Dengan suara yang terengah-engah karena napasnya yang terengah-engah akibat pertarungan yang intens, Shingetsu mulai menceritakan alasan di balik pilihannya untuk membelot. "Kalian tidak akan pernah mengerti," ucapnya, suaranya bergetar karena emosi yang terpendam. "Aku melihat begitu banyak kebusukan manusia di dunia ini. Orang-orang yang berkuasa menindas yang lemah, korupsi merajalela di setiap lapisan masyarakat, orang orang kecil di perbudak bagaikan tidak ada harga dirinya."Takeshi dan guru Fujiwara mendengarkan dengan serius, meskipun mereka masih fokus pada pertarungan. Mereka merasakan kesedihan dan keputusasaan dalam kata-kata Shingetsu."Kalian berdua mungkin berpikir bahwa kebaikan masih ada di dunia ini, tapi aku telah kehilangan segala harapan, keputusasaan, rasa sakit, dan penderitaan telah ku alami di dunia yang busuk ini." lanjut Shingetsu, matanya terlihat kosong, dipenuhi dengan penderitaan yang tak terucapkan. "Aku hanya ingin kekuatan untuk mengubah dunia ini, ba
Saat Takeshi merasa bahwa tenaganya hampir habis dan kekuatannya mulai memudar, dia merasa ada sesuatu yang aneh terjadi. Dalam momen keputusasaan, dia memegang erat katana pusakanya, merasakan getaran yang kuat dari katana itu. Secara tiba-tiba, energi yang mengalir dalam dirinya terasa kembali menggelora, memenuhi tubuhnya dengan kekuatan baru yang membara.'Apa ini? Katana pusaka memberikan kekuatan nya? Dengan kekuatan ini, aku tidak akan menyerah!' pikir Takeshi dengan tekad yang kuat.Katana pusakanya, yang selama ini menjadi misteri baginya, sekarang memberinya kekuatan dan semangat yang dibutuhkannya untuk melanjutkan pertarungan. Dengan dorongan baru ini, Takeshi mengambil napas dalam-dalam, menatap Shingetsu dengan mata penuh tekad dan keberanian.Dalam sinar rembulan yang menyala di langit malam, Takeshi dan Shingetsu berdiri satu sama lain, siap untuk memulai pertempuran yang menentukan. Udara terasa tegang, diisi dengan antusiasme yang membara
Dengan napas yang tersengal-sengal, Shingetsu mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya untuk berbicara. Tatapannya menemui Akatsuki, yang berdiri di sampingnya dengan tatapan campuran antara rasa takjub dan kebingungan."Akatsuki..." panggil Shingetsu dengan suara yang rapuh, "Kau... bebas sekarang. Kau bebas untuk... menjalani hidupmu... sesuai keinginanmu sendiri."Akatsuki menatap Shingetsu dengan tatapan yang penuh dengan campuran perasaan. Meskipun dia telah bertarung setia di bawah pimpinan Shingetsu, kebebasan yang baru saja diberikan padanya membuatnya merasa bingung. Namun, dalam kebingungannya, ada juga rasa lega yang dalam, karena akhirnya dia bisa menentukan nasibnya sendiri."Terima kasih, tuan Shingetsu," ucapnya dengan suara yang tulus, "Aku akan selalu menghormatimu atas semua yang telah kau lakukan untukku."Shingetsu tersenyum lemah mendengar kata-kata itu, meskipun rasa sakit masih menyiksa tubuhnya. Dia mengangguk sebagai tanggapan, mengetahui bahwa saat ini adal
Dengan hati yang berat, Takeshi meninggalkan medan pertempuran, menyusuri jalan yang diperintahkan oleh rintik hujan yang deras. Meskipun kemenangan telah diraih, dia merasa bahwa pertempuran itu meninggalkan bekas yang tak terhapuskan dalam dirinya, dan dia bersumpah untuk tidak melupakan pengorbanan yang telah dibuat oleh semua yang terlibat.Setelah perjalanan yang melelahkan, langkah mereka akhirnya menghampiri gerbang Dojo yang terbuka lebar. Warga kota yang khawatir telah berkumpul di sekitar, menunggu dengan harapan dan kecemasan yang terpancar dari wajah-wajah mereka.Ketika mereka mendekati gerbang, sorak-sorai kelegaan memenuhi udara. Warga kota bersorak gembira, melepaskan beban kekhawatiran yang selama ini mereka rasakan."Guru Fujiwara! Tuan Minamoto! Masahiro! Takeshi! Yuki!" teriak salah seorang murid Dojo dengan suara gemetar, penuh rasa syukur. "Kalian sudah kembali!"Mata guru Fujiwara berbinar melihat pemandangan yang menggembirakan itu. "Kami kembali," ucapnya deng
Setelah latihan selesai, mereka duduk bersama di sudut Dojo, berbagi cerita tentang tujuan dan mimpi mereka."Kalian tahu, aku bermimpi suatu hari nanti bisa menjadi pendekar pedang terbaik di negeri ini," kata Shingetsu dengan penuh semangat. "Aku ingin melindungi orang-orang yang ku sayangi dan menjaga perdamaian dengan kekuatan pedangku."Akira tersenyum mendengarnya, "Diriku juga memiliki mimpi yang serupa, Shingetsu. Diriku ingin menjadi yang terbaik dalam seni bela diri kami dan menghormati tradisi Dojo kita."Kageyama bergabung dalam percakapan, "Aku bermimpi tentang petualangan yang tak terhingga. Melintasi negeri ini, mengenal berbagai orang dan budaya, serta menemukan kebenaran tentang arti kehidupan."Shingetsu mengangguk penuh pengertian, "Mimpi-mimpi kita mungkin berbeda, tetapi mereka semua memiliki satu persamaan: keinginan untuk berkembang dan menjadi lebih baik dari sebelumnya."Mereka saling bertukar pandangan penuh semangat, yakin bahwa dengan tekad yang kuat dan ke
Ketika matahari tenggelam di balik cakrawala, Shingetsu, Akira, Kageyama, dan Kaito akhirnya sampai di sebuah desa kecil yang terletak di tengah perbukitan. Desa itu terlihat damai, dengan rumah-rumah tradisional yang terbuat dari kayu dan atap jerami.Mereka disambut oleh warga desa yang ramah, yang menawarkan tempat untuk bermalam dan menyediakan makanan hangat. Di tengah desa, terdapat sebuah lapangan terbuka di mana penduduk setempat sedang berkumpul, mempersiapkan pesta kecil untuk merayakan kedatangan tamu.Lampu-lampu minyak dinyalakan di sepanjang jalan, menciptakan suasana hangat dan mengundang di malam yang gelap. Suara musik dan tawa-tawa mengisi udara, memberi semangat bagi mereka yang berada di sana.Kaito tersenyum melihat pemandangan tersebut, "Apa yang lebih baik daripada berbagi cerita dan kenangan di bawah bintang-bintang?"Shingetsu mengangguk setuju, "Sungguh indah. Siapa yang tahu apa yang menunggu kita di perjalanan ini."Mereka pun bergabung dalam perayaan, meni
Ketika dia mendekati Kageyama, Shingetsu merasakan detak jantungnya semakin cepat. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang menggelinding tak terkendali. Dia tidak tahu harus percaya pada siapa lagi.Kageyama, yang masih tenggelam dalam kesedihan, mengangkat kepalanya ketika Shingetsu mendekat. Matanya yang berkabung segera bertemu dengan tatapan gelap Shingetsu. Ada kecemasan yang samar terpancar dari wajah Shingetsu yang sebelumnya cerah."Shingetsu...," panggil Kageyama dengan suara serak, mencoba menahan air matanya yang akan jatuh.Shingetsu menelan ludah, mencoba menyingkirkan keraguan dalam hatinya. Namun, setiap kata yang akan dia ucapkan terasa berat dan berat di bibirnya."Kageyama...," gumam Shingetsu, matanya terpaku pada pria yang duduk di hadapannya. "Ada sesuatu yang harus aku tanyakan padamu," lanjutnya dengan ragu.Kageyama menatap Shingetsu dengan perasaan campur aduk di matanya. "Apa itu, Shingetsu?" tanyanya dengan suara gemetar.Shingetsu menarik napas dalam-dalam
Namun, ketika dia mencoba mengingat kembali momen-momen itu, dia menyadari bahwa ada ketegangan yang lebih dalam di antara mereka daripada yang dia pikirkan sebelumnya. Sebuah konflik yang mungkin menjadi pemicu bagi tragedi yang menimpa Akira."Ada satu kejadian..." gumam Shingetsu pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Kaito. "Mereka pernah bertengkar hebat di depan Dojo, tentang masa depan mereka sebagai pendekar pedang."Kaito mengangguk dengan bijak, seolah-olah dia sudah mengetahui semua itu sebelumnya. "Tentu saja, itu bisa menjadi alasan yang kuat bagi seseorang untuk bertindak," katanya dengan nada yang terlalu tenang. "Konflik itu seringkali adalah akar dari banyak masalah di dunia ini."Shingetsu merasa semakin terperangkap dalam jaringan tipu muslihat Kaito, mencoba memilah-milah fakta dari manipulasi yang terus-menerus. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas lapisan es yang tipis, takut jatuh ke dalam jurang kebohongan yang tersembunyi di bawah permukaan.