Rendra menghela napas panjang seraya memeluk gulingnya dan menatap ke arah jendela yang memancarkan cahaya senja di sore hari. "Apa aku terlalu berlebihan jika kecewa dengannya?" Rendra terlihat cemas saat mengingat Eva. Ia bangun dari tempat tidurnya menuju balkon. Sontak ia melihat Eva sedang bersama Jeremi di depan pagar rumah. "Aku suka sama dia atau tidak, itu bukan urusanmu. Lebih baik kau pergi dari sini!" ucap Eva mengusir Jeremi. "Aku mencintaimu, Ev. Aku sangat mencintaimu," ucap Jeremi memeluk Eva dengan kuat. Jeremi sengaja memeluk Eva untuk membuat Rendra kesal. "Je, lepaskan aku!" "Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskanmu. Aku sayang sama kau, Ev. Aku janji, aku tidak akan sakitimu lagi. Pokoknya kita harus balikan. Titik," ujar Jeremi terus memeluknya dengan erat sambil tersenyum ke arah Rendra dengan sinis. Eva terdiam sejenak membiarkan Jeremi memeluknya. Rendra membalas tatapan tajam ke arah Jeremi. Ia terlihat geram melihat kemesraan mereka hingga akhirn
"Aku tak butuh permohonan maafmu. Alangkah baiknya kau menjauh dari hadapanku," jawab Rendra menatap Eva dengan tatapan kebencian. Eva menatap Rendra dengan tatapan sendu. "Ren, aku tidak bermaksud ..." "Kau sengaja menggodaku untuk melakukan niat jahat kau ini. Aku bisalah ajarin kau untuk mengalahkanku. Kau tak payah mencuri seperti itu," "Aku tidak mencuri, Ren!" "Terus, kalau tidak mencuri itu apa namanya? Mengambil tanda izin? Atau ... Oh, aku tau, hanya mengambil diam-diam." "Cukup, Ren. Aku tau aku salah. Sebab itulah aku minta maaf," ucap Eva lagi dengan rasa penyesalan. "Alah. Sudah buat salah enak saja minta maaf. Eh, Ev. Kau itu sudah sakiti perasaan Rendra. Pura-pura ajak Rendra pacaran hanya untuk mencuri catatannya saja," sahut Zia tiba-tiba ada di samping murid-murid lainnya yang sedang menyaksikan permohonan maaf Eva kepada Rendra. Eva hanya terdiam seraya menatap para murid itu dengan kesal. Rendra tak ingin panjangkan perdebatan itu. Ia pergi ke arah gedung d
"Aku akan menemukanmu, Ev. Aku pasti akan menyelamatkanmu dari para bajingan-bajingan itu," ucap Rendra seraya memegang stang mobilnya dengan kuat. Rendra memilih jalan kiri dengan penuh yakin. Ia merasakan Eva diculik oleh orang dikenal. Lalu, ia mengambil ponselnya di saku celananya dan menelpon 110. Rendra melaporkan kasus penculikan dan segera mngikuti jalur yang ia tempuh. Jeremi berhasil membawa Eva ke gudang kosong yang penuh debu dan jauh dari kota. Ia melilitkan tali pada kedua tangan dan kaki Eva dengan mengikatnya di kursi dalam posisi duduk. "Selesai." Jeremi mengikat Eva dengan kuat dan menyapu kedua tangannya yang terkena debu. "Je, kita enggak akan kena masalah 'kan karena melakukan hal ini?" tanya Diyo terlihat cemas. "Enggak akan. Kalian tenang saja, aku jamin enggak ada orang yang ikutin kita," jawab Jeremi penuh percaya diri. "Baiklah, Je. Kami percaya dengan kau," sahut Arnez. Jeremi melihat ke arah pojok dinding gudang banyak kursi yang tersusun. "Ambilkan
Setelah beberapa saat Eva jatuh pingsan, tiba-tiba ia bergerak dan mendorong Rendra untuk melepaskan diri dari pelukan Rendra. Lalu, ia berdiri dan berjalan dengan arah lurus mengarah ke kanan dan ia arah dinding gudang. Eva terus berjalan dengan kedua matanya yang masih tertutup. "Eva?" panggil Rendra menatapnya dengan aneh. Eva tidak merespon panggilan Rendra. Ia terus berjalan ke arah dinding gudang da menabrak tembok dan masih dalam keadaan berdiri tanpa mengeluh kesakitan. Rendra mulai bingun dan kaget. "Apa yang dia lakukan?" Setelah beberapa saat Rendra terdiam sambil melihat kondisi Eva yang begitu aneh, Rendra memutuskan untuk membawa Eva ke rumah sakit. Ia sangat panik dan marah kepada Jeremi ketika ia melihat wajah Eva memar karena terkena pukulan Jeremi. Saat ia menggendong Eva dari gudang menuju mobil, Rendra mengingat masa lalu saat ada sosok wanita berparas cantik yang menangis ketakutan. Seluruh tubuh wanita itu terdapat memar-memar akibat pukulan yang keras. Wajah
Dengan jarak yang jauh menuju rumah sakit di Jakarta, Erik mengemudi dengan kecepatan tinggi. "Siapa yang berani culik keponakanku!" ujar Erik sangat marah. Kekhawatiran terlihat jelas di raut wajah Erik hingga membuatnya semakin marah kepada penculik itu. Rendra berlari menuju ruang IGD untuk melihat kondisi Eva. Tanpa memanggil namanya, Rendra langsung menggendong Eva dan menidurkannya di atas ranjang. Tapi, Eva malah bangun lagi dan duduk di atas ranjang. Rendra membiarkan Eva agar ia lebih tenang. "Penyakit apa itu. Aneh sekali," ujar salah satu pasien merasa ketakutan. "Tidur berjalan," ucap pasien lainnya. Suasana di IGD menjadi ricuh saat melihat penyakit Eva yang begitu langka. "Dia kerasukan, Ma. Aku takut," ujar salah satu pasien anak kecil yang memegang kuat tangan Ibunya. "Sudah, sudah. Kakak itu hanya sakit biasa," jawab Ibunya menenangkan sang anak. "Semuanya tenang. Dia hanya kelelahan saja," sahut Dokter menenangkan para pasien. Dokter dan tiga perawat mendeka
"Aaaaa!" teriak Eva ketakutan saat melihat seekor kecoa berjalan ke arah kakinya. Saat ia menghindar dari seekor kecoa, kakinya terpeleset. Ia berusaha menyimbangi tubuhnya agar tidak terjatuh seraya memegang tiang besi tangga dengan kuat. "Akh!" keluh Eva saat dahinya terbentur tiang besi. Sontak Rendra terkejut mendengar suara teriakan Eva. Ia menghentikan cuciannya dan menaruh piring ke dalam bak cucian piring. "Eva." Rendra lari menghampiri Eva di tangga dengan rasa khawatir. Rendra melihat Eva terduduk di atas anak tangga sambio mengeluh kesakitan. "Eva, kau kenapa?" tanya Rendra berlari menaiki tangga. "Aku terpeleset, Ren. Sakit sekali kakiku," keluh Eva sambil memegang kakinya. Rendra mendekati Eva seraya menaiki tangga. "Kenapa kau bisa jatuh?" tanya Rendra memyodorkan tangannya untuk membantu Eva bangun. "A-ada kecoa lari ke arahku," jawab Eva sedikit malu. "Kecoa?" heran Rendra sambil tertawa. "Kau ketawa?" Eva terlihat kesal dan berusaha bangun dari duduknya.
Eva berbaring di atas ranjangnya sambil senyum-senyum sendiri saat mengingat momen menggemaskan bersama Rendra pada siang tadi. Hati Eva tersentuh saat Rendra menyuapinya makan, membantunya mencuri piring, hingga menggendongnya saat ketakutan melihat seekor kecoa. Jantung Eva berdetak kencang. "Ya Tuhan, aku benaran jatuh cinta padanya. Rendra sedang duduk di kursi sofa sambil nonton drama cinta dengan adegan ala gendong pacar. Awalnya Rendra bersikap biasa saja, tapi, tiba-tiba Rendra terlihat gugup dan mengingat adegannya saat menggendong Eva siang tadi. Rendra menghela napas berat seraya menampar pipi kanannya untuk membuatnya sadar. "Apa aku benaran jatuh cinta sama dia? Aduh, Ren, kau ke sini bukan untuk cari jodoh," ujar Rendra sambil merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang. "Please, sadarlah. Sebelum papa tahu." Rendra mematikan drama cinta itu dan pergi menuju ke kamar untuk beristirahat. "Greeet, greeet, greeet!" Suara panggilan masuk dari ponsel Eva. 'Paman'
Eva berjalan menuju ke rumah Rendra dengan membawa beberapa buku untuk belajar bersama. Tak henti-henti ia tersenyum saat membayangkan bahwa dirinya sudah menjadi pacar dari Rendra. 'Apa aku mimpi? Aku pacaran dengan musuhku sendiri' Sesampai di pintu rumah Rendra, ia melihat pintu rumah Rendra yang tidak tertutup. "Kok pintunya ke buka." Eva memegang besi pembuka pintu. "Tuan Muda, fokus selesaikan sekolah dulu. Saya akan membantu Anda untuk mencari keberadaannya. Kakak Tuan Muda itu orang yang kuat. Saya yakin dia baik-baik saja. Minggu depan saya akan kembali ke malang lagi," ujar Pati. Saat Eva mendengar pembicaraan Rendra dan Pati, ia langsung masuk dan menghampiri Rendra. "Kakak? Kau punya seorang Kakak, Ren?" tanya Eva. Sontak Rendra terkejut melihat Eva yang muncul tiba-tiba di depanya. Rendra berdiri dari tempat duduknya. "Eva. Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Rendra. "Pintunya enggak ditutup. Aku pikir rumahmu ke malingan. Tapi, aku malah dengar suaramu dengan Mas Pa