Wajah Kenzi terlihat sangat tegang, selepas Ia menutup panggilan."Ada apa?" tanyaku kemudian."Kata Radit, Mama jatuh di kamar mandi," jawab Kenzi"Lalu, kondisinya?""Masih di IGD," jawab Kenzi."Kamu, mau kerumah sakit?" tanyaku kemudian."Ayah dan Om Bram, masih di Hongkong. Aku bingung, aku bilang ada meeting luar kota. Tak mungkin bisa langsung datang," jelas Kenzi."Lalu?""Aku juga, tak ingin meninggalkan dirimu. Entahlah, aku masih bingung." Kenzi terlihat bingung."Pergilah, mereka pasti membutuhkanmu.""Entahlah, Radit sedang mempersiapkan rencana untuk kita, sebelum Ayah dan Om Bram datang. Dalam dua hari ini, kita akan meninggalkan kota ini." Kenzi memberikan penjelasan."Kalau aku pulang, aku akan sulit untuk keluar. Apalagi, kalau Om Bram sampai tau, dia pasti segera bertindak. Aku tak mau sesuatu terjadi padamu," lanjut Kenzi.Aku tak bisa berkata-kata lagi, yang pasti aku tak ingin dipisahkan dengan anakku Siapapun yang memberikan jaminan untuk itu, padanya lah aku
"Nyonya besar sakit?" tanya Bi Nur, sambil meletakkan segelas jus buah naga di meja samping tempat dudukku. Aku sedang melihat taman di belakang rumah, yang nampak bersih dan asri. "Zanna dengarnya begitu, Bi," jawabku kemudian."Bi, kalau Bibi nggak ada di rumah, apa nggak ada yang nyari?" tanyaku penasaran. Pastilah kepergian mereka, Bi Nur dan Pak Rahman menimbulkan pertanyaan."Bibi, pamit pulang kampung ada keluarga sakit, jadi mendadak. Nyonya Besar menyuruh Pak Rahman mengantar, karena masih saudaraan sama Bibi. Sesuai perkiraan Tuan Muda. Jadi ndak ada yang curiga." Bi Nur memberi penjelasan.Berarti benar kata Kenzi, semua ini benar-benar sudah Radit rencanakan dengan matang dan detail. Tapi mengapa dia melakukannya? Bukankan resiko nya terlalu besar untuknya. Apa yang mendasari dia rela berkhianat pada Ayah kenzi.Apalagi, posisinya sekarang sebagai orang kepercayaan Ayah Kenzi, setelah Tuan Bram. Apa benar karena rasa setia kawan atau ada hal lainnya. Ah, kenapa jauh seka
"Non Zanna, tidur saja. Sudah malam." Bi Nur menghampiriku yang duduk di ruang tengah, menatap tv yang tidak aku nyalakan."Nunggu Kenzi, Bi." Aku sedikit mengangkat wajah, menatap ke arahnya."Ini sudah larut, Non. Biar bibi aja yang nunggu Tuan Muda. Non Zanna tidur saja," ucap Bi Nur kemudian."Pak Rahman juga belum kembali ya, Bik?" tanyaku. Bi Nur menggeleng."Bibi punya HP?" tanyaku kemudian."Di Tuan Muda semua, Non. Pesannya, kalau perlu apa-apa, bilang ke Pak Rahman saja. Jadi yang pegang HP hanya dia." Bi Nur menjelaskan pesan yang Kenzi sampaikan.Ini sudah larut sekali, apa Mamanya cukup buruk kondisinya, jadi tak bisa ditinggalkan. Menunggu tanpa tau harus seperti apa dan bagaimana rasanya menyesakkan sekali. Tak tau apa yang sebenarnya sedang terjadi, hanya bisa Menunggu dan menunggu.•••Aku tak tau tidur jam berapa, saat aku bangun, selimut tebal sudah menutupi tubuhku. Di sofa lantai, beralaskan karpet bulu, Bi Nur juga nampak tidur meringkuk. Aku mencoba bangun dan
"Halo Zanna, mereka orang-orangku. Nyonya Besar kondisinya masih sangat buruk. Kenzi tak mungkin pergi, tapi Tuan Bram sudah mulai menyadari kalau kamu tak ada di rumah. Aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara di luar kota. Kenzi akan menyusulmu secepatnya. Tenang saja kamu aman bersama mereka." Radit menjelaskan panjang lebar. Aku cukup seksama mendengarkan setiap kalimat yang keluar darinya."Apa bisa sebentar saja, aku bicara dengan suamiku?" tanyaku pada Radit."Maaf, Zanna. Kenzi di ruangan bersama mamanya, aku kesulitan menemuinya. Percayalah padaku, lusa apapun keadaanya, Kenzi akan menyusulmu." Radit meyakinkanku.Aku mengembalikan ponsel pada pria di depanku, kemudian melangkah masuk. Mereka mengikuti, dan menunggu di ruang tamu. Aku menuju dapur mencari keberadaan Bi Nur, untuk membantuku menyiapkan barang yang akan dibawa."Bi … bantu Zanna bersiap, lepas ini kita akan pergi," ucapku pada Bi Nur yang terlihat sedang merapikan kulkas."Oh, sekarang Non?! Baik Non." Bi N
"Kita harus tenang, tidak boleh panik. Kita pikirkan cara melarikan diri sini." Aku mencoba untuk tidak panik, dan juga memberi pengertian pada Bi Nur, agar tidak terlihat panik juga.Sejenak aku mengatur napas dan hatiku terutama, sambil memikirkan cara untuk melarikan diri dari sini. Pandanganku mengedar dan berhenti di sebuah celah belakang bangunan kantor yang terletak di didepan kamar mandi."Bi, tarik napas dulu. Hembuskan perlahan" Aku mencoba menenangkan Bi Nur. Wanita setengah baya itu mulai mengikuti saranku."Kita sudah pergi cukup lama, sekarang Bibi balik dulu ke mereka, pura-pura ambil baju Zanna. Bilang karena menunggu antrian Zanna ngompol tadi. Biar kita punya cukup waktu, tanpa mereka curiga." Aku menjelaskan kepada Bi Nur, semoga dia mengerti.Sejenak wanita setengah baya itu terdiam, kemudian mengangguk."Iya Non, Bibik Paham. Bismillah …." Bi Nur beranjak dari depanku, aku berjalan ke arah kamar mandi. Jantungku berdebar kencang, badanku panas dingin. Semoga Bi N
Wanita itu mengantarku dan Bi Nur ke kamar kontrakannya, untuk beristirahat. Bersyukur aku kembali dipertemukan dengan orang-orang baik. Aku bisa sholat, mandi dan beristirahat siang ini."Alhamdulillah, Non. Ketemu orang baik." Bi Nur terlihat terharu, matanya nampak berkaca-kaca."Iya, Bi. Alhamdulillah," ucapku sedikit lega."Non, tidur saja. Kasihan si dedek …." Bi Nur tak mampu meneruskan kalimatnya. "Bibik, jangan nangis." Padahal aku sendiri kembali menumpahkan airmataku.Apa yang Tuhan rencanakan untukku, rasa sakit mengiris perih hati ini. Mampukah aku kembali mengumpulkan puing asa yang masih tersisa? Masih adakah secerca harapan yang akan membawa sebuah titik bahagia. Atau harus menyerah?Aku lelah, bukan hanya fisik, hatiku juga. "Mbak, ayok makan. Pasti lapar? Maaf saya tidak masak sayur." Mbah Ratna masuk dengan nampan berisi dua mangkuk bakso yang masih panas."Pakai nasi ya?!" ucapnya lagi sambil meletakkan nampan di lantai. Dia kembali berdiri mengambilkan nasi dan m
"Non …." Terdengar panggilan dari Bi Nur, aku buru-buru menyeka air mataku. Mengeringkannya dengan ujung bajuku"Sarapan dulu, kasian jagoannya ayah pasti lapar." Mas Yudha datang membawa bungkusan di tanganya. Mereka telah memiliki sebutan sendiri, Ayah dan Bunda. Mereka tak mau di panggil Om dan Tante lagi. Ingat hal itu saja mataku kembali memanas, rasa haru menyapaku."Bibik bawakan sayur juga, " ucap Bi Nur mengangkat rantang di tangannya.Aku tersenyum dan bangkit dari duduk, mengikuti Mas Yudha menuju ruang makan. Ruang makan menyatu dengan dapur. Tidak luas, tapi, sangat bersih dan rapi. Mas Yudha meletakkan bungkusan makanan di meja, dan mengambilkan piring serta sendok untuk aku dan Bi Nur.Bi Nur membawa tumis buncis dengan udang. Ada bakwan jagung dan sambel teri. Mas Yudha membelikan nasi campur. Meski perasaanku kacau, aku tetap menjaga asupan makanan untuk anakku. Dia lebih penting dari apapun. Tetap saja berpengaruh. Tapi, aku berusaha semampuku memasukkan makanan-
"Kamu dan Santi tinggal di tempat Abang saja, setelah ini," ucap BaraKami sedang menikmati sore, di sebuah bendungan buatan tak jauh dari rumah Mas Yudha. Sekedar melepas lelah dan penat dalam hati maupun raga ini. Santi dan Yudha sedang asyik memancing. Aku dan bara duduk di saung sebuah warung makan."Iya, Bi Nur juga" jawabku kemudian. Aku mengusap pelan perutku yang terasa sedikit kaku. Bara ikut melihat ke arah perutku."Sakit?" tanyanya. Tangannya ikut mengusap lembut perut buncitku."Tegang, kaku." Aku menjawab seperti yang aku rasakan sekarang."Hay jagoan, mainnya sama papa aja nanti, ya. Jangan sekarang kasian mama."Sedikit canggung atas perlakuan Bara di tempat umum, meski untungnya tak ada yang memperhatikan ulahnya. Tak ada lagi yang coba Ia tahan atau sembunyikan . Begitu apa adanya dia, itu yang coba Ia tunjukkan"Dia akan mendapatkan semua yang terbaik. Cukup kita, orang tuanya saja yang merasakan perihnya. Abang janji akan memberikan yang terbaik untuknya kelak." B
Papa mengenalkanku pada istri dan anaknya. Wanita berhijab itu menyambutku, baik. Meski tetap terasa kaku dan berjarak, atau hanya perasaanku saja. Aku harus belajar banyak dari Ibu, yang bisa mengendalikan perasaan dengan dengan sangat baik.Perasaanku saja, atau memang seperti itu adanya. Aku merasa Papa masih memiliki perasaan ke Ibu, dari cara mereka menatap terlihat berbeda. Ini bukan hal baik, tapi, siapa yang bisa mengatur perasaan.•••"Sayang, aku ingin kita tinggal bertiga. Aku, kamu dan anak kita. Tinggal dirumah impian, tak perlu besar, tapi, nyaman. Aku akan menyiapkan untuk kalian. Sebuah rumah dengan taman kecil, untukku dan Al bermain bola nanti." Aku tersenyum mendengar Kenzi. Dia memelukku dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahuku. "Tapi, apa Oma mengijinkan?" tanyaku kemudian."Aku kepala keluarga, aku yang memiliki tanggung jawab atas kalian, berdua. Kita hanya tinggal terpisah, masih bisa setiap saat bersama. Keluarga kita pasti bisa memahami itu semua." T
Tanganku langsung meraih jemari Ibu. Wanita itu tercekat melihat seseorang di depannya. Wajahnya memerah, matanya basah. Tangannya meremas jariku kuat, aku ikut merasakan apa yang Ibu rasakan. Semua terdiam, dadaku terasa sesak seketika. Apa yang sedang Ibu rasakan sekarang? Ibu segera menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Mengerjapkan mata, mencoba untuk menahannya agar tak kembali keluar. Oma, Tante Fenny, dan pria itu berdiri bersamaan."Zanna, ini … Papa kamu." Oma memanggilku. Aku masih tercekat, terdiam. Aku kembali melihat ke arah Ibu, yang mengarahkan pandangan ke arah lain. Sedikit menaikkan wajah. Ibu sedang mengendalikan hatinya."Mala …." Pria itu memanggil nama Ibu. Berjalan ke arahku dan Ibu."Mas." Suara Ibu terdengar serak. Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu."Zanna, ini Papa Sayang." Aku masih berdiri mematung, entah apa yang aku rasakan sekarang. "Pah …." Aku menoleh ke arah suara. Sosok gadis kecil muncul dari dalam, bersama seorang wanita berhijab. Ibu jug
Meski dalam hatiku, aku tak yakin Bara bisa secepat itu membuka hatinya untuk orang lain. Walau, terlihat baik - baik saja aku yakin ada luka, yang sedang berusaha ditutupinya. Itulah Bara, malaikat tak bersayapku.•••Aku belum menanyakan apa saja yang dibicarakan tadi oleh keluarga Kenzi dan keluargaku. Yang pasti semua terlihat membaik, meski masih terasa kaku dan canggung, tapi, semua nampak baik. Sepertinya banyak hal yang dibicarakan. Mama Kenzi mengajakku menginap di rumah mereka tadi. Hanya saja entah untuk alasan apa, Oma belum mengijinkan. Aku juga merasa belum siap. Akhirnya Kenzi yang akan tinggal sementara di rumah Oma. Dia sedang pulang mengambil pakaian dan barang - barangnya.••"Non, susunya Bibi taruk di meja, ya." Bi Nur datang membawakan segelas susu hangat untukku. "Iya, Bi. Terima kasih," ucapku. Aku masih duduk di sofa mengutak atik ponsel lama dan ponsel baruku. Bayiku sudah terlelap sedari tadi. Ponselku bergetar ada panggilan masuk, dari Bara. Aku buru - b
"Non, ditunggu Oma di ruang baca." Bi Nur masuk, dan memberi tau. Aku baru saja memberikan bayiku ASI dan sekarang dia kembali tidur."Iya, Bik." Aku menjawab sambil mengangguk. Sesaat kemudian aku menidurkan bayiku, menciumnya.dan beringsut turun dari atas ranjang."Zanna titip ya, Bik," ucapku."Iya, Non. Bibi jagain." Bi Nur menjawab.Aku segera beranjak keluar kamar, berjalan sedikit cepat menuju ruang baca Oma. Setelah mendorong pintu, kudapati sudah ada Om Rei dan juga Tante Fenny disana. "Kenzi?" tanya Oma saat aku masuk."Sudah Zanna telepon, Oma. Sebentar lagi sampai." Aku menjawab. Kemudian menyapa Om dan Tante bergantian."Mah, kenapa nggak minta Mas Febian saja, yang tanam modal di perusahaan suami Zanna," ucap Tante Fenny."Em, bener Ma. Perusahaan Mas Febian berkembang cepat dua tahun terakhir, bahkan dia sudah buka cabang hampir di setiap kota loh." Om Rei menambahkan."Semakin banyak yang sadar akan pentingnya makanan sehat. Sayang, kalau di Indonesia kita buat kaya
"Mama?" tanya Kenzi memastikan. Bi Nur mengangguk membenarkan."Terima kasih, Bi," ucapku pada Bi Nur, perempuan setengah baya itu mengangguk. Ada kecemasan terlihat di wajah yang sudah sedikit keriput itu. Dia berbalik badan dan berjalan perlahan.Aku menatap Kenzi lekat, ada kecemasan dan ketakutan dalam hatiku. Mama sangat dekat dengan Carla. Lalu apa pendapatnya tentangku, yang hanya menikah kontrak dengan anaknya.Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin meyakinkan semua akan baik - baik saja."Kita ajak Ken, ketemu Omanya?!" kata Kenzi kemudian."Bukan Ken, panggilannya Al." Aku memberi tahu, bahkan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas saat sekarang. Hanya respon spontanitas saja."Iya, kita ajak Al ketemu Oma dan Tantenya." Kenzi meralat kalimatnya. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ranjang dan mengangkat tubuh mungil itu kemudian."Biar aku yang gendong," pinta Kenzi padaku. Hati-hati aku memberikan pada Kenzi bayi laki - lakin
"Beri aku waktu, kondisi perusahaan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, bila kelaurga Carla bertindak seperti ancaman mereka, perusahaanku belum siap. Bantuan mereka sangat berpengaruh besar pada perusahaan.""Rumit sekali." Aku menarik napas dalam dan menghembuskan sekaligus."Aku akan bicara dengan Carla, hanya aku butuh waktu yang tepat. Dia pasti tak akan tega, bila tau akibat dari di hentikannya kerjasama itu.""Tapi, kita sudah menyakitinya.""Dia, wanita hebat. Dia berhak bahagia, tapi, bukan denganku.""Kaliaan … sudah ….""Aku tak bisa melakukannya, selain denganmu. Aku katakan kalau aku sakit."Ada kelegaan, diantara pikiran rumit yang berkecamuk dalam benakku. "Carla masih belum bisa menerimanya. Dia hanya diam, tak mau berbicara apapun juga. Aku mengerti, ini sulit untuk dia diterima.""Keluargamu?""Semua menentangku, aku bertahan hanya demi perusahaan. Disana banyak bergantung kehidupan orang lain. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Yang pasti, keputusanku sudah bu
Pagi ini, tak secerah biasanya. Hujan gerimis turun sedari Subuh tadi. Hari ini kegiatan berjemur terpaksa ditiadakan. Sehabis mandi dan minum susu bayiku terbangun. Dia enggan kembali tidur, sepertinya dia sedang ingin bermain. Aku mengajaknya bicara, menyanyikan lagu anak -anak yang aku bisa.Tidak banyak perbendaharaan lagu anak - anak dalam benakku, juga dengan lagu lainnya. Aku tidak punya waktu untuk itu dulu. Ah, segera aku tepis jauh, bila bayangan pahit masa laluku datang tiba - tiba. Tak ingin mengingat kembali, karena yang ada hanya rasa sakit."Non, diminta Oma, untuk sarapan." Bi Nur datang, menghampiri ranjangku. Pintu memang tidak aku tutup."Iya, Bi. Zanna titip bayi Zanna, ya?" Aku bangun dari samping bayiku, kemudian turun dari ranjang, selepas menciumnya gemas. Bi Nur mengangguk dan tersenyum menjawabku. Langkahku mengayun pelan keluar dari kamar.Dari kemarin sore, aku juga belum tau bagaimana hasil pembicaraan Kenzi dan keluarga besarnya. Aku memang belum memegan
"Sakit ya?" tanya Kenzi saat aku memegangi kepala yang terasa berdenyut."Nggak apa - apa," jawabku kemudian."Aku minta maaf, pasti karena aku." Kenzi mengusap kepalaku pelan."Jangan biarkan mereka menunggu," ucapku kemudian. Ya Tuhan, semoga segala kepahitan dan kesakitan ini segera berakhir. Semoga kebahagiaan terbit setelah ini. Apapun nanti suratan takdir yang akan aku jalani, aku hanya inginkan yang terbaik untuk semuanya."Teruslah bersamaku." Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Aku mengangguk perlahan dengan mata terpejam. Sebuah kecupan Kenzi berikan pada keningku.Sesaat kemudian kami sama - sama melihat ke arah yang sama. Sosok mungil yang sedang terlelap di atas ranjang. Untuknya lah kami harus berjuang untuk bersatu. Berjuang untuk menghadirkan orang tua yang lengkap baginya.Sejenak mengatur hati, aku dan Kenzi beranjak keluar setelahnya. Bi Nur yang melihatku keluar dari kamar langsung beranjak ke kamarku. Kenzi menggenggam erat tanganku. Kami berjalan bersisia
"Banyak orang menghinanya, dikira dia hamil tanpa suami. Hingga akhirnya dia melahirkan. Hanya Bu Ella yang peduli padanya. Dia lebih muda darimu waktu itu tujuh belas tahun." Kembali Tante Fenny menjeda karena tak kuasa untuk meneruskan kalimatnya."Saya bingung, takut dan tak tau harus bagaimana. Hingga saya memutuskan, memberikan bayi saya pada Bu Ella. Saya benar - benar bingung. Saya tak memiliki siapapun, tak kenal siapapun selain Bu Ella yang membantu saya." Wanita itu berbicara di tengah isak tangisnya. "Akhirnya saya meninggalkan bayi saya." Tangis wanita itu semakin menjadi, begitu juga denganku. "Saya dibawa seseorang yang baru saya kenal untuk bekerja sebagai pembantu. Majikan pria saya orang asing, setelah membuatkan saya identitas baru. Mereka membawa saya, ke Belanda. Di Negara itulah saya hidup selama belasan tahun."Ibu … iya Ibu. Ibu menjeda kalimatnya, sedang aku masih terisak menikmati rasa sakit seperti yang Ibu rasakan."Mereka tidak menganggap saya sebagai p