"Pagi, Pak." Zia tiba-tiba masuk ke ruangan direktur. Gadis itu membawa map dan langsung menyerahkannya pada Reno. "Makasih, Zi. Kamu boleh keluar," kata Reno. Ia tak ingin terjadi fitnah atau sesuatu yang akan membuat keadaan keruh. "Pak, saya mau izin besok. Ibu saya sakit. Kalau boleh, saya mau kasbon. Saya belum gajian." Zia memasang wajah sedih. Namun, setelah melihat kejadian-kejadian sebelumnya, Reno tak begitu mengindahkan. Reno hanya diam saja tanpa menjawab. Zia menghela napas panjang di depan bosnya. Lalu, membalik badan dengan pelan. Gadis itu kini sudah keluar. Sesaat, Reno mendadak bimbang. Bagaimana jika memang benar Ibunya Zia sakit. Tangan Reno terangkat dan segera menekan tombol telepon berkabel. Reno meminta sekretarisnya datang ke ruangan. Benar saja, dalam hitungan detik seorang lelaki berjas hitam dengan sopan sekali masuk ke dalam ruangan Reno. "Ada apa, Pak?""Aku mau kamu ikuti Zia. Apa benar yang dia katakan. Cari tau seluk beluk keluarganya. Di mana di
"Pak, makasih banyak sudah ditraktir makan siang juga malam ini. Saya banyak berhutang Budi." Zia berhenti saat ia mengikuti langkah Reno sejak tadi. Mereka baru saja keluar dari sebuah restoran. "Sama-sama. Kamu pulang sendirian?" tanya Reno sambil menunjuk jalan. "Iya, Pak. Mau sama siapa lagi. Ya udah, saya duluan. Ibu saya sudah nungguin di rumah ." Zia berjalan dua langkah, tetapi tangan Reno mendadak meencekalnya. "Ya udah, saya antar."Zia tersenyum licik. Gadis itu dengan senang hati langsung memasuki mobil Reno. Awalnya, Reno merasa aneh dengan dirinya sendiri. Sudah sekali menghindari gadis itu. Beberapa hari ini ia merasa ada yang kurang jika sekali saja tak melihat wajah Zia. "Pak, pelan-pelan aja nyetirnya."Reno terkejut saat pundaknya mendadak disentuh dengan lembut oleh Zia. Ada hawa panas yang merasuk ke dalam tubuh pria itu. Seperti bisikan yang selalu membujuk ke arah kebatilan. Punggung mendadak berat. Reno tak tahan lagi. Lelaki itu menutup matanya. "Pak, Bap
Reno merasa sangat berdosa dan bersalah setelah satu kakinya melangkah hingga sampai ke depan pintu. Tangannya dingin seperti es ketikan terangkat untuk mengetuk pintu yang masih tertutup rapat itu.Tiga kali ketukan, belum juga Anggi membuka. Pria dengan kemeja putih itu kembali mengayunkan tangannya. Namun, tiba-tiba pintu terbuka dan Anggi menampakkan diri dengan penampilan cantiknya. "Mas ... masuk, Mas." Anggi terlihat lain. Rona wajahnya berbeda dari kemarin. Wanita cantik itu tak banyak bertanya. Hanya meminta Reno untuk masuk dan istirahat saja. Reno mencekal tangan Anggi yang terus melangkah mendahului. Wanita cantik itu terhenti langkahnya. Namun, ia tak segera menoleh hingga Reno memeluk tubuhnya dari belakang. Reno menumpahkan beban di dadanya berupa aliran bening. "Maafkan aku, Sayang." Reno terisak lirih. "Mas, aku ngerti, kok. Kamu sibuk sampai menginap di kantor. Lebih baik, kamu pindah ke kamar saja dan lanjutkan tidurmu."Reno terkejut saat Anggi berucap demikian
Sampai di kantor keduanya langsung turun. Reno menggandeng tangan istrinya dan mereka sapa oleh karyawan yang sudah datang lebih awal. "Mas, aku ke toilet dulu. Kamu duluan aja," ucap Anggi ketika mereka masih di dalam lift. "Toilet di dalam ruangan ku kan juga ada. Sekalian aja nanti ....""Enggak. Aku udah pengen buang air kecil. Ruangan Mas kan masih jauh." Anggi memotong kaliant yang diucapkan Reno. Begitu pintu terbuka, Anggi buru-buru keluar dan mendahului. Reno memaklumi karena pagi tadi Anggi memang banyak minum teh. Reno pun lantas melanjutkan langkah ke ruangannya sendiri. Tak disangka, setelah pintu dibuka, Reno malah dikagetkan dengan sosok wanita yang duduk memunggungi.Rambutnya tergerai panjang dengan kaki bertopang menghadap pada kursi direktur. "Pagi, Pak Reno. Saya sudah menunggu sejak tadi. Anda baru datang." Zia mengulas senyuman. "Kalau sudah kelar urusanmu, segeralah keluar." Reno masih berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku. "Maaf, Pak Reno. Saya m
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi