ka - Kakek," ucap Kanaya begitu terkejut melihat Kakek Jaya yang tiba-tiba datang."Zein. Pulang!" titah Kakek dengan menatap tajam Zein. Sesaat Kakek memandang Yogi dan Kanaya. Lalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Tanpa ada sepatah katapun yang terucap untuk Yogi dan Kanaya.Zein segera mengikuti langkah kakeknya tersebut. Yang berjalan keluar dari restaurant."Kakek tunggu di rumah!" Zein pun hanya menjawab dengan anggukan. Kakek Jaya langsung masuk ke dalam mobil meninggalkan Zein yang masih berdiri di halaman restaurant.Dengan cepat, Zein pun langsung menuju mobilnya untuk segera pulang ke rumah.---"Duduk!" titah Kakek sesaat setelah Zein sampai di rumah.Zein pun duduk berhadapan dengan kakeknya. "Ada apa, Kek? Kenapa menyuruh Zein pulang? 'Kan masih jam kerja kantor.""Kakek tidak suka dengan sikapmu tadi. Memalukan.""Memalukan? Maksud Kakek?" Zein benar-benar tidak tahu diri. Dia masih bersikap seolah-olah tidak melakukan hal yang salah. Dia selalu merasa benar
Hari begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah hampir satu bulan Yogi tinggal di rumah orang tua Kanaya. Yogi masih terus menekuni pekerjaannya sebagai tukang becak menggantikan Heru—mertuanya.Sebenarnya, bisa saja Yogi mencari pekerjaan di kantor. Apalagi dengan kemampuannya yang sudah tidak diragukan lagi sebagai mantan seorang direktur. Tapi dia merasa mendapat kenyamanan tersendiri sebagai tukang becak. Untung saja kedua mertuanya tidak pernah memandang Yogi dari segi materi. Meskipun sekarang dia tidak memiliki kemewahan seperti dulu, tapi Tari dan Heru tetap menerimanya sebagai suami dari putri semata wayang mereka. Justru dengan kejadian ini. Orang tua Kanaya merasa bersyukur. Karena pada akhirnya bisa menyatukan Yogi dan Kanaya dalam sebuah pernikahan sebenarnya. Bukan pernikahan dengan perjanjian.Hubungan Yogi dan Kanaya sendiri sebagai suami istri masih tetap sama. Mereka belum pernah melakukan hal yang sebenarnya sudah halal dalam pernikahan. Meskipun demikian, semakin har
Senyum mengembang membingkai bibir Zein. Dia begitu senang karena akhirnya Kakek memberi kesempatan padanya untuk menggantikan posisi Yogi di kantor.Zein berdiri di depan cermin dan menatap bangga dirinya sendiri."Aku memang lebih pantas menjadi direktur. Harusnya dari dulu Kakek mengambil keputusan seperti ini." Senyum jahat Zein mengembang."Kenapa Kakek mengusir Yogi? Harusnya office girl itu saja yang Kakek usir! Yogi menikah dengan perjanjian karena dia tidak mencintai perempuan itu. Semua juga gara-gara Kakek yang memaksa Yogi untuk segera menikah." Suara lantang Siska membuat Zein keluar dari kamarnya.Kakek tidak menghiraukan ucapan Siska. Beliau hanya diam saja."Siska. Jaga bicara kamu!" tegur Zein mencari muka di depan kakeknya. Dia langsung menarik tangan Siska dan mengajaknya keluar."Lepas! Apa-apaan sih kamu, Zein?"'Perempuan ini bisa bahaya juga untukku. Dia pasti berharap Yogi kembali dan menjadi direktur lagi di p
BrakkkZein menggebrak meja. 'Seenaknya saja Yogi memukulku seperti tadi,' batinnya dengan menahan kesal.Kakek Jaya yang baru saja pulang. Beliau memandang ke arah Zein dan mendekatinya. "Kamu kenapa, Zein?""Kakek mau tau kenapa? Lihat ini, Kek!" ucap Zein sembari menunjuk wajahnya yang lebam. "Semua ini karena Yogi.""Yogi? Memangnya kenapa dia sampai melakukan hal seperti itu?"'Saya tau. Yogi bukan orang yang ringan tangan. Pasti ada sebab, kenapa dia sampai menyakiti Zein,' batin kakek."Zein hanya bilang jangan mempermalukan keluarga Adijaya. Hanya itu saja. Tapi Yogi tiba-tiba emosi."Zein tidak mengakui kesalahannya di depan Kakek. Padahal sudah jelas, Yogi memukul dia karena telah merendahkan Kanaya."Bikin malu?" Kakek terlihat penasaran dengan ucapan Zein."Iya, Kek. Kakek tau, sekarang Yogi menjadi tukang becak. Memalukan sekali 'kan Kek?"'Yogi menjadi tukang becak? Apa dia bisa mel
Heru mengajak menantunya mangkal di pertigaan tak begitu jauh dari rumahnya."Kita mangkal di sini saja, Nak Yogi! Yang dekat-dekat dulu.""Baik, Pak."Yogi dan Heru duduk di samping becak sembari menunggu penumpang datang."Nak Yogi apa tidak malu menarik becak seperti ini?" tanya Heru membuka obrolan."Apa Bapak malu menjadi tukang becak?" Sebuah pertanyaan kembali dibalikkan Yogi pada mertuanya."Tidak, Nak Yogi. Kenapa harus malu? Kalau kita kerja dengan cara halal.""Itu juga jawaban dari saya, Pak.""Tapi Nak Yogi 'kan beda dengan Bapak. Nak Yogi orang kaya. Selalu mendapatkan apa yang diinginkan dengan mudah. Tanpa harus bersusah payah."Yogi memandang ke arah jalan. Dia tersenyum mendengar ucapan mertuanya tersebut."Sekarang saya bukan orang kaya lagi, Pak. Dan Bapak salah kalau menganggap semua yang saya inginkan bisa didapat dengan mudah. Sejak kecil, saya tidak pernah mendapat kasih sayang