Berlian terjatuh, tubuh gadis itu luruh ke lantai. Mata Berlian terasa berkunang-kunang dengan kepala yang sangat berat, melihat darah segar miliknya sendiri membuatnya mual bukan main. Namun untuk menyangga tubuhnya sendiri ia merasa tidak sanggup. Sedangkan Risa, perempuan paruh baya itu menatap anaknya dengan bibir yang bergetar, kakinya turut lemas. Karena ulahnya, kini darah segar anaknya bercucuran di lantai.
“Berlian, kamu baik-baik saja?” tanya Risa dengan bodohnya.
Ceklek!
Suara pintu terbuka membuat Risa menolehkan kepalanya. Bian dan dua orang lainnya bergegas masuk.“Bukan aku pelakunya,” ucap Risa menggelengkan kepalanya. Bian tidak menanggapi, pria itu segera menolong atasannya.
“Bu Berlian, Bu Berlian masih sadar?” tanya Bian menepuk-nepuk pipi Berlian.
Melihat Berlian yang hampir kehilangan kesadarannya, Risa bergegas pergi tanpa sepatah kata. Seorang pria asing yang menatap Risa pergi pun ingin mengejar, tapi Bian mencegahnya.
“Itu ibunya Bu Berlian, jangan hiraukan dia,” kata Bian.
“Saya membawa kotak P3K, biar saya obati,” ucap pria asing menggulung lengan kemejanya. Pria itu menggendong tubuh Berlian ke sofa.“Maaf, Pak Bian. Saat Pak Bian menelpon saya untuk kemari, saya membawa rekan Psikiater saya, namanya Dokter Bara,” ucap Dokter Ayu, Psikolog yang menangani Berlian.
“Ah iya, tidak apa-apa, Dok,” jawab Bian. Bian mengusap keringat di dahinya. Hari ini kejutan untuknya, pasalnya tanpa pemberitahuan Risa datang ke sini.
Bian sudah bisa menebak kalau Risa datang pasti akan ada hal yang tidak baik-baik saja. “Pak Bian, penyakit OCD yang diderita Bu Berlian sudah parah. Saya sengaja mengajak Psikiater untuk menangani Bu Berlian. Karena memang seharusnya ini sudah ranah Psikiater. Saya pastikan kalau Bu Berlian lambat laun akan sembuh,” jelas Dokter Ayu.“Terimakasih, Dokter. Kalau begitu saya permisi dulu, ya. Saya tunggu di depan,” ucap Bian.
“Silahkan,” jawab Dokter Ayu.
Bian keluar dari ruangan setelah melirik sekilas dokter tampan yang sudah mengobati luka Berlian. Tadi Bian menelpon Dokter Ayu saking paniknya, untungnya Dokter datang dengan cepat meski harus lewat pintu darurat perusahaan. Karena kalau dari depan sudah pasti mengundang banyak tanya dari karyawan.
“Lukanya tidak terlalu dalam, untung saja bukan urat nadinya yang tergores,” ucap Dokter Bara.
“Dia pasien yang saya rekomendasikan pada Dokter. Bu Berlian sudah setuju, jadwalnya memang sebenarnya besok. Namun hari ini ada kejadian yang tidak terduga, maaf sudah merepotkan Dokter Bara,” ucap Dokter Ayu.
“Tidak apa-apa, Dok. Data dirinya yang kemarin Dokter kirimkan pada saya?”
“Iya,” jawab Ayu.
Bara, Psikiater yang berusia dua puluh delapan tahun. Pria itu bertugas di rumah sakit Swasta Jakarta. Bara termasuk dokter muda yang menjadi primadona rumah sakit. Wajahnya yang tampan, rambut rapi dan penampilannya yang menawan acapkali membuat rekan dokternya berbondong menjodohkannya dengan anak mereka. Bara masih lajang, membuat rekan dokternya tampak antusias menjodoh-jodohkan Bara.
Semalam Bara sudah tidak bisa tidur karena mendapat data diri dari Dokter Ayu tentang Berlian. Berlian cukup terkenal, karena setiap majalah bisnis pasti memuat foto wanita itu. Bara mempunyai satu keponakan kecil yang sangat mengidolakan Berlian, dan kali ini ia bertemu dengan gadis yang selalu menghiasi sampul majalah bisnis.
Berlian tampak cantik saat di majalah, tetapi aslinya Berlian jauh lebih cantik.
“Keadaannya sudah membaik. Mungkin sebentar lagi bangun,” ucap Dokter Ayu yang membuat Bara mengalihkan pandangannya. Bara menganggukkan kepalanya pada Dokter Ayu.
Bara menatap sekelilingnya yang tampak mewah. Ternyata benar kalau kehidupan CEO sangat berbeda dengan kebanyakan orang biasa. Pandangan Bara kembali fokus pada Berlian. Tubuh ramping dan rambut pendek dikuncir kuda. Bara menyamakan Berlian dengan pigura foto yang ada di meja. Foto itu menunjukkan foto jadul. Akan tetapi rambut Berlian tetap pendek.
“Rambutnya tidak pernah panjang?” tanya Bara dengan pelan.
“Berlian mengalami gangguan OCD sejak tiga tahun lalu, foto itu diambil lima tahun lalu bersama kakaknya. Dari dulu rambut Berlian tidak pernah panjang,” jelas Dokter Ayu. Bara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Eghh ….” Suara erangan tertahan keluar dari bibir Berlian. Dengan pelan gadis itu mengucek matanya. Pusing yang diderita Berlian masih sedikit ada, tapi alarm bawah sadarnya memaksa bangun.
“Berlian, kamu sudah bangun?” tanya Dokter Ayu membantu Berlian duduk. Berlian segera duduk, gadis itu membuka matanya dengan lebar.
“Apa yang terjadi?” tanya Berlian.
“Kamu pingsan. Sekarang tenang dulu, aku ambilkan air,” kata Dokter Ayu yang bergegas berdiri. Dokter Ayu sudah sering ke sini, ia hapal betul tata letak ruangan Berlian. Berlian pun sudah ia anggap adik sendiri saking lamanya ia bersama Berlian.
Dokter Ayu pernah menyerah mengobati Berlian karena sudah tiga tahun tidak kunjung sembuh. Namun saat ia merekomendasikan Berlian ke psikiater, Berlian selalu menolak dengan alasan tidak cocok. Berlian selalu optimis sembuh di tangannya. Namun kemarin Berlian setuju dengan usulannya untuk pindah Ke Dokter Bara. Dokter Ayu pun tidak tahu alasan Berlian mau ke Dokter Bara,
“Ibuku sudah pergi?” tanya Berlian.
“Sudah, ini minum dulu,” jawab Dokter Ayu membawakan segelas minuman untuk Berlian. Berlian segera menegaknya, gadis itu menatap pergelangan tangan kirinya yang terlilit perban.
Mengingat sesuatu, Berlian bergegas mengusap pipinya. Ia takut kalau ada jejak-jejak air mata di wajahnya.
“Kenapa diusap?” tanya Ayu.
“Ah tidak apa-apa.”
“Berlian, perkenalkan ini Dokter Bara. Psikiater yang aku rekomendasikan kemarin,” ucap Dokter Ayu menunjuk Dokter Bara. Berlian menolehkan kepalanya, mata gadis itu membulat sempurna tatkala melihat sesosok tampan di hadapannya.
“Hai, Dokter,” sapa Berlian menatap Dokter Bara tidak berkedip.
Postur yang tegap, wajah tampan, rambut yang rapi dan hidung yang mancung. Berlian mendekatkan tubuhnya dengan Bara. Gadis itu menatap seolah meneliti setiap jengkal wajah Bara. Bara yang merasa ditatap pun sangat kikuk, pria itu memundurkan wajahnya.
“Eh … ada … ada apa?” tanya Bara yang terus mundur. Semakin Bara mundur, semakin Berlian maju lebih dekat.
“Wah … apa aku sedang bermimpi?” tanya Berlian masih enggan berkedip, mengagumi makhluk Tuhan yang sangat tampan.
Berlian memang menyandang jabatan sebagai CEO yang perfectionist, tapi di lubuk hati terdalamnya, ia sama halnya gadis-gadis di luar sana yang mengidolakan aktor korea yang jadi favorit mereka. Berlian juga pernah berhalusinasi menjadi istri dari Lee Jong suk, dan sekarang ia seolah melihat sosok itu di depannya.
“Bu Berlian, ada apa?” tanya Bara.
“Jangan panggil, Bu. Jangan!” ucap Berlian menarik pipi Bara dengan kedua tangannya. Saking kuat menariknya membuat wajah Bara hampir bertubrukan dengan wajah Berlian.
Bara membulatkan matanya, begitu pula dengan Dokter Ayu. Tingkah Berlian memang selalu di luar dugaan, tapi ini kali pertamanya Berlian berani memegang kepala Dokter, apalagi ini dokter baru yang akan menanganinya.
“Saya harus panggil apa?” tanya Dokter Bara.
“Panggil Berlian, itu saja. Jangan Bu, terkesan tua,” ucap Berlian mengedipkan sebelah matanya.
“Berlian,” panggil Dokter Ayu menurunkan tangan Berlian dari wajah Bara. Bara menarik napasnya dalam-dalam, wajah Bara memerah setelah berhadapan dengan wajah gadis yang sangat cantik. Apalagi napas Berlian menerpa tepat di depan wajahnya.
“Dokter Bara ya, besok jadwal konsultasinya?” tanya Berlian.
“Iya,” jawab Bara.
“Ini siapa yang membelitkan perban di sini?” tanya Berlian lagi.
“Saya,” jawab Bara kikuk.
“Karena Dokter sudah baik, mari saya traktir kopi di kantin!” ajak Berlian. Jiwa-jiwa ulat keket Berlian meronta melihat Bara yang sangat tampan, padahal dirinya sendiri mempunyai pacar.
“Ah tidak perlu, Bu, eh Berlian. Ini memang tugas saya.” Bara menolak dengan halus.
“Bukan tugas kamu. Ini di luar jam tugas. Ayo saya traktir kopi, kopi di kantin perusahaan sangat enak,” ujar Berlian menarik tangan Bara agar mengikutinya. Sedangkan Ayu menatap melongo ke arah Bara dan Berlian.
“Tapi tangan kamu masih sakit. Kepala kamu juga masih pusing, kan? Lebih baik istirahat, stabilkan imun dulu.”
“Sudah stabil kok, tangan saya tidak sakit, kepala saya tidak pusing. Kalau Dokter ganteng yang mengobati, tidak butuh lima menit pasti segera sembuh,” oceh Berlian menarik Bara dengan sekuat tenaga.
“Hah?” Ayu membeo melihat tingkah Berlian.
CEO yang selalu tampak berwibawa, berjalan menaikkan dagunya angkuh, tidak ada yang bisa mengalahkannya di dunia bisnis, selalu mendominasi, dan kini takluk dengan Psikiater baru yang dia bawa. Bahkan sekarang Ayu pun sama sekali tidak dianggap oleh Berlian.
Berlian membuka pintu ruangannya, di sana ada Bian yang menunggunya dengan cemas.
“Bu Berlian, bagaimana keadaan ibu?” tanya Bian.
“Tidak ada masalah. Kamu kerjakan tugasmu, saya mau ngopi,” jawab Berlian.
“Tapi Bu Berlian belum makan sejak pagi,” teriak Bian saat Berlian sudah melenggang meninggalkannya.
“Saya sudah kenyang. Kamu jangan mengganggu saya, transfer saja uang ke rekening Bu Ayu,” ujar Berlian yang masih menyeret Dokter Bian untuk dia ajak ke kantin perusahaan.
“Saya bisa jalan sendiri, tidak perlu diseret begini,” bisik Bian.
“Ah iya, maaf,” jawab Berlian tersenyum.
Bian menatap Berlian sembari menggelengkan kepalanya. Berlian menurut cerita Dokter Ayu adalah Berlian yang sangat perfectionist, tapi yang dia lihat malah Berlian versi absurd. Tadi Berlian seolah lemas tidak berdaya dengan darah yang keluar dari tangannya, tapi saat ini Berlian menunjukkan bahwa dirinya sangat sehat wal afiat. Tidak hanya itu, Berlian juga banyak berbicara, menceritakan keunggulan-keunggulannya.
“Saya menjabat CEO sudah tiga tahun ini, saya sudah banyak memenangkan tender, harga saham naik, penjualan drastis, bahkan saya sering wara-wiri di majalah bisnis. Apa Dokter pernah melihatnya, kalau belum nanti saya kasih majalahnya,” oceh Berlian.
“Eh iya,” jawab Bian.
Berlian yang selalu perfectionist kini luluh hanya karena Dokter Bian. Ternyata sangat mudah menaklukkan Berlian, yaitu dengan laki-laki tampan. Baru melihat Bara saja Berlian sudah senang bukan main, sampai menceritakan semua keunggulannya agar Bara suka padanya. Andai Berlian bertemu langsung dengan Lee Jong Suk, sudah pasti Berlian akan pingsan di tempat.
Satu lagi yang diketahui Bara, Berlian adalah CEO yang sangat narsis. Dengan penuh percaya diri, Berlian menceritakan keunggulannya sendiri pada Bara.
“Dokter Bara, mau kopi rasa apa?” tanya Berlian menyodorkan menu pada Bara. Yang ditawari pun hanya bisa menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Bara celingak-celinguk, kini Bara seperti artis yang tengah menjadi bahan sorotan. Namun anehnya, Berlian sama sekali tidak peduli dengan tatapan orang-orang.“Pacar baru Bu Berlian, kah? Lebih tampan yang ini.”“Kayaknya memang iya. Sama Pak Deon tidak pernah begini.”“Pak Deon kalah jauh sama pria itu.”Bara menggaruk telinganya yang panas tatkala mendengar ocehan-ocehan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak berbisik-bisik, melainkan berbicara terang-terangan. Bara menutup wajahnya dengan buku menu. Mimpi apa ia semalam hing
Berlian duduk tenang di tempatnya, sedangkan Dokter Bara juga mengambil duduk di samping Berlian seraya memangku Azka. Bara merasa tidak enak hati dengan Berlian yang kepalanya mendapatkan tendangan bola dari Azka. Azka adalah keponakan Bara yang sudah tidak punya orang tua dari Azka bayi. Karena Bara tidak bisa mengawasi setiap dua puluh empat jam, Azka tumbuh menjadi anak yang sangat usil. Setiap membawa bola, pasti korbannya adalah kepala orang yang terdiam.“Berlian, maafkan keponakan saya, ya,” ujar Bara yang sudah lama bungkam.“Om, aku mau minta tanda tangan Tante Berlian.” Azka merengek seraya memeluk leher omnya dengan erat. Tadi Azka sudah merengek pada Berlian agar Berlian mau memberikan tanda tangan padanya, tapi dengan angkuhnya Berlian tidak mau memberikannya. Berlian keukeuh tidak mau memaafkan Az
"Om, kenapa Tante Berlian kayak tadi?" tanya Azka mencubiti pipi omnya yang lumayan berisi. Saat ini kedua pria beda usia itu tengah jalan kaki menuju taman untuk mengambil motor Bara. Pria itu menggendong ponakannya yang terus usil mencubiti pipinya."Tadi gimana?" tanya Bara balik."Kayak gelisah banget kasih tanda tangan. Apa Tante itu setengah gila?" jelas Azka."Tidak, Tante itu waras," jawab Bara yang setengah tertawa. Bagi Bara, Berlian tidak sepenuhnya waras. Kalau waras, mana mungkin Berlian akan menariknya dengan paksa untuk membeli kopi. Apalagi banyak karyawan gadis itu yang menatap mereka."Aku dapat buku utuh dari Tante, pasti teman-temanku besok iri sama aku," ujar Azka dengan girang. Azka bocah yang masih lima tahun tapi sudah mengagumi sosok Berlian.Majalah Berlian selalu ada di rumahnya karena kakek dan neneknya selalu berlangganan majalah, kakeknya juga sering menceritakan sosok Berlian pada Azka ya
"Deon, apa yang kamu lakukan?" pekik Berlian mencoba mendorong tubuh Deon."Berlian, jangan menguji kesabaranku lagi!" kata Deon yang kembali ingin mencium bibir Berlian.Dugh!"Akhhh!" pekik Deon dengan kencang tatkala Berlian menendang tepat ke bawah tubuh Deon. Deon jatuh terguling ke sofa, sedangkan Berlian segera berdiri.Berlian mengusap pipinya yang bekas ciuman Deon, gadis itu menatap Deon dengan tajam. Meski ia sudah pacaran lama dengan Deon, Berlian tidak mau bersentuhan secara lebih. Berlian sangat menjaga dirinya agar tidak kelewatan batas."Ingat ya, Deon. Sejak kita pacaran aku sudah mengatakan padamu, aku gak akan mau rugi apapun. Termasuk kamu yang menyentuh tubuhku sembarangan. Kamu saja sulit ditemui, sekarang sekali bertemu kamu sudah kurangajar," oceh Berlian menunjuk-nunjuk Deon. Deon terdiam, pria itu masih memegangi area tubuh bawahnya yang sakit.Berlian memalingka
Alasan Berlian menerima Bara menjadi dokter pribadinya karena dia menyukai pria itu sejak pertama kali membaca biografinya. Suka dalam artian hanya suka, bukan rasa suka seperti ia menyukai pacarnya. Terlihat dari biografi dan foto Bara, terlihat Bara baik hati. Hari ini Berlian bersiap untuk ke rumah sakit swasta, gadis itu sudah memakai pakaian lengkapnya. Berlian mengambil kopi instan dalam lemari pendingin dan meneguknya untuk sarapan."Mau kemana?" tanya seorang pria yang hanya bertelanjang dada dan hanya handuk sebatas pinggang yang menutupi tubuh bagian bawahnya.Semalam Deon menginap di rumah Berlian dan tidur di ruang tamu. Pria itu kini mendekati Berlian dan memeluk tubuh gadis itu dari belakang."Kok udah rapi? Mau kerja?" tanya Deon lagi."Iya," jawab Berlian."Bisa gak sih kalau sarapan itu makan nasi? Setiap hari kamu hanya minum kopi. Itu gak baik buat kesehatan lambung kamu," ujar Deon menarik kopi yang s
Berlian duduk di hadapan pria yang tengah memakai kemeja biru laut dengan lengan yang digulung sebatas siku. Gadis itu menatap lekat ke arah Bara, begitu pun dengan Bara. Sudah lima menit mereka saling berpandangan, tapi dari mereka tidak ada yang mau membuka suaranya.Bara mengetuk-ketukkan ujung jarinya ke meja, pria itu tengah mengamati Berlian yang sepertinya tidak terlalu fokus. Bara menggeser bolpoin di saku kemejanya ke arah pinggir. Hal itu ditangkap penglihatan Berlian. Dengan spontan Berlian berdiri dan menerjang tubuh Bara.Bara membulatkan matanya tatkala wajah keduanya hanya berjarak beberapa centi. Berlian menarik bolpoin Bara dan meletakkan tepat di tengah saku. Setelah selesai, gadis itu segera menjauhkan tubuhnya. Berlian berdehem kecil, sedangkan Bara menegakkan tubuhnya."Letakkan bolpoin di tempat yang benar!" ucap Berlian."Ini juga benar," jawab Bara menggeser kembali bolpoinya. Berlian ingin kembali membenark
Sore ini Berlian sudah siap dengan celana panjang dan kaos overzize yang dia kenakan. Gadis itu sudah satu jam berdiri di depan cermin menatap penampilannya dari atas sampai bawah. Di sampingnya, ada Bian yang tengah berdiri seraya membawa tumpukan baju milik Berlian. Bian selalu menjadi korban dari keanehan dan kegilaan Berlian. Seperti saat ini contohnya, akan pergi dengan Bara saja, Berlian harus bersiap lebih dari dua jam, dan selama dua jam itu pula Bian membawakan tumpukan baju untuk Berlian. Ibaranya seluruh isi lemari dikeluarkan semua demi mendapatkan baju yang pas.Dari gaun, baju formal sampai baju santai sudah Berlian coba. Dan terakhir, ia mencoba memakai kaos dan celana panjang. Berlian juga menggerai rambut pendeknya. Untuk sejenak Bian menatap tidak berkedip ke arah Berlian. saat tidak mengenakan pakaian formal, Berlian terlihat sangat belia. Bahkan gadis itu terlihat seperti anak SMA. Berlian yang menatap ke arah kaca pun dapat melihat Bian yang tidak b
Sore ini menjadi sore tersial untuk Berlian. Bagaimana tidak, sore ini perdananya naik motor, akan tetapi Bara menjalankannya dengan ugal-ugalan. Menyalip kanan kiri hingga membuat pengendara lain membunyikan klaksonnya dengan kencan. Berlian menutup kaca helmnya, harga dirinya benar-benar ternodai oleh Bara. Ia sudah salah menganggap Bara layaknya aktor idola kesukannya. Nyatanya Bara hanya tampan di wajah, kelakuan persis seperti abege yang masih suka balapan liar.Berlian tidak tahu harus berpegangan apa agar ia tidak jatuh selain berpegangan pada belakang motor. Tangannya bergetar ketakutan. Biasanya ia menaiki mobil dengan kencang tidak akan takut, tapi kali ini di tempat terbuka dan tidak ada pegangan sama sekali."Berlian, bagaimana rasanya naik motor untuk pertama kali?" tanya Bara setengah berteriak."Hah, kamu bicara sama aku?" tanya Berlian balik yang juga berteriak."Hem, jadi bagaimana rasanya?""Kamu ngomong apa?
Bara mendorong tubuh Berlian sampai gadis itu telentang di ranjang, tanpa basa basi Bara mencium bibir Berlian. Berlian menerima ciuman suaminya, bunga yang ia pegang pun sudah teronggok di ranjang. Ciuman ini pernah Berlian rasakan tepat pada empat tahun lalu sebelum Bara pergi ke luar negeri. Pertama kali mendapat ciuman dari Bara sungguh membuat candu untuk Berlian. Bahkan Berlian sangat mendambakan ciuman suaminya. Kini ciuman itu bisa Berlian rasakan kembali. Meski sudah empat tahun berlalu, tapi Berlian masih ingat jelas rasa ciuman itu. Berlian mengalungkan tangannya di leher suaminya. Ciuman Bara semakin lama semakin intens, tidak hanya ciuman di bibir, melainkan ciuman Bara turun sampai ke leher Berlian. Harum tubuh Berlian bagai candu untuk Bara. "Berlian, aku mencintaimu," aku Bara dengan jujur. Bara menarik tangan Berlian yang mengalung di lehernya, pria itu menautkan jari jemarinya dengan jari jemari Berlian. "Aku juga," jawab Berlian. "Apa kita harus melakukannya seka
Empat tahun sudah Berlian lalui dengan singkat, satu bulan pun juga terasa sangat singkat untuk Berlian. Setelah ibunya mengatakan satu bulan lali mereka akan menikah, kini Berlian benar-benar sudah menikah dengan Bara. Semua terjadi layaknya mimpi singkat. Di mana Bara mengucapkan janji pernikahan. Saat ini Berlian sudah memakai gaun pengantin berwarna putih dengan hiasan di kepalanya. Berlian sudah resmi menjadi istri Bara, saat ini pesta pernikahan akan dilangsungkan.Beberapa kali Berlian mencubit tangannya sendiri untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia alami ini bukanlah sebuah mimpi. Tetapi tangannya terasa sakit, artinya ia tengah berada di dunia nyata. Berlian berjalan membawa bunganya menuju ke tempat di mana Bara dan Azka tengah berdiri memakai jas yang senada. Suara ricuh tepuk tangan dari tamu undangan terdengar nyaring. Risa membuat pernikahan putri semata wayangnya dengan mewan dan tamu yang diundang pun sangat banyak.Langkah kaki Berlian tam
Dua musim sudah Berlian dan Azka lewati beberapa kali. Saat ini musim penghujan yang ke sekian kali telat tiba. Berlian dan Azka tengah berdiri di bawah payung yang sama sembari menatap lurus ke depan. Hujan turun dengan sangat deras, Berlian berusaha keras memegang payungnya agar tidak terbang diterpa hujan yang sangat dasyat.Lima belas menit sudah ibu dan anak itu berteduh di bawah payung yang sama sembari pandangannya lurus ke depan. Tiga tahun sudah berlalu, kini usia Azka sudah menginjak sembilan tahun. Azka sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, setiap semester dan kenaikan kelas, Azka tidak pernah luput dari juara satu. Bocah itu tumbuh menjadi bocah yang aktif dan sangat pintar. Terkadang kepintarannya bisa membuat guru-gurunya kuwalahan."Sudah lebih dari lima belas menit kita di sini. Mama gak mau menunggu di ruang tunggu sambil berteduh?" tanya Azka. Berlian menggelengkan kepalanya.Berlian tetap keukeuh untuk menunggu di lua
Satu tahun sudah berlalu. Kini usia Azka genap enam tahun, bocah itu tumbuh menjadi bocah yang sangat pintar dan menggemaskan. Hari ini juga hari pertama Azka masuk ke kelas satu sekolah dasar. Sejak tadi Berlian sudah sibuk memutari ruangan apartemennya untuk menyiapkan segala kebutuan Azka."Mama, aku capek lihat mama jalan terus," ucap Azka menepuk keningnya dengan pelan. Azka berdiri di atas sofa, tidak berpindah sedikit pun sejak lima belas menit yang lalu. Azka sudah lelah berdiri, tetapi mamanya tidak mengijinkannya berpindah tempat.Azka sudah siap dengan seragam Sdnya. Baju putih, celana merah dan ikat pinggang. Hanya saja di leher Azka belum terkalung dasi karena mamanya lupa menaruh dasi di mana. Satu tahun hidup bersama Berlian membuat Azka mengerti seluruh sikap Berlian, salah satunya perempuan itu yang sangat pelupa saat menaruh barangnya.Azka bahagia hidup bersama mamanya di apartemen ini. Setiap satu minggu sekali nenek Ira dan
Hari ini Bara benar-benar akan pergi ke luar negeri. Pria itu sudah siap dengan kopernya, dibantu dengan Bian, pria itu memasukkan barang-barangnya ke mobil Bian. Azka menangis sembari merangkul leher omnya, bocah lima tahun itu tidak mau turun dari gendongan omnya, membuat Bara kesulitan menata barang-barangnya."Huu huuu ... hikss hiksss ...." Azka menangis sejak pagi karena tidak mau ditinggal pergi. Selama ini omnya lah yang mengurusnya. Mulai dari Azka bangun tidur sampai tidur lagi, Omnya lah yang mengurus. Sekarang bagaimana Azka bisa hidup tanpa Bara. Apalagi Bara akan meninggalkannya selama empat tahun. Bagi Azka itu bukanlah waktu yang singkat."Om, jangan pergi, Om." Azka merengek sembari memeluk leher Bara dengan erat."Azka, Om akan kembali lagi kok. Om Pergi hanya sebentar," bujuk Bara menurunkan Azka. tetapi Azka tidak mau turun, bocah itu semakin melingkarkan kakinya ke tubuh omnya."Bohong. Om pergi sangat lama, om
Brakkk!Berlian dan Bara menolehkan kepalanya ke pintu apartemen Berlian yang saat ini terbuka dengan lebar. Bian lah yang muncul di sana. Berlian menatap Bian dengan pandangan sangat garang, pintu apartemennya yang kokoh tak tertandingi kini rusak karena tendangan Bian."Bian!" desis Berlian dengan tajam."Eh maaf ... maaf bu tidak sengaja," ucap Bian bergegas menghampiri Berlian. Bian menatap Berlian dengan pandangan memelas agar Berlian tidak menghajarnya di sini. Namun fokus Bian teralih saat melihat bibir Berlian yang membengkak dengan bekas gigitan di ujunya. Dengan spontan Bian menatap ke arah Bara, bibir Bara pun demikian, membengkak parah dengan ujung yang berdarah."Ka ... kalian habis ngapain?" tanya Bian menunjuk bibir Berlian dan Bara. Kedua orang itu langsung mengusap sudut bibir masing-masing."Akhh!" Berlian mengaduh kesakitan saat mengusap bibirnya, bibirnya terasa perih.
"Berlian, aku mengatakan yang sejujurnya," ucap Bara masih berusaha meyakinkan Berlian."Lalu apa kabar kamu yang tidak pernah menganggapku, Bar? Semua orang tahu kalau kamu akan pergi melanjutkan sekolah kamu. Bahkan ibuku dan Bian pun tahu, sedangkan aku? Bukankah sikap kamu yang seperti ini menandakan kalau aku tidak penting bagimu?" tanya Berlian bertubi-tubi."Kamu penting bagiku, Berlian.""Kalau penting kenapa kamu membohongiku, Bara? Kalau dari awal kamu mengatakan kamu menyukaiku karena paksaan Bian, lalu kamu jatuh cinta sama aku, pasti masalahnya tidak sampai seperti ini. Juga rasa sakit hatiku tidak akan sedalam ini. Tapi apa yang sudah kamu lakukan? Meski kamu sekarang sudah mencintaiku, tapi aku tidak bisa mengelak bahwa fakta mengatakan awal mula kamu mendekatiku itu adalah terpaksa," oceh Berlian."Apa gunanya memikirkan bagaimana awal kita bersama, Berlian? Yang penting saat ini kita sudah saling mencintai."
Sudah satu minggu Berlian mengunci dirinya di rumah, gadis itu tidak membiarkan siapa saja datang ke rumahnya. Setiap hari ada saja yang mencarinya, tetapi Berlian enggan membukakan pintu. Hpnya pun terus bergetar dan berdering nyaring menandakan ada pesan bertubi dan telfon. Berlian hanya meliriknya sekilas. Panggilan suara dari Bara dan Bian bergantian masuk. Sekali pun Berlian tidak ada niatan untuk mengangkatnya.Sudah satu minggu juga Berlian mangkir dari pekerjaanya, pekerjaan diambil alih oleh ibunya. Berlian sudah tidak menangis lagi, gadis itu hanya sedang berdiam diri di rumah sembari mengerjakan merk barunya seorang diri. Berlian juga menolak kerja sama dengan Kenan, kerja sama yang lalu Berlian putuskan dengan sepihak. Gadis itu hanya ingin melakukannya seorang diri, tanpa gangguan dari siapapun. Berlian mengerjakan semuanya dari rumah, berhubungan dengan orang-orang penting pun hanya via surel.Sekarang Berlian tahu kenapa banyak pria yang ingi
"Berlian, jangan pergi!" cegah Bara mencekal tangan Berlian. Berlian berusaha melepaskan cekalan tangan Bara, tetapi cekalan tangan Bara sangat kuat membuat tubuh gadis itu terhuyung menubruk tubuh Bara."Aku bisa jelasin semuanya, Berlian. Kamu dengerin dulu," titah Bara."Apa yang perku kamu jelasin, Bara. Kamu mau menjelaskan atau mau mengarang bebas? Semua sudah selesai, aku tidak butuh kamu lagi," teriak Berlian mendorong tubuh Bara dengan kencang sampai cekalan tangan Bara terlepas. Namun itu hanya sepersekian detik, setelahnya Bara kembali menarik tangan Berlian. Bukan hanya menarik, tapi juga merengkuh tubuh gadis itu."Berlian, aku akui pertama kali aku mendekatimu karena desakan dari Bian, tapi itu hanya bertahan dua hari, Berlian. Dua hari aku dipaksa, tapi aku jatuh cinta sama kamu setelah tiga hari sama kamu," ujar Bara dengan jujur."Bohong!" sentak Berlian. Berlian sudah berusaha untuk tidak menangis, tetapi nyatanya