-Lantai 132, reaktor pendingin V-
Cssshhhh…!
Telinganya masih belum terbiasa dengan bunyi yang keluar dari pipa-pipa besar itu. Sembari berjalan mengikuti rombongan, ia menoleh ke kiri dan kanan, memperhatikan setiap isi ruangan dengan seksama sampai-sampai tidak menyadari kalau rombongan telah berhenti.
Duk!
“Ah, maaf…” ujar Dan pada orang yang ada di depannya. Lelaki berambut agak pirang itu menoleh ke arahnya dan hanya mengangguk tersenyum.
“Baiklah,” ujar satu orang lainnya yang berdiri menghadap rombongan di bagian paling depan. “Hari ini kita sudahi pengenalan bagian-bagian dari sistemnya. Selanjutnya, penutup dari komandan divisi kelima kita, Komandan Hollen. Waktu dan tempat dipersilahkan.”
Tap... tap... tap...
Terlihat sepatu monk strap hitam yang familiar di matanya. Kemudian langkah kaki itu terhenti tepat di depan barisan yang paling tengah. Matanya memperhatikan satu per satu pes
Terimakasih telah membaca chapter <#21 Namanya... (bagian 2)> ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya! (Kritik dan saran sangat diapresiasi)
"Tapi… bagaimana cara membukanya?" tanya Dan yang melihat pintu tanpa gagang lagi. Area sekitar pintu sudah ia periksa, tapi tidak ada tombol apapun yang ia temukan. "Ruangan tertius benar-benar membingungkan... " gumamnya menghela napas. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membatalkan rencana dadakannya itu. Namun, ketika hendak membuka pintu keluar, ia teringat akan suatu hal. Gawat! Aku tidak tahu cara mengembalikan rak bukunya! *** Drap.. drap.. drap…! “Huff… Huff…” “Dan? Lama sekali baru sampai?” tanya Mister Hollen yang sudah duduk di kursi utama ruang makan. Karena butuh waktu setengah jam untuk mengetahui cara menutup rak bukunya! “I-iya, dad. Aku keramas dulu tadi…” jawab Dan yang masih ngos-ngosan. “Ah, ibu!” sahutnya pada sang ibu yang tersenyum ke arahnya. Sudah lama sekali kita tidak makan bertiga bersama! Tapi… “Ibu sedang merasa kurang sehat? Wajah ibu terl
-Blok H7, Primus, Lantai 138- Bruk! "Huff…" Sepertinya ini yang terakhir… pikir Dan setelah meletakkan satu buah dus besar di lantai depan ruangannya. "Apa anda yakin untuk meletakkan barang-barangnya disini, tuan muda?" tanya seorang pria yang bekerja dibawah perintah ayah tirinya. "I, iya." jawab Dan. Ia masih tidak terbiasa dipanggil sebagai tuan muda oleh siapapun selain Tebi. "Baiklah. Tujuh kardus sudah selesai dipindahkan. Sebelum saya undur diri, tuan besar menitipkan kami untuk memberikan ini kepada anda." lanjut pria itu tanpa bergerak sama sekali dari berdirinya. "Eh? Menitipkan ap-" Din din! Sebuah sekuter model terbaru diantar sampai ke depan pintu ruangannya. Dan dan para tetangga yang menyaksikan itu ternga-nga. "Silahkan letakkan kedua telapak tangan anda di sini, tuan." ujar petugas yang mengantar sekuternya. Dan pun mengikuti. "Silahkan genggam masing-masing s
Subjek 3 yang telah dikremasi tanggal 20 itu… Benar-benar adalah ayah ya…. Kedua tangan dan kakinya yang gemetaran. Ia jatuh berlutut membelakangi rak buku yang baru saja tertutup itu. Pikirannya campur aduk. Ia berusaha memastikan kembali kalimat terakhir dalam laporan tersebut yang sempat dibaca olehnya sebelum meninggalkan ruangan. Pukul 06.06 malam, jenazah dikremasi bersama dengan jenazah sang istri sesuai dengan permintaan terakhir Alm. Neva Olana. "A-aahh… akh…" suaranya tercekat. Pandangannya memburam. Matanya berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak, seakan-akan ada sebuah beban yang mengekang di sekelilingnya. Di benaknya, ia menyesal. Mengapa dia tidak memberanikan diri untuk turun menghampiri ayah dan ibunya saat itu? Mengapa dia tidak mengunjungi tempat itu ketika ia memiliki waktu? Mengapa ia bersikap dingin setiap kali bertemu dengan ibunya? Mengapa ia tidak meminta ibunya untuk menceritakan apa yang selama ini dikhawatirkan olehnya? Sebenarnya kenapa ayah bisa ada di sit
-Lantai 30, Kediaman Brown- Kricing… kricing… Bunyi mainan bayi yang digerak-gerakkannya ke kanan dan ke kiri. Melihat tawa dari cucu keduanya tersebut, hatinya menjadi terasa sejuk, seperti ketika berdiri di pesisir pantai dan melihat tenggelamnya matahari di ufuk barat. “Ah… aku berasa lebih muda sepuluh tahun…” gumamnya. 'Nyonya, 86 hari lagi anda akan merayakan ulang tahun anda yang keenam puluh delapan." ujar salah seorang asisten rumah tangganya. "Nima berisik! Mulutmu mau dibisukan ya?" "Eh? Ti, tidak nyonya! Tidak mau!" teriak Nima panik. Ditutupinya rahang buatannya itu dengan telapak tangan yang buatan juga. Ya, Nima adalah seorang AMAH. Dia telah bekerja untuk keluarga Brown, sebagai asisten pribadi Sharon Brown, sejak masih berusia remaja. Namun, sewaktu didiagnosis mengidap kanker paru-paru di usia keempat puluhnya, Sharon langsung membiayainya melakukan operasi menjadi seorang AMAH. "Hahaha! Aku hanya ber
Dari kejauhan, Rosa terus mengikuti manusia hologram itu secara diam-diam. Ia masih tidak percaya kalau yang dilihat dengan kedua matanya itu sejatinya adalah seorang manusia asli. Yaah… tapi mengingat teknologi sekarang, tidak mustahil juga sih…. Ah, dia berjalan lagi! Manusia hologram itu berbelok dan masuk ke sebuah ruangan. Toilet umum, demikian tulisan yang terdapat pada papan di atas pintunya. Dia bisa ke toilet? batin Rosa yang memutuskan untuk menunggu di luar ruangan. Ia membayangkan akan jadi seperti apa hasil ekskresi dari tubuh hologram itu. "Halo?" terdengar suara dari dalam, sepertinya itu suara manusia tersebut. "Aku lagi di lantai 86-, eh maksudku, avatar-ku sedang di lantai 86." lanjut suara itu. Merasa memiliki kesempatan yang bagus, Rosa pun berjalan masuk dan berpura-pura hendak ke toilet juga. Tap… tap… Baru dua langkah memasuki ruangan, kedua pasi mata langsung bertatapan. Eh... dia… Satu detik… Dua detik… Tiga detik… Gawat!!! Rosa langsung berbalik da
-Lantai 146, Kawah Pemurnian- Jgrek! Drrkkk…. Untung saja di jalan ketemu ini tadi… batin Rosa yang mendorong sebuah troli belanjaan yang ia temukan di tempat pembuangan sampah dekat ruangannya. Terbentang selimut bergambar kartun seorang anak kecil perempuan dengan teman beruangnya pada bagian atas troli. Orang-orangpun tidak ada yang curiga kalau isi dari troli itu adalah seorang jenazah yang sudah dikafani. Namun, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, tetap saja baunya akan tercium juga. Pip pip..! Pip pip..! Pip pip..! Alarm berbunyi begitu troli memasuki ruangan. Bersamaan dengan itu, dua orang AMAH yang entah berasal darimana telah muncul di sebelah kanan dan kiri troli. Satu dari mereka merendahkan tubuhnya dan menggerakkan kepalanya dari atas ke bawah, sedangkan satu yang lainnya tetap berdiri dan menggerakkan kepalanya dari kiri ke kanan. Cimottt!!!! teriaknya yang mulai panik dalam hati. “Tenanglah. Itu hanya pemeriksaan biasa.” jawab suara tanpa raga. Walau kamu bilang
Tuk! Drrr… tep! “Haa… hampir saja…” gumam Rosa ketika berhasil menangkap botol kaca yang terjatuh dari atas meja. Di seberangnya, duduk seorang Barrelth yang sudah terlelap. “Hmph, lemah!” ujar Rosa pada lawan minumnya itu. Kemudian, ia beranjak dari duduknya dan berjingkat secara perlahan, menghindari terinjaknya barang-barang yang keras, hingga sampai di ambang pintu sebuah ruangan yang tidak memiliki pintu. “Halo~?” sapanya pada ruangan yang penuh dengan peralatan komputer itu. Sebuah kursi beroda menarik perhatiannya. Brugh! Ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi berbantal tersebut dan mulai berputar. Hmmm… nyaman sekali… Duak! Tak sengaja kaki kirinya menendang pinggiran meja. Rosa buru-buru menghentikan putarannya dan langsung melirik ke arah meja makan. Barrelth yang masih terlelap memutar wajahnya menuju ke arah yang berlawanan. Merasa lega, Rosa pun menghela napas. “Hampir saja jantungku copot…” gumamnya mengelus dada. Eh, aku kan sudah tidak punya jantung lagi… batinya girang
-Lantai 40, pusat restoran- Kenapa ketemu dia lagi…?!!!! batin Visera berteriak dari balik pintu masuk begitu menyadari keberadaan Rosa yang sedang melayani para pengunjung. “Hm..? Kenapa, Sangria?” ujar rekan kerja di sampingnya yang memiliki rambut berwarna hijau fluorescent meskipun dirinya sendiri dipanggil dengan kode nama ‘Fuchsia’. “Tidak… apa-apa. Ayo kita masuk…!” jawab Visera melangkah duluan. Selama berjalan melewati barisan meja depan, ia terus berkomat kamit dalam hatinya. Jangan lihat ke sini…! Jangan lihat ke sini…! Jangan lihat ke sini…! “Fiuh…” ujarnya merasa lega setelah berhasil masuk ke ruang VIP dan duduk di kursinya tanpa gangguan. Dia melirik ke arah luar kaca. “Woah… pertama kali aku melihat seseorang yang memilih untuk mewarnai rambutnya menjadi putih…” gumam rekan kerja yang duduk di samping kirinya. “Dia tidak takut cat-nya luntur apa ya…” tambah Fuchsia yang menengok ke belakang. “Atau pakai wig?” Mendengar itu, Visera teringat akan percakapan merek
Fungus Co. , salah satu dari lima perusahaan terbesar se-nasional yang bergerak di bidang jasa. Didirikan oleh seorang pebisnis misterius yang sampai saat ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Jasa yang mereka tawarkan ini sedikit unik. Meskipun memiliki ribuan pekerja (termasuk AMAH & AMAPOB), tetapi mereka hanya melayani satu jenis layanan, yakni membasmi musuh-musuh kecil yang terus muncul di sepanjang dinding-dinding bunker yang lazim disebut jamur. Memang tersebut terdengar sederhana, bahkan sepele. Namun, mengingat maraknya pertumbuhan jamur di dinding-dinding bunker yang terus menerus muncul semenjak tiga puluh tahun yang lalu membuat mereka selalu mendapatkan permintaan setiap harinya. Entah jam berapa pun itu. Budi, salah satu pekerja di Fungus Co., sedang melaksanakan pekerjaannya. Namun, ruangan tempat ia berada saat itu sangat gelap meskipun waktu menunjukkan jam satu siang. Hanya ada lampu-lampu kecil berwarna merah yang memiliki jarak sejauh empat meter dengan
-Lantai 33, kediaman utama Gray, ruang tidur tamu- Klang! “Aduh, jatuh deh, haha!” Tuan Anomen tertawa canggung sembari membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. “Sepertinya kita harus menambahkan fitur di bagian telapak tangan. Para AMAH masih susah untuk menggenggam benda-benda yang kecil.” ujarnya. “Apa karena aku sudah terlalu tua…?” lanjutnya bergumam. “Toras!” serunya. Robot berang-berang yang berdiri di sampingnya sedari tadi langsung menyala kembali. “Ya, tuan?” “Ambilkan sendok yang baru.” “Baik, tuan.” Kemudian robot itu langsung bergerak meninggalkan ruangan. “Kita tunggu dulu ya…!” ucap Tuan Anomen menoleh ke arah kirinya. Rosa yang sedari tadi menyaksikan monolog yang tidak bisa dipahaminya itu hanya mengangguk pelan. . Beberapa menit kemudian… . Wungg…. Pintu terbuka. “Ini, tuan.” Robot berang-berang itu membuka bagian perutnya dan memperlihatkan sebuah ruang kecil yang menampung sebuah sendok di dalamnya. Tuan Anomen langsung mengambil dan menyendok
-Lantai 130, ruang kelas- Di atas tempat duduknya Visera termenung. Saat itu, waktu terasa sangat amat lambat baginya. Entah sudah berapa kali ia memeriksa jadwal pembelajarannya itu- berharap agar jam istirahat segera datang. Penjelasan yang dilontarkan oleh gurunya pun sama sekali tidak ada yang masuk di otaknya. Tau gitu aku telat-telatin aja tadi… batinnya yang tadi terburu-buru karena bangun kesiangan. Ia menoleh ke sebelah kiri dan kanannya. Pantas saja banyak kursi yang kosong- Eh, ngga sih, cuma delapan… Mana gurunya cuma rekaman lagi…! Canggih apanya! Ini mah namanya pembodohan! batinnya menatap sinis hologram bergerak yang menyerupai seorang wanita dewasa itu. Yaah, wajar sih. Toh biaya pembelajarannya gratis. Mana mungkin mereka menyediakan pengajar yang berpendidikan tinggi. Memutar rekaman materi dari internet yang sudah diubah ke bentuk hologram saja sudah cukup. Memang cara yang jenius, paman Gray. “Demikian pemaparan materi untuk hari ini, selanjutnya kita akan m
TheBarr : Sebelum melewati perbatasan lantai, jangan lupa ganti jaringanmu ke privat. Sangria : roger. | Klang! "Ups.." Untung di atas tempat yang sepi... batin Visera menghela napas. Di dalam terowongan setinggi 60 cm itu ia merangkak. Beberapa barang bawaannya ia rekatkan erat pada tubuhnya. Dengan penuh hati-hati, ia bergerak menuju ke atas sembari sesekali memeriksa peta hasil tiruannya itu. Sepuluh meter lagi.... batinnya mengusap keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. [ Berhasil tersambung ke jaringan Privat. ] Ting! TheBarr : Ikuti saja navigasi ini [ TheBarr mengirimkan berkas ] Ia menekan dokumen itu dan muncul sebuah layar baru yang berisikan peta dari area yang telah, sedang, dan akan dilaluinya tersebut, termasuk tempat yang menjadi tujuan perjalanannya. TheBarr : kalau ada gang yang berkedap-kedip merah, itu tandanya ada orang lain di sana. Orang... Lain? Visera terdiam selama beberapa saat. Oh, para pekerja... (tukang AC seperti Dan) Kemudian ia mela
Jika ada suatu gagasan dikumandangkan ke orang banyak… Menurutmu apa yang akan terjadi setelahnya? | “…kembali ke permukaan, bukanlah sekedar angan-angan belaka lagi…” Semuanya terdiam, membuat Tuan Anomen menjadi sedikit ragu akan pendapat semuanya tentang gagasan darinya itu, terlebih ketika ia menatap ketiga orang yang sama sekali tidak disangka-sangka olehnya sebelumnya untuk datang menghadiri pertemuan itu. Prok… prok…! Tiba-tiba terdengar suara tepukan dari seseorang. Lantas yang lainnya pun ikut bertepuk tangan. “Ide yang sangat luar biasa, Tuan Anomen! Brilliant! Bukan begitu, para hadirin sekalian??” sahut Tuan Gray mengambil alih panggung sementara yang lainnya sibuk berbisik-bisik ke kanan dan kirinya. “…Saya paham, beberapa di antara anda sekalian pasti masih mempertimbangkan apakah hidup di permukaan dapat menjamin kehidupan yang aman dan nyaman seperti dulu ataukah sebaliknya.” Tuan Anomen kembali buka suara. “Tapi bukan berarti keraguan itu harus dijadikan halan
Hari itu, aku menyaksikan semuanya dari dalam ventilasi… . . . Duk… duk… duk… Dengan merangkak, ia terus maju melewati terowongan yang tingginya hanya sebatas 60 cm itu. Mata ambernya terlihat mengkilap setiap kali melewati cahaya menembus penutup ventilasi di bawahnya. Klang! “Ups-!” Tidak sengaja lututnya mengenai bagian besi yang mencembung keluar. Ia langsung terdiam, berusaha mendengar kalau-kalau ada suara lain dari arah ujung depan dan belakangnya. Merasa tidak ada suara apapun, ia pun lanjut merangkak ke depan hingga menemukan satu penutup ventilasi lain yang menjadi tempat tujuannya itu. Duk… Ia merendahkan tubuhnya untuk melihat sisi bagian yang lain dengan jelas. Terlihat sekumpulan beberapa orang dewasa yang sedang berdiri di bawah sebuah panggung. Beberapa dari mereka tengah berbincang dan tertawa. Salah satu suara terdengar familiar di telinganya. ‘Ah, itu papa…’ pikirnya. Begitu menemukan sosok ayahnya yang tengah tersenyum lebar di antara barisan tersenyum, i
-Lantai 44, pintu masuk bagian Barat- Yo, kembali bersama denganku, "(-%&!. Ga kebaca kan? Itu karena namaku… Ra. ha. si. a~ “KyaaAAHahahaHAHA!” tawanya tanpa sadar, membuat pengunjung yang sedang mengantri di kiri, kanan, depan, dan belakangnya menoleh ke arahnya. Ia pun langsung terdiam dan menunduk malu. Huff… Biar kuulang…. Yo! Kembali lagi Bersama denganku, sss… Satu! Ya, Satu! Hari ini H-1 sebelum misi kesekian kami dimulai~! Jadi waktunya untuk apa itu…? ….Ya! Waktunya untuk menghambur-hamburkan uang sebelum menerima gaji yang akan datang! Dan karena aku termasuk senior paling senior di sini, ekhem. Aku jadi diberi wewenang untuk belanja di lantai atas deh! Pip! “Silahkan masuk.” Nah… Kita mulai dari mana ya… Matanya bergerak kesana dan kemari, melirik setiap toko yang berlomba-lomba memasarkan barang dagangannya. Setiap toko setidaknya memiliki satu alat ini yang memiliki fungsi untuk menampilkan produk-produk penjualan mereka dalam bentuk hologram. Baginya, ba
Dor! Suara tembakan itu cukup untuk membuat seluruh pasang mata tertuju ke arah belakangnya. Seorang siswa yang berada di barisan paling belakang berdiri mematung dan menatap balik setiap pasang mata yang tertuju ke arahnya dengan raut wajah yang cemas. Beberapa orang siswa di samping kiri dan kanannya terlihat sedang menahan tawa, dan di depan ketika terpampang sebuah layar hologram yang menunjukkan tampilan seperti… game online… Healah… cuma game toh…. batin Rosa mengelus dadanya, merasa lega karena pemikirannya ternyata hanyalah sebatas pemikiran belaka. Kemudian, ia pun lanjut menuruni kendaraan secara perlahan dan bergabung dengan para siswa siswi yang telah berbaris di depan sebuah pintu besar dan tinggi. “Wuah… megah sekali…” gumamnya secara tidak sadar. “-iya, kediaman daerah Quartus memang berbeda ya!” celetuk siswi di sampingnya, orang yang sama dengan siswi yang duduk di sebelahnya tadi. Rosa hanya membalas “O, oh…”. Quartus… Berarti lantai ini dekat dengan lantai bas
-Lantai 33, kediaman Gray- “Memindai Identity Chip.” Nguunngg… “Memindai sidik jari.” Nguunngg… “Memindai retina.” Nguunngg… “Pemindaian berhasil. Silahkan masuk.” Tap... tap... tap… Suara langkah kaki yang berjalan hingga ke tengah-tengah ruangan. “Lapor, tuan.” ujar seorang pria berjas hitam dengan atribut-atribut yang lengkap. “Hmm.” jawab seorang pria lain yang tak lain dan tak bukan adalah sang tuan yang dimaksud tersebut. Dengan menggenggam segelas minuman yang berwarna kebiru-biruan, ia bersandar di atas sebuah kursi. “Berikut laporan yang barusan telah kami terima dari Mister Osmus…” lanjut bawahannya itu yang kemudian mengeluarkan sebuah layar hologram dan mengantarkan layar tersebut hingga ke hadapan matanya. “…..” ia mengerutkan dahinya. “Sudah berapa kali kubilang, jauhkan sedikit layarmu itu…!” Mendengar perintah itu, bawahannya langsung menggeser layar tersebut menjauhi matanya. “Baik. Mohon maaf, tuan.” Mood-nya sedang buruk… “…..” Sang tuan menatap isi l