Damien menundukkan wajah. Sementara, kedua tangannya tetap mencengkram erat pagar pembatas. Meski gemuruh dalam dada masih tersisa, tapi dekapan erat Majandra membuat amarah yang sempat tak terkontrol tadi berangsur sirna.Makin lama, helaan napas yang tadinya memburu semakin teratur. Tenang, Damien memejamkan mata. Tangan kanannya pun berpindah. Dia mengusap lembut punggung tangan Majandra. “Maafkan aku,” ucap pria itu pelan dan dalam.Majandra membenamkan wajah di pundak bagian belakang Damien. Wangi aroma parfume tercium jelas. Sangat khas dan masih sama. Mengingatkan Majandra pada kenangan beberapa waktu silam, saat pertama kali merasakan nikmatnya sentuhan bibir seorang Damien Curtis.“Aku menyukai wangi parfummu,” ucap Majandra pelan.
Beberapa saat lamanya dua sejoli tadi asyik masyuk di dalam mobil jeep hitam itu. Perselisihan yang tadi sempat terjadi, berganti dengan kemesraan penuh hasrat membara. Majandra tak lagi memedulikan rambut serta gaun malam yang sudah tak beraturan. Bagi wanita asal Meksiko tersebut, yang terpenting kali ini hanyalah menuntaskan segala kerinduan sebagai obat dari keresahan dalam dada. “Bagaimana jika aku hamil? Kali ini pun kita bercinta tanpa memakai pengaman.” Majandra tertawa pelan, sambil membetulkan gaun malamnya yang hampir terlepas. “Tenang saja. Aku pasti akan bertanggung jawab,” sahut Damien enteng, sembari menaikkan resleting celana sambil duduk. Dia memperhatikan Majandra beberapa saat, hingga wanita itu selesai mengikat rambut panjangnya.“Aku tidak membawa sisir.” Majandra seakan menyadari, bahwa Damien tengah memperhatikan dirinya. “Kau tetap terlihat cantik, meski tanpa riasan sekalipun,” sanjung Damien. Dia mengajak Majandra keluar dari kendaraan. “Di mana kau memark
“Lepaskan dia, Bajingan!” Suara Damien terdengar jelas. Pria itu menarik kerah jaket Alexandre, menjauhkannya dari Majandra.Sontak, Alexandre membalikkan badan. Dia bermaksud hendak memukul Damien. Namun, sayangnya tinju yang dilayangkan suami Majandra tersebut hanya mengenai ruang kosong, karena Damien lebih dulu menghindar.“Sialan!” gerutu Alexandre. Pria itu kembali berbalik. Dia bersiap menerjang.Namun, Damien bergerak cepat. Pria itu lebih dulu menghantamkan pukulannya kepada Alexandre.Lagi-lagi, Alexandre tak bisa mengimbangi seorang Damien. Kejadian saat di pesta kembali terulang. Suami Majandra tersebut jatuh tersungkur.Damien sudah bersiap menyerang kembali Alexandre
[Maaf mengirimkan pesan pada jam seperti ini. Bisakah kita bertemu besok?]“Pesan dari siapa?” tanya Majandra penasaran. “Detektif Marius Baldwin. Orang yang kusewa untuk mencari informasi tentang ayah mertuamu,” jawab Damien, setelah membalas pesan tadi. Dia setuju untuk melakukan pertemuan dengan pria itu. “Aku akan bertemu dengannya besok di kantor. Semoga dia sudah memiliki sesuatu yang bisa ditunjukkan padaku,” harap Damien seraya memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. Majandra tidak menanggapi. Wanita itu menatap kosong ke depan. Entah apa yang tengah dirinya pikirkan. “Sebaiknya, kau segera pulang. Ini sudah terlalu malam,” ucap Damien lagi. Suara berat pria tampan bermata abu-abu itu, telah berhasil membawa Majandra kembali pada kesadarannya. Majandra menoleh. Dia tersenyum lembut. Namun, satu-satunya menantu perempuan di Keluarga LaRue tersebut tak mengatakan apa pun. “Aku akan mengawalmu hingga tiba di rumah,” ucap Damien lagi, meski Majandra hanya diam. “Tidak us
Damien membetulkan sikap duduk menjadi lebih tegak, tanpa mengubah gayanya yang terlihat sangat berwibawa. Sepasang mata abu-abu pria tampan tersebut, tertuju lurus pada Marius. Sang detektif mengeluarkan map kertas dari tas kerja yang dia bawa, lalu menyerahkannya kepada Damien.Tanpa banyak bertanya, Damien menerima map kertas tadi. CEO dari CAC tersebut langsung membuka, lalu membaca laporan di dalamnya. Sesaat kemudian, putra bungsu Julien Curtis tersebut menautkan alis.“Apakah Anda yakin dengan laporan ini, Tuan Detektif?” tanya Damien meyakinkan.“Tentu saja, Tuan Curtis,” jawab Marius tanpa ragu. “Aku mendapatkan informasi itu dari sumber yang dapat dipercaya. Lagi pula, aku tidak akan memberikan laporan kepada Anda jika belum dipastikan kebenarannya.” Marius men
Alexandre melepas kacamata hitam yang dikenakannya. Dia menajamkan penglihatan. Sang pemilik La Bougenville tersebut benar-benar yakin, bahwa wanita dengan rok mini yang baru masuk ke mobil milik Phillipe adalah Abigail. Alexandre kembali mengenakan kacamata, sebelum melajukan kendaraan dengan tetap menjaga jarak aman. Mobil yang dikendarai Phillipe, tidak mengarah ke cafetaria yang akan menjadi tempat pertemuan bersama Alexandre. Sedan hitam itu mengambil rute berbeda. Beberapa saat kemudian, kendaraan mewah tadi berhenti di depan gedung apartemen belasan tingkat yang terbilang mewah. Abigail Montillet keluar dari mobil. Dengan senyum semringah, wanita yang memiliki rentang usia hampir sama dengan Majandra tersebut melambaikan tangan. Sikapnya memang terlihat sangat berbeda. Tak mencerminkan atasan dengan bawahan. Alexandre menggumam pelan. Pantas saja jika Majandra merasa curiga, karena dia pun demikian. Alexandre yang pada awalnya menentang apa yang Majandra katakan, kali ini
“Jangan menantangku, Alex! Jangan membuatku lepas kendali!” geram Phillipe seraya beranjak dari duduknya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, pria itu berlalu meninggalkan Alexandre yang terus melayangkan tatapan tajam.Sepeninggal Phillipe, Alexandre sempat termenung beberapa saat. Dia begitu terkejut dengan sikap serta tutur kata sang ayah yang teramat menakutkan. “Apakah itu sisi lain dirimu, ayah?” gumam Alexandre seraya menggeleng tak percaya.Sementara, Phillipe memacu kendaraan menuju kediamannya. Wajah pria paruh baya tersebut merah padam menahan emosi. Phillipe ingin segera tiba di rumah, untuk melampiaskan segala amarah yang tadi sempat tertahanSedan hitam milik Phillipe telah memasuki halaman luas kediaman mewahnya. Tanpa berlama-lama, ayah tiga anak tersebut melangka
Ekspresi tegang menyelimuti wajah-wajah yang menunggu di luar ruang operasi. Satu setengah jam telah berlalu. Namun, tindakan medis yang dilakukan kepada Estelle masih berlangsung.Alexandre berdiri sambil bersandar pada dinding. Sesekali, dia memejamkan mata. Penyesalan besar muncul di hatinya.Sementara, Majandra duduk bersama Bernadette. Hanya dia yang bisa hadir, karena Charlotte telah kembali ke Kota Perouges, tempat tinggalnya bersama sang suami.Lain halnya dengan Phillipe. Pria paruh baya tersebut duduk terpekur seorang diri. Entah dia merasakan penyesalan atau tidak. Satu yang pasti, Phillipe tak memerlihatkan ekspresi apa pun.“Ibu akan baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir. Sebaiknya kita berdoa agar operasinya berjalan l
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe