"Deon, lihat aku. Kenapa ibu kamu tidak menyukaiku?" tanya Berlian segera berdiri. Berlian memutar-mutar tubuhnya di hadapan Deon.
"Berlian, kamu tidak kurang apa-apa," jawab Deon menahan tubuh Berlian.
"Kalau aku tidak kurang apa-apa, kenapa semua orang melarang anaknya dekat denganku? Hari ini, sudah dua orang ibu yang menyuruh anaknya menjauhiku. Aku salah apa, Deon? Kenapa tidak ada yang menginginkanku?"
"Berlian, maksudnya bukan begitu."
"Kalau bukan begitu, lalu apa?" teriak Berlian. Deon tersentak kecil, tangan pria itu masih memegangi pundak Berlian.
"Selama ini aku selalu berusaha memperlihatkan aku perempuan mandiri, pekerja keras, dan segalanya aku pelajari agar aku bisa. Aku selalu menilai diriku sempurna di mata dunia, tapi kenyataannya apa? Ibu kamu tidak menyukaiku, Deon."
"Aku sangat mendambakan seorang pria yang benar-benar mencintaiku, menyayangiku dan mengasihiku. Tapi saat kamu mencinta
"Berlian, aku mencintaimu," ucap Deon."Kalau kamu mencintaiku, kenapa kamu menyuruhku menunggu selama ini, Deon?""Aku sudah janji kalau aku akan meminta restu pada ibuku dan ibu kamu. Kalau bisa, aku juga akan berusaha keras menjadi seperti kamu agar bisa menjadi menantu yang diidamkan ibu kamu.""Aku menikah dengan kamu, bukan kamu menikah dengan ibuku. Aku tidak butuh uangmu, aku tidak butuh jabatanmu, aku hanya butuh kamu yang mencintaiku." Berlian memeluk tubuh Deon dengan erat. Gadis itu menangis dengan kencang di pelukan pacarnya. Tangisan Berlian tidak bisa terbendung lagi.Semandiri apapun seorang perempuan, pasti ada kalanya akan merasa sedih meski dengan hal-hal yang bahkan sangat sepele. "Aku hanya butuh kamu yang menyayangiku, Deon. Aku tidak peduli siapapun yang menentangku, aku hanya ingin dirimu. Kalau kamu tidak bisa berjuang, aku yang akan berjuang, Deon. Aku akan meminta restu pada ibumu, semua yang ibumu minta, aku a
Berlian sudah cantik dengan pakaian santai yang dia kenakan, gadis itu memencet bel di samping pintu rumah bercat putih yang tampak elegan. Tidak berapa lama, seorang perempuan paruh baya datang membukakan pintu. Saat tahu siapa yang datang, Frida ingin menutup kembali pintunya. Namun, Berlian segera menahannya."Bu, maaf, aku ingin bertemu ibu," ucap Berlian menahan pintu yang akan tertutup. Lidah Berlian terasa gatal tatkala berucap dengan nada yang ia buat selembut mungkin."Buat apa kamu mencari saya?" tanya Frida dengan galak. Frida ibu dari Deon, meski ia belum pernah betatap muka dengan Berlian, ia cukup tahau rupa gadis itu."Bu, saya ingin bicara dengan ibu," jawab Berlian pelan. Berlian nekat mendatangi kediaman Deon hanya untuk bertemu dengan ibu pacarnya itu. Setelah mendesak Bian untuk mencari alamat rumah Deon, akhirnya Berlian menemukannya."Bicara sekarang, saya sibuk jangan lama-lama," ucap Frida."Ini
"Saya mau ini, saya mau ini, ini, ini dan ini, oh tambah satu lagi, yang sana." Frida menunjuk baju-baju cantik yang ada di mall bintang lima yang ia datangi bersama Berlian. Berlian seperti asisten yang membawa banyak belanjaan di tangan kanan dan kirinya. Namun Frida masih belum puas, perempuan itu masih memilih-milih baju yang ia sukai.Berlian merasa seluruh tubuhnya sangat gatal, ia juga cemas dengan dirinya sendiri, kepalanya sejak beberapa menit lalu sudah terasa pusing melihat deretan baju yang tertata tidak rapi. Juga tangan Berlian terasa kaku harus memegang benda-benda yang bahkan ia sendiri tidak pernah memegang sebanyak itu, selalu ada asisten yang membantunya. Beberapa kali Berlian menata ulang belanjaan Frida kala otaknya menyuruh menata ulang, kalau tidak begitu, otaknya selalu mengatakan akan ada yang celaka.Berlian sudah gelisah, tapi Frida sama sekali tidak peduli. Frida masih memilih-milih belanjaan. Seratus juta sudah terbuang sia-sia
"Lihat itu, kamu hanya memberikan saya beberapa baju, tapi kamu berani membentakku," ucap Frida menatap sinis ke arah Berlian."Tidak begitu, Bu. Aku sedang ... aku .... aku ... ah iya, menarik perseneling." Berlian menarik persenelengnya. Gadis itu berusaha keras untuk mengendalikan dirinya yang sudah cemas akut. Berlian membawa obat penenangnya, tapi tidak mungkin mengkonsumsi di depan Frida. Yang ada, akan banyak pertanyaan yang mungkin tidak bisa dijawab oleh Berlian."Kamu bisa mengendarai atau tidak, sih?" tanya Frida yang sudah marah dengan Berlian. Berlian mengangguk-anggukkan kepalanya, gadis itu mulai menjalankan mobilnya dengan perlahan.Sepanjang perjalanan, Frida tidak berhenti mengoceh, membicarakan sikap Berlian yang tidak masuk akal, angkuh dan semena-mena. Segala keburukan Berlian diucapkan Oleh Frida. Saat-saat gangguan kecemasan muncul, yang Berlian inginkan hanya ketenangan agar ia bisa mengendalikan dirinya. Namun yang ada,
Bara membawa Berlian untuk pulang ke rumah gadis itu. Untungnya Berlian masih sedikit sadar untuk memberikan kode akses untuk pintu. Berlian sudah lemas di pelukan Bara, saat sudah masuk, Bara membopong tubuh Berlian ke sofa. Pria itu menidurkan Berlian di sana dengan menumpuk bantal sofa untuk alas kepala gadis itu.Bara bergegas mengambilkan air untuk Berlian. Napas Berlian masih memburu, gadis itu memejamkan matanya, kepalanya berdenyut sangat sakit. Setelah mendapatkan air, Bara mendekati Berlian lagi."Berlian, minum dulu," ucap Bara membantu Berlian bangun. Tangan Berlian ingin meraih gelas itu, tapi tangannya bergetar hebat.Bara yang melihat hal itu, mendekatkan gelas yang ia pegang pada bibir Berlian. Berlian melirik Bara sekilas, tidak ada alasan lagi untuknya mempertahankan sikap gengsi, lagi pula Bara yang paling tahu keadaannya. Berlian meminum airnya sedikit demi sedikit."Obatku," cicit Berlian berusaha mencari tasny
"Apa kamu benar-benar gila, Berlian? Kamu mengantar orang asing belanja dan kamu yang membawakan belanjaannya. Kamu pikir sikap kamu itu terpuji? Enggak sama sekali." Suara teriakan nyaring terdengar tatkala Berlian membuka pintu rumahnya. Ibunya masuk dengan mendorong Berlian kencang, tubuh Berlian sedikit limbung."Apa kamu lupa siapa kamu, Berlian? Reputasimu yang bagus akan hancur dengan beberapa foto dan video yang tersebar di luaran sana," teriak Risa lagi."Bu, itu keinginanku," jawab Berlian."Keinginan menjatuhkan nama baik keluarga Evans maksud kamu?""Sejak kapan Evans punya keluarga, Bu?" teriak Berlian yang ikut tersulut emosi."Sejak aku kecil, ibu menyerahkan gugatan cerai di pengadilan karena ayah yang kurang kaya. Aku sudah tidak punya keluarga sejak kecil karena ibu."Plak!Tamparan kencang mendarat mulus di pipi Berlian. Berlian memalingkan wajahnya, pipiny
Berlian menatap Deon yang berjalan mendekatinya. Mata pria itu juga tampak berkaca-kaca menatapnya. Berlian mendudukkan dirinya di sofa dengan lemas."Berlian, apa maksudnya?" tanya Deon berdiri di depan Berlian."Aku gila," jawab Berlian."Apa maksudmu?""Aku yang salah, Deon. Aku salah sudah tidak memberitahumu tentang penyakitku. Sekarang kamu pun sudah tahu, aku tidak bisa menyembunyikannya lagi. Tapi aku melakukannya bukan karena ak-""Ternyata kamu tidak pernah mempercayaiku, Berlian," sela Deon dengan cepat."Bukan begitu, Deon. Aku percaya sama kamu.""Kalau kamu percaya sama aku, kenapa kamu menyembunyikan hal besar ini padaku, Berlian?""Aku tidak mau hubungan kita hancur.""Tapi kamu sendiri yang menghancurkan hubungan kita!" bentak Deon yang membuat Berlian tersentak."Tanpa kamu sadari kamu juga sudah membuat harga diriku terinjak-injak dengan semu
"Berlian, siapa dia? Kenapa dia ada di rumahmu?" tanya Deon menuntut penjelasan pada Berlian. Berlian tidak menjawab, gadis itu memalingkan wajahnya masih dengan menangis pilu."Aku dokter yang menanganinya. Aku tidak akan membiarkan pasienku diganggu sama orang seperti kamu."Deon menatap Bara dari atas sampai bawah, "Seorang dokter ke rumah pasiennya?" tanya Deon."Aku yang menyuruhnya ke sini. Deon, apa kamu tidak tahu arti kata pergi?" ujar Berlian yang akhirnya membuka suara."Deon, aku tidak mengenalmu secara pribadi. Tapi kamu seorang pria, pacar Berlian. Lantas apa yang kamu pikirkan hingga kamu berani menyakitinya. Aku dengar Berlian sudah menantikan kepastian dari kamu, tapi sampai detik ini kamu tidak memberinya. Juga, dia sudah melakukan banyak hal untuk ibu kamu, tapi apa yang dilakukan ibu kamu? Dia hampir membuat Berlian celaka saat di jalan," ucap Bara dengan tajam."Bukan Berlian yang tidak pantas bers
Bara mendorong tubuh Berlian sampai gadis itu telentang di ranjang, tanpa basa basi Bara mencium bibir Berlian. Berlian menerima ciuman suaminya, bunga yang ia pegang pun sudah teronggok di ranjang. Ciuman ini pernah Berlian rasakan tepat pada empat tahun lalu sebelum Bara pergi ke luar negeri. Pertama kali mendapat ciuman dari Bara sungguh membuat candu untuk Berlian. Bahkan Berlian sangat mendambakan ciuman suaminya. Kini ciuman itu bisa Berlian rasakan kembali. Meski sudah empat tahun berlalu, tapi Berlian masih ingat jelas rasa ciuman itu. Berlian mengalungkan tangannya di leher suaminya. Ciuman Bara semakin lama semakin intens, tidak hanya ciuman di bibir, melainkan ciuman Bara turun sampai ke leher Berlian. Harum tubuh Berlian bagai candu untuk Bara. "Berlian, aku mencintaimu," aku Bara dengan jujur. Bara menarik tangan Berlian yang mengalung di lehernya, pria itu menautkan jari jemarinya dengan jari jemari Berlian. "Aku juga," jawab Berlian. "Apa kita harus melakukannya seka
Empat tahun sudah Berlian lalui dengan singkat, satu bulan pun juga terasa sangat singkat untuk Berlian. Setelah ibunya mengatakan satu bulan lali mereka akan menikah, kini Berlian benar-benar sudah menikah dengan Bara. Semua terjadi layaknya mimpi singkat. Di mana Bara mengucapkan janji pernikahan. Saat ini Berlian sudah memakai gaun pengantin berwarna putih dengan hiasan di kepalanya. Berlian sudah resmi menjadi istri Bara, saat ini pesta pernikahan akan dilangsungkan.Beberapa kali Berlian mencubit tangannya sendiri untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia alami ini bukanlah sebuah mimpi. Tetapi tangannya terasa sakit, artinya ia tengah berada di dunia nyata. Berlian berjalan membawa bunganya menuju ke tempat di mana Bara dan Azka tengah berdiri memakai jas yang senada. Suara ricuh tepuk tangan dari tamu undangan terdengar nyaring. Risa membuat pernikahan putri semata wayangnya dengan mewan dan tamu yang diundang pun sangat banyak.Langkah kaki Berlian tam
Dua musim sudah Berlian dan Azka lewati beberapa kali. Saat ini musim penghujan yang ke sekian kali telat tiba. Berlian dan Azka tengah berdiri di bawah payung yang sama sembari menatap lurus ke depan. Hujan turun dengan sangat deras, Berlian berusaha keras memegang payungnya agar tidak terbang diterpa hujan yang sangat dasyat.Lima belas menit sudah ibu dan anak itu berteduh di bawah payung yang sama sembari pandangannya lurus ke depan. Tiga tahun sudah berlalu, kini usia Azka sudah menginjak sembilan tahun. Azka sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, setiap semester dan kenaikan kelas, Azka tidak pernah luput dari juara satu. Bocah itu tumbuh menjadi bocah yang aktif dan sangat pintar. Terkadang kepintarannya bisa membuat guru-gurunya kuwalahan."Sudah lebih dari lima belas menit kita di sini. Mama gak mau menunggu di ruang tunggu sambil berteduh?" tanya Azka. Berlian menggelengkan kepalanya.Berlian tetap keukeuh untuk menunggu di lua
Satu tahun sudah berlalu. Kini usia Azka genap enam tahun, bocah itu tumbuh menjadi bocah yang sangat pintar dan menggemaskan. Hari ini juga hari pertama Azka masuk ke kelas satu sekolah dasar. Sejak tadi Berlian sudah sibuk memutari ruangan apartemennya untuk menyiapkan segala kebutuan Azka."Mama, aku capek lihat mama jalan terus," ucap Azka menepuk keningnya dengan pelan. Azka berdiri di atas sofa, tidak berpindah sedikit pun sejak lima belas menit yang lalu. Azka sudah lelah berdiri, tetapi mamanya tidak mengijinkannya berpindah tempat.Azka sudah siap dengan seragam Sdnya. Baju putih, celana merah dan ikat pinggang. Hanya saja di leher Azka belum terkalung dasi karena mamanya lupa menaruh dasi di mana. Satu tahun hidup bersama Berlian membuat Azka mengerti seluruh sikap Berlian, salah satunya perempuan itu yang sangat pelupa saat menaruh barangnya.Azka bahagia hidup bersama mamanya di apartemen ini. Setiap satu minggu sekali nenek Ira dan
Hari ini Bara benar-benar akan pergi ke luar negeri. Pria itu sudah siap dengan kopernya, dibantu dengan Bian, pria itu memasukkan barang-barangnya ke mobil Bian. Azka menangis sembari merangkul leher omnya, bocah lima tahun itu tidak mau turun dari gendongan omnya, membuat Bara kesulitan menata barang-barangnya."Huu huuu ... hikss hiksss ...." Azka menangis sejak pagi karena tidak mau ditinggal pergi. Selama ini omnya lah yang mengurusnya. Mulai dari Azka bangun tidur sampai tidur lagi, Omnya lah yang mengurus. Sekarang bagaimana Azka bisa hidup tanpa Bara. Apalagi Bara akan meninggalkannya selama empat tahun. Bagi Azka itu bukanlah waktu yang singkat."Om, jangan pergi, Om." Azka merengek sembari memeluk leher Bara dengan erat."Azka, Om akan kembali lagi kok. Om Pergi hanya sebentar," bujuk Bara menurunkan Azka. tetapi Azka tidak mau turun, bocah itu semakin melingkarkan kakinya ke tubuh omnya."Bohong. Om pergi sangat lama, om
Brakkk!Berlian dan Bara menolehkan kepalanya ke pintu apartemen Berlian yang saat ini terbuka dengan lebar. Bian lah yang muncul di sana. Berlian menatap Bian dengan pandangan sangat garang, pintu apartemennya yang kokoh tak tertandingi kini rusak karena tendangan Bian."Bian!" desis Berlian dengan tajam."Eh maaf ... maaf bu tidak sengaja," ucap Bian bergegas menghampiri Berlian. Bian menatap Berlian dengan pandangan memelas agar Berlian tidak menghajarnya di sini. Namun fokus Bian teralih saat melihat bibir Berlian yang membengkak dengan bekas gigitan di ujunya. Dengan spontan Bian menatap ke arah Bara, bibir Bara pun demikian, membengkak parah dengan ujung yang berdarah."Ka ... kalian habis ngapain?" tanya Bian menunjuk bibir Berlian dan Bara. Kedua orang itu langsung mengusap sudut bibir masing-masing."Akhh!" Berlian mengaduh kesakitan saat mengusap bibirnya, bibirnya terasa perih.
"Berlian, aku mengatakan yang sejujurnya," ucap Bara masih berusaha meyakinkan Berlian."Lalu apa kabar kamu yang tidak pernah menganggapku, Bar? Semua orang tahu kalau kamu akan pergi melanjutkan sekolah kamu. Bahkan ibuku dan Bian pun tahu, sedangkan aku? Bukankah sikap kamu yang seperti ini menandakan kalau aku tidak penting bagimu?" tanya Berlian bertubi-tubi."Kamu penting bagiku, Berlian.""Kalau penting kenapa kamu membohongiku, Bara? Kalau dari awal kamu mengatakan kamu menyukaiku karena paksaan Bian, lalu kamu jatuh cinta sama aku, pasti masalahnya tidak sampai seperti ini. Juga rasa sakit hatiku tidak akan sedalam ini. Tapi apa yang sudah kamu lakukan? Meski kamu sekarang sudah mencintaiku, tapi aku tidak bisa mengelak bahwa fakta mengatakan awal mula kamu mendekatiku itu adalah terpaksa," oceh Berlian."Apa gunanya memikirkan bagaimana awal kita bersama, Berlian? Yang penting saat ini kita sudah saling mencintai."
Sudah satu minggu Berlian mengunci dirinya di rumah, gadis itu tidak membiarkan siapa saja datang ke rumahnya. Setiap hari ada saja yang mencarinya, tetapi Berlian enggan membukakan pintu. Hpnya pun terus bergetar dan berdering nyaring menandakan ada pesan bertubi dan telfon. Berlian hanya meliriknya sekilas. Panggilan suara dari Bara dan Bian bergantian masuk. Sekali pun Berlian tidak ada niatan untuk mengangkatnya.Sudah satu minggu juga Berlian mangkir dari pekerjaanya, pekerjaan diambil alih oleh ibunya. Berlian sudah tidak menangis lagi, gadis itu hanya sedang berdiam diri di rumah sembari mengerjakan merk barunya seorang diri. Berlian juga menolak kerja sama dengan Kenan, kerja sama yang lalu Berlian putuskan dengan sepihak. Gadis itu hanya ingin melakukannya seorang diri, tanpa gangguan dari siapapun. Berlian mengerjakan semuanya dari rumah, berhubungan dengan orang-orang penting pun hanya via surel.Sekarang Berlian tahu kenapa banyak pria yang ingi
"Berlian, jangan pergi!" cegah Bara mencekal tangan Berlian. Berlian berusaha melepaskan cekalan tangan Bara, tetapi cekalan tangan Bara sangat kuat membuat tubuh gadis itu terhuyung menubruk tubuh Bara."Aku bisa jelasin semuanya, Berlian. Kamu dengerin dulu," titah Bara."Apa yang perku kamu jelasin, Bara. Kamu mau menjelaskan atau mau mengarang bebas? Semua sudah selesai, aku tidak butuh kamu lagi," teriak Berlian mendorong tubuh Bara dengan kencang sampai cekalan tangan Bara terlepas. Namun itu hanya sepersekian detik, setelahnya Bara kembali menarik tangan Berlian. Bukan hanya menarik, tapi juga merengkuh tubuh gadis itu."Berlian, aku akui pertama kali aku mendekatimu karena desakan dari Bian, tapi itu hanya bertahan dua hari, Berlian. Dua hari aku dipaksa, tapi aku jatuh cinta sama kamu setelah tiga hari sama kamu," ujar Bara dengan jujur."Bohong!" sentak Berlian. Berlian sudah berusaha untuk tidak menangis, tetapi nyatanya