Naraya melangkah gontai setelah turun dari dalam mobil, seharian ini mood-nya buruk sekali setelah tadi malam mengetahui dugaan perselingkuhan suaminya.Pagi tadi Naraya tidak bicara banyak dengan Ghazanvar yang tidak biasa pagi sekali sudah pergi tanpa sempat sarapan.Pria itu juga tidak memberi kabar seharian ini padahal biasanya puluhan pesan Ghazanvar kirim untuk mengetahui keadaan Naraya atau hanya sekedar mengirim pesan mesum yang akan membuat pipi Naraya memerah.Tangannya mendorong pintu rumah sang mertua yang setinggi dua setengah meter.Terdengar suara orang mengobrol di ruang televisi membuat langkah Naraya tertuju ke sana, siapa tahu ada keluarga Ghazanvar yang datang dan Naraya harus setor muka pada mereka tentunya.“Yang ditunggu datang juga,” kata papi menyambut Naraya.“Sini sayang.” Mami menggerakan tangan meminta Naraya mendekat lalu menepuk space kosong di sampingnya pada sofa yang beliau duduki.Ada Alex dan seorang wanita yang tidak Naraya kenal di ruang ta
“Kamu enggak ada niatan buat selingkuh?” Mita yang duduk di sebelah Ghazanvar dalam sebuah acara formal tentang perekonomian dan wirausaha yang diadakan pemerintah dengan mengundang Mentri Perekonomian serta Gubernur Jakarta tiba-tiba bertanya.“Enggak.” Ghazanvar menjawab cepat sembari menatap ke podium di mana sang Gubernur sedang menyampaikan pidatonya.Mita mengembuskan napas jengah, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.“Aku mau resign.” Mita mengucapkannya dengan tegas meski suaranya rendah.“Kamu sering ngomong seperti itu tapi enggak ada satu pun surat pengunduran diri yang sampai ke mejaku.” Ghazanvar memang sudah kesal dengan sikap Mita yang terbawa perasaan.Dari awal dia melarang Mita mencintainya karena meski dulu mereka sering bercinta tapi bagi Ghazanvar hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis sebagai pria dewasa. Mita tertohok, matanya mulai berkaca-kaca dan harus menahan sekuat tenaga agar air mata tidak jatuh.“Kamu mencintai istri kamu?” Mita masih s
Ghazanvar menepati janjinya, pria itu membawa Naraya ke sebuah perumahan elite dengan hunian asri didukung kolaborasi harmonis antara sektor akademis, bisnis dan pemerintahan.Semua ada di dalam komplek itu hingga pusat hiburan, kesehatan serta gaya hidup.Naraya tahu kalau harga rumah di sini tidak murah apalagi katanya Ghazanvar juga mau membeli sebuah gedung di komplek ini untuk kantornya.Ghazanvar membelokan kemudi masuk ke halaman sebuah rumah besar tanpa pagar.Rumah itu berada di hook di keliling taman dengan rumputnya yang tertata rapih.Kaca jendelanya belum dilapisi tirai jadi Naraya bisa melihat ke dalam rumah yang sudah terdapat furniture.Kaki Naraya lemas saat turun dari dalam mobil, dia tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan dinaikkan derajat setinggi ini oleh Yang Maha Kuasa.“Ayo, Nay.” Ghazanvar mengulurkan tangan, mengajak Naraya masuk karena sedari tadi istrinya itu hanya diam saja memandangi keseluruhan rumah sampai menoleh ke kiri dan ke kanan serta m
“Naaaaayyyy.” Ghazanvar mengerang sembari merengkuh pinggang Naraya membuat dada mereka merapat.Naraya tertawa berusaha meronta namun tidak menggunakan tenaga jadi Ghazanvar bisa membawa tubuh Naraya jatuh ke kasur yang empuk.“Nay … mau test drive, enggak?” Ghazanvar menaik turunkan kedua alisnya berkali-kali.“Apa sih, Bang … masa mau make love di sini?” “Kenapa enggak? Ini ‘kan rumah kita.” Ghazanvar mulai membuka satu persatu kancing kemeja.“Belum ada tirainya, nanti ada yang liat.” Naraya menolak secara halus.“Enggak apa-apa, kamar kita paling tinggi… enggak ada yang liat.” Ghazanvar yang telah bertelanjang dada naik ke atas Naraya.Apa yang bisa Naraya lakukan selain membuka kakinya lebar-lebar, memberikan apa yang Ghazanvar paling inginkan darinya.*** “Mas … kayanya aku enggak jadi dijodohin deh!” celetuk Afifah saat mereka makan siang sebelum menonton film.Karena Afifah tidak boleh pulang lewat maghrib jadi kencan kali ini disponsori oleh bolosnya Afifah di ja
Plak! Tamparan ringan dari mami Zara mengenai kepala Arnawarma setelah pria itu mengungkapkan keinginannya untuk tinggal bersama Anasera.“Jangan ngadi-ngadi kamu!” Mami berseru, matanya menatap tajam.Sementara papi Arkana malah terkekeh di tempatnya duduk.“Miii … Nawa serius, Nawa udah dewasa … meski belum menikah tapi semestinya Nawa enggak tinggal di sini lagi … di Luar Negri tinggal bersama kekasih itu udah biasa, Mi.” Arnawarma berusaha membuat mami mengerti.“Kamu tinggal di Indonesia, bukan di Luar Negri! Kamu harus pakai aturan sini!” Suara mami terdengar lantang karena murka.“Kamu mencintai Ana?” Papi Arkana bertanya dengan gayanya yang santai.Berbanding terbalik dengan mami Zara yang emosional mendengar niat Arnawarma yang ingin tinggal bersama dengan Anasera tanpa ikatan pernikahan.“Cinta banget lah, Pi.” Arnawarma menjawab cepat tanpa perlu berpikir.“Ya terus kenapa kalian enggak menikah aja?” Mami Zara mewakili papi Arkana melontarkan kalimat yang ada di b
“Yang ini kayanya penting, Nay!” Ghazanvar menekan alat scan barcode yang sensornya dia arahkan pada barcode sebuah mangkuk buah-buahan yang menurut Naraya tidak terlalu berguna.“Yang ini juga kayanya butuh deh, Nay!” Ghazanvar menekan alat barcode lagi sekarang pada pot bunga berwarna pink.Entah berapa puluh atau mungkin ratusan barcode yang sudah terekam di sana untuk kemudian Ghazanvar bayar nanti di kasir.“Sini alat barcode-nya … enggak beres kalau Abang yang pegang, bisa-bisa isi toko ini pindah ke rumah kita.” Naraya mendelik kesal membuat Ghazanvar terkekeh.“Sayang! Ini kayanya kita butuh.” Ghazanvar mengangkat alat semprot tanaman lucu berbahan kaca yang sudah pasti tidak mereka butuhkan apalagi tukang kebun karena bentuknya mini.Naraya menanggapi dengan delikan manja, dia tidak menggubris, melanjutkan memilih alat makan.Momen membeli keperluan untuk rumah ternyata cukup seru apalagi bersama sang istri tercinta yang hematnya minta ampun.Ghazanvar senang sekali me
“Kamu pacaran sama Nawa?” Adalah pertanyaan pertama Arsenio semenjak duduk di sofa apartemen Anasera.Anasera yang duduk di samping sang kakak dan sedari tadi pura-pura menonton hanya memberikan anggukan kaku.Anasera sempat syok sewaktu mendapati Arsenio di depan pintu apartemennya pagi ini dan menduga kalau pria itu suruhan mommy Bunga dan daddy Angga.“Tante Zara sama om Kana datang ke rumah minggu lalu … mereka berdua ingin melamar kamu … mommy sama daddy setuju, kamu pulang ya ketemu mommy sama daddy,” bujuk Arsenio diakhir kalimatnya menggunakan nada rendah.“Tapi aku belum mau nikah, Kak.” Anasera melirih.Hembusan napas panjang keluar dari mulut Arsenio, tidak pernah bisa mengerti dengan jalan pikiran adiknya.“Kenapa belum mau menikah? Terus kenapa kamu sama Nawa pacaran?” Arsenio mempertegas nada suaranya.“Aku belum yakin sama Nawa ….” Kalimat Anasera menggantung. Kalimat ambigu Anasera memiliki dua arti, antara Anasera tidak yakin dengan cinta Arnawarma padanya at
“Mau ke mana?” Ghazanvar bertanya panik saat melihat Naraya memasukan pakaian ke dalam tas.Pria itu mengeluarkan pakaian yang telah Naraya masukan ke dalam tas dan membuatnya tergelak.“Abaaang, udah aku beresin itu ….” Dengan santai Naraya memprotes disela tawanya. “Kamu mau ke mana, sayang.” Ghazanvar mengangkat tubuh Naraya, mendudukannya di atas sebuah meja.“Sebulan sekali aku sama Ipeh dan Anggit selalu menginap bersama … tempatnya bergilir antara rumah Ipeh, kossan Anggit atau rumah kontrakan aku … dan malam ini kebetulan kami dapat kamar hotel suite dari temannya Abah … jadi Nay nginep di sana malam ini sama mereka.” “Kok kamu enggak bilang sama aku, sayang?” Kerutan halus muncul di antara alis Ghazanvar.“Abang tadi malem abis meeting pulang malem banget … Nay enggak sempat bilang.” Padahal tadi malam Ghazanvar latihan bersama Anasera dan Radeva sekaligus membujuk Anasera agar tidak meninggalkannya dari dunia hitam.“Tapi kenapa sebelum-sebelumnya enggak bilang?”
Naraya menderapkan langkah menyusuri jalan setapak menuju kelas berikutnya.“Nay!” Suara berat seorang pria membut langkahnya berhenti, dia lantas menoleh ke asal suara.“Stop di situ!” Naraya berseru sambil mengangkat tangan.Langkah Khafi seketika terhenti, wajah tampan itu pun melongo bingung.“Mas Khafi chat aja, jangan deket-deket Nay dulu … nanti suami Nay marah, Nay lagi banyak pikiran enggak mau ditambah berantem sama abang juga.” Kedua alis Khafi terangkat hanya bisa diam membeku sembari menatap punggung Naraya yang dengan cepat menjauh.Ada gejolak di dada Naraya rasanya ingin marah-marah.Naraya tidak mengerti, ingin menangis juga sebenarnya tapi lebih besar perasaan ingin marah-marah, entah kenapa, Naraya juga bingung.Dia tidak bicara dengan teman-temannya selama kelas berikutnya berlangsung sampai akhirnya kelas berakhir kemudian Naraya pergi ke parkiran.“Awas aja ya kalau sampai abang Ghaza belum sampe, Nay pulang sendiri …,” ancamnya sembari misuh-misuh.Na
“Lho Nay, mau ke mana?” Ghazanvar yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya dengan kening berkerut tidak suka melihat Naraya memakai pakaian untuk kuliah berupa kemeja dan celana jeans.“Mau kuliah, Bang.” Naraya menjawab sembari menyisir rambut panjangnya tanpa berani menatap mata sang suami.“Tapi kamu ‘kan kemarin malam masih lemes sampai aku gendong dari mobil ke kamar … ijin dulu lah Nay sehari,” pinta Ghazanvar baik-baik demi kesehatan Naraya dan janin yang ada di dalam perutnya.“Enggak bisa Bang, sekarang ada ujian praktek menari—“ Kalimat Naraya terhenti teringat ucapan papi Arkana saat di Singapura.Dia menunduk menatap perutnya yang masih rata kemudian mengusap lembut di sana.“Naaay … gimana kalau kamu cuti dulu sampai melahirkan?” bujuk Ghazanvar, kedua tangannya terulur memeluk Naraya dari belakang.Dia juga ikut mengusap perut Naraya menggunakan kedua telapak tangannya yang besar.Banyak kecupan Ghazanvar berikan di belakang kepala Naraya.“Aku sayang kamu
“An …,” panggil Arnawarma lembut sembari menurunkan sleting gaun Anasera.“Hem?” Anasera mendengung sebagai respon.“Kita buat yang kaya di perutnya Nay, yuk!” bujuknya seperti anak kecil.Anasera terkekeh, membalikan tubuhnya kemudian mendongak menatap sang suami yang tinggi menjulang di depannya.“Kamu enggak bosen? Tiap malam kita bercinta, sampai malam sebelum akad nikah aja kamu menyusup ke kamar aku untuk bercinta … tadi malam juga kita bercinta.” Anasera melapisi sisi wajah Arnawarma.Dan kenapa Anasera baru benar-benar menyadari kalau Arnawarma sangat tampan, bahkan menurut Anasera, Arnawarma paling tampan di antara adik-adik dan kakaknya.“Enggak lah masa bosen.” Arnawarma menurunkan gaun Anasera dari pundaknya.Kini hanya tersisa celana kain berenda menutup bagian inti Anasera sedangkan dua bagian menyembul di dadanya menggantung tampak seksi.Arnawarma meremat lembut salah satu bagian itu dengan sorot mata teduh.“Nawa.” Jemari ramping Anasera membuka satu persatu
Sekembalinya dari rumah sakit, Ghazanvar langsung membawa Naraya ke kamar, tidak kembali ke pesta yang saat itu belum berakhir.Naraya langsung berbaring di ranjang karena tubuhnya terasa lemas sekali.Dia berbaring miring, menekuk kakinya dengan tangan pengusap perut.Tiba-tiba air mata Naraya menetes lagi, dadanya bergemuruh mengakibatkan sesak dan dia mulai terisak.“Sayaaang.” Ghazanvar yang sedang menanggalkan tuxedonya bergegas mendekat.“Are you oke?” Ghazanvar naik ke atas ranjang memeluk Naraya.“Nay enggak apa-apa tapi enggak tahu kenapa ingin nangis.” Naraya bicara di antara isak tangis.“Ingin nangisnya karena apa? Aku salah apa, sayang?” “Enggak, Abang enggak salah … Nay, inget sama ibu dan Bapak.” Ghazanvar memberikan kecupan di puncak kepala Naraya lantas mengeratkan pelukan.“Mereka pergi sebelum sempat melihat cucunya,” sambung Naraya terisak.Ghazanvar mengerti apa yang Naraya rasakan. “Nanti kita datang ke pemakaman kedua orang tua kamu setelah anak kit
Naraya terpana begitu masuk ke dalam Ballroom yang disulap seperti hutan peri.Banyak bunga, pohon-pohon artifisial serta lampu warna-warni.“Bro!“ Radeva merangkul pundak Ghazanvar.“Dari mana, Dev?” tanya Ghazanvar terkejut.“Abis telepon Ipeh.” Radeva menggerakan tangannya yang memegang handphone.“Ini kayanya si Ana berusaha keras banget nutupin jati diri dia yang sebenarnya.” Radeva berpendapat sembari memindai seluruh ruangan Ballroom.“Kenapa? Gara-gara tema dekornya fairythopia?” Ghazanvar menebak dan Radeva menganggukan kepalanya sebagai respon.“Gimana kalau ide tema ini idenya si Nawa?” ujar Ghazanvar lantas tergelak.“Bisa jadi sih! Si Ana ‘kan sukanya warna item dengan tema serba minimalis … enggak kaya pesta ulang tahun anak cewek umur tujuh tahun gini.” Ghazanvar tertawa lagi menanggapi.Lalu suara MC terdengar membuka acara, satu persatu tamu undangan mulai berdatangan.MC yang menggunakan bahas Inggris itu memberi instruksi agar para tamu membuat sebuah li
Ghazanvar berdecak lidah kesal saat melihat Naraya berjalan mendekat.Istrinya tampak cantik sekali mengenakan gaun untuk resepsi pernikahan Arnawarma dan Anasera.“Nay, ah … kamu kenapa cantik-cantik banget sih!” seru Ghazanvar dengan tampang tidak suka.“Ih, kok Abang gitu … istrinya cantik malah protes.” Sebagai seorang perempuan, Aruna tidak suka dengan sikap kasar sang kakak kepada istrinya di depan banyaknya sepupu mereka.“Nanti kalau banyak yang terpesona terus mau ngerebut dia dari Abang, gimana?” Ghazanvar mengungkapkan alasannya.“Kata cowok yang pernah berusaha ngerebut istri dari adik sepupunya sendiri,” celetuk Narashima santai dengan tatapan fokus pada gadgetnya karena sedang main game.Semua lantas tergelak menertawakan Ghazanvar membuat pria itu merotasi bola matanya dan raut wajah Naraya yang tadi menegang pun perlahan melembut.“Duduk, Nay.” Reyzio bangkit dari samping Ghazanvar memberi tempat untuk Naraya.Seluruh Gunadhya sedang berkumpul di lobby sebuah h
“Nay … seriusan aku enggak tahu kalau papi nyumbang buat acara ini.” Ghazanvar membuka pembicaraan setelah beberapa menit semenjak mereka masuk ke dalam mobil—Naraya bungkam seribu bahasa.“Sebenarnya Nay enggak masalah, Bang … cuma Nay khawatir orang-orang bergosip kalau Nay bisa selalu mewakili kampus karena mertuanya penyumbang terbesar setiap acara di kampus.” Naraya terdengar menggerutu, bibirnya mengerucut dengan wajah ditekuk.“Nanti aku bilang sama papi ya untuk enggak selalu andil, tapi kayanya pihak kampus yang ngajuin proposal duluan ke papi … sekarang papi sama Rektornya ‘kan bestian, teman golf.”Naraya menoleh menatap suaminya. “Oh ya?” Kedua alis wanita yang memiliki mata seperti almond itu terangkat.Setelah untuk yang pertama kalinya papi Arkana dan papanya Khafi bertemu di kantor Polisi karena urusan sang putra yang berkelahi dan setelah itu mereka jadi akrab.“Iya sayang … ya masa sama bestie enggak royal,” kata Ghazanvar lagi kemudian tertawa.“Ya kalau git
Ghazanvar sengaja tidak masuk kantor untuk melakukan gladi di kampus Naraya, tapi bukan berarti pria itu tidak bekerja—Ghazanvar masih bertanggung jawab pada pekerjaannya dengan membawa MacBook dan mengerjakan apa yang biasa dia kerjakan di kantor dari kampus Naraya atau lebih tepatnya Aula utama tempat pentas seni akan berlangsung besok.Sesekali matanya mengawasi interaksi antara Naraya dengan Khafi, mereka tampak akrab sekali.Ghazanvar jadi kesal dan dia tidak mau repot-repot menutupi ekspresi benci di wajahnya untuk Khafi.Lihat saja bagaimana tajamnya tatap mata Ghazanvar tertuju pada Khafi saat netra mereka tidak sengaja bersirobok.“Abang Ghaazaaa.” Afifah datang membawa satu cup kopi untuk Ghazanvar.“Ini buat Abang,” katanya manis sekali.“Waaah, curiga nih pasti kamu mau nanya-tanya tentang Radeva ya!” tebak Ghazanvar membuat Afifah menyengir lebar.Ghazanvar tertawa karena tebakannya benar sampai berhasil mengambil alih perhatian Naraya dan Khafi yang berada di atas
Pria itu bangkit dari kursi. “An … aku lewati satu malam dan satu hari tanpa kamu … dan ternyata aku enggak bisa.” Detik berikutnya Anasera berlari ke arah Arnawarma lantas memeluk pria itu erat. Anasera menangis di dada Arnawarma, dia pikir telah kehilangan pria itu. “Maafin aku ya, aku terlalu egois …,” kata Arnawarma padahal yang salah Anasera. Anasera menggelengkan kepala. “Aku yang salah.” Suara Anasera teredam dada Arnawarma. “Enggak sayang, aku yang salah.” Arnawarma bersikeras. Anasera mendongak demi menatap wajah tampan sang tunangan. “Aku yang salah, aku enggak bisa kasih tahu kamu keberadaan aku kemarin.” “Iya enggak apa-apa, harusnya aku percaya sama kamu … jadi aku yang salah.” Arnawarma memaksa. “Ih … enggak Nawa, aku yang salah.” Mereka berdua jadi rebutan menjadi orang yang bersalah dalam masalah ini. Lalu keduanya tertawa, Arnawarma memeluk Anasera kembali,