Aryan melirik Eira yang sejak ke luar dari rumah sakit hanya terus terdiam dengan sorot mata kosong. Sikap Eira yang seperti ini, justru membuatnya bingung dan serba salah. Berulang kali Aryan mencoba untuk menegurnya, walau selalu berakhir menelannya kembali niatnya.Perjalanan menuju tempat kerja Eira terasa sangat lama, padahal jaraknya tak terlalu jauh. Melihat Eira yang terus bungkam membuatnya merasakan khawatir dan sedikit takut. Ternyata, lebih baik jika gadis itu berisik dan terus mengganggunya dengan rasa penasaran juga sikap cerobohnya yang selalu membuat dirinya kesal dan harus menahan emosi, daripada tak bersuara sama sekali.Beberapa saat kemudian, Aryan sudah berhasil memarkirkan mobilnya di depan minimarket, tetapi tak ada pergerakan sama sekali dari Eira, bahkan sampai lima belas menit waktu berlalu.“Ra....” Aryan memanggil pelan. Mencoba menyadarkan gadis itu dari lamunan panjangnya. Satu kali, tak berhasil begitu juga untuk yang k
Aryan yang baru saja menghentikan mobilnya tidak jauh dari Eira, kini dibuat terkejut oleh gadis itu yang tiba-tiba saja menyeberang jalan tanpa melihat suasana sekitar. Sementara dirinya melihat sebuah mobil hitam melaju kencang ke arah gadis itu. “Eira!” Aryan segera ke luar dari mobil dan berlari menghampiri istri kontraknya. Dia menarik tubuh Eira cepat hingga kini keduanya jatuh dengan tubuh Aryan membentur trotoar dan Eira di atasnya.“Bapak!” Eira segera bangkit begitu menyadari posisinya sekarang dan mengalihkan perhatiannya pada Aryan yang kini sedang berusaha untuk bangun.“Kamu ini bisa gak sih lebih berhati-hati, kenapa harus selalu ceroboh begini? Kamu itu bukan anak kecil yang tidak tahu bahaya menyeberang sembarangan!” Aryan langsung memberondong Eira dengan banyak pertanyaan, begitu tubuh gadis itu telah bangkit dari atasnya. Padahal dirinya sendiri masih terduduk di trotoar.“Maaf....” Eira yang tadinya hendak membantu sekaligus memeriksa keadaan Aryan, kini mengur
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi Eira tak juga dapat menutup mata. Sejak beberapa jam yang lalu, dia hanya terus berguling ke sana ke mari di ranjang besar itu, tanpa menemukan posisi yang pas dan nyaman untuk tidur. Pikirannya melayang pada lelaki yang kini memilih tidur di kamar tamu karena kesulitan berjalan. Sayangnya, itu disebabkan oleh dirinya yang tak bisa menjaga diri. “Aku gak bisa kayak gini terus!” Eira akhirnya menyibak selimut yang sudah kusut lalu beranjak duduk. Mata sayu dan rambut berantakan menjadi pemandangan yang pertama kali terlihat begitu dia mengangkat badannya. Eira sangat kacau sekarang.“Aku harus melihatnya dan memastikan Pak Aryan baik-baik saja,” ujar Eira sambil menurunkan kakinya dan kini berdiri di samping ranjang. Dia lebih dulu merapikan penampilannya sebelum mulai melangkahkan kaki menuju lantai satu.Begitu gadis itu ke luar kamar, ternyata semua lampu sudah padam, hingga tersisa
Tidur lelap Aryan mulai terusik kala sinar mata hari dari luar mulai menyusup melalui celah tirai. Aryan mengernyit merasakan silau saat ingin membuka matanya. Menghembuskan napas pelan, ketika tubuhnya terasa lebih baik setelah tertidur dengan nyaman. Sesuatu yang selama ini begitu sulit dia dapatkan.Namun, kenikmatannya tiba-tiba terusik oleh pemandangan asing yang berada di sampingnya. Seketika Aryan terbangun hingga melupakan kakinya yang cedera dan membuatnya mengaduh menahan sakit. Walau, segera dia bungkam mulutnya ketika melihat tidur Eira mulai terusik.“Dia senang sekali tidur sambil duduk.” Aryan menatap Eira yang tengah tertidur dengan posisi duduk bersandar ke sisi ranjang. Tiba-tiba dia teringat kejadian saat malam pertama mereka setalah menikah. Pagi harinya, Aryan juga medapati Eira yang tertidur dengan posisi hampir sama seperti sekarang. Namun, bedanya dulu tangan gadis itu berada dalam genggamannya. Aryan memilih membiarkan Eira
“Ada apa?” Eira menghampiri Aryan begitu melihat raut wajah lelaki itu berubah panik. “Bapak....” Eira memanggil, ketika tak mendapatkan respons dari pertanyaannya dan masih terpaku pada layar ponselnya. Dia sempat melirik pada objek yang sangat menarik perhatian Aryan. Gadis itu membungkam mulutnya setelah membaca beberapa kata dalam laman berita daring. ‘Bukannya itu Alderia? Kenapa dia melakukan ini sekarang?’ Eira menatap iba Aryan, ternyata di balik kesuksesan dan posisinya sebagai CEO perusahaan ternama, lelaki itu juga mendapatkan berbagai masalah rumit dalam hidupnya. Dalam waktu singkat pertemuan mereka sampai hari ini, Eira bahkan sudah melihat beberapa masalah yang memeras waktu dan perasaan Aryan dalam satu waktu. “I-itu....” Eira menggantung ucapannya, saat melihat Aryan menoleh dan menatapnya dengan tatapan yang rumit. “Aku harus ke ruang kerja,” ujar Aryan tiba-tiba. “Tidak bisa!” Eira langsung mencegah lelaki itu
“Ada apa itu?” Aryan segera beranjak berdiri dengan bantuan Pak Hadi, keduanya kini berjalan ke luar kamar dengan wajah panik bercampur khawatir.Baru saja mereka melewati pintu kamar, ketika keduanya dibuat terkejut akan pemandangan yang terlihat di depan mata.“Eira!” Aryan berteriak, hingga suaranya menggema di ruangan itu. Dia menatap dua wanita dengan penampilan yang baru saja menghentikan pertengkarannya dan kini terlihat sangat berantakan.Sementara itu, Eira dan Alderia yang awalnya sedang jambak-jambakan, kini menghentikan pergulatan mereka dan menunduk dalam, walau keduanya masih saja saling serang menggunakan tatapan matanya. Mendengar Aryan yang meneriakkan nama Eira, membuat Alderia merasa berada di atas awan.“Eira!” Aryan kembali menggeram kala melihat Eira masih saja berdebat dengan Alderia dan tak mengacuhkannya.“I-iya, Mas....” Eira memberanikan diri mengangkat kepalanya hingga kini tatapan mata keduanya beradu. Seketika, sekujur tubuhnya merinding kala melihat soro
“Kamu memang gila, Alderia!” Aryan dan Alderia langsung mengalihkan perhatiannya pada seseorang yang kini tengah berdiri di depan pintu masuk dengan wajah memerah dan tatapan penuh kebencian. “I-ibu?” Aryan langsung mengambil alat bantu jalan lalu menghampiri ibunya.Sementara itu, Alderia hanya duduk terpaku dengan kehadiran mantan mertuanya yang kini menatapnya dengan penuh kebencian. Dia mulai salah tingkah. “Apa-apaan kamu, heuh? Kenapa kamu biarkan dia masuk ke rumah ini, Aryan!” Maheswari meninggikan suaranya, dia sungguh kecewa karena kini malah melihat anaknya duduk berdua dengan Alderia, padahal sejak awal dirinya sudah mewanti-wanti Aryan agar tak berurusan lagi dengan wanita itu.Sejak kemarin malam dia menerima kabar jika Aryan dan Eira mengalami kecelakaan, Maheswari sudah menahan diri untuk tak datang dan melihat anak dan menantunya, demi membuat sepasang suami istri itu lebih dekat lagi. Namun, dia tak bisa lag
“Al....” Aryan menangkup tangan Alderia yang masih berada di pipinya. Bayangan masa lalu bersama Alderia pun mulai teringat kembali, membawa Aryan untuk tenggelam semakin dalam pada perasaannya pada Alderia. “Perasaanku padamu....” Aryan menggeleng cepat, dia merasa salah melakukan semua ini. Segera bangkit dan menjauh dari Alderia. “Ar?” Alderia menatap Aryan bingung. Ada rasa kehilangan dan kekosongan dalam hatinya,, ketika laki-laki itu melepaskan tanganannya dari pipi. “Sebaiknya kamu segera pergi dari sini!” Aryan berbalik membelakangi Alderia, dia tak mau sampai goyah kembali. “Tapi, Ar....” Alderia ikut beranjak lalu menghampiri Aryan. Dia semakin yakin kalau Aryan memang masih memiliki sisa kasih sayang untuknya. “Pergi Al, sebelum aku panggil penjaga untuk menyeretmu ke luar,” tegas Aryan, bahkan tanpa menatap wajah Alderia. Alderia masih menatap kecewa punggung kokoh Aryan, dia sama sekali tidak bisa menerim
Eira menghentikan langkahnya di pintu begitu matanya melihat keberadaan Dikta yang sedang berdiri sambil berbincang dengan salah satu rekan kerjanya di tempat parkir. Dia yang sudah selesai bekerja sama sekali tak menyadari keberadaan laki-laki itu sebelumnya. Lokasinya yang berada di pojok parkir, membuat Dikta tak terlihat dari dalam minimarket.“Kenapa Bang Dikta ke sini lagi sih?” gumam Eira. Dia meringis pelan, merasa tak nyaman akan keberadaan mantan rekan kerjanya itu.Reaksi Eira berbanding terbalik dengan Dikta yang tampak langsung menatapnya dengan berbinar, bahkan senyum di bibirnya merekah. Walau enggan, demi kesopanan Eira terpaksa menemui Dikta dan menyapa. “Bang Dikta,” ujarnya yang diiringi senyum tipis dan anggukkan kepala samar.“Tuh, yang ditunggu udah dateng. Kalau gitu, gue masuk dulu,” ujar seorang lelaki yang merupakan rekan kerja Eira.“Apaan sih, Bang?” Eira merengut, tak terima dengan godaan sang rekan kerja
Eira mengerjap pelan kala sinar matahari pagi mengusik tidur lelapnya. Dia memicingkan mata sambil menatap sekitar di mana dia tertidur semalam, setelah melampiaskan kekesalannya pada Aryan yang tak kunjung kembali.Bosan menunggu, akhirnya Eira memutuskan menonton drama favoritnya hingga perlahan kesadarannya direnggut begitu saja kala lelah sudah tak lagi dapat dia tahan. Eira terlelap dalam posisi yang entah bagaimana.Mengingat itu, Eira kembali mengerucutkan bibirnya. Entah jam berapa suaminya itu kembali ke kamar? “Jangan-jangan dia malah belum balik sampai sekarang?” gumam Eira sambil melihat ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup rapat.Namun sesaat kemudian, perhatiannya teralihkan pada laptop miliknya yang sudah tersimpan rapi di atas meja, begitu juga dengan sisa kekesalannya yang sudah membaik. “Enggak mungkin kan kalau Pak Aryan yang membereskan semua ini?” gumam Eira. Dia duduk di ujung ranjang sambil terus menelit
Aryan tersenyum miring begitu dia menutup pintu kamarnya rapat, dia melirik ke belakang seolah bisa melihat Eira yang sedang menahan kesal di dalam sana.‘Dia pasti sedang kesal sekarang.’ Ingatan Aryan kembali pada saat dirinya baru saja sampai di restoran di dekat rumah sakit tempat Gilang dirawat. Sebenarnya dia bisa melihat Eira menemui Dikta. Namun, sayang sekali ketika itu dirinya sudah bersama klien yang ingin bekerja sama, hingga Aryan hanya bisa melihat dan membiarkannya dengan hati yang dongkol.Saat itu, sebenarnya Aryan sudah tahu semuanya. Bahkan dia mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Dikta ketuka dirinya menerima telepon di ponsel Eira. Tampaknya laki-laki tidak tahu malu itu memang tengah mendekati Eira, padahal dia sudah tahu kalau Eira telah bersuami. Wajah Aryan langsung berubah serius kala dia sudah sampai di lantai satu dan melihat keberadaan Alderia di ruang tamu. Wanita itu tampak tersenyum semringah saat melihat Aryan berjalan ke arahnya.“Ar....” Alderi
Eira menarik napas dalam lalu menghembuskannya kasar, dia sempat berhenti terlebih dahulu sebelum kembali mengetuk pintu Aryan untuk memberitahu keberadaan Alderia. Matanya melihat hujan yang semakin deras bahkan sebuah gemuruh yang cukup kencang terdengar menggelegar di ujung langit. Dia menyempatkan menutup dulu pintu menuju balkon lalu kembali ke depan ruang kerja Aryan.“Apa, Pak Aryan beneran marah padaku?” gumam Eira ketika pintu di depannya tak kunjung terbuka, padahal ini sudah ketiga kalinya dia mengetuk.“Pak, ada tamu di bawah." Eira kembali berbicara dengan sedikit berteriak, takut tak terdengar oleh Aryan. Namun, pintu tak juga terbuka. “Kayaknya gak mungkin deh kalau dia ketiduran.”“Apa aku buka aja ya.” Eira tatap gagang pintu yang tak kunjung bergerak itu. Perlahan tangannya mulai menyentuh dan mencoba menggerakkannya. “Enggak dikunci,” ujarnya pelan.“Pak Aryan, aku masuk ya,” sambungnya dengan suara yang sedikit lebih ker
“Apa yang Bapak lakukan?!” Eira melebarkan matanya kala melihat Aryan yang sudah menempelkan ponselnya di telinga sambil menyeringai. Tubuhnya gemetar ketakutan akan apa yang terjadi berikutnya jika sampai itu adalah telepon dari Dikta. Mulutnya tertutup rapat saat jari telunjuk Aryan menempel tepat di tengahnya dengan posisi yang masih sama. Hanya beberapa detik laki-laki itu seperti mendengarkan sesuatu dari seberang sana hingga akhirnya dia menjatuhkan ponselnya dan dengan gerakan cepat menempelkan kedua bibir mereka hingga tak ada kesempatan bagi Eira untuk menghindar atau menolaknya. Setelah beberapa saat sama-sama terdiam, perlahan Aryan mulai menggerakkannya. Laki-laki itu melakukannya lumayan lama, hingga mampu membuat Eira melupakan semua rasa takut, kebimbangan, dan semua masalah hidupnya untuk sesaat.“Kamu milikku ... tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Eira Zafran,” ujar Aryan begitu dia melepaskan bibir Eira. Napasnya yang memburu bahkan masih terdengar jelas di
“Sedang apa kamu di sini?” Aryan menatap tajam kedua orang di depannya hingga kerutan di keningnya terlihat jelas.“Arya?” Nathan tak kuasa menahan rasa terkejutnya ketika dia menyadari keberadaan sang sahabat tepat di depannya. Dia berdiri sambil tertawa hambar demi menutupi kecanggungan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya.“Sejak kapan lo ada di sini?” tanyanya. Dia merangkul pundak Aryan seolah tak terjadi apa pun, walau nada suaranya yang bergetar tak dapat dia kendalikan. “Eira....” Suara rendah dan penuh penekanan itu dia tujukan pada gadis yang sejak tadi hanya diam dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja terpergok tengah berselingkuh. Dia bahkan tak mengalihkan sedikit pun pandangannya pada Nathan yang kini berada di sampingnya.Eira mengedipkan matanya pelan, perlahan dia gulirkan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi sudah menghantui pikirannya. Beginikah rasanya jika kita ketahuan ketika sedang melakukan kesalahan? Dia
“Uhuk!” Eira terbatuk sambil mengerjap cepat, tubuhnya pun otomatis mundur dengan gerakan kaku. ‘Apa yang kamu pikirkan, Ra?’ tangannya kembali mencoba membuka pintu mobil. Namun, ternyata kembali tidak berhasil karena masih terkunci.“Tolong buka pintunya....” Akhirnya Eira kembali memberanikan diri untuk menatap wajah Aryan walau hanya sekilas, sementara tangannya masih mencoba membuka pintu berulang kali.Eira segera ke luar dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit, begitu dia berhasil membuka pintu. Dalam hati dia terus merutuki dirinya sendiri yang sempat memikirkan hal yang tidak-tidak bersama dengan Aryan.Sementara itu, Aryan yang masih terpaku di dalam mobil dengan pikiran yang tak bisa beralih dari kejadian tadi, hanya tersenyum tipis kala dia melihat Eira yang berjalan setengah berlari menuju rumah sakit. “Kenapa dia harus bersikap malu seperti itu? Apa dia juga sempat berpikir hal yang sama denganku?”Aryan terkekeh pelan sambi
“Sayang?” Dikta menatap penuh tanya pada interaksi Eira dan Aryan. “Apa maksudnya ini, Ra? Siapa dia?” tanya Dikta sambil menatap penuh tuntutan pada Eira. Dia butuh penjelasan. “Begini, Bang. Eum....” Eira berusaha menjelaskan walau tiba-tiba saja lidahnya terasa sulit untuk digerakkan. Dia bingung harus mengatakan apa pada Dikta. Matanya melebar saat Aryan tiba-tiba maju dan berdiri tepat di tengah-tengah antara dirinya dan Dikta. “Perkenalkan, saya Aryan, suami Eira,” ujar Aryan dengan nada suara tegas dan jelas. Dia mengulurkan tangannya, meminta berjabat dengan Dikta. Seringai miring dan penuh kemenangan terlihat menghiasi wajah tampannya. Eira merengut, dia tatap wajah puas Aryan dengan hati bertanya-tanya. 'Apa maksudnya ini?'“Suami?” Dikta berusaha melihat Eira yang berada di belakang tubuh Aryan. Dia tak peduli pada tangan Aryan, yang dirinya butuhkan saat ini adalah sebuah penjelasan dari Eira langsung. “Kamu sudah menikah, Ra?”"I-itu ... aku...." Eira meringis sambil m
“Kamu benar-benar melaporkan Alderia ke polisi, Ar?” tanya Nathan. Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor Aryan. Nathan sengaja mendatangi sahabatnya secara langsung setelah mendengar berita yang beredar tentang Alderia dari Sherin.Aryan menangguk. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya beberapa hari lalu. Laki-laki itu tampak membungkukkan tubuhnya hingga kedua siku tangannya bertumpu di lutut bagian atas. Tatapan matanya tampak tajam menusuk pada Nathan, walau seringai di bibirnya tampak jelas.“Siapa pun yang berani mengusik ketenangan keluarga gue, gue akan tindak tegas. Lo sudah tahu pasti tentang itu kan, Than? Gue tidak pernah berubah jika itu soal keamanan dan ketenangan keluarga gue,” ujar Aryan dengan begitu ringan, seolah tanpa beban.“Gue tahu,” angguk Nathan. Namun, kini dia juga memajukan tubuhnya hingga mendekat pada Aryan, lalu melanjutkan perkataannya dengan nada yang terdengar sedikit canggung. “Tapi, apa itu tidak terlalu kejam? Walau bagaimana pun, A