Sebuah ketukan pada pintu membuat Anggi dan Reno menoleh saat mereka tengah makan malam berdua. Obrolan ringan pasutri baru itu terhenti sejenak. Mereka menoleh dan saling melempar tatapan. "Siapa malam-malam begini bertamu? Enggak biasanya." Anggi membuka suara. "Coba aku liat dulu." Saat Reno berdiri, Anggi langsung mencegahnya. Wanita dengan jilbab biru muda dipadu dengan piyama tidur itu berkata, "Biar aku aja, Mas. Kamu lanjutin makannya."Reno membalas dengan senyuman. Anggi pun segera mendorong kursi ke belakang lalu berjalan ke depan. Ia membuka pintu dan mendapati sosok tadi sore yang membersamainya. "Loh, kamu.""Hai, Mbak. Bisa minta tolong, enggak? Oh, ya, kita kan belum kenalan. Kenalin, namaku Zia." Gadis itu mengulurkan tangannya. Anggi yang tampak kaku pun lantas menerima uluran tangan Zia. "Ada apa ya, Zi?""Kebetulan kan, aku tinggal di rumah sebelah. Belum lama ini juga, nah sekarang lampunya mati. Mau minta tolong yang punya kontrakan tapi rumah beliau jauh. A
"Kamu jadi ikut?" tanya Reno sambil membenahi jas kerjanya. Anggi mengangguk saja. Tanpa menoleh pada suaminya yang sudah siap di depan cermin hias. Sekali lagi Reno menoleh ke belakang. "Kamu kenapa, Sayang? Kayak murung gitu. Aku ada salah? Coba bilang biar aku tau. Ya udah, aku minta maaf duluan deh.""Bukan itu," balas Anggi. Ia berdiri dari tepi ranjang mendekati sang suami. Lalu, membantu membenahi dasi kerja Reno. "Lantas apa? Kamu dari tadi diem aja. Oh, dari semalam. Iya, aku baru ingat. Ada yang kamu pikirkan?" Tangan Reno meraih jemari lentik Anggi dan mengajaknya keluar kamar. Mereka menuruni anak tangga dan siap untuk berangkat. Anggi mengunci pintu rumah dan mengekor di belakang suaminya. Mereka masuk ke dalam mobil dan pergi ke kantor. Sempat Anggi menoleh pada tetangga barunya itu. Namun, rumah itu sudah tampak sepi dan gerbang tertutup rapat. Tak peduli, wanita cantik itu terus bergelayut pada pundak Reno. Mereka bercerita tentang liburan bulan depan. Sesampainy
Anggi menatap ponsel sambil tertawa sendirian. Sementara itu, Reno yang masih sibuk menikmati soto Betawi tampak heran dengan istrinya. "Kenapa? Ada yang lucu?" tanya Reno sambil menghentikan makannya. "Kamu liat sendiri, Mas. Baiknya, dia diapain, ya?" Anggi hanya tertawa saja sejak tadi. Ia segera memberikan ponselnya pada Reno. Dari sana, semua terlihat jelas. Bagaimana kelakuan karyawati itu. Setelah ponsel berpindah ke tangan lelaki itu, Reno pun terkejut melihatnya. Apakah gerangan yang membuat Zia melakukan hal itu. Untung saja, Anggi memiliki banyak cara untuk membuat Zia mati kutu."Berani-beraninya dia di kantorku. Apa aku pecat saja dia sekarang, Sayang?" Reno mendadak hilang selera makan saat mengetahui kelakuan Zia. "Mas, kamu tau siapa dia?" Anggi balik tanya. "Dia udah dua hari kerja di sini. Agak aneh memang anak itu.""Dia itu yang semalam minta tolong benerin lampu rumahnya sama kamu. Untung saja aku peka. Aku tau semua rencana dia.""Serius kamu?" Reno menggele
"Pagi, Pak." Zia tiba-tiba masuk ke ruangan direktur. Gadis itu membawa map dan langsung menyerahkannya pada Reno. "Makasih, Zi. Kamu boleh keluar," kata Reno. Ia tak ingin terjadi fitnah atau sesuatu yang akan membuat keadaan keruh. "Pak, saya mau izin besok. Ibu saya sakit. Kalau boleh, saya mau kasbon. Saya belum gajian." Zia memasang wajah sedih. Namun, setelah melihat kejadian-kejadian sebelumnya, Reno tak begitu mengindahkan. Reno hanya diam saja tanpa menjawab. Zia menghela napas panjang di depan bosnya. Lalu, membalik badan dengan pelan. Gadis itu kini sudah keluar. Sesaat, Reno mendadak bimbang. Bagaimana jika memang benar Ibunya Zia sakit. Tangan Reno terangkat dan segera menekan tombol telepon berkabel. Reno meminta sekretarisnya datang ke ruangan. Benar saja, dalam hitungan detik seorang lelaki berjas hitam dengan sopan sekali masuk ke dalam ruangan Reno. "Ada apa, Pak?""Aku mau kamu ikuti Zia. Apa benar yang dia katakan. Cari tau seluk beluk keluarganya. Di mana di
"Pak, makasih banyak sudah ditraktir makan siang juga malam ini. Saya banyak berhutang Budi." Zia berhenti saat ia mengikuti langkah Reno sejak tadi. Mereka baru saja keluar dari sebuah restoran. "Sama-sama. Kamu pulang sendirian?" tanya Reno sambil menunjuk jalan. "Iya, Pak. Mau sama siapa lagi. Ya udah, saya duluan. Ibu saya sudah nungguin di rumah ." Zia berjalan dua langkah, tetapi tangan Reno mendadak meencekalnya. "Ya udah, saya antar."Zia tersenyum licik. Gadis itu dengan senang hati langsung memasuki mobil Reno. Awalnya, Reno merasa aneh dengan dirinya sendiri. Sudah sekali menghindari gadis itu. Beberapa hari ini ia merasa ada yang kurang jika sekali saja tak melihat wajah Zia. "Pak, pelan-pelan aja nyetirnya."Reno terkejut saat pundaknya mendadak disentuh dengan lembut oleh Zia. Ada hawa panas yang merasuk ke dalam tubuh pria itu. Seperti bisikan yang selalu membujuk ke arah kebatilan. Punggung mendadak berat. Reno tak tahan lagi. Lelaki itu menutup matanya. "Pak, Bap
Reno merasa sangat berdosa dan bersalah setelah satu kakinya melangkah hingga sampai ke depan pintu. Tangannya dingin seperti es ketikan terangkat untuk mengetuk pintu yang masih tertutup rapat itu.Tiga kali ketukan, belum juga Anggi membuka. Pria dengan kemeja putih itu kembali mengayunkan tangannya. Namun, tiba-tiba pintu terbuka dan Anggi menampakkan diri dengan penampilan cantiknya. "Mas ... masuk, Mas." Anggi terlihat lain. Rona wajahnya berbeda dari kemarin. Wanita cantik itu tak banyak bertanya. Hanya meminta Reno untuk masuk dan istirahat saja. Reno mencekal tangan Anggi yang terus melangkah mendahului. Wanita cantik itu terhenti langkahnya. Namun, ia tak segera menoleh hingga Reno memeluk tubuhnya dari belakang. Reno menumpahkan beban di dadanya berupa aliran bening. "Maafkan aku, Sayang." Reno terisak lirih. "Mas, aku ngerti, kok. Kamu sibuk sampai menginap di kantor. Lebih baik, kamu pindah ke kamar saja dan lanjutkan tidurmu."Reno terkejut saat Anggi berucap demikian
Sampai di kantor keduanya langsung turun. Reno menggandeng tangan istrinya dan mereka sapa oleh karyawan yang sudah datang lebih awal. "Mas, aku ke toilet dulu. Kamu duluan aja," ucap Anggi ketika mereka masih di dalam lift. "Toilet di dalam ruangan ku kan juga ada. Sekalian aja nanti ....""Enggak. Aku udah pengen buang air kecil. Ruangan Mas kan masih jauh." Anggi memotong kaliant yang diucapkan Reno. Begitu pintu terbuka, Anggi buru-buru keluar dan mendahului. Reno memaklumi karena pagi tadi Anggi memang banyak minum teh. Reno pun lantas melanjutkan langkah ke ruangannya sendiri. Tak disangka, setelah pintu dibuka, Reno malah dikagetkan dengan sosok wanita yang duduk memunggungi.Rambutnya tergerai panjang dengan kaki bertopang menghadap pada kursi direktur. "Pagi, Pak Reno. Saya sudah menunggu sejak tadi. Anda baru datang." Zia mengulas senyuman. "Kalau sudah kelar urusanmu, segeralah keluar." Reno masih berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku. "Maaf, Pak Reno. Saya m
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k