Part 17"Kenapa sih, Mas, panik banget kayak ada apa aja. Kalau khawatir samperin saja sono kali aja ada ular masuk ke kamarnya!""Ah, ya gak mungkin Dek. Dah tidur aja kamu jangan berpikiran macem-macem," kilah Mas Damar."Aneh aja sih soalnya, tengah malam telepon ada perlu apa coba? Kalau bukan ada maksud tertentu. Kau harus ingat ini baik-baik, Mas, Melinda mungkin teman kamu, tapi dia juga seorang wanita. Dia datang kesini sendiri untuk meminta pekerjaan jadi pembantu. Kamu tidak boleh mengistimewakannya. Aku tidak suka dengan caramu yang seperti ini, Mas.""Iya, Dek. Maaf."Ia kembali berbaring dan meletakkan ponselnya lagi. Tapi rupanya mereka tetap curi-curi waktu buat saling berbalas pesan saat aku tertidur.[Maaf Mel, aku gak mungkin menemuimu. Nanti Wulan bisa curiga] chat dari Mas Damar.[Menyebalkan sekali, meski dekat tapi kita tetap jauh. Aku ada ide, Mas] balas Melinda. [Ide apa?][Bagaimana kalau tiap malam kau buat istrimu tidur lebih cepat. Saat kau pergi ke kantor
Part 18"Bu, rencana ini tidak berhasil, lalu kita mau bagaimana? Atau katakan saja yang sebenarnya tentang kami, Bu? Aku gak mau hubungan kami terus seperti ini. Tak ada kejelasan, apalagi Mas Damar ..."Aku mendekat. "Mas Damar kenapa, Mbak Mel?"Mereka bertiga terkejut mendengar suaraku. "Ah tidak, tidak apa-apa, Mbak Wulan. Maksudnya aku mau pamit pergi dulu, tapi Mas Damar masih di kantor.""Tidak apa-apa nanti saya sampaikan," sahutku lagi."Kalau begitu ibu juga mau pamit, Nak. Maaf ya ibu kesini malah ngerepotin kalian.""Tidak apa-apa, Bu. Selagi aku masih jadi menantumu.""Hah? Maksudnya?"Aku hanya tersenyum, aku menatap Farah yang sedari tadi diam dan memperhatikanku. "Farah, kamu sudah pesan taksinya?" "Iya sudah, Mbak. Sebentar lagi datang."Tiiin ... Suara klakson menghenyakkan kami. Farah bangkit dan melihatnya. Ia tersenyum. "Bu, Mbak, taksinya sudah datang," ujarnya."Ya sudah kita langsung berangkat saja. Pamitan sama Damar di telpon saja," sahut ibu.Mereka melan
Part 19"Jangan pernah berpikir mas akan meninggalkanmu, Dek. Itu tidak akan pernah terjadi. Mas sangat menyayangimu dan juga anak-anak."Mendengar kata-katanya ... Separuh nafasku seakan telah pergi. Aku hancur, sehancur-hancurnya. Meski sudah menyiapkan hati sejak pertama tahu pengkhianatan ini, tapi tetap saja sangat sakit saat dia mengatakan sejujurnya dari mulut manisnya itu. Sesak terasa menghimpit di dada, untuk menghirup secuil udara saja rasanya begitu sulit. Ada rasa panas membakar hati ini. Pertahananku runtuh sudah. Butiran bening seolah tak dapat dikompromi, terus saja jatuh berderai tanpa permisi.Berkali-kali kuhela nafas dalam-dalam. Setidaknya fisikku harus kuat meski ragaku kini sedang rapuh. Beban mental kini terus menghantui, aku sendirian, tak ada kekuatan lagi selain tawa dan tangis anak-anak. Ya, aku memang hanya wanita biasa yang tak bisa terima bila ada masalah poligami, meski suami masih bisa menafkahi dengan baik. Tapi, tentu tidak dengan hati. Hati yang s
Part 20"Mas sudah berbuat keterlaluan padamu, tak memikirkan perasaanmu. Semalam mas juga sudah berpikir masak-masak mengenai masalah ini. Dan ... Mas akan memilihmu, Mas akan sudahi hubungan dengan Melinda. Tolong maafin mas ya, Dek. Ayo kita perbaiki hubungan ini lagi."Sudah terlanjur basah, Wulan mengetahui hubunganku dengan Melinda. Ternyata benar kata pepatah, serapat-rapatnya menyimpan bangkai pasti akan tercium juga.Pikiranku dilanda kalut luar biasa, sungguh sebenarnya aku dilema. Pilihan yang teramat sulit dalam hidupku. Aku tak ingin kehilangan keduanya. Wulan, wanita yang sudah melahirkan anak-anakku dan juga Melinda, cinta masa laluku.Hatiku menciut kala melihat Wulan marah, wanita yang penuh kelembutan itu tak pernah bersikap penuh emosi seperti semalam. Perasaan getir meliputi sudut hati. Apalagi dia menangis karena ulahku. Aku tahu, dia pasti patah hati, orang yang ia percaya justru mengkhianati. Tapi ... akupun tak bisa membohongi diri, bahwa cintaku masih tersang
Part 21"Tidak Dek ... mas sungguh menyayangi kalian. Mas tak ingin kehilangan kamu, Raffa dan juga Amanda. Lihatlah mereka sayang, mereka masih butuh kita, aku dan juga kamu. Kamu tak bisa berdiri sendiri tanpa aku. Akupun sama, tak bisa berdiri tanpa kamu dan anak-anak."Biasanya bila mendengar kata-katanya hatiku langsung berbunga-bunga. Tapi tidak dengan sekarang. Semua masih menyisakan luka. Apalagi saat kuminta dia menceraikan Melinda di hadapanku. Jawabannya berbelit-belit dan terkesan banyak alasan. "Ti-tidak, Wulan, aku tidak keberatan. Tapi aku butuh waktu," sahutnya ragu. Ia menatapku dengan sendu. Sunhguh menyebalkan memang!Aku menghela nafas berat. Bukankah itu artinya dia tak 100% dengan kesungguhannya? Baiklah, kita ikuti saja apa yang akan dia lakukan. Bagiku kini lebih baik bergerak sendiri. Diam-diam menjadi wanita yang mandiri daronpada lagi-lagi mengharap dia yang sudah jelas-jelas menyakiti.Masih seperti biasa, setelah Mas Damar pergi bekerja, aku mengantar Raf
Part 22Duh Wulan, kamu pergi kemana? Kenapa justru membuatku khawatir begini?Dadaku bergemuruh kencang, antara cemas, takut juga marah. Bisa-bisanya Wulan pergi tanpa izin dariku. Kembali kucoba telepon nomornya, tetap sama, tidak aktif juga tak ada balasan pesan apapun darinya.Terpaksa aku beranjak, menuju rumah Nino. Ya, istriku dan istri Niko memang berteman karena anak-anak kami sekolah bersama, juga karena kami bertetangga."Assalamu'alaikum, Mbak Rasti." Aku mengucapkan salam meski ragu Wulan ada di sini karena rumah tampak sepi."Waalaikum salam. Oh Mas Damar, ada apa ya, Mas?" tanya wanita bertubuh sedikit gendut itu. Entah lah memandang Mbak Rasti kayaknya jadi ilfil karena banyak lemak, apalagi di bagian perut. Entah kenapa Niko bisa nyaman mempunyai istri seperti dia."Mbak Rasti tahu gak Wulan pergi kemana?" tanyaku."Gak tahu, Mas. Memangnya Mbak Wulan gak ada di rumah?" Wanita itu justru balik bertanya."Gak ada, Mbak, makanya saya tanya, kali aja mereka main kesini.
Part 23Akhirnya perdebatan kami berakhir dengan saling diam. Tanpa ada kata untuk saling bicara. Dia ada tapi seolah tak ada keberadaannya. Sial, malam ini aku jadi tidur di luar lagi. Duduk di sofa ruang tamu, meratapi nasib pernikahan ini yang entah mau dibawa kemana. Kepalaku terasa begitu penat luar biasa. Wulan atau Melinda lagi-lagi menjadi dilema. Kuhubungi Farah, aku butuh masukan dari ibu. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa mengerti keluh kesahku. Sengaja aku keluar dari rumah agar Wulan tak mendengar percakapanku."Hallo, Mas, ada apa malam-malam telpon?" tanya Farah dari seberang telepon. "Ibu udah tidur belum, Dek?" Aku balik bertanya."Belum, Mas, lagi nonton tv. Mau bicara sama ibu?""Iya, Dek.""Bentar ya, Mas."Tak berapa lama, aku sudah terhubung dengan ibu."Hallo, Damar, ada apa, Nak? Katanya kamu mau ngobrol sama ibu?""Bu ..." Aku menghela nafas dalam-dalam. "Wulan sudah tahu semuanya. Dia sudah tahu tentang Melinda," sahutku dengan nafas tak beraturan."Y
Part 24Pov MelindaSudah kutunggu sejak tadi sore, nyatanya Mas Damar dan Wulan tak datang kemari. Padahal kami akan sama-sama menjalani peran, Mas Damar akan pura-pura menalakku. Tapi ternyata ... ia justru kebingungan mencari istrinya dimana.Wulan, Wulan, Wulan terus yang ada dipikirannya. Apa dia tak mengerti tentang perasaanku juga? Menyebalkan sekali bukan? Bahkan saat dia ada di sini pun nama Wulan yang disebut berkali-kali. Aku mengacak rambutku. Kenapa sih, biar saja perempuan itu pergi, aku kan bisa menggantikannya. Ah, lama-lama hubungan seperti ini membuatku muak. Aku juga ingin dimiliki seutuhnya. Aku tak mungkin pergi dari hidup Mas Damar, aku masih butuh uangnya.Keesokan harinya, seperti biasa minggu ini pun ada cicilan pinjol yang harus kubayarkan. Uang dari Mas Damar memang masih tersisa, tapi masih kurang nominalnya apalagi sebagian sudah terpakai untuk membeli skincare dan minyak wangi.Pagi ini juga aku harus bisa mendapatkannya dari Mas Damar. Terserah dia mau
Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar
Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b
Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta
Saat ini, aku hanya seorang pengangguran, uang kompensasi yang kuterima sebagian kuberikan pada ibu, dan sebagian lagi untuk peganganku, untuk bensin dan makan di luar serta kebutuhan mendadak yang lain. Alhamdulillah, setidaknya aku merasa lega saat Farah perlahan membaik. Ia tak lagi menjerit atau berteriak histeris seperti di kampung. Ia pun mulai mau diajak mengobrol.Surat lamaran pekerjaan sudah kulayangkan ke beberapa perusahaan, tapi belum ada kejelasan. Jadi aku melamar ke tempat pekerjaan lain. “Bu, hari ini aku mau lamar kerja.”“Melamar kerja dimana?”“Di Mall Bu, kata orang sedang butuh cleaning service.”“Kamu gak apa-apa kerja begituan?”“Iya, Bu. Aku tidak apa-apa. Akan kubuang gengsi ini jauh-jauh. Dari pada nganggur, yang penting dapat penghasilan untuk memenuhi hidup kita.”“Terima kasih ya, Nak. Kamu sudah berubah sekarang, semoga Allah meridhoimu.”“Aamiin, Bu. Keadaan yang membentuk kita jadi seperti ini ya, Bu.”Ibu mengangguk seraya tersenyum simpul. Kita dide
Sudah lebih dari satu minggu aku di rumah. Panggilan kantor tak kugubris lagi. Ini dikarenakan Farah yang sering kumat, berteriak histeris bahkan tak segan menyakiti dirinya sendiri. Ibu sudah kewalahan, selalu menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Apalagi akhir-akhir ini Syifana pun sering sakit-sakitan, panas dan tak berhenti menangis. Mungkin dia pun merasa terganggu dengan teriakan Farah.“Farah! Jangan seperti ini, Dek! Jangan sakiti dirimu seperti ini, Dek!” pekikku seraya mengambil cutter di tangannya. Lalu kupeluk tubuhnya yang terguncang. Kubiarkan dia memukul-mukul tubuhku. Rasanya benar-benar perih. Sangat perih melihat adikku hancur. Aku benar-benar tak tega. Wajah cantiknya sudah tak karuan. Mata merah yang sembab, bahkan rambutnya yang berantakan sungguh membuatnya sangat miris. Sudah hilang keceriaan dan semangatnya untuk hidup gara-gara lelaki biadab. Andai kutahu siapa pria yang begitu tega membuat adikku sampai seperti ini, pasti sudah kuhabisi dia.“Dek, ini adalah
Tetiba sebuah sentuhan lembut di pundak membuyarkan pikiranku. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa? Kok di sini?" tanya suara seorang laki-laki yang kini mengisi hari-hari sepiku.Aku menoleh dan menatapnya yang tengah keheranan."Mas, tadi aku lihat Melinda.""Melinda istri mantan suamimu itu? Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?""Ah tidak-tidak. Tapi aku sungguh tak percaya dengan keadaannya sekarang.""Maksudmu?""Dia kok kayak jadi gembel ya, Mas," jawabku heran."Gembel?""Iya, tadi dia ngorek-ngorek tong sampah, Mas, sepertinya cari makanan. Jadi aku beri saja kotak nasi. Eh setelah kulihat termyata dia Melinda, dia langsung lari."Mas Ranu masih diam memperhatikanku bicara. "Penampilannya juga lusuh, kumal banget, Mas. Kasihan kalau memang benar itu Melinda.""Kenapa kasihan?""Bukannya dia masih punya bayi.""Sayang, apa kau tidak ingat dulu pernah disakiti olehnya?" pertanyaan Mas Ranu seketika membungkam mulutku."Mungkin itu bentuk teguran dari Allah agar dia sadar dan bisa berta
"Ada apa, Mas?""Ada yang mengacau di toko," sahutnya. "Mereka sepertinya komplotan, security dibuat babak belur, kaca toko dihancurkan, mungkin mereka juga mengambil isinya serta uang yang masih ada di brankas kasir."Dia menghela nafas dalam-dalam. "Rampok?"Mas Ranu mengangguk. "Tapi kau tenang saja ya, nanti akan kubereskan. Aku harus berangkat sekarang, mau cek ke lokasi dulu.""Mas mau langsung pergi?""Iya."Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja serta jaket agar tubuhnya sedikit hangat. Aku mengantarnya sampai teras depan. "Sayang ...""Ya, Mas?""Tolong jangan beri tahu ibu m3ngenai hal ini, aku takut beliau drop lagi. Bilang saja aku ada urusan di Butik yang gak bisa ditinggal," ujar Mas Ranu kemudian."Iya, Mas.""Maaf ya.""Tidak apa-apa, Mas, semoga masalahnya cepat selesai ya, Mas.""Terima kasih, Wulan." Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. "Mas, hati-hati.""Iya, Sayang. Makasih ya. Kau tena
“Aku mencintaimu, Wulan. Mari kita raih bahagia bersama,” ujarnya lembut.Aku mengangguk lagi, entah mulai dari mana bunga-bunga cinta ini hadir dalam hatiku. Saat bersamanya terasa begitu damai juga nyaman.Ting ting ting, denting suara notifikasi pesan WA membuyarkan kami. Aku menatap ponselku yang menyala dan berkedip-kedip sebagai tanda banyak pesan yang masuk.“Handphonemu bunyi, Wulan, coba dilihat dulu, mungkin ada yang penting,” ujar Mas Ranu. “Iya, Mas. Emmh aku sekalian mau ganti baju dulu,” jawabku kikuk. Mas Ranu mengangguk sambil tersenyum melihat salah tingkahku. Dia duduk di bibir ranjang sembari terus memperhatikanku.Aku membuka pesan yang dikirim oleh Naima. [Wulan, jangan lupa kado dariku dibuka dulu. Kadonya sudah kutaruh di dekat lampu tidur][Kau harus tampil cantik dan mempesona di hadapan suamimu][Semangat ya Wulan, semoga malam pertamamu dilalui dengan indah][Aku yakin, Mas Ranu takkan mungkin mengecewakanmu. Dia kalau sudah jatuh cinta, pasti bakalan cin
Satu hari yang begitu istimewa, acara demi acara terlewati dengan baik. Aku tak menyangka, banyak tamu undangan yang pada hadir. Rasanya seperti mimpi, aku menikah lagi bahkan dibuatkan pesta semeriah ini. "Terima kasih ya sudah mau jadi istriku," ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tak lama Mas Ranu mengecup keningku dengan lembut. "Hari ini kita pulang ke rumah ya, ya menginaplah selama beberapa hari setelah itu terserah kamu mau tinggal dimana," ucapnya lagi."Iya, Mas."Malam harinya, setelah pernikahan selesai, kami langsung dibawa pulang ke rumah Mas Ranu. Selama jalannya acara, anak-anak juga tak menangis, mereka bersama Naima juga ibu."Ranu, Wulan, kalian istirahatlah. Raffa dan Amanda biar Bik Waroh yang mengurusnya," ujar ibu. Di sampingnya sudah berdiri wanita yang berumur 45 tahunan, tersenyum ke arah kami.Aku menghampiri Amanda yang masih digendong oleh Naima. Dia tengah tertidur pulas. Kuciumi sebentar gadis mungilku ini. Sementara Raffa tengah duduk di sofa,