Sore ini menjadi sore tersial untuk Berlian. Bagaimana tidak, sore ini perdananya naik motor, akan tetapi Bara menjalankannya dengan ugal-ugalan. Menyalip kanan kiri hingga membuat pengendara lain membunyikan klaksonnya dengan kencan. Berlian menutup kaca helmnya, harga dirinya benar-benar ternodai oleh Bara. Ia sudah salah menganggap Bara layaknya aktor idola kesukannya. Nyatanya Bara hanya tampan di wajah, kelakuan persis seperti abege yang masih suka balapan liar.
Berlian tidak tahu harus berpegangan apa agar ia tidak jatuh selain berpegangan pada belakang motor. Tangannya bergetar ketakutan. Biasanya ia menaiki mobil dengan kencang tidak akan takut, tapi kali ini di tempat terbuka dan tidak ada pegangan sama sekali."Berlian, bagaimana rasanya naik motor untuk pertama kali?" tanya Bara setengah berteriak.
"Hah, kamu bicara sama aku?" tanya Berlian balik yang juga berteriak.
"Hem, jadi bagaimana rasanya?"
"Kamu ngomong apa?
Berlian memesan jajanan yang sangat aneh, ia tidak tahu namanya dan asal menunjuk saja. Gadis itu membulatkan matanya saat ia memesan banyak makanan tapi hanya perlu membayar seratus ribu saja."Bu tidak salah hitung?" tanya Berlian."Tidak, Dek," jawab Ibu itu.Bara yang menyusul Berlian hampir menyeburkan tawanya saat mendengar penjual itu memanggil Berlian dengan sebutan Dek. Begitu pun Berlian yang tidak terima dipanggil demikian."Bu, saya ini bukan adek-adek. Saya CEO perusaahaan Indah Jaya. Ibu tidak pernah mendengar nama saya? Berlian Kamarisa Evan." Berlian mengoceh seorang diri sembari menunjuk dirinya."Jangan kebanyakan nonton drama, Dek. Gak baik buat halusinasi," jawab ibu itu."Saya tidak halusinasi. Dokter Bara, jelaskan kalau-""Sudah sudah, tidak perlu berdebat," lerai Bara mengeluarkan dompet dari saku celananya."Aku yang bayar," ucap Berlian mencegah Bara.&nbs
Bara benar-benar kurangajar, pria itu tidak mempedulikan Berlian yang terus menatapnya sembari menjilat bibir bawahnya. Bibir Berlian terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi gadis itu mengatupkannya kembali. Berlian menatap sekelilingnya. Di sana banyak anak muda yang tengah berpacaran. Berlian meringis jijik tatkala melihat gaya anak muda yang pacaran, berpelukan di depan orang banyak dan suap-suapan."Kamu kenapa?" tanya Bara melihat Berlian yang tampak aneh. Bara mengikuti arah pandang Berlian. Bara sudah terbiasa melihat muda-mudi yang pacaran di sekitarnya. Namun kali ini ia melihat yang lebih parah, yaitu seorang pria muda mendekatkan wajahnya ke pacaranya. Sama sekali tidak punya malu berada di antara banyak orang."Menjijikkan," cicit Berlian yang diangguki Bara."Modal seratus ribu saja sudah mau main sosor," tambah Berlian. Berlian bergidik ngeri, gadis itu memalingkan pandangannya."Sekarang kalau pacaran gak perlu modal
Berlian melepas tautan tangan Bara yang menggenggamnya, tanpa sepatah kata pun Berlian pergi meninggalkan Bara dengan tergesa-gesa. Napas Berlian memburu, ingatan tentang kecelakaan beberapa tahun silam membuatnya tidak tenang. Keringat dingin terus bercucuran di dahi dan tangannya. "Berlian," teriak Bara mengejar Berlian. Pria itu berlari kencang dan menarik tangan Berlian, memaksa gadis itu untuk berhenti. "Berlian, mau kemana?" tanya Bara. "Aku mau pulang," jawab Berlian. "Motorku ada di sana." "Aku bisa naik taksi," jawab gadis itu dengan napas yang masih terengah-engah. "Kamu tidak bawa uang kalau kamu lupa," ujar Bian. Berlian terdiam, ia meremas tali tas yang dia kenakan. "Aku akan mengantarmu pulang," kata Bian menarik tangan Berlian agar mengikutinya. Mau tidak mau Berlian mengikuti Bara.Saat sampai di motornya, Bara memberikan helm pada Berlian. Helm pink itu baru sa
"Ambil apa saja yang kamu inginkan, kakak yang bayar," ucap Berlian pada Azka. Saat ini mereka bertiga tengah berada di Toserba. Azka sudah berteriak kegirangan mendengar ucapan Berlian."Kakak, gak pantes," ejek Bara lirih. Berlian melirik Bara sekilas. Namun gadis itu segera pergi untuk membantu Azka membeli jajan. Bara menggelengkan kepalanya. Tingkat narsis Berlian sangat tinggi, gadis itu lupa usia sampai ingin dipanggil kakak."Tante, aku mau ini," ucap Azka menunjukkan snack yang ia bawa."Panggil kakak!" titah Berlian."Eh iya, kakak. Aku boleh kan ambil ini?""Jangankan satu snack, sekalian tokonya bakal kakak beliin," jawab Berlian. Berlian menata snack-snack yang tidak sesuai dengan garis lebel harga di rak.Penyakit OCD yang diderita Berlian kambuh tidak tahu tempat. Ada kalanya Berlian terlihat seperti orang normal, ada kalanya juga ia seperti orang gila yang tidak jenak dengan hal-hal yang sa
Berlian kalangkabut saat mendengar Azka menangis dengan kencang. Azka tengah mengamuk pada omnya. Bocah itu menerjang tubuh omnya dan memukul-mukul kaki omnya kencang. Azka menangis karena es krim yang dia beli dimakan sampai habis oleh omnya. Air mata sudah bercucuran di pipi bocah itu."Om Bara jahat. Om Bara makan eskrim ku," teriak Azka memukul Bara dengan brutal."Kita pulang," ucap Bara menggendong Azka. Azka memberontak, bocah itu bergerak terus dan masih menangis kencang."Dokter Bara, sudah tahu es krim Azka, kenapa harus dimakan sih," ucap Berlian."Om Bara jahat .... huuu huuu ....." Azka turun dari gendongan Bara, bocah itu mendekati Berlian, menangis di bawah kaki kakak yang sudah membelikannya es krim."Iya kita beli lagi. Ayo," ajak Berlian."Berlian, biarkan saja. Jangan apa-apa selalu diberikan. Biarkan Azka belajar kalau setiap keinginan tidak melulu harus didapatkan," tegas Bara menarik
"Sialan, cepat pergi!" teriak Ira."Saya juga akan pergi dari sini. Lihat rumah Anda yang sangat kuno. Televisi sudah bobrok, sofa sudah reyot dan dinding yang retak. Orang normal akan dengan senang hati saat saya bertamu, tapi Anda malah sebaliknya, sama sekali tidak logis," oceh Berlian.Ira menatap berang ke arah Berlian, perempuan itu berlari menuju dapur seraya mengambil centong. Ira berteriak ingin menghajar Berlian dengan centong. Melihat ibunya yang mengamuk, Bara segera menarik Berlian agar menjauh. Berlian memberontak dari cekalan Bara. Gadis itu ingin duel one by one dengan ibunya Bara."Kenapa? Mau pukul saya? Ayo pukul!" teriak Berlian mendorong tubuh Bara hingga limbung. Berlian menyisingkan lengan kaosnya dan menantang Ira.Tidak ada yang boleh menghinanya, apalagi terang-terangan melawannya. Ia datang baik-baik dan tersenyum lebih dahulu pada Ira. Namun balasan Ira malah menyuruhnya keluar. Tamu mana yang t
"Bara, sejak kapan kamu bergaul dengan gadis tadi?" tanya Ira memukul meja makan dengan kencang. Azka dan Bara yang duduk pun tersentak dibuatnya."Ibu, kenapa ibu tidak menyukai dia? Dia temanku.""Kamu tidak tahu bagaimana reputasi keluarga Evans? Ibu tidak suka kamu dekat dengan dia karena demi kebaikan kamu. Teman kamu banyak, kenapa harus milih dia?""Hubungan kami hanya sebatas teman, Bu.""Bara, siapa laki-laki yang tidak suka Berlian? Ibu yakin kalau setiap hari kamu bertemu dia, kamu akan jatuh cinta sama dia. Ibu tidak akan membiarkan itu terjadi, Bara.""Ibu, cukup. Aku tahu niat ibu baik, tapi cara ibu salah. bagaimana pun juga Berlian itu temanku dan sedang bertamu.""Lihat dia saja sangat angkuh, bagaimana bisa kamu berteman dengan orang angkuh seperti dia." Ira mendudukkan tubuhnya dengan kasar. Napas perempuan itu memburu mengingat pertengkarannya dengan Berlian.Ira sudah hapa
"Deon, kenapa kamu hanya diam?" tanya Berlian yang melihat Deon tampak merenung."Ah enggak apa-apa. Ibuku lagi tidak di rumah, bagaimana kalau kita kencan di luar?" tanya Deon mengelus pipi Berlian."Kenapa ibu kamu tidak pernah ada di rumah?""Berlian, bukan begitu. KIta kencan saja di luar."Berlian menatap Deon dengan serius, gadis itu tampak menelisik. Pikiran buruknya tidak bisa terbendung lagi. "Atau jangan-jangan ibu kamu tidak suka dengan aku?" tanya Berlian."Mana mungkin tidak suka," sela Deon cepat. Deon mendorong tubuh Berlian hingga Berlian duduk di bangkunya. Deon juga menarik kursi Berlian hingga posisinya rendah."Berlian, kamu pasti lelah setelah seharian ini. Malam ini aku akan memanjakanmu," ucap Deon mencium kening Berlian dengan lembut. Deon menarik sabuk pengamannya, memakaikannya pada Berlian."Duduk dengan tenang, anak baik!" Deon mengusap puncak kepala Berlian. Berlian meng
Bara mendorong tubuh Berlian sampai gadis itu telentang di ranjang, tanpa basa basi Bara mencium bibir Berlian. Berlian menerima ciuman suaminya, bunga yang ia pegang pun sudah teronggok di ranjang. Ciuman ini pernah Berlian rasakan tepat pada empat tahun lalu sebelum Bara pergi ke luar negeri. Pertama kali mendapat ciuman dari Bara sungguh membuat candu untuk Berlian. Bahkan Berlian sangat mendambakan ciuman suaminya. Kini ciuman itu bisa Berlian rasakan kembali. Meski sudah empat tahun berlalu, tapi Berlian masih ingat jelas rasa ciuman itu. Berlian mengalungkan tangannya di leher suaminya. Ciuman Bara semakin lama semakin intens, tidak hanya ciuman di bibir, melainkan ciuman Bara turun sampai ke leher Berlian. Harum tubuh Berlian bagai candu untuk Bara. "Berlian, aku mencintaimu," aku Bara dengan jujur. Bara menarik tangan Berlian yang mengalung di lehernya, pria itu menautkan jari jemarinya dengan jari jemari Berlian. "Aku juga," jawab Berlian. "Apa kita harus melakukannya seka
Empat tahun sudah Berlian lalui dengan singkat, satu bulan pun juga terasa sangat singkat untuk Berlian. Setelah ibunya mengatakan satu bulan lali mereka akan menikah, kini Berlian benar-benar sudah menikah dengan Bara. Semua terjadi layaknya mimpi singkat. Di mana Bara mengucapkan janji pernikahan. Saat ini Berlian sudah memakai gaun pengantin berwarna putih dengan hiasan di kepalanya. Berlian sudah resmi menjadi istri Bara, saat ini pesta pernikahan akan dilangsungkan.Beberapa kali Berlian mencubit tangannya sendiri untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia alami ini bukanlah sebuah mimpi. Tetapi tangannya terasa sakit, artinya ia tengah berada di dunia nyata. Berlian berjalan membawa bunganya menuju ke tempat di mana Bara dan Azka tengah berdiri memakai jas yang senada. Suara ricuh tepuk tangan dari tamu undangan terdengar nyaring. Risa membuat pernikahan putri semata wayangnya dengan mewan dan tamu yang diundang pun sangat banyak.Langkah kaki Berlian tam
Dua musim sudah Berlian dan Azka lewati beberapa kali. Saat ini musim penghujan yang ke sekian kali telat tiba. Berlian dan Azka tengah berdiri di bawah payung yang sama sembari menatap lurus ke depan. Hujan turun dengan sangat deras, Berlian berusaha keras memegang payungnya agar tidak terbang diterpa hujan yang sangat dasyat.Lima belas menit sudah ibu dan anak itu berteduh di bawah payung yang sama sembari pandangannya lurus ke depan. Tiga tahun sudah berlalu, kini usia Azka sudah menginjak sembilan tahun. Azka sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, setiap semester dan kenaikan kelas, Azka tidak pernah luput dari juara satu. Bocah itu tumbuh menjadi bocah yang aktif dan sangat pintar. Terkadang kepintarannya bisa membuat guru-gurunya kuwalahan."Sudah lebih dari lima belas menit kita di sini. Mama gak mau menunggu di ruang tunggu sambil berteduh?" tanya Azka. Berlian menggelengkan kepalanya.Berlian tetap keukeuh untuk menunggu di lua
Satu tahun sudah berlalu. Kini usia Azka genap enam tahun, bocah itu tumbuh menjadi bocah yang sangat pintar dan menggemaskan. Hari ini juga hari pertama Azka masuk ke kelas satu sekolah dasar. Sejak tadi Berlian sudah sibuk memutari ruangan apartemennya untuk menyiapkan segala kebutuan Azka."Mama, aku capek lihat mama jalan terus," ucap Azka menepuk keningnya dengan pelan. Azka berdiri di atas sofa, tidak berpindah sedikit pun sejak lima belas menit yang lalu. Azka sudah lelah berdiri, tetapi mamanya tidak mengijinkannya berpindah tempat.Azka sudah siap dengan seragam Sdnya. Baju putih, celana merah dan ikat pinggang. Hanya saja di leher Azka belum terkalung dasi karena mamanya lupa menaruh dasi di mana. Satu tahun hidup bersama Berlian membuat Azka mengerti seluruh sikap Berlian, salah satunya perempuan itu yang sangat pelupa saat menaruh barangnya.Azka bahagia hidup bersama mamanya di apartemen ini. Setiap satu minggu sekali nenek Ira dan
Hari ini Bara benar-benar akan pergi ke luar negeri. Pria itu sudah siap dengan kopernya, dibantu dengan Bian, pria itu memasukkan barang-barangnya ke mobil Bian. Azka menangis sembari merangkul leher omnya, bocah lima tahun itu tidak mau turun dari gendongan omnya, membuat Bara kesulitan menata barang-barangnya."Huu huuu ... hikss hiksss ...." Azka menangis sejak pagi karena tidak mau ditinggal pergi. Selama ini omnya lah yang mengurusnya. Mulai dari Azka bangun tidur sampai tidur lagi, Omnya lah yang mengurus. Sekarang bagaimana Azka bisa hidup tanpa Bara. Apalagi Bara akan meninggalkannya selama empat tahun. Bagi Azka itu bukanlah waktu yang singkat."Om, jangan pergi, Om." Azka merengek sembari memeluk leher Bara dengan erat."Azka, Om akan kembali lagi kok. Om Pergi hanya sebentar," bujuk Bara menurunkan Azka. tetapi Azka tidak mau turun, bocah itu semakin melingkarkan kakinya ke tubuh omnya."Bohong. Om pergi sangat lama, om
Brakkk!Berlian dan Bara menolehkan kepalanya ke pintu apartemen Berlian yang saat ini terbuka dengan lebar. Bian lah yang muncul di sana. Berlian menatap Bian dengan pandangan sangat garang, pintu apartemennya yang kokoh tak tertandingi kini rusak karena tendangan Bian."Bian!" desis Berlian dengan tajam."Eh maaf ... maaf bu tidak sengaja," ucap Bian bergegas menghampiri Berlian. Bian menatap Berlian dengan pandangan memelas agar Berlian tidak menghajarnya di sini. Namun fokus Bian teralih saat melihat bibir Berlian yang membengkak dengan bekas gigitan di ujunya. Dengan spontan Bian menatap ke arah Bara, bibir Bara pun demikian, membengkak parah dengan ujung yang berdarah."Ka ... kalian habis ngapain?" tanya Bian menunjuk bibir Berlian dan Bara. Kedua orang itu langsung mengusap sudut bibir masing-masing."Akhh!" Berlian mengaduh kesakitan saat mengusap bibirnya, bibirnya terasa perih.
"Berlian, aku mengatakan yang sejujurnya," ucap Bara masih berusaha meyakinkan Berlian."Lalu apa kabar kamu yang tidak pernah menganggapku, Bar? Semua orang tahu kalau kamu akan pergi melanjutkan sekolah kamu. Bahkan ibuku dan Bian pun tahu, sedangkan aku? Bukankah sikap kamu yang seperti ini menandakan kalau aku tidak penting bagimu?" tanya Berlian bertubi-tubi."Kamu penting bagiku, Berlian.""Kalau penting kenapa kamu membohongiku, Bara? Kalau dari awal kamu mengatakan kamu menyukaiku karena paksaan Bian, lalu kamu jatuh cinta sama aku, pasti masalahnya tidak sampai seperti ini. Juga rasa sakit hatiku tidak akan sedalam ini. Tapi apa yang sudah kamu lakukan? Meski kamu sekarang sudah mencintaiku, tapi aku tidak bisa mengelak bahwa fakta mengatakan awal mula kamu mendekatiku itu adalah terpaksa," oceh Berlian."Apa gunanya memikirkan bagaimana awal kita bersama, Berlian? Yang penting saat ini kita sudah saling mencintai."
Sudah satu minggu Berlian mengunci dirinya di rumah, gadis itu tidak membiarkan siapa saja datang ke rumahnya. Setiap hari ada saja yang mencarinya, tetapi Berlian enggan membukakan pintu. Hpnya pun terus bergetar dan berdering nyaring menandakan ada pesan bertubi dan telfon. Berlian hanya meliriknya sekilas. Panggilan suara dari Bara dan Bian bergantian masuk. Sekali pun Berlian tidak ada niatan untuk mengangkatnya.Sudah satu minggu juga Berlian mangkir dari pekerjaanya, pekerjaan diambil alih oleh ibunya. Berlian sudah tidak menangis lagi, gadis itu hanya sedang berdiam diri di rumah sembari mengerjakan merk barunya seorang diri. Berlian juga menolak kerja sama dengan Kenan, kerja sama yang lalu Berlian putuskan dengan sepihak. Gadis itu hanya ingin melakukannya seorang diri, tanpa gangguan dari siapapun. Berlian mengerjakan semuanya dari rumah, berhubungan dengan orang-orang penting pun hanya via surel.Sekarang Berlian tahu kenapa banyak pria yang ingi
"Berlian, jangan pergi!" cegah Bara mencekal tangan Berlian. Berlian berusaha melepaskan cekalan tangan Bara, tetapi cekalan tangan Bara sangat kuat membuat tubuh gadis itu terhuyung menubruk tubuh Bara."Aku bisa jelasin semuanya, Berlian. Kamu dengerin dulu," titah Bara."Apa yang perku kamu jelasin, Bara. Kamu mau menjelaskan atau mau mengarang bebas? Semua sudah selesai, aku tidak butuh kamu lagi," teriak Berlian mendorong tubuh Bara dengan kencang sampai cekalan tangan Bara terlepas. Namun itu hanya sepersekian detik, setelahnya Bara kembali menarik tangan Berlian. Bukan hanya menarik, tapi juga merengkuh tubuh gadis itu."Berlian, aku akui pertama kali aku mendekatimu karena desakan dari Bian, tapi itu hanya bertahan dua hari, Berlian. Dua hari aku dipaksa, tapi aku jatuh cinta sama kamu setelah tiga hari sama kamu," ujar Bara dengan jujur."Bohong!" sentak Berlian. Berlian sudah berusaha untuk tidak menangis, tetapi nyatanya