"Kek. Naya pamit dulu, ya," ucap Kanaya. Hari ini dia akan pulang ke rumah orang tuanya.
"Pak Didik. Tolong kamu ikuti mobil Yogi! Bawa semua barang-barang ini ke rumah orang tua Kanaya."
Kanaya memandangi barang-barang yang berjejer di halaman. "Ini apa, Kek?" tanyanya.
"Semua ini untuk orang tuamu, Nay. Sampaikan salam Kakek untuk mereka!"
Didik dibantu pekerja lainnya memasukkan barang-barang titipan Kakek Jaya ke dalam mobil.
"Aku saja yang mengantar barang-barang ini ke rumah Kanaya, Kek," terang Zein yang tiba-tiba datang.
"Kamu yakin?"
"Iya. Kek."
'Mulai cari muka di depan Kakek orang ini. Tapi ya sudahlah. Lagian Kakek juga sudah mengizinkan,' batin Yogi.
"Ayo, Nay!" Yogi mengajak Kanaya masuk ke dalam mobil.
"Dah, Kakek." Kanaya melambaikan tangan sampai keluar pintu gerbang.
-
--"Pak. Terus nanti Bapak tidur di mana?" tanya Kanaya dengan memandang wajah Yogi yang b
"Ini kamar kamu, Nay?""Ya iyalah, Pak, kamar saya.""Tempar tidurnya itu?" Yogi menunjuk tempat tidur berukuran kecil."Memangnya Bapak lihat ada tempat tidur lain?""Sofa?"Kanaya tertawa ngakak. "Sofa? Ya ngga ada lah, Pak."Yogi masih terus berdiri mematung. "Terus. Saya tidur di mana?""Itu dia yang sedang saya pikirkan dari tadi. 'Kan ngga mungkin saya menyuruh Bapak tidur di ruang tamu. Apa kata Bapak dan Ibu, nanti?""Ya sudah. Kita tidur bersama."Seketika Kanaya langsung menatap Yogi dengan netra yang membulat. "Tidur bersama? Ngga-ngga. Mendingan saya ambil tikar. Dan tidur di bawah."Gegas Kanaya keluar dari kamar untuk mengambil tikar sebagai alas dia tidur.---"Nah. Beres," ucap Kanaya selesai menggelar tikar. Dia langsung mengambil bantal, guling, serta selimut."Saya tidur di bawah. Dan Pak Yogi tidur di atas!" terang Kanaya."Banta
"Saya berangkat dulu, Pak, Bu," pamit Yogi yang akan berangkat ke kantor."Hati-hati, Sayang!" Kanaya bersikap sok romantis di depan kedua orang tuanya. "Awas, ya, kalau di kantor berduaan lagi sama Siska," bisik Kanaya mengancam.'Apa maksudnya Kanaya bicara seperti itu? Apa dia cemburu dengan Siska? Berarti dia benar-benar mencintai saya?' tanya Yogi dalam hati."Sana berangkat! Sampai kapan kamu mau lihatin istrimu tanpa berkedip seperti itu?" Kanaya mendekatkan wajahnya persis di depan wajah Yogi. Sontak Yogi pun kaget dan sedikit gugup."Saya berangkat dulu."Saat Yogi hendak melangkahkan kaki menuju mobil. Tiba-tiba Zein datang. Dia langsung keluar dari mobil dan menyapa Kanaya serta kedua orang tuanya."Selamat pagi, Nay. Bapak, Ibu." Zein langsung meraih tangan Heru dan Tari."Pagi, Nak Zein." Tari mengulas senyum hangat pada adik tiri Yogi tersebut. "Pak, Nak Zein ini adiknya Nak Yogi." Tari memperkenalkan Zein
"Hari ini kamu pengen apa, Nay?" tanya Yogi dengan mengulas senyum tampan.'Ish ... ini orang kenapa lagi, senyum sok manis, gitu?' tanya Kanaya dalam hati."Pengen apa? Ngga pengen apa-apa, juga.""Sebut saja sesuatu yang benar-benar kamu pengen saat ini!" ucap Yogi sembari merangkul Kanaya."Pak. Bapak sedang tidak sakit 'kan?" tanya Kanaya sembari memegang kening Yogi.'Kenapa sikap Pak Yogi tiba-tiba aneh begini?' batin Kanaya."Kamu itu aneh ya, Nay. Saya bersikap baik malah dikira sakit. Apa kamu lebih senang kalau berdebat dengan saya?"'Hari ini kamu benar-benar membuat saya kagum, Nay. Tapi kalau saya bilang soal kekaguman saya ini, pasti kamu akan besar kepala,' ucap Yogi dalam hatinya.Tiba-tiba netra Kanaya tertuju pada seorang Bapak yang menjual jagung bakar di pinggir jalan tak jauh dari restaurant tempat mereka meeting tadi."Pak. Saya mau itu." Kanaya menunjuk jagung bakar yang sedang dikipa
Kakek Jaya berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang begitu serius. Beliau menunggu kepulangan Yogi dan Kanaya untuk menjelaskan semua yang telah Zein katakan.Ternyata Zein tidak mau menunggu waktu lama untuk memberitahu Kakek Jaya soal apa yang dia dengar di kantor, tadi. Karena ini kesempatan Zein untuk menggantikan posisi Yogi sebagai direktur. Hal yang selama ini diinginkan juga oleh Dina—mamanya.---"Pak. Bagaimana kalau Zein memberitahu soal rahasia pernikahan kita pada Kakek?"Yogi hanya diam. Tapi dia terlihat sedang berpikir serius.'Pasti hal ini tidak akan disia-siakan oleh Zein. Karena aku yakin, Zein punya niat tidak baik dibalik keputusannya tinggal disini,' pikir Yogi dalam hati."Coba ... tadi Pak Yogi tidak bicara yang menyangkut soal pernikahan kita. Pasti saya 'kan tidak nyeplos begitu saja menjawab ucapan Bapak. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus kita lakukan? Saya tidak bisa membayangkan reaksi Kak
Yogi masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia menatap tangan Kanaya yang masih terus memeluk tubuhnya. Bahkan semakin erat.'Kanaya mencintaiku? Apa itu benar?' "Kalau Pak Yogi pergi. Saya juga akan ikut bersama Bapak."Yogi melepas tangan Kanaya dengan pelan. Dia membalikkan badan dan menatap wajah istri enam bulannya tersebut."Untuk apa kamu ikut saya, Nay? Kita 'kan sebentar lagi akan bercerai."Kanaya menggelengkan kepala. "Saya tidak mau bercerai dengan Bapak. Meskipun Pak Yogi tidak mencintai saya, tapi saya akan tetap mencintai Bapak. Saya tetap ingin menjadi istri Bapak. Untuk selamanya.""Tapi, Nay.""Tapi kenapa, Pak? Karena Bapak mencintai Siska? Saya tidak peduli dengan hubungan kalian. Yang saya inginkan saat ini hanya mempertahankan pernikahan kita."'Sebenarnya saya juga jatuh cinta denganmu, Nay,' batin Yogi dengan memandang lekat Kanaya."Nak Yogi. Apa Nak Yogi benar-benar tidak ingin
Heru mengajak menantunya mangkal di pertigaan tak begitu jauh dari rumahnya."Kita mangkal di sini saja, Nak Yogi! Yang dekat-dekat dulu.""Baik, Pak."Yogi dan Heru duduk di samping becak sembari menunggu penumpang datang."Nak Yogi apa tidak malu menarik becak seperti ini?" tanya Heru membuka obrolan."Apa Bapak malu menjadi tukang becak?" Sebuah pertanyaan kembali dibalikkan Yogi pada mertuanya."Tidak, Nak Yogi. Kenapa harus malu? Kalau kita kerja dengan cara halal.""Itu juga jawaban dari saya, Pak.""Tapi Nak Yogi 'kan beda dengan Bapak. Nak Yogi orang kaya. Selalu mendapatkan apa yang diinginkan dengan mudah. Tanpa harus bersusah payah."Yogi memandang ke arah jalan. Dia tersenyum mendengar ucapan mertuanya tersebut."Sekarang saya bukan orang kaya lagi, Pak. Dan Bapak salah kalau menganggap semua yang saya inginkan bisa didapat dengan mudah. Sejak kecil, saya tidak pernah mendapat kasih sayang
BrakkkZein menggebrak meja. 'Seenaknya saja Yogi memukulku seperti tadi,' batinnya dengan menahan kesal.Kakek Jaya yang baru saja pulang. Beliau memandang ke arah Zein dan mendekatinya. "Kamu kenapa, Zein?""Kakek mau tau kenapa? Lihat ini, Kek!" ucap Zein sembari menunjuk wajahnya yang lebam. "Semua ini karena Yogi.""Yogi? Memangnya kenapa dia sampai melakukan hal seperti itu?"'Saya tau. Yogi bukan orang yang ringan tangan. Pasti ada sebab, kenapa dia sampai menyakiti Zein,' batin kakek."Zein hanya bilang jangan mempermalukan keluarga Adijaya. Hanya itu saja. Tapi Yogi tiba-tiba emosi."Zein tidak mengakui kesalahannya di depan Kakek. Padahal sudah jelas, Yogi memukul dia karena telah merendahkan Kanaya."Bikin malu?" Kakek terlihat penasaran dengan ucapan Zein."Iya, Kek. Kakek tau, sekarang Yogi menjadi tukang becak. Memalukan sekali 'kan Kek?"'Yogi menjadi tukang becak? Apa dia bisa mel
Senyum mengembang membingkai bibir Zein. Dia begitu senang karena akhirnya Kakek memberi kesempatan padanya untuk menggantikan posisi Yogi di kantor.Zein berdiri di depan cermin dan menatap bangga dirinya sendiri."Aku memang lebih pantas menjadi direktur. Harusnya dari dulu Kakek mengambil keputusan seperti ini." Senyum jahat Zein mengembang."Kenapa Kakek mengusir Yogi? Harusnya office girl itu saja yang Kakek usir! Yogi menikah dengan perjanjian karena dia tidak mencintai perempuan itu. Semua juga gara-gara Kakek yang memaksa Yogi untuk segera menikah." Suara lantang Siska membuat Zein keluar dari kamarnya.Kakek tidak menghiraukan ucapan Siska. Beliau hanya diam saja."Siska. Jaga bicara kamu!" tegur Zein mencari muka di depan kakeknya. Dia langsung menarik tangan Siska dan mengajaknya keluar."Lepas! Apa-apaan sih kamu, Zein?"'Perempuan ini bisa bahaya juga untukku. Dia pasti berharap Yogi kembali dan menjadi direktur lagi di p
Sudah sore, tapi Yogi belum pulang dari kantor. Dia masih sibuk menyelesaikan masalah yang terjadi di perusahaan selama dipegang oleh Zein.Kanaya yang sudah selesai membantu Dina memasak. Dia langsung mandi dan dandan begitu cantik. Malam ini Kanaya ingin menyambut kepulangan Yogi dengan penampilan spesial. Tidak berapa lama, terdengar suara mobil Yogi. Kanaya merasa senang sekali. Akhirnya yang dia tunggu pulang juga.Yogi pun langsung masuk ke dalam kamar. Dia meletakkan tas kerja dan langsung merenggangkan dasi."Ekhem ...." Kanaya berdehem kecil.Yogi hanya diam. Dia sama sekali tidak menanggapi Kanaya. "Mas, kamu capek, ya?" tanya Kanaya dengan mendekatkan wajahnya agar Yogi melihat dia yang sudah dandan cantik.Lagi-lagi Yogi mengabaikan Kanaya.'Ini orang kenapa, sih? Apa karena masalah di kantor? Ya ... percuma dong aku dandan cantik begini. Kalau Mas Yogi saja cuek,' Kanaya pun duduk di sampingnya."Kamu kenapa, Mas? Apa karena masalah kantor yang kemarin?" Kanaya ingin me
Pagi yang sangat indah. Kanaya terlihat enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Semalam, Yogi memeluk erat dirinya. Meskipun sampai saat ini, mereka belum melakukan malam pertama sebagai suami istri.Kanaya belum tersadar kalau sebelahnya sudah tidak ada Yogi. Melainkan guling yang ditutup selimut."Mbak Naya. Mbak ...," panggil ART sembari mengetuk pintu."Ya ... sebentar!"Kanaya segera beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu."Ini, Mbak, sarapannya. Tadi Mas Yogi yang meminta saya untuk mengantar sarapan buat Mbak Naya.""Mas Yogi? Lha. Mas Yogi 'kan masih tidur."ART yang mengantar sarapan tersenyum. "Mas Yogi sudah berangkat ke kantor dari tadi, Mbak Naya.""Terima kasih ya, Mbak." Kanaya segera mengambil nampan dari tangan Mbak Minah dan meletakkan di atas meja. Lalu balik lagi ke tempat tidur dan menyibak selimut. "Guling? Aku pikir Mas Yogi masih tidur." Drrttt drrrttt drrtttPonsel di atas nakas bergetar. Kanaya pun langsung mengambilnya."Mas Yogi, VC? Tumben."K
Teriakan amarah terdengar dari kamar Zein. Semua barang-barang dia lempar sampai berserakan. Dia sangat kecewa dan kesal dengan keputusan Kakek yang menurutnya tidak adil. Sangat tidak adil. "Zein. Kamu tidak boleh menyerah begitu saja!" ucap Dina yang langsung masuk ke kamar anaknya. "Rayu Kakek kamu, Zein!" Menoleh dengan wajah yang memerah. "Mama pikir, Kakek mau mendengar ucapan Zein? Tidak, Ma." "Semua ini gara-gara Yogi. Dia selalu mendapat apa yang Kakek punya. Mama juga kecewa dengan keputusan kakekmu." Dina tak kalah kesal. "Mama jangan salahkan Yogi! Tadi kalian dengar sendiri 'kan? Sebenarnya Yogi juga berat menerima keputusan tersebut." Dina yang tadi duduk di tepi tempat tidur langsung beranjak mendekati suaminya dengan tatapan penuh amarah. "Apa Papa tidak lihat? Zein begitu terpukul dengan keputusan kakeknya. Dan sekarang, Papa justru membela Yogi. Apa karena dia anak kandung Papa? Iya?" Rudi menghembuskan napas berat. Dia berjalan menuju arah jendela. Berdiri d
Sampai juga Yogi dan Kanaya di rumah Kakek. Rumah yang telah menumbuhkan benih-benih cinta pada mereka. Yogi hanya terdiam. Ketika Pak Didik sudah memarkirkan mobil di depan rumah. Pandangan lurus ke depan seakan Yogi masih ragu untuk keluar. Kanaya pun memandang laki-laki tampan yang telah memikat hatinya tersebut. Tangannya dikibaskan di depan wajah Yogi. "Mas ... Mas Yogi."Seketika Yogi menoleh ke arah Kanaya."Sudah sampai, Mas. Kenapa diam saja? Ayo turun!" Dengan langsung membuka pintu mobil. Kanaya turun lebih dulu.Dia segera membukakan pintu mobil untuk Yogi. "Ayo turun! Kalau ngga mau turun, ngapain tadi ke sini?" Kanaya menarik tangan Yogi.Yogi akhirnya menerima ajakan Kanaya untuk keluar dari mobil. Netranya langsung terarah pada mobil milik papanya. Yogi hanya diam dan berdiri di depan rumah. Lagi-lagi Kanaya harus sedikit memaksa agar Yogi mau masuk ke dalam."Assalamu'alaikum. Kakek ...," ucap Kanaya. Sikapnya masih sama seperti dulu. "Wa - Wa'alaikumsalam." Terden
"Ka - Kakek," ucap Kanaya begitu terkejut melihat Kakek Jaya yang tiba-tiba datang."Zein. Pulang!" titah Kakek dengan menatap tajam Zein. Sesaat Kakek memandang Yogi dan Kanaya. Lalu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Tanpa ada sepatah katapun yang terucap untuk Yogi dan Kanaya.Zein segera mengikuti langkah kakeknya tersebut. Yang berjalan keluar dari restaurant."Kakek tunggu di rumah!" Zein pun hanya menjawab dengan anggukan. Kakek Jaya langsung masuk ke dalam mobil meninggalkan Zein yang masih berdiri di halaman restaurant.Dengan cepat, Zein pun langsung menuju mobilnya untuk segera pulang ke rumah.---"Duduk!" titah Kakek sesaat setelah Zein sampai di rumah.Zein pun duduk berhadapan dengan kakeknya. "Ada apa, Kek? Kenapa menyuruh Zein pulang? 'Kan masih jam kerja kantor.""Kakek tidak suka dengan sikapmu tadi. Memalukan.""Memalukan? Maksud Kakek?" Zein benar-benar tidak tahu diri. Dia masih bersikap seolah-olah tidak melakukan hal yang salah. Dia selalu merasa benar
Hari begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah hampir satu bulan Yogi tinggal di rumah orang tua Kanaya. Yogi masih terus menekuni pekerjaannya sebagai tukang becak menggantikan Heru—mertuanya.Sebenarnya, bisa saja Yogi mencari pekerjaan di kantor. Apalagi dengan kemampuannya yang sudah tidak diragukan lagi sebagai mantan seorang direktur. Tapi dia merasa mendapat kenyamanan tersendiri sebagai tukang becak. Untung saja kedua mertuanya tidak pernah memandang Yogi dari segi materi. Meskipun sekarang dia tidak memiliki kemewahan seperti dulu, tapi Tari dan Heru tetap menerimanya sebagai suami dari putri semata wayang mereka. Justru dengan kejadian ini. Orang tua Kanaya merasa bersyukur. Karena pada akhirnya bisa menyatukan Yogi dan Kanaya dalam sebuah pernikahan sebenarnya. Bukan pernikahan dengan perjanjian.Hubungan Yogi dan Kanaya sendiri sebagai suami istri masih tetap sama. Mereka belum pernah melakukan hal yang sebenarnya sudah halal dalam pernikahan. Meskipun demikian, semakin har
Senyum mengembang membingkai bibir Zein. Dia begitu senang karena akhirnya Kakek memberi kesempatan padanya untuk menggantikan posisi Yogi di kantor.Zein berdiri di depan cermin dan menatap bangga dirinya sendiri."Aku memang lebih pantas menjadi direktur. Harusnya dari dulu Kakek mengambil keputusan seperti ini." Senyum jahat Zein mengembang."Kenapa Kakek mengusir Yogi? Harusnya office girl itu saja yang Kakek usir! Yogi menikah dengan perjanjian karena dia tidak mencintai perempuan itu. Semua juga gara-gara Kakek yang memaksa Yogi untuk segera menikah." Suara lantang Siska membuat Zein keluar dari kamarnya.Kakek tidak menghiraukan ucapan Siska. Beliau hanya diam saja."Siska. Jaga bicara kamu!" tegur Zein mencari muka di depan kakeknya. Dia langsung menarik tangan Siska dan mengajaknya keluar."Lepas! Apa-apaan sih kamu, Zein?"'Perempuan ini bisa bahaya juga untukku. Dia pasti berharap Yogi kembali dan menjadi direktur lagi di p
BrakkkZein menggebrak meja. 'Seenaknya saja Yogi memukulku seperti tadi,' batinnya dengan menahan kesal.Kakek Jaya yang baru saja pulang. Beliau memandang ke arah Zein dan mendekatinya. "Kamu kenapa, Zein?""Kakek mau tau kenapa? Lihat ini, Kek!" ucap Zein sembari menunjuk wajahnya yang lebam. "Semua ini karena Yogi.""Yogi? Memangnya kenapa dia sampai melakukan hal seperti itu?"'Saya tau. Yogi bukan orang yang ringan tangan. Pasti ada sebab, kenapa dia sampai menyakiti Zein,' batin kakek."Zein hanya bilang jangan mempermalukan keluarga Adijaya. Hanya itu saja. Tapi Yogi tiba-tiba emosi."Zein tidak mengakui kesalahannya di depan Kakek. Padahal sudah jelas, Yogi memukul dia karena telah merendahkan Kanaya."Bikin malu?" Kakek terlihat penasaran dengan ucapan Zein."Iya, Kek. Kakek tau, sekarang Yogi menjadi tukang becak. Memalukan sekali 'kan Kek?"'Yogi menjadi tukang becak? Apa dia bisa mel
Heru mengajak menantunya mangkal di pertigaan tak begitu jauh dari rumahnya."Kita mangkal di sini saja, Nak Yogi! Yang dekat-dekat dulu.""Baik, Pak."Yogi dan Heru duduk di samping becak sembari menunggu penumpang datang."Nak Yogi apa tidak malu menarik becak seperti ini?" tanya Heru membuka obrolan."Apa Bapak malu menjadi tukang becak?" Sebuah pertanyaan kembali dibalikkan Yogi pada mertuanya."Tidak, Nak Yogi. Kenapa harus malu? Kalau kita kerja dengan cara halal.""Itu juga jawaban dari saya, Pak.""Tapi Nak Yogi 'kan beda dengan Bapak. Nak Yogi orang kaya. Selalu mendapatkan apa yang diinginkan dengan mudah. Tanpa harus bersusah payah."Yogi memandang ke arah jalan. Dia tersenyum mendengar ucapan mertuanya tersebut."Sekarang saya bukan orang kaya lagi, Pak. Dan Bapak salah kalau menganggap semua yang saya inginkan bisa didapat dengan mudah. Sejak kecil, saya tidak pernah mendapat kasih sayang