Arminda tengah merokok, sesekali tertawa sinis menatap foto pernikahan Angelica dan Dayton. Seharusnya ia yang ada di foto itu, bukan Angelica. Selalu saja merebut apa yang ia inginkan. Bukan Angelica yang harus menyandang marga Smith, namun dirinya, itu sudah tertulis pada keinginan mendiang ayah dan ibunya.
Bagi Arminda, sikap Angelica persis seperti ibunya yang merebut apa yang bukan miliknya, dan hal itu benar-benar membuat kebencian Arminda memuncak.“Aku pastikan kau akan mati, Angelica,” gumam Arminda.“Kau sudah membuatku menderita, giliranku membuatmu menderita, beraninya kau mengambil posisiku, dan menjadi Nyonya Dayton Smith, itu tidak akan pernah aku terima,” gumam Arminda, seraya menyunggingkan senyum bak iblis yang siap menerkam semua orang.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya sebuah suara seorang pria, siapa lagi jika bukan Axen.“Tentu saja aku di sini, bukannya ini tempatku tinggal sekarang?” tanya Arminda, balik.“Aku tahu. Tapi, bukannya kau harusnya bekerLift membawa mereka ke lantai bawah, setelah lift terbuka, Dayton dan Angelica berjalan menuju ruang makan, dimana sudah ada Lucia dan Alice yang tengah menunggu dan belum mulai makan malam. “Kalian belum makan malam? Mengapa menunggu kami?” tanya Dayton. Lalu menyeret kursi dan membiarkan istrinya untuk duduk. “Kami menunggumu selesai bercinta,” jawab Alice. “Alice,” kata Lucia, membuat Alice terkekeh pelan. “Iya, Mommy sayang, aku hanya menggoda mereka,” jawab Alice. “Selalu saja menggoda kami.” Dayton menggelengkan kepala, lalu duduk disamping istrinya. “Angelica memang sangat susah dibangunkan, aku membangunkannya sampai lumutan.” “Jadi, kau tak ikhlas membangunkanku?” tanya Angelica. “Aku ikhlas, Sayangku. Aku hanya menjawab pertanyaan Alice,” jawab Dayton. “Aku ‘kan tidak bertanya,” kekeh Alice. “Namun, aku tahu matamu itu memang memberikan pertanyaan itu. ka
“Jadi … kau sudah menyuruh anak buahmu menculik perempuan sialan itu?” tanya Arminda, dengan wajah sumringah.“Ya. Apa kau puas sekarang?”“Aku tidak akan puas jika kau hanya menculiknya, aku ingin kau membunuhnya,” jawab Arminda.“Kau sungguh tidak punya hati, Arminda, dia adikmu, dan kau setega itu mau membunuhnya?”“Dia bukan adikku, jadi tolong untuk tidak mengatakan hal itu, Axen, kau sudah tahu aku, bukan? Aku bukan saudaranya, jadi bunuh saja dia untukku,” kata Arminda, seraya berjalan melihat ke arah jendela.“Sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini, namun aku seorang pria yang menjaga ucapannya, jadi ku lakukan ini, karena kau sudah membayarku dengan tubuhmu yang kotor itu,” kata Axen, menunjuk Arminda dengan tegas, meski Axen tak bersikap baik padanya, dan selalu menghinanya, namun Arminda hanya memiliki Axen saat ini.“Syukurlah. Jika kau menjaga ucapanmu. Buat apa kau menyukai perempuan seperti itu? Dia tidak secantik kelihatannya.” Arminda menyunggingkan senyum s
“Ahh … Ahh … jangan terus menyiksaku, Axen,” lirih Arminda, ketika Axen memasukkan kedua jarinya ke dalam lembah kewanitaan Arminda, membuat Arminda merasa akan kehilangan keseimbangan ketika Axen melakukan hubungan terlarang dengannya.“Kau suka, ‘kan? Jangan MUNAFIK!” bentak Axen, semakin berkutat didalam sana, membuat desahan digedung terdengar. Axen memang suka akan permainan Arminda, namun tak berniat memakai Arminda selama mungkin.“Ahh … hemmpp.” Arminda menggelepar tidak tahu malu, ketika ia mencapai puncaknya.Axen merasa menang. Ketika melihat Arminda menggelepar bagai jalang didepannya, meski Arminda memang jalang, namun terlihat sangat menarik ketika Arminda merasakan ujung kenikmatan yang menghantarkannya kepada pelepasan yang benar-benar membuatnya gila.Ketika sudah siap, Axen memasuki Arminda dan bergerak begitu intens, terlihat dua siluet manusia yang tengah beradu dan bergerak serirama, karena kamar gudang ini hanya ada temaram lampur kamar yang begitu remang.
Dayton tak ke kantor hari ini, karena ia tidak memiliki semangat untuk ke kantor, ia masih menunggu kabar istrinya dan mencoba tetap di rumah. Lucia sangat khawatir dengan kondisi putranya yang sejak kemarin tidak menyentuh makanan. Lalu pagi dan siang ini menolak makanan.“Aku pulang, Sayang. Sayang!” Sebuah suara bariton terdengar, Lucia menghampiri suaminya yang baru pulang dari Florida.Lucia memeluk suaminya, dan Rayoen membalas kecupan hangatnya di puncak kepala istrinya.“Akhirnya kau pulang juga, maaf karena memberimu kabar ketika kau sedang ada tugas.” Lucia merangkul tangan suaminya, dan berjalan menuju ruang keluarga.“Aku harus pulang ketika keluargaku membutuhkanku, apalagi istriku.” Rayoen menjawab. “Jadi … belum ada kabar dari Angelica?”“Belum, Sayang. Polisi sudah kemari dan Alvin sudah melaporkan hilangnya Angelica.”“Ya Tuhan, kemana Angelica.”“Sayang, bagaimana ini? Kasihan Dayton, apalagi kamu tahu, pernikahannya baru saja, dan semua ini sudah terjadi.”
“Apa kau tak mau makan? Kenapa manja sekali?” Seorang wanita kini tengah marah-marah, karena Angelica tidak mau makan makanan yang sudah disiapkan wanita muda yang bernama Mirra.“Aku tidak mau makan!” jawab Angelica,“Kau sudah dewasa, namun sikapmu seperti anak-anak,” kata Mirra. “Aku akan dimarahi Sandy jika kau tak makan.”“Beritahu pada Sandy, antarkan aku pulang, aku harus pulang, keluargaku pasti sedang mengkhawatirkanku sekarang,” pintah Angelica.“Apa kau pikir tempatmu itu dekat dari sini? Itu tidak dekat, Nona, kau sedang berada dipulau, dan tidak ada yang bisa mengantarmu sekarang. Kami sedang tugas di pulau ini, jadi jangan merengek meminta pulang kepada kami. Jika kau mau pulang, kau bisa pulang sendirian, dan usaha sendiri. Jangan merepotkan kami,” celetuk Mirra.“Aku ingin pulang. Aku mohon antarkan aku,” lirih Angelica. “Suamiku pasti mengkhawatirkanku.”“Syukurlah jika kau punya suami.”“Lalu telpon suamimu untuk menjemputmu.”“Kau sendiri yang mengatakan b
“Kau benar-benar brengsek, Axen!” umpat Arminda, menatap tajam ke arah Axen yang tengah merokok.“Apa-apaan kau ini? Kenapa datang-datang langsung memakiku?” Axen memicingkan mata melihat ke arah Arminda yang tengah marah.“Kau mengatakan perempuan sialan itu tidak akan selamat ketika kau membuangnya di bukit Sand, dan sekarang apa kau tahu? Dayton tengah dalam perjalanan menjemput istrinya. Kau brengsek! Kau—“ Arminda hendak melempar Axen, namun anak buah Axen membekuk kedua tangannya.“Lepaskan aku, Brengsek!” tekan Arminda.“Lepaskan jalan itu, dan kalian berdua keluar,” perintah Axen.Kedua anak buahnya melepas bekukan tangan Arminda, dan berjalan keluar dari gudang.“Aku memang membuangnya di bukit Sand, tapi—“ Axen menghembuskan asap rokok ke wajah Arminda. “Tapi, aku tidak sebodoh dan setega itu.”“Apa maksudmu?”“Aku membuangnya di bukit kecil Sand, bukan di bukit besar,” jawab Axen, dengan tawa mengerikannya.“Jadi … kau menipuku?”“Tentu saja. Kau pikir aku tega
Dayton berjalan lurus kedepan dan mendapatkan anak tangga yang begitu tinggi dan berlika-liku, Dayton mendongak dan menatap di atas sana, lantai enam sangat lah jauh dari tempatnya berdiri saat ini, membuat Dayton menghela napas, lalu menginjak anak tangga satu persatu. Kelelahan menaiki tangga setinggi ini tidak akan terasa karena ia akan menemui istrinya tercinta.Beberapa menit kemudian, Dayton sampai ke lantai enam, ia menarik napas kasar, karena benar-benar lelah harus menaiki tangga setinggi ini.Dayton sumringah seketika melihat kamar yang bertuliskan 103, dan mengetuk pintu.Sesaat kemudian, seorang wanita membuka pintu kamar, dan melihat Dayton yang kini berkeringat.“Sayang?” Angelica langsung memeluk suaminya, dan melepas kerinduan lewat pelukan itu.Dayton mengeratkan pelukannya, dan mencium bahu istrinya Angelica menitikkan air mata, sejak tadi ia sudah gelisah menunggu kedatangan suaminya, dan ia takut jika saja terjadi sesuatu sebelum ia bertemu dengan Dayton, na
“Kamu darimana?” tanya Sandy, ketika Mirra hendak melintasinya.“Aku semalam mengantar Angelica ke kota,” jawab Mirra, enteng, ia tak masalah jika memang Sandy mau memarahinya.“Kenapa kau melakukan itu tanpa izinku?” tatapan mata Sandy terlihat amarah yang berkobar.“Aku melakukannya karena Angelica kini di cari oleh keluarganya, jangan membuatnya seolah menjadi sandera di sini,” jawab Mirra.Sandy tertawa meremehkan, lalu beranjak dari duduknya, ia menghampiri Mirra yang kini berusaha terlihat tangguh didepannya.“Apa kau tahu hal yang membuatku marah? Kau sudah ikut denganku berapa tahun?” tanya Sandy.“Aku tahu. Kau pasti akan marah jika aku membuat apa yang ingin kau miliki menghilang. Aku sudah empat tahun ikut denganmu. Tapi, apa kau tahu? Berapa banyak aku mencoba mengeluarkanmu dari masalah? Jangan selalu menganggap apa yang baru kau temui adalah milikmu, Sandy. Angelica sudah menikah, aku tahu kau menyukainya, namun menyukai wanita bersuami salah. Perasaanmu itu tak
Tujuh tahun kemudian.“Angel, kenapa kamu diam saja?” tanya Alice, duduk disamping kakak iparnya.“Aku hanya sedang berpikir, bahwa banyak hal yang sudah ku lalui,” jawab Angelice. “Aku sekarang bahagia.”“Kamu harus bersyukur bahwa kebahagiaan yang kamu alami saat ini, cukup membuktikan bahwa kamu kuat selama ini,” jawab Alice, mengelus punggung kakak iparnya.“Jujur, aku sering mengeluh tentang apa yang tidak aku miliki. Atau bahkan aku sering meminta kepada Tuhan seolah aku mendikte Dia. Padahal … Tuhan pasti sudah tahu dan paling tahu apa yang kita butuhkan dan apa yang terbaik buat kita. Hal ini berhubungan dengan pengalamanku bekerja sebagai make up artis. Aku masuk ke dalam rutinitas yang sangat amat membosankan. Kenapa? Karena aku orangnya memang mudah bosan, dan kalo sudah bosan, pikiran pasti kemana-mana. Salah satunya mengeluh kepada Tuhan, kenapa aku tidak seperti gini tidak seperti itu. Tapi kadang aku sadar bahwa apa yang aku lakukan salah, tapi juga aku tidak bisa
Dayton menatap wajah istrinya yang kini sedang menatapnya, karena mengerti, semuanya keluar dari kamar perawatan, dan membiarkan Dayton dan Angelica berduaan karena mereka sudah lama tidak pernah saling menatap.“Sayang, aku baik-baik saja,” kata Angelica. “Aku malu jika kamu terus melihatku seperti itu.”“Aku bahagia sekali kamu sudah sadar, Sayang, dan aku benar-benar takut kehilangan kamu,” lirih Dayton, menggenggam tangan istrinya dan menciuminya beberapa kali, ia duduk di hadapan Angelica istrinya yang kini menyerendengkan tubuhnya di ranjang pasien. “Aku melangkahkan kaki bersama dengan harapan. Dan, aku menunggumu dalam sepi, meski ditemani ketidakpastian. Terkadang hatiku perih, namun aku yakin kamu akan baik-baik saja.”“Aku bersyukur sekali memiliki dirimu, Sayang,” lirih Angelica.“Aku yang bersyukur bahwa kamu masih ada di sini, dan menatapku.”Angelica menganggukkan kepala.“Aku mohon sama kamu, jangan pernah menemui perempuan itu lagi, aku tidak akan bisa hidup j
Dayton tengah duduk diam dan menatap wajah pucat istrinya, ia menitikkan air mata, dan menggenggam tangan dingin itu lalu menciuminya sesekali.“Aku mohon. Kamu harus sadar, Sayang,” kata Dayton, menciumi pipi istrinya. “Aku menunggumu di sini. Dan, aku sangat merindukanmu.”Sesaat kemudian, Alice kembali dan membawa dua kotak makanan, Dayton menoleh melihat adiknya sesaat dan kembali menatap istrinya.“Kak, makan dulu,” kata Alice, membuat Dayton menghela napas.“Aku sudah makan tadi siang,” jawab Dayton.“Itu makan siang, Kak, ini makan malam,” kata Alice, menggelengkan kepala, dan menaruh dua kotak makanan itu di atas meja dekat sofabed.“Aku masih kenyang, taruh saja,” kata Dayton.“Kamu tidak pulang, Kak? Ganti baju dan menjenguk Alden,” tanya Alice.“Besok pagi aku akan pulang.”“Baiklah. Kalau begitu aku taruh makanannya di sini,” kata Alice.“Iya.”“Aku pulang dulu, Kak, besok pagi aku akan datang menggantikanmu.”“Hem.”Alice lalu melangkah meninggalkan Dayton
Beberapa hari telah berlalu, namun Angelica belum juga sadarkan diri, semua keluarga hanya berdoa dan menunggu Angelica sadar dan setelah itu ia bisa kembali pada keluarganya. Alden terus menangis, semua keluarga tahu, bahwa Alden peka terhadap musibah yang dihadapi ibu dan ayahnya saat ini.Dayton tak pernah berhenti untuk menemani istrinya, ia akan ke kantor dan mengerjakan pekerjaannya secepatnya dan kembali ke rumah sakit. Ia hanya akan ke mansion berganti pakaian dan mengecek Alden, setelah itu ia akan ke rumah sakit dan menemani istrinya.Semua urusan perusahaan akan di urus oleh Sas—direktur utama.Gunting yang menyayat perutnya melukai organ lainnya, dan ditambah lagi gunting itu adalah gunting yang sangat berkarat yang mampu membuat luka itu terinfeksi seperti luka Angelica.Kebaikan hati Angelica membuatnya terlupa bahwa Arminda tak akan berubah secepat itu, ia sampai melupakan bahwa Arminda tidak pernah menyukainya, dan dendam dihati Arminda sudah mengakar dihatinya s
Dayton kini tengah menandatangani semua dokumen yang kini memenuhi mejanya, semua harus selesai, dan ia amati agar tak ada kesalahan dalam proyek yang di jalankan perusahaannya. Dayton harus mengamatinya dengan teliti agar tak ada yang tumpang tindih.Kepanikan Joseph membuat Dayton menoleh dan menatap asistennya itu.“Ada apa, Joshep?” tanya Dayton. “Kau mengganggu konsentrasiku.”“Tuan, sesuatu terjadi,” kata Joseph, entah kenapa bibirnya seperti terkunci dan tidak bisa mengatakan sesuatu.“Ada apa? Apa yang terjadi? Apa kau tak bisa berbicara lebih jelas?” tanya Dayton, membuat Joseph menganggukkan kepala.“Tuan, Nyonya kini sedang di rumah sakit, beliau tertikam di kantor polisi,” jawab Joseph, membuat Dayton berdiri dari duduknya dan menatap taham ke arah asistennya itu.“Apa? Apa maksudmu?”“Saya mendapatkan telpon dari rumah sakit,” jawab Joseph.“Kau jangan bercanda, Jo,” kata Dayton.“Saya tidak bercanda, Tuan,” jawab Joseph.“Ya sudah. Kita ke rumah sakit sekaran
Angelica menggendong Alden di pangkuannya, ia jadi tidak kesepian jika Dayton beranjak kerja, karena Alden selalu menemaninya, atau Alice yang datang ketika dibutuhkan.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Angelica berseru. “Masuk!”Alice masuk membawa kantong kertas di tangannya.“Aku tidak mengganggu, ‘kan?” tanya Alice, duduk disamping Angelica.“Ya tidak lah, Alice, kamu ini kayak sama siapa aja.”“He he,” kekeh Alice. “Aku bawa sesuatu untuk Alden.”Alice membuka kantong kertas yang di tangannya dan membuka beberapa lembar pakaian dan sepatu, membuat Angelica terkekeh ketika melihat antusias Alice membelikan sesuatu untuk putranya.“Ya ampun, Alice, lihat itu lemari Alden jadi full karena pakaian yang kamu beli, semuanya juga belum ada yang Alden pakai,” kekeh Angelica, menggeleng melihat Alice antusias.“Ini kan bisa di pakai di rumah, jalan-jalan, atau pas Alden sudah besar baru dipake,” jawab Alice. “Aku beli di babyshop yang bagus loh.”“Babyshop mana?”“Aku p
“Nak, ada apa? Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Lucia.“Aku akan mengambil makan untuk Angelica, Mom,” jawab Dayton.“Biarkan Kemal yang mengambilkannya,” kata Lucia. “Kemal, ambilkan makan untuk menantuku.”“Iya, Nyonya,” jawab Kemal, lalu melangkah meninggalkan majikannya.“Apa yang di lakukan Alden, Kak?” tanya Alice.“Dia tertidur di pelukanku,” jawab Dayton.“Ternyata kakakku ini sudah bisa menjadi Ayah,” kekeh Lucia, membuat semuanya tersenyum.“Dad akan menyewa babysitter untuk Alden,” sambung Rayoen—sang Papa.“Iya. Benar kata ayahmu, agar Angelica bisa bebas bergerak, dan tidak terkungkung,” kata Lucia, menimpali.“Aku menyerahkan semuanya ke Dad dan Mom,” jawab Dayton.“Bagaimana rasanya menjadi seorang Ayah, Bro?” tanya Zach.“Apa kau sudah menginginkannya?” tanya Dayton, kembali.“Jika di beri kesempatan, tentu saja aku mau,” jawab Zach, membuat Alice menyikut suaminya agar diam.“Itu akan terjadi jika benar kau menginginkannya, Nak,” kata Rayoen.“Ini, Nyo
Sampai di rumah sakit, semua perawat juga beberapa dokter menghampiri Dayton, membuat semua pengunjung keheranan melihat kesigapan mereka.“Istri saya mau melahirkan,” kata Dayton, membuat beberapa perawat mengambil ranjang pasien yang bisa di dorong dan membawanya ke hadapan Dayton dan Lucia.Dayton meletakkan istrinya dengan pelan di atas ranjang dorong, lalu menggenggam jari jemari suaminya.“Antarkan pasien ke ruang bersalin,” perintah salah satu dokter.Semua perawat pun sigap dan membawa Angelica ke ruang bersalin.“Tuan jangan khawatir, semua akan baik-baik saja,” kata dokter Hammers.“Lakukan yang terbaik untuk istriku, Tuan Hammers,” pintah Dayton.“Tentu.”Lucia menepuk punggung putranya. “Kamu tak usah khawatir, Nak, begitu juga Mommy melahirkanmu dulu,” kata Lucia.“Mom, apa semua akan baik-baik saja?”“Pasti, Nak, kan kamu dengar sendiri apa yang di katakan Hammers,” jawab Lucia.Dayton menyapu wajahnya dengan kedua tangannya, karena merasa khawatir atas apa
Dayton lagi-lagi mengabaikan istrinya dan terus berjalan. Ia tidak suka melihat istrinya keluar dari kamar tanpa memberitahukannya, lalu dengan santai Angelica mengobrol dengan lelaki lain, hal itu membuat hati Dayton terluka. Meski berlebihan, tapi seperti itulah Dayton yang sangat mencintai istrinya. “Sayang, kenapa kau diam saja? Kau tidak percaya ‘kan aku sedang hami dan mau mengobrol dengan lelaki lain?” tanya Angelica, berusaha mengejar suaminya yang masih berjalan didepannya. Angelica menggelengkan kepala berusaha sabar karena sepenuhnya adalah kesalahannya. “Kita kembali ke London saja,” kata Dayton. “Kok mendadak?” tanya Angelica. “Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan.” “Kita ‘kan baru seminggu di sini, sisa seminggu juga ‘kan jadwal cuti kamu?” tanya Angelica. “Pokoknya kita harus pulang. Seminggu saja sudah membuatku muak di sini.” “Ada apa denganmu? Kenapa berubah seperti