Mala POVAda rasa sesak yang masih saja tersisa bahkan setelah aku meninggalkan kawasan yang dulu begitu akrab denganku, kawasan yang dipenuhi dengan perumahan mewah yang pernah menjadi tempat tinggalku ketika keluarga kami masih harmonis dan bahagia.Aku benar-benar tak mengerti kenapa Gamal mengajakku makan siang di sana padahal jarak kantornya dengan kawasan itu lumayan jauh.Bahkan karena itu kami sampai terlambat untuk kembali ke kantor. Untungnya hari ini tak ada meeting penting, dan pekerjaanku tidak terlalu banyak.Sebagai atasanku Gamal terlalu sering mengambil keputusan dan memiliki keinginan yang tak aku mengerti.Meski begitu aku merasa cukup bersyukur dengan keadaanku yang sekarang. Setidaknya aku tak terlalu kekurangan seperti kemarin, walau untuk bulan pertama bekerja di kantor ini aku masih tak tahu berapa gaji yang akan aku terima nantinya.M
Aku tak mempunyai pilihan lain, selain membangunkan Gamal yang malah tertidur di atas pangkuanku ketika aku memijat kepalanya.“Pak, tolong bangun, apa Bapak nggak lanjut kerja?”Aku sedikit menggoyang pundaknya.Lelaki itu tak bereaksi.Aku mulai menepuk pipinya dengan hati-hati, meski saat aku melakukannya tanganku menjadi gemetar.Atasanku ini memang keterlaluan bahkan sebelum ini aku pernah sedekat ini dengan lelaki manapun bahkan tidak juga dengan Jason yang merupakan teman karibku sejak lama.Tanpa pernah disangka pria menyebalkan itu malah melingkarkan tangannya pada pinggangku seolah aku ini adalah sebuah bantal yang nyaman.Gerakannya yang semakin menempel pada pangkuanku menerbitkan gelenyar aneh yang terlalu meresahkan aku.Aku mendesah jengah memberanikan diri untuk menarik diriku dan melepaskan kepalanya dari pangkuanku.Seketika Gamal terbangun saat kepalanya beralih di atas sofa.Sementara aku sekarang sudah berdiri dengan gelisah memandangnya dengan diselimuti rasa kha
Nyatanya Gamal tak menjawab pertanyaanku sama sekali, lelaki itu malah melajukan mobilnya dengan sangat tenang.“Pak, Bapak nggak akan mengajakku ke kantor kan? Ini hari libur lho Pak.”Pria arogan itu melirikku jengah.“Cerewet.”Aku terkesiap kesal karena mendengar umpatannya yang singkat.Aku mencebik tipis ke arahnya. Tapi pria itu tak segera menyadari.Hingga kemudian Gamal menghentikan mobilnya di sebuah pusat perbelanjaan, di sebuah mall besar dan mewah yang selama ini terkenal menyediakan barang-barang dengan harganya yang sering aku anggap tak masuk akal.Aku yang awalnya hanya ingin berbelanja di swalayan biasa yang tak jauh dari rumah tapi atasanku yang sekarang menjadi serba misterius itu malah mengajakku memasuki area perbelanjaan elit.“Pak, apa Bapak mau beli sesuatu dulu di sini?”Gamal malah menyergah jengah sembari menatapku lugas.“Kamu itu gimana sih? Katanya kamu mau belanja?”Aku terkesiap resah.“Aku belanja di sini Pak?”“Sudahlah ayo kamu keluar.”Gamal kemudi
Aku bingung menanggapi ucapan Gamal yang mendadak sok romantis seperti itu.Nyatanya dia sekarang berlagak sebagai pasanganku ketika karyawan counter kosmetik itu menyangka kami sebagai suami istri.Bahkan lelaki itu langsung meraih pundakku sembari mengerlingkan mata saat aku agak beringsut menjauh.“Aduh sayang, jangan malu seperti itu. Cepetan kamu pilih aja yang terbaik buat kulit kamu.”Sontak aku membeliakkan mata ketika Gamal dengan lancang malah membelai kedua pipiku.Aku menjadi tak kuasa menampik sandiwara yang dia ciptakan ini. Aku malah menikmati semuanya. Kapan lagi aku bisa berpura-pura menjadi istri seorang CEO kaya, yang sekarang membuatku bisa membeli apapun tanpa membuat kepala pusing memikirkan cara membayarnya.Tapi meski begitu saat Gamal memilih krim kecantikan yang berharga mahal, aku tak bisa menutupi gelisahku.“Pak ini mahal sekali, masak satu krim aja harganya bisa sampai dua juta. Cari yang murah aja.”Tapi Gamal malah menegaskan tatapannya padaku menunjukk
“Bapak kenapa melarangku bicara sama temanku?” sergahku sembari memasang muka cemberut saat mendapati atasanku itu bersikap sangat tidak sopan.“Nggak sopan Pak menghalangi orang ngomong, itu artinya Bapak mencampuri urusan privasiku.”“Apa kamu nggak lihat kalau anak-anak masih pengen pizza tapi kamu malah mengabaikan saja pas mereka minta?”Gamal malah melirik ke arah Ghana dan Ghara yang juga sedang memandangku.Langsung saja aku tak bisa memendam amarah pada atasanku di kantor itu.“Katanya kamu mama mereka kenapa kamu malah nggak peduli sama mereka?”Aku mendesah lirih.“Nggak gitu juga Pak.”Tapi kemudian aku menatap lekat pada kedua keponakanku itu.“Kalian masih mau pizza lagi?”Merek
Kami sontak menoleh ke asal suara pada dua orang wanita beda generasi yang sedang berkunjung.Ketika melihat kedatangan Nita bersama mamanya yang luar biasa sombong itu, aku langsung memalingkan muka.Rasanya sangat menjengkelkan bertemu dengan dua orang wanita yang telah membawa kehancuran bagi kakakku itu.Sementara Nita sendiri tampak sangat geram ketika mendapati aku di hari libur seperti sekarang tetap saja berada di rumah Gamal.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Nita dengan tatapannya yang tajam menyergapku ketika wanita itu mulai berjalan mendekat.Sementara mamanya yang biasa aku panggil Tante Firna itu dengan telak mengabaikan aku, malah mendekati Om Ali yang sedang bersantai dan menunjukkan sikapnya yang penuh basa-basi terasa begitu menjilat.“Kapan Pak pulang dari Qatar?” tanya Tante Firna kepada ayah dari atasanku itu
“Ayo sayang aku antar kamu pulang sekarang.”Aku mengerutkan kening saat mendengar ucapan Gamal yang begitu mengagetkan aku itu.Aku sempat melirik pada Nita yang sekarang menjadi terlalu lugas menampakkan kecemburuannya.Sementara Tante Firna menyergapku dengan tatapan tajam.Segera aku memanggil Ghana dan Ghara untuk segera mengikutiku.Tapi sebelum pergi aku berpamitan dengan sangat formal pada kedua orang tua atasanku, dengan menyalami mereka satu persatu bahkan aku tak melewatkan juga Tante Firna, meski sikapnya masih terunggah dingin padaku.Aku memberi arahan pada Ghana dan Ghara untuk melakukan hal yang sama.Sikap mereka langsung mencuri simpati dari kedua orang tua atasanku.“Kamu memiliki anak-anak yang lucu dan manis Mala,” ungkap Tante Risa.Aku menanggapi dengan segaris senyuman.Meski aku sempat melirik jika Nita sedang memindai kedua keponakanku itu dengan tatapannya yang lekat.Aku yakin Nita pasti sedang merencanakan sesuatu untuk kedua anak-anak yang memang merupaka
“Soal undangan ultah dari anaknya keluarga Pattinama, bagaimana kalau aku datang sama kamu saja?”Aku mulai mengajaknya dengan terang-terangan.Di luar dugaan Mala meresponku dengan sangat sengit.“Ogah ah, nggak, aku nggak mau ...!”Mala dengan sangat lantang menolak.Aku sedikit merasa tersinggung, dia sudah tak menghargaiku sebagai atasannya meski sebenarnya aku merasa sedikit senang karena aku semakin tahu kalau ternyata Mala terlalu enggan untuk berurusan dengan masa lalunya. Pastinya Mala sudah menganggap ayahnya sendiri sebagai masa lalu yang harus dilupakan.“Kamu nolak aku? Aku ini atasan kamu.”Gadis itu tergeragap sesaat, menampakkan ekspresi wajah rikuhnya yang malah terlihat menggemaskan di mataku, membuatku ingin mencubit kedua pipinya yang selalu tampak memerah alami.
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud