Alhamdulillah, aku sangat bersyukur, hari-hariku berjalan dengan lancar. Rumah yang sudah kuiklankan pun sudah laku terjual. Semudah ini Allah membuka jalanku. Toko Amanda babyshop juga makin ramai pengunjung. Di belakang ruko aku tengah membangun ruangan yang lain, ruang keluarga, kamar juga dapur. Pintunya dari samping. Sengaja, agar lebih luas dari sebelumnya. Uang untuk pembangunan ruko ini dari hasil jual rumah. Dua puluh juta kuberikan pada Mas Damar, kebetulan dia sedang kesulitan uang. Ibunya saat itu menangis di hadapanku. Tapi aku tak mau tahu lebih dalam lagi ada masalah apa gerangan. Sudah cukup hubunganku telah selesai dengannya. Kini aku mantap membuka lembaran baru. Itupun karena anak-anak sangat dekat dengan Mas Ranu. Ya, atas pertimbangan anak-anak yang membutuhkan sosok ayah yang tak mereka dapatkan dari Mas Damar. Mereka begitu dekat meski tak ada ikatan darah. Mas Ranu yang penyayang anak kecil, belum lagi ibunda Mas Ranu yang menaruh harapan besar padaku, lalu N
"Iya, istri mantan suamimu. Tapi kenapa bisa sama calon suaminya Naima?"Aku termenung sejenak melihat pemandangan itu. Melinda habis melahirkan tapi bisa pergi-pergi begitu? Lalu bayinya sama siapa?"Apakah itu yang namanya Sandi, Mas?""Ya.""Bukannya waktu itu Naima cerita kalau dia gak jadi terima lamarannya?""Hmmm ya itu benar, tapi sayangnya kedua orang tua mereka memaksa kalau Naima harus jadi menikah, mereka tak ingin malu. Ayahnya si Sandi itu katanya sampai masuk rumah sakit.""Tapi kasihan Naima kalau begini terus. Calonnya gak pernah cinta, malah pergi sama perempuan lain, istri orang pula. Atau mereka temenan ya?""Aku lagi rekam videonya dulu, nanti kita berikan pada Naima juga mantan suamimu.""Aku gak ingin Naima merasakan apa yang kurasakan, Mas. Mumpung belum jadi lebih baik gagalkan saja rencana pernikahan mereka.""Ya, aku akan bantu ngomong ke orang tuanya. Mungkin karena tuntutan umur Naima tak muda lagi ya makanya orang tua mereka ingin dia segera menikah." Mas
Pagi hari mulai menyapa, mentari sudah menampakkan sinarnya yang keemasan.Ibu dengan semangat menjemur tubuh mungil Syifana di depan rumah seraya bersenandung kecil. Aku tersenyum melihat ibu yang penuh sayang pada Syifana. Namun pemandangan berbeda terjadi pada Melinda. Usai sebulan melahirkan, dia mulai bisa beraktivitas kembali, tapi anehnya ia tak mau menggendong Syifa atau menimang-nimangnya. Semua kerjaan rumah pun diambil alih oleh ibu. Aku tahu ibu pasti sangat kelelahan. Tapi ia tak berani bilang padaku. Hanya terkadang aku melihat ibu mengurut kakinya sendiri atau sesekali memijat kepalanya. Ah, kasihan sekali ibu. Tapi aku gak bisa berbuat apa-apa lagi.Aku merasa sangat bersalah pada ibu, kantung mata hitamnya tercetak jelas, begitu pula dengan gurat kelelahan di wajahnya, tak jarang aku menemukan ibu yang tampak tertidur sembari menunggui bayiku. Lalu terbangun saat menyadariku pulang kerja.Aku menghela nafas dalam, menoleh ke arah pintu dan melihat sosok Melinda denga
"Iya. Oh ya, Damar, ibu juga minta, kamu siapkan uang 25 juta itu, Nak, buat nebus sawah ibu sebentar lagi waktu gadainya akan habis. Ibu gak mau kalau harus kehilangan sawah penghasilan ibu satu-satunya."Aku menghela nafas berat. "Iya Bu, aku akan mengusahakannya. Ayo Bu, aku antar ke terminal ya, Bu. Aku juga sudah WA ke Farah buat jemput ibu di terminal sana."Ibu mengangguk lesu."Tunggu sebentar, Bu, aku akan bangunkan Melinda dulu," ucapku. Kugendong Syifana dari box bayi lalu menuju kamar. Di atas ranjang masih berbaring seorang wanita, matanya masih terpejam sempurna. Lagi, aku membuang nafas panjang. Malas sekali Melinda, padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Sebenarnya hari ini weekend jadi aku libur ngantor.Kuletakkan Syifana di samping ibunya. Tapi sayang, bayi mungilku justru menangis. Melinda mengerjap lalu memandang ke arah bayi kami. "Mas, kenapa Syifana dinawa kesini?" tanyanya seolah tak suka."Ya, kamu jagain dia. Aku mau ngantar ibu.""Hah? Mau ngan
Pov Melinda"Aku bosan dengan kehidupan seperti ini, Mas! Aku benci dengan semuanya! Aku benciiii, semua berjalan tak sesuai dengan yang kuinginkan! Kamu miskin, anak yang gak sempurna, ini semua gara-gara Wulan! Rasanya ingin kuhancurkan saja wanita itu!"Emosiku sudah memuncak di ubun-ubun. Semua terjadi karena insiden kecelakaan kala itu, aku harus melahirkan sebelum waktunya. Dengan rasa sakit yang hebat, di ambang kematian. Aku muak sekali. Sangat muak. Apalagi Mas Damar terus saja memuji-muji Wulan. Sang mantan kesayangannya itu. Membuat rasa sakitku makin berlipat. Ya, tentu saja sakit, di saat aku kesakitan berjuang antara hidup dan mati dia justru mendewikan Wulan dan memujinya. Kuserahkan saja putrinya untuk ia urus sendiri. Apalagi saat kutahu kalau semua biaya rumah sakit dibayar oleh Wulan. Laki-lakiku kini sudah kere, tak punya harta sepeserpun. Begitu pula dengan ibunya, yang hanya menjadi benalu di rumah tangga anaknya. Untunglah tenaganya berguna untuk merawat Syifa
Bruukk ...!Aku menoleh, mendapati Amanda yang jatuh terduduk karena belajar berjalan. Untunglah dia tak menangis. Segera menghampiri bayi mungilku yang kini usianya hampir 12 bulan. “Sayang, hati-hati ya, ayo belajar jalan lagi,” sahutku dengan sebuah senyuman. Ya, menjadi wanita yang sibuk bekerja, aku tetap tak boleh melalaikan tanggung jawabku sebagai seorang ibu. Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk kedua buah hati serta menyayanginya dengan sepenuh hati, jiwa dan raga.Amanda mulai mengoceh kembali seraya memasukkan jarinya ke mulut. "Makan biskuit aja ya sayang," ujarku seraya memberi biskuit padanya.Tak lama terdengar pintu penghubung ke toko diketuk, aku membukanya mendapati pegawaiku tersenyum.dan menyerahkan sebuah paket padaku."Permisi, Bu, ini ada kiriman paket, Bu.""Oh iya, terima kasih ya.""Iya Bu, sama-sama."Gadis itu kembali ke.tempatnya. Begitu pula denganku, bergegas kembali ke ruang keluarga. Keningku mengernyit mengamati kotak paket kecil itu.
“Benarkah, Mas?”Mas Ranu mengangguk. “Kamu hati-hati ya, tetap waspada, kalau ada apa-apa kabari aku ya. Nanti aku keluar sebentar untuk beli cctv lagi. Biar dipasang di depan tokomu. Biar gak cuma di dalam saja."“Iya, Mas, terima kasih,” jawabku lagi.“Dan akhir-akhir ini, aku juga sering dapat kiriman paket misterius," ujar Mas Ranu lagi."Paket apa, Mas?""Karyawanku yang sering terima. Kadang paket kosong, kadang juga hanya berisi rumput kering, atau setangkai bunga mawar yang layu, entah apa maksudnya. Aku yakin ini bukan kerjaan orang iseng, tapi memang disengaja."Aku mendengarkan dengan seksama. Dia menghela nafas panjangnya."Apakah mungkin itu kerjaannya Yasmin, Mas?" tanyaku."Bisa jadi. Aku pergi dulu ya, nanti aku kesini lagi. Untuk sementara waktu kamu dan anak-anak jangan keluar dulu. Di dalam sini lebih aman dari pada di luar. Kalau kamu butuh sesuatu tinggal hubungi aku saja.""Iya."Lelaki itupun pergi. Aku masih memikirkan kata-kata Mas Ranu. Apa benar ada yang in
"Mel, tunggu sebentar Mel! Jangan tarik-tarik begini kasihan Syifana!" Melinda tetap berjalan dengan cepat hingga terkadang langkahku menabrak meja makan."Aku kesal banget sama wanita itu. Lihat saja senyumannya seperti mengejekku. Hhhh!" gerutu Melinda."Maaf Pak, Bu, ini ada apa ya? Kenapa kalian tidak menikmati hidangan dan pestanya dulu?" tanya salah seorang penjaga menghentikan langkah kami.Melinda masih mengumpat dengan raut wajah tak suka. Terlihat jelas kalau dia benar-benar kesal."Maaf Pak, istri saya kebelet, makanya buru-buru mau pulang," sahutku.Mata Melinda membulat mendengar ucapanku."Di sebelah sana ada toilet, mari silakan ikut saya, Pak, Bu," sahut penjaga itu lagi. "Eh, tidak perlu, Pak, istri saya tidak nyaman, jadi kami langsung pulang saja.""Ya, baiklah, silakan."Pria bertubuh tegap dan kekar itu mempersilakan kami pergi. Dalam hati kecil bergumam, keren sekali Ranu, pesta pernikahan dijaga sampai sebegininya. Mewah juga megah, Wulan juga terlihat sangat
Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar
Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b
Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta
Saat ini, aku hanya seorang pengangguran, uang kompensasi yang kuterima sebagian kuberikan pada ibu, dan sebagian lagi untuk peganganku, untuk bensin dan makan di luar serta kebutuhan mendadak yang lain. Alhamdulillah, setidaknya aku merasa lega saat Farah perlahan membaik. Ia tak lagi menjerit atau berteriak histeris seperti di kampung. Ia pun mulai mau diajak mengobrol.Surat lamaran pekerjaan sudah kulayangkan ke beberapa perusahaan, tapi belum ada kejelasan. Jadi aku melamar ke tempat pekerjaan lain. “Bu, hari ini aku mau lamar kerja.”“Melamar kerja dimana?”“Di Mall Bu, kata orang sedang butuh cleaning service.”“Kamu gak apa-apa kerja begituan?”“Iya, Bu. Aku tidak apa-apa. Akan kubuang gengsi ini jauh-jauh. Dari pada nganggur, yang penting dapat penghasilan untuk memenuhi hidup kita.”“Terima kasih ya, Nak. Kamu sudah berubah sekarang, semoga Allah meridhoimu.”“Aamiin, Bu. Keadaan yang membentuk kita jadi seperti ini ya, Bu.”Ibu mengangguk seraya tersenyum simpul. Kita dide
Sudah lebih dari satu minggu aku di rumah. Panggilan kantor tak kugubris lagi. Ini dikarenakan Farah yang sering kumat, berteriak histeris bahkan tak segan menyakiti dirinya sendiri. Ibu sudah kewalahan, selalu menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Apalagi akhir-akhir ini Syifana pun sering sakit-sakitan, panas dan tak berhenti menangis. Mungkin dia pun merasa terganggu dengan teriakan Farah.“Farah! Jangan seperti ini, Dek! Jangan sakiti dirimu seperti ini, Dek!” pekikku seraya mengambil cutter di tangannya. Lalu kupeluk tubuhnya yang terguncang. Kubiarkan dia memukul-mukul tubuhku. Rasanya benar-benar perih. Sangat perih melihat adikku hancur. Aku benar-benar tak tega. Wajah cantiknya sudah tak karuan. Mata merah yang sembab, bahkan rambutnya yang berantakan sungguh membuatnya sangat miris. Sudah hilang keceriaan dan semangatnya untuk hidup gara-gara lelaki biadab. Andai kutahu siapa pria yang begitu tega membuat adikku sampai seperti ini, pasti sudah kuhabisi dia.“Dek, ini adalah
Tetiba sebuah sentuhan lembut di pundak membuyarkan pikiranku. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa? Kok di sini?" tanya suara seorang laki-laki yang kini mengisi hari-hari sepiku.Aku menoleh dan menatapnya yang tengah keheranan."Mas, tadi aku lihat Melinda.""Melinda istri mantan suamimu itu? Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?""Ah tidak-tidak. Tapi aku sungguh tak percaya dengan keadaannya sekarang.""Maksudmu?""Dia kok kayak jadi gembel ya, Mas," jawabku heran."Gembel?""Iya, tadi dia ngorek-ngorek tong sampah, Mas, sepertinya cari makanan. Jadi aku beri saja kotak nasi. Eh setelah kulihat termyata dia Melinda, dia langsung lari."Mas Ranu masih diam memperhatikanku bicara. "Penampilannya juga lusuh, kumal banget, Mas. Kasihan kalau memang benar itu Melinda.""Kenapa kasihan?""Bukannya dia masih punya bayi.""Sayang, apa kau tidak ingat dulu pernah disakiti olehnya?" pertanyaan Mas Ranu seketika membungkam mulutku."Mungkin itu bentuk teguran dari Allah agar dia sadar dan bisa berta
"Ada apa, Mas?""Ada yang mengacau di toko," sahutnya. "Mereka sepertinya komplotan, security dibuat babak belur, kaca toko dihancurkan, mungkin mereka juga mengambil isinya serta uang yang masih ada di brankas kasir."Dia menghela nafas dalam-dalam. "Rampok?"Mas Ranu mengangguk. "Tapi kau tenang saja ya, nanti akan kubereskan. Aku harus berangkat sekarang, mau cek ke lokasi dulu.""Mas mau langsung pergi?""Iya."Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja serta jaket agar tubuhnya sedikit hangat. Aku mengantarnya sampai teras depan. "Sayang ...""Ya, Mas?""Tolong jangan beri tahu ibu m3ngenai hal ini, aku takut beliau drop lagi. Bilang saja aku ada urusan di Butik yang gak bisa ditinggal," ujar Mas Ranu kemudian."Iya, Mas.""Maaf ya.""Tidak apa-apa, Mas, semoga masalahnya cepat selesai ya, Mas.""Terima kasih, Wulan." Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. "Mas, hati-hati.""Iya, Sayang. Makasih ya. Kau tena
“Aku mencintaimu, Wulan. Mari kita raih bahagia bersama,” ujarnya lembut.Aku mengangguk lagi, entah mulai dari mana bunga-bunga cinta ini hadir dalam hatiku. Saat bersamanya terasa begitu damai juga nyaman.Ting ting ting, denting suara notifikasi pesan WA membuyarkan kami. Aku menatap ponselku yang menyala dan berkedip-kedip sebagai tanda banyak pesan yang masuk.“Handphonemu bunyi, Wulan, coba dilihat dulu, mungkin ada yang penting,” ujar Mas Ranu. “Iya, Mas. Emmh aku sekalian mau ganti baju dulu,” jawabku kikuk. Mas Ranu mengangguk sambil tersenyum melihat salah tingkahku. Dia duduk di bibir ranjang sembari terus memperhatikanku.Aku membuka pesan yang dikirim oleh Naima. [Wulan, jangan lupa kado dariku dibuka dulu. Kadonya sudah kutaruh di dekat lampu tidur][Kau harus tampil cantik dan mempesona di hadapan suamimu][Semangat ya Wulan, semoga malam pertamamu dilalui dengan indah][Aku yakin, Mas Ranu takkan mungkin mengecewakanmu. Dia kalau sudah jatuh cinta, pasti bakalan cin
Satu hari yang begitu istimewa, acara demi acara terlewati dengan baik. Aku tak menyangka, banyak tamu undangan yang pada hadir. Rasanya seperti mimpi, aku menikah lagi bahkan dibuatkan pesta semeriah ini. "Terima kasih ya sudah mau jadi istriku," ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tak lama Mas Ranu mengecup keningku dengan lembut. "Hari ini kita pulang ke rumah ya, ya menginaplah selama beberapa hari setelah itu terserah kamu mau tinggal dimana," ucapnya lagi."Iya, Mas."Malam harinya, setelah pernikahan selesai, kami langsung dibawa pulang ke rumah Mas Ranu. Selama jalannya acara, anak-anak juga tak menangis, mereka bersama Naima juga ibu."Ranu, Wulan, kalian istirahatlah. Raffa dan Amanda biar Bik Waroh yang mengurusnya," ujar ibu. Di sampingnya sudah berdiri wanita yang berumur 45 tahunan, tersenyum ke arah kami.Aku menghampiri Amanda yang masih digendong oleh Naima. Dia tengah tertidur pulas. Kuciumi sebentar gadis mungilku ini. Sementara Raffa tengah duduk di sofa,