Flavia dan Bian berjalan ke ballroom hotel. Kali ini tamu undangan jauh lebih banyak di banding tadi. Flavia melingkarkan tangannya di lengan Bian sesuai dengan arahan WO yang mengatur jalannya pernikahan mereka. Di belakang mereka ada enam anak kecil yang menjadi pendamping pengantin. Mereka memegangi gaun panjang yang dipakai Flavia. Dibanding gaun pertama yang dipakai Flavia tadi, gaun kali ini jauh lebih besar dan lebar. Gaun pertama lebih simple karena mengingat acara akad, mengharuskan pengantin untuk duduk, sedangkan untuk kali ini dia akan lebih banyak berdiri menerima ucapan selamat dari tamu undangan. Flavia mengulas senyumnya ketika para tamu melihat ke arahnya. Senyum palsu karena dia tidak sebahagia yang di pikirkan orang. “Aku rasa jika mendapatkan nominasi untuk akting terbaik, kamu akan mendapatkannya.” Bian berbicara dengan suara lirih. Flavia menoleh ke arah Bian. Tidak mengerti kenapa pria yang menjadi suaminya itu berkata seperti itu.“Kamu bisa tersenyum untuk
Flavia berusaha untuk tenang. Tak terpancing emosi pada Bian. Dia kembali tersenyum menyalami para tamu undangan. Di bawah pelaminan kakak, sepupu, dan ipar Bian melihat Bian dan Flavia dari kejauhan. Mereka melihat wajah Bian dan Flavia terus tersenyum ketika menyalami para tamu. “Mereka pandai berakting.” Ghea mengomentari aksi adik dan iparnya itu. “Benar. Padahal keduanya jelas sedang menabuh genderang perang.” Freya menimpali ucapan adik iparnya itu. “Apa mereka akan saling mencintai?” Shera begitu penasaran dengan kehidupan Flavia dan Bian ke depan. “Sepertinya bisa jika Flavia mau membuka hati dan Bian tulus.” Cia ikut mengomentari. Dia sudah dengar cerita dari kakak-kakaknya. Saat pertama kali mendengar cerita tersebut, dia seolah berkaca padanya. Karena jika ditelaah lagi, kisah mereka sedikit mirip dengannya. Bedanya, dulu suaminya-Noah, tidak langsung bertanggung jawab. Berbeda dengan Bian yang bertanggung jawab. “Iya, berharap saja yang terbaik untuk mereka.” Dearra
“Cepatlah.” Bian melihat Flavia yang berjalan lambat sekali. Dia sudah berdiri di depan lift. Menunggu lift untuk membawanya ke kamar yang sudah dipesannya.“Apa kamu tidak lihat jika gaunku panjang?” Flavia kesal sekali dengan Bian. Tidak mengerti sekali. Padahal jelas-jelas dia harus mengangkat gaun untuk bisa berjalan. Namun, malah menyuruhnya untuk buru-buru. Flavia buru-buru berjalan. Namun, saat berjalan tiba-tiba gaun yang dipakainya terinjak. Membuatnya terjatuh. Bian buru-buru memegang tubuh Flavia. Menolongnya agar tidak terjatuh. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Bian panik. Dia benar-benar terkejut ketika Flavia hendak jatuh. Flavia mengembuskan napasnya. Dia tidak menyangka jika gaunnya akan membuatnya jatuh. Beruntung Bian menangkap tubuhnya. Jadi Flavia tidak jatuh. Namun, saat mendengar suara Bian, Flavia menyadari jika posisi tangan Bian berada tepat di dadanya. Tentu saja itu membuatnya langsung menengadah pada Bian. Menatap pria yang menjadi suaminya itu.Bian menatap
“Aku tidak mau sekamar denganmu.” Flavia menolak dengan jelas berada dalam satu tempat dengan Bian. Bian menarik senyum tipis di sudut bibirnya. Hal seperti ini sudah diperkirakan olehnya. “Lalu?” tanyanya menatap Flavia. “Pesankan aku satu kamar lagi.” Flavia memilih untuk tidur terpisah dengan Bian. Tak mau berada satu tempat tidur lagi dengan Bian. “Jika kamu tidur di kamar yang berbeda apa yang akan orang pikirkan?” Bian melemparkan pertanyaan itu pada Flavia. Untuk sesaat Flavia berpikir. Jika dia tidur terpisah, tentu saja orang akan berpikir macam-macam. Tentu saja Flavia tidak mau itu terjadi. Dengan kesal Flavia masuk ke kamar. Kemudian menutup pintu kamar. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat Bian yang berada di dalam kamar. Bian tersenyum melihat reaksi Flavia. Dia yakin Flavia sedang takut berada di dalam kamar bersamanya. Dia meletakkan sepatu Flavia dia lantai. “Besok kita akan pergi ke Bali. Jadi cepatlah tidur.” Bian melepaskan dasi kupu-kupu yang melingkar
Bab 38Malam Pertama JugaMelihat pintu yang tertutup, Flavia segera mengunci pintunya. Dia takut Bian akan masuk lagi. Flavia berbalik dan bersandar pada pintu. Dia memikirkan jika Bian tidak sama sekali sejahat yang dipikirkannya. “Dia tahu aku takut berada dalam tempat yang sama dengannya?” Flavia merasa Bian sangat mengerti perasaannya. Artinya Bian masih punya sisi baik. “Tapi, tetap saja dia tidak baik. Karena melakukan hal buruk padaku.” Flavia menyingkirkan pikiran baik tentang Bian. Dia tidak mau luluh karena satu kebaikan dari Bian saja. Dia yakin Bian tidak sebaik itu. Flavia segera melepaskan gaunnya. Dia ingin membersihkan diri terlebih dahulu, sebelum tidur. Seharian dia berdiri di pelaminan, tentu saja membuat Flavia begitu lelah. Jadi dia ingin segera beristirahat.Di kamar sebelah, Bian membuka jasnya. Mendudukkan tubuhnya di atas sofa. Bian tidak pernah menyangka jika dia akan terjebak dengan permainannya sendiri. Antara menyesali atau pun mensyukuri. Bersyukur den
Flavia tidur begitu pulas sekali. Saat bangun tidur, dia merasa tubuhnya terasa segar. Memang benar, ketika lelah, obat paling mujarab adalah tidur. Flavia merasakan tempat tidur yang begitu nyaman. Tempat tidur jika dipakai sendiri memang membuatnya bisa berguling ke sana ke mari.Saat tubuhnya berguling-guling, Flavia mendengar suara ketukan pintu. Dia segera mengalihkan pandangan. Dia teringat jika kemarin janji pada Bian untuk membuka pintu. Namun, Flavia belum memakai pakaiannya. Pakaiannya masih di kamar yang kemarin ditempatinya bersama Anika. Jadi tentu saja dia belum bisa membuka pintu. Tak mau membuat Bian terkunci di kamar sebelah, Flavia langsung segera menghubungi Anika. Meminta temannya itu mengantarkan pakaian untuknya. Selang setengah jam kemudian, Anika datang ke kamar. Flavia segera membuka pintu. Karena dia hanya memakai bra saja, terpaksa dia mengintip sedikit saja sambil membuka pintu sedikit saja. “Terima kasih.” Flavia menarik koper miliknya masuk ke dalam.
Flavia dan Bian memilih sarapan di kamar. Mengingat di restoran akan banyak orang yang melihat mereka. Flavia tidak mau jadi pusat perhatian orang-orang. Di meja makan Bian dan Flavia menikmati makannya. Tak ada yang bicara sama sekali. Mereka memilih untuk diam saja. Namun, Flavia begitu penasaran sekali. “Berapa hari kita akan di Bali?” Flavia melemparkan pertanyaan pada Bian. Sebenarnya Flavia malas berinteraksi dengan Bian. Dia ngin menjaga diri agar tidak terlalu dekat dengan Bian. “Dua hari.” Bian menjawab kemudian memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Flavia berpikir, dua hari bersama Bian, tentu saja akan menjadi neraka baginya. “Jika kamu keberatan dua hari, aku akan menambahnya.” Bian menyeringai. Dia yang melihat Flavia diam dan tampak berpikir pun merasa jika Flavia memikirkan hal itu. Flavia membulatkan matanya. “Tidak … tidak.” Dia langsung menolak. Dua hari saja sudah seperti seminggu, bagaimana bisa sampai lebih lama. Yang ada dia semakin tersiksa. Bian tersenyum
Flavia melihat ke lantai atas. Terdapat tiga pintu, itu memang artinya ada tiga kamar. Tanpa menjawab ucapan Bian, dia memilih untuk segera ke kamarnya. Menarik kopernya ke kamar yang ditunjuk oleh Bian tadi. Bian yang melihat Flavia ke kamarnya, segera menuju ke lantai atas. Dia ingin meletakkan kopernya di kamar. Flavia membuka pintu. Karena kamar utama, kamar terlihat begitu besar sekali. Membuat Flavia merasa leluasa sekali. Langkahnya diayunkan menuju ke pintu besar yang tertutup gorden. Dibukanya gorden yang menjadi penutup. Saat gorden terbuka, tampak pintu kaca berada di baliknya. Pintu yang menghubungkan kamar dengan kolam renang secara langsung. Flavia membuka pintu kaca tersebut. Membiarkan udara masuk ke kamarnya. Mendapati pemandangan dari kamarnya, membuat Flavia senang sekali. Baru kali ini dia mendapatkan liburan seperti ini. Tunggu … tunggu …. Sejenak Flavia tersadar jika ini bukanlah liburan, melainkan bulan madu. Tentu saja itu seketika membuatnya berdebar-deba
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber