Terjatuh, bagkit lagi, terjatuh lagi dan pada akhirnya bangkit untuk ke sekian kalinya. Sudah tidak terhitung berapa kali Berlian terjatuh, tetapi meski sepuluh kali terjatuh, Berlian akan bangkit untuk ke sebelas kalinya. Namun kali ini, Berlian sudah dalam lingkungan dan pikiran buntu. Berlian menatap bangunan perusahaannya yang sangat megah. Gedung tinggi nan besar itu tempat di mana ia mencari nafkah selama ini. Bisa menghidupi dirinya sendiri, membeli banyak barang mewah dan menggunakan uang sesukanya. Namun, di tempat itu juga ia terluka, di tempat itu juga ia merasa tertekan dengan segala sikap orang yang hanya menghargainya di depan dan menusuknya di belakang.
Berlian sudah pulang dari rumah sakit, demam tinggi tidak akan membuatnya terbaring lama di rumah sakit. Gadis itu menatap tingginya gedung pencakar langit yang sangat megah. Dengan dagu yang mendongak angkuh, sorot mata yang tajam dan langkah kaki yang tegap, gadis itu melangkahkan kakinya memasuki gedung
Berlian memutari tubuh Deon dan Frida dengan langkah pelannya. Saat ini mereka sudah menjadi bahan tatapan karyawan Berlian yang kebetulan berada di lantai satu. Tatapan Berlian jelas sekali tatapan menghina, bibir gadis itu juga terangkat dengan sinis. Deon menatap sekelilingnya, pria itu tampak canggung, begitu pun dengan Frida. Frida menatap Berlian berbeda dari kemarin saat memohon-mohon padanya. Berlian saat ini adalah Berlian yang selalu dipuja oleh orang-orang."Mau apa datang ke sini?" tanya Berlian."Berlian, maafkan aku dan ibuku yang sudah memerasmu. Semuanya aku kembalikan lagi padamu," ucap Deon menyerahkan banyak papper bag pada Berlian. Berlian menatap papper bag itu dengan sinis."Bian, terima barang itu dan berikan pada orang-orang yang membutuhkan. Aku tidak akan menyentuh apapun dari tangan dua manusia ini," ujar Berlian dengan angkuh."Berlian," cicit Deon."Masih sanggup bibirmu memanggil namaku. A
Sudah satu bulan lamanya dan semua keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Berlian yang bucin akut dengan Deon kini bukan lagi Berlian yang dulu. Meski dulu masih pacaran dengan Deon, Berlian bersikap tegas dan angkuh, kini Berlian jauh lebih angkuh dari sebelumnya. Perempuan itu benar-benar tidak terkontrol, ia tidak lagi mau berkonsultasi dengan Bara. Berlian merasa dirinya baik-baik saja. Berlian melawan sendiri penyakit yang dia derita.Hati Berlian sudah mati rasa, gadis itu semakin tidak terkontrol pola hidupnya. Saat pagi akan berangkat tepat pukul setengah delapan dan pulang larut malam untuk lembur. Berlian benar-benar gila kerja. Tiada hari tanpa kerja yang dilakukan Berlian. Bian sudah berulang kali membujuk Berlian agar Berlian mau berkonsultasi dengan Bara. Namun Berlian masih saja mengelak. Berlian tidak ada niatan lagi untuk berhubungan dekat dengan laki-laki mana pun termasuk Bara yang hanya Psikiater pribadinya. Ia hanya berhubungan dengan rekan
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, Berlian baru saja membereskan pekerjaannya. Gadis itu melepaskan kacamata anti radiasi yang tengah ia pakai, melihat ke arah Bian, Bian sudah tertidur dengan pulas di sofa. Berlian segera berdiri dan menghampiri sekretarisnya itu, ada perasaan kasihan pada Bian. Selama ini Bian lah yang selalu menjaganya dan menjadi garda terdepan dalam membelanya. Namun ia tetap saja bersikap semena-mena pada pria itu."Lagi pula ini juga salahnya sendiri," ucap Berlian dengan kesal. Berlian menggelengkan kepalanya, menolak rasa simpati yang datang dari hatinya."Bian, bangun!" ucap Berlian menggoyangkan lengan Bian. Bian menggeliat kecil, pria itu mengucek matanya yang terasa perih. Ia merasa baru tertidur dan kini sudah ada yang membangunkannya."Bian, bangun. Kamu mau tidur di sini?""Bian, kantor sudah akan tutup. Mau sampai kapan kamu tidur?"Bian tergagap bangun, pria itu mengucek mat
Berlian berdiri di tepi jalan utama untuk mencari taksi. Taksi online sudah tidak beroperasi karena sudah jam dua belas lebih. Hari sudah berganti, di dini hari Berlian masih berada di sekitaran perusahaan. Berlian merasakan perutnya yang sangat melilit karena terlalu banyak minum kopi. Dari pagi sampai malam, tiga gelas kopi sudah masuk dalam perutnya, sedangkan nasi hanya saat siang. Suara perut keroncongan terdengar sampai di telinga Bara yang berdiri di samping Berlian. Bara tidak tega meninggalkan Berlian seorang diri. Tanpa berbicara sepatah kata pun, Bara merogoh saku hodienya, pria itu mengambil kantung yang berisi air hangat.Bara menyerahkan kantung berbentuk kotak bermotif hello kitty itu pada Berlian. Berlian menatap kantung itu dengan bingung. Namun Bara terus saja memaksa Berlian menerimanya. Dengan ragu Berlian menerimanya, rasa hangat langsung menjalar di telapak tangan Berlian.Berlian meremas kantung yang ia tebak berisi air itu. "Kenapa k
Berlian membuka kotak makan yang dibawakan Bara, gadis itu mulai memakan nasi goreng yang katanya masakan dari planet luar angkasa. Masakan Bara tidak buruk, hanya saja rasanya terlalu manis. Untuk penyuka pahit seperti dirinya, makanan dengan rasa manis terasa sangat aneh di lidahnya. Pandangan Berlian menatap ke arah telur yang bulatnya tidak sempurna, telur mata sapi itu terlihat seperti mata hati, hancur tidak berbentuk."Setiap hari Azka menanyakanmu," ucap Bara membuka suara."Azka?" tanya Berlian sedikit berpikir. Bara menganggukkan kepalanya sedangkan Berlian mencoba mengingat siapa orang yang disebutkan Dokter Bara."Lupakan saja, tidak perlu mengingat bocah sialan itu," ujar Bara lagi saat Berlian seolah tidak mengingat keponakannya."Oh itu, bocah yang pipinya gendut, keponakan kamu kan?" tanya Berlian dengan tawa yang sedikit keluar. Bara menganggukkan kepalanya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Untuk kedua kalinya Berlian kembali menaiki motor milik Bara. Bedanya, kali ini ia tidak takut jatuh karena Bara memperbolehkan ia berpegangan pada pinggang pria itu. Di tangan kiri Berlian masih menenteng tas kecil milik Bara. Gadis itu tampak melamun menatap jalanan malam. Jalanan tampak lenggang, hanya ada satu dua kendaraan yang kebetulan lewat. Ini sudah dini hari, sudah pasti orang lain sibuk tenggelam dalam alam mimpi mereka. Katanya tidur adalah hal yang paling indah karena bisa menikmati mimpi yang tidak bisa terjadi di dunia nyata. Namun itu tidak berlaku pada Berlian. Berlian tidak pernah merasakan mimpi indah, mimpi yang datang padanya hanya sebatas kecelakaan yang terjadi bertahun-tahun silam."Dokter," panggil Berlian pelan."Ya?" tanya Bara. Bara melirik dari spion melihat wajah Berlian. Berlian adalah definisi dikasih hati minta jantung. Bara memperbolehkan Berlian berpegangan pada pinggangnya, tapi saat ini Berlian malah menyandarkan kepala
Pagi ini terjadi drama keluarga di kediaman Bara. Pasalnya sudah setengah jam Bara membujuk keponakannya agar mau sekolah, tapi Azka keukeuh tidak mau dan mengatakan dirinya sakit. Ira juga sudah menyiapkan bunga mawar yang besar untuk Azka bawa ke sekolah. Ira akan menggantikan ibu untuk Azka.Melihat Azka yang menangis di ranjang dan keukeuh tidak mau pergi sekolah membuat hati Ira terasa tersayat, perempuan paruh baya itu tidak tega melihat cucunya yang menangis."Bara, sudah jangan dipaksa," ucap Ira menarik Bara agar menjauh dari cucunya."Azka, ayo sarapan dulu, setelah itu kita jalan-jalan," ajak Ira mengelus puncak kepala anaknya.Azka memeluk buku catatan dari Berlian, bocah itu tetap meundukkan kepalanya dengan tangisan yang terisak-isak."Tidak apa-apa tidak ke sekolah, kita pesta sendiri di rumah," ucap Ira lagi. Ira menggendong cucunya dan mengajaknya sarapan. Azka menatap ke belakang di mana omnya juga me
Hari ibu selalu menjadi momok untuk Azka, pasalnya ia masih terbayang-bayang dengan perayakan hari ayah yang membuatnya ingin kabur dari sekolahan. Perayakan-perayaan yang menyertakan ayah dan ibu adalah hal yang paling dibenci oleh Azka. Pasalnya ia tidak mempunyai satu pun dari mereka. Saat ini Azka sudah sampai di sekolah, panggung mewah sudah berdiri di depan sana dengan banyak hiasan. Azka duduk di samping neneknya dengan membawa bunga. Azka berganti menatap teman-temannya yang bersama ibunya masing-masing, hanya dia yang bersama neneknya."Azka, dengan nenekmu ya?" tanya seorang anak laki-laki yang ada di seberang Azka. Azka menganggukkan kepalanya."Ibumu ditanam di tanah, ya? Kamu sih nakal jadi ibumu tidak mau bersamamu," ucap anak laki-laki itu lagi. Ira sudah geram mendengar celotehan anak kecil itu, apalagi orang tua anak itu bukannya menasehati malah menertawakan.Suara tawa dari anak-anak dan orang tua terdengar sangat nyaring kar