"Ada apa?" tanya Jason lagi saat ikut menatap ke arah pintu penghubung.Aku masih saja memindai ke arah itu, karena memang tadi sempat merasakan ada seseorang sedang memperhatikan kami tadi, meski saat ini di sana sudah tak ada seorangpun."Aku seperti melihat ada seseorang," gumamku sembari mengedikkan bahu."Mungkin itu hanya perasaan kamu saja."Jason berusaha menenangkan aku.Lagipula sangat tak mungkin kalau seorang Adeo Pattinama akan mengejarku tapi di rooftop. Lelaki sudah sangat lama tak mengungkapkan sebagai anaknya."Sekarang katakan padaku, bagaimana perasaan kamu pada Gamal? Apa kamu yakin untuk menikah dengan dia? Kalau kamu masih ragu, kamu masih memiliki waktu untuk menghentikan semuanya."Aku bergeming, membalas tatapan Jason dengan lebih lekat untuk beberapa saat."Gamal selama ini sudah menunjukkan kesungguhannya padaku. Bahkan dia juga berjuang dengan gigih saat duel melawan kamu kemarin. Mungkin kami memang ditakdirkan untuk bersama, karena sampai sejauh ini semua
"Kenapa kamu mendadak menjadi pendiam? Apa kamu sakit gigi?"Aku kembali bertanya ketika kami sudah berada di dalam mobil. Aku masih berusaha melontarkan candaanku untuk mencairkan kebekuan yang mendadak mengepung kami saat ini."Atau kamu sedang sariawan, kamu nggak usah khawatir aku punya banyak simpanan vitamin C di dalam tasku."Aku kemudian mulai mengeluarkan tablet vitamin C itu dan menyodorkannya di depan calon suamiku yang sekarang mendadak mengacuhkan aku itu.Tak aku sangka Gamal malah menampik tanganku hingga tablet itu jatuh di bawah kami.Setelah itu Gamal malah menyalakan mesin mobil tanpa berucap apapun, apalagi meminta maaf karena sudah menolak pemberianku.Aku menatapnya gusar, semakin tidak mengerti dengan sikapnya yang semakin ganjil."Kamu kenapa Mas?"Aku kembali bertanya. Tapi Gamal masih saja mengabaikan aku.Dia malah semakin memusatkan perhatian pada jalanan, mengabaikan pertanyaanku."Kita harus segera sampai di pesta itu, dan aku tak bisa lama-lama di sana."
Apa yang baru saja aku dengar, membuatku tersengat kaget. Meski aku langsung bisa menerkanya saat sikap Gamal mendadak berubah drastis. Aku bisa memperkirakan jika semua ini akan terjadi. Tapi aku merasa berhak untuk mendapatkan penjelasan dari Gamal kenapa mendadak dia berubah sikap.Nyatanya ketika aku menguping sekarang, aku semakin tak bisa mendengarkan dengan jelas. Terlebih kemudian aku mulai melihat kelebat bayangan Umi Risa yang sepertinya akan melangkah menuju arah ruang kerja Abi Ali ini.Segera aku menarik diri dan bergegas pergi meninggalkan tempat itu untuk kembali ke atas menuju kamarku lagi.Meski begitu aku masih belum bisa memejamkan mata. Aku masih mondar mandir di dalam kamar sembari menajamkan telinga, berharap aku bisa mendengar langkah Gamal melewati depan kamarku, yang berniat aku cegat agar kami bisa berbicara, di mana sebelumnya dia selalu menghindariku.Beberapa lama menunggu, akhirnya aku bisa memastikan jika Gamal seperti sedang berdiri di depan kamarku.Be
“Kenapa kamu mengajak anak-anak untuk pindah?”Segera aku menoleh ke belakang dan mendapati bunda sekarang sedang berjalan menghampiri kami.Aku menjadi tergeragap gusar ketika bunda menatapku dengan lekat saat ini.“Bukankah hari pernikahan kamu dengan Gamal sudah berada di depan mata, kenapa sekarang kamu malah mengajak anak-anak untuk kembali ke rumah lama kita?”Bunda masih saja menatapku lekat, menampakkan gurat kekhawatiran yang membuatku langsung disergap rasa bersalah.“Katakan pada bunda, apa yang sebenarnya terjadi pada kalian? Apa kamu dan Nak Gamal sedang bertengkar sekarang?”Perasaan bunda yang peka membuat beliau bisa menerka dengan tepat apa yang sedang terjadi saat ini.Aku bergeming diam, karena menjadi sangat sulit untuk mengungkapkan pada bunda tentang apa yang sedang terjadi saat in
Gamal POV Aku merasa sangat gelisah saat abi mengatakan jika sekarang Mala tak lagi tinggal di rumah kami. Bahkan kemudian Abi mulai mengatakan tentang sebuah fakta yang selama ini seakan selalu aku ragukan. “Hasil visum itu benar-benar asli, jadi apa yang selama ini kamu dengar tentang calon istrimu sendiri adalah sebuah fitnah.” Aku mendesah panjang, menjadi tak bisa berkata apapun lagi. Sekarang aku malah menjadi tersiksa oleh rasa bersalah, terlebih setelah membaca hasil visum itu. “Kenapa Abi tadi tak menahan kepergian Mala? Apa Abi tahu sekarang Mala ada di mana?” “Dia tak mau mengatakan apapun pada Abi. Tapi dia mengatakan akan kembali beberapa hari lagi.” “Tapi tanggal pernikahan kami tinggal satu minggu lagi, bagaimana jika Mala tak datang pada hari pernikahan kami nanti?” Aku mulai mengungkapkan kegelisahanku denga
“Cepat katakan di mana Mala sekarang!”Aku semakin mendesak kala mendapati Jason tetap tak menjawab pertanyaanku.Bahkan lelaki itu malah mengedikkan pundaknya.“Aku sudah tak memiliki banyak waktu lagi.”Aku sudah benar-benar kehilangan kesabaran saat ini.Semakin menjengkelkan saat melihat pria blasteran Jerman itu malah menggelengkan kepalanya.Dengan jengkel aku langsung menarik kerah bajunya lagi dan menyergapnya dengan tatapan nyalang.“Cepat katakan, Jason!”Bahkan sekarang aku sudah mengangkat tinjuku di depan wajahnya.“Aku tidak tahu,” ucap Jason terbata.Jawabannya semakin membuatku kesal.“Tapi kenapa tadi kamu begitu yakin mengatakan jika kamu tidak akan mempertemukan aku dengan Mala sebelum aku berjanji untuk tidak menyakitinya?”Segera aku mendorong tubuh lelaki itu hingga Jason sempoyongan menahan diri nyaris kehilangan keseimbangan.“Aku memang sempat bertemu dengan Mala beberapa kali, saat aku mengantarnya untuk melakukan visum lagi, sebagai pembuktian atas tuduhan y
“Kenapa kamu begitu yakin jika kami tahu tentang keberadaan Mala?”Lola mulai mengunggah pertanyaannya saat aku semakin tak bisa menahan amarahku.“Aku tahu kamu selalu melakukan apapun yang di luar dugaan, bahkan hal sekejam apapun.”Aku menegaskan tuduhanku.“Kenapa kamu malah berpikir jika aku orang yang kejam?”“Nyatanya kamu sudah melontarkan fitnah keji untuk Mala, dan bodohnya aku begitu mudah percaya.”“Jadi sekarang katakan di mana Mala?!” Aku kembali mendesak.Lola malah tersenyum sinis.“Kamu memang bodoh begitu mudah berubah pikiran.”“Karena semua yang kamu ucapkan itu sepenuhnya fitnah, semua yang kamu katakan tentang Mala, itu fitnah. Mala tak seperti yang kamu tuduhkan.”&
Mala POVAku melangkah dengan sangat perlahan memasuki rumah besar yang sudah beberapa waktu ini menjadi tempat tinggal bunda dan anak-anakku.Sengaja aku berkunjung agak sore karena biasanya di jam seperti ini Gamal masih berada di kantor tenggelam dengan pekerjaannya yang seakan tak ada habisnya itu.Aku tahu pasti Gamal sangat sibuk dengan proyek barunya, membangun kota baru di kawasan segitiga emas yang sangat menjanjikan. Aku yakin Gamal akan memberikan perhatian dan waktunya untuk proyek penting itu.Seperti juga aku yakin dia pasti sudah menghentikan pencariannya padaku. Karena menurut keterangan yang aku dengar dari Mpok Lala, jika Gamal hanya mencariku sekali di rumah dan Mpok Lala sudah mengatakan apa yang telah aku minta padanya untuk tidak mengatakan apapun tentang keberadaanku di sana.Aku merasa sedikit tenang saat melihat keadaan rumah yang sunyi, hanya ada beberap
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud