[Lantai 138, Internet Café di persimpangan blok H dan J]
“Son! Dua unit!” teriak Visera begitu dirinya memasuki ruangan, membuat Hudson, si petugas internet café itu terkejut. Rosa yang menyusul di belakangnya malah terkejut dengan penampakan sebuah patung seorang perempuan yang berdiri menyambutnya di samping pintu. Sepertinya itu merupakan patung seorang idola. Bila bukan karena papan peringatan [Jangan Disentuh!] di sampingnya, mungkin Rosa sudah akan mengira kalau patung tersebut adalah manusia betulan.
“Satu untuk dua jam, satu lagi untuk empat lima menit.” lanjut Visera pada Hudson yang sedang memeriksa layar komputernya.
“….ada nomor 3… dan 7... Hei nona yang disana! Bisa lihat papan jangan disentuhnya tidak?!” teriaknya pada Rosa yang langsung menyembunyikan tangannya.
“Ehehe…”
“………”
“….Tidak ada yang bersebelahan?” Visera melanjutkan percakapan.
“…ck. Tujuh sembilan, delapan puluh…!”
“Ya.” balas Visera si
Terimakasih telah membaca chapter <#14 BUCA> ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya! (Kritik dan saran sangat diapresiasi)
[Lantai 138, Internet Café unit 78 & 79] “……..” “……..” Sambil mempertahankan senyum bisnisnya, Rosa bergeming dan terus menatap sebuah mata dengan iris berwarna biru itu. Demikian juga dengan lawannya. Ia menatap sepasang mata dengan iris berwarna cokelat tawny. “……..” “……..” “……..Haah…” Orang itu menghela napasnya. “Tidak ada, nona. Lagipula kita tidak saling mengenal. Bagaimana mungkin aku langsung percaya pada seorang yang asing kalau dia itu bukanlah seorang penipu dan hanyalah seorang yang sedang mencari kerja?” lanjutnya. “Tapi aku bukan-“ Ding dong~ Bunyi yang berasal dari komputer unit ke-78. “Waktuku sudah habis, aku harus segera pergi!” ujarnya sembari mengenakan ranselnya. Kemudian ia menekan sebuah tombol, kemudian berdiri dari duduknya, membuka pintu biliknya tersebut, lalu berbalik dan berkata, “Semoga beruntung…!” Blam! “….Yaa~sudah-“ Ding
-Lantai 75, Brown’s Manipedi- Klining… “Terimakasih telah menggunakan jasa kami!” teriak Hazel pada pengunjung terakhir yang baru saja pergi meninggalkan ruangan. Fiuh… akhirnya selesai jug-?! “Terimakasih atas kerja kerasnya, senior!” sahut Visera yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. “O-oh, Visera… Haha. Terimakasih atas kerja kerasmu juga…!” balas Hazel menatap wajah yang tersenyum ceria itu. Kayaknya ini kedua kalinya dia tersenyum sebahagia ini... batin Hazel yang juga ikut tertular untuk tersenyum. "Sudah, sana pulang! Nanti keluargamu nyariin lho!" lanjutnya. "...iya, terimakasih kak, saya pulang dulu...!" balas Visera membuka pintu, lalu berjalan meninggalkan ruangan. Perasaanku saja atau ekspresinya sempat berubah tadi...? . . . -Lantai 75, ATM Center- Ding! [Permintaan diterima.] Ding! [Silahkan dekatkan Identity Ch
Ada sesuatu yang menggangguku belakangan ini... | -lantai 72, arena penyelaman- "Hmm? Kenapa Vis?" tanya Dan terheran-heran. Sedari awal mereka sampai tadi, Visera terus menerus celingukan ke sana kemari seakan-akan waspada akan keberadaan dari seseorang. Saat itu keduanya sedang berdiri di atas sebuah ekskalator landai yang bergerak naik dan mengantar mereka ke tempat loket sekaligus pusat informasi dari lantai tersebut. Terdapat dinding kaca di sebelah kanan mereka, dan dibagian dalam dinding kaca itu berisi penuh dengan air yang tingginya mungkin tujuh per delapan dari tinggi lantai itu. Tidak hanya itu, beberapa penyelam juga bisa dilihat sedang berenang bersama dengan keluarga, teman, ataupun pasangannya masing-masing. Bahkan ada satu atau dua penyelam anak-anak. “!!” seorang anak melihat ke arahnya dan melambaikan tangan sambil tersenyum. Visera pun balas melambaikan tangan. “Tidak, tidak ada apa-apa…” jawab Visera yang kemudian memutar kembali lehernya ke arah depan. Semenj
Cklak! “Selamat datang. Beliau sudah menunggu anda.” sambut seorang perempuan yang juga mengenakan pakaian selam. Dan dan Visera pun mengikuti arahan perempuan itu untuk berenang masuk. Begitu masuk, pintu langsung tertutup rapat. Dan dalam sekejap, air yang berada di dalam ruangan habis tidak bersisa. Tes… tes… tes… Tentu saja pakaian selam mereka masih basah. “Ekhem-! Anda memiliki dua pilihan.” ucap perempuan itu menunjukkan kedua jarinya. “Pertama, melanjutkan dengan pakaian selam anda yang basah ini. Kedua, pergi ke dua ruangan yang ada di sebelah sana untuk mengganti pakaian anda terlebih dahulu sebelum bertemu dengan beliau.” lanjutnya menunjuk dua pintu berwarna biru dan merah muda. “…..” “…..” “….bukankah seharusnya anda menanyakan pada saya terlebih dahulu, apakah barangnya sampai dengan selamat atau tidak?” tanya Visera memecah keheningan. “…? Ah! Ma-maafkan saya!” wajah yang tenang itu lang
(Semua yang ada di dalam cerita ini tidak ada hubungannya dengan dunia nyata, alias fiksi.) ~ ~ ~ Lima belas hari setelah kejadian di Secundus F6, lima belas menit sebelum jadwal pemeriksaan siang Lizo dilaksanakan, telepon yang ada di ruangan dokter berdering. Bersamaan dengan itu, menyala sebuah lampu tanda terjadi situasi emergensi di ruangan tempat Lizo dirawat. Menyaksikan itu, bulu kuduk Megan langsung berdiri. “Megan, siap-siap...” ujar seniornya tenang. Pip! Ia menekan satu tombol untuk tersambung dengan telepon tersebut. “Ada ap-“ “Dokter, gawat! Tiba-tiba pasien mengalami pendarahan dari panca inderanya!” teriak seorang perawat dengan kencang sampai-sampai Megan bisa mendengarnya. Sang dokter pun langsung berdiri dan bergegas menuju ruangan pasien. Megan ikut menyusul di belakangnya. “Cepat panggil tim tujuh!” “Baik, dokter!” Pip.. pip.. pip…!
Aku masih mengingat dengan jelas ingatan pertamaku. Saat itu, tubuhku terasa sangat amat ringan, seperti sedang melayang. Ketika membuka mata, pandanganku perlahan-lahan menjadi jernih seiring dengan suara-suara yang semakin terdengar jelas di telingaku. Saat mataku kubuka sepenuhnya, barulah aku menyadari kalau ada dinding-dinding kaca yang mengelilingiku. Dari balik dinding cekung yang transparan itu, aku melihat empat orang dewasa sedang menatap ke arahku. Dua di antaranya mengenakan pakaian yang seragam, sedangkan dua yang lainnya tidak. "Dia membuka matanya!" ujar seorang lain yang mengenakan pakaian berwarna cerah. Beliau lah orang yang selanjutnya aku sebut sebagai ibu, sementara seorang yang lain kusebut sebagai ayah. Berdiri tepat di samping ibu, beliau hanya menunjukkan senyum hangatnya. Kemudian, aku merasa sangat lelah. Aku pun kembali tertidur. . . . "I..bu, i, bu." "..bu! bu..!" teriak Da
-Lantai 132, reaktor pendingin V- Cssshhhh…! Telinganya masih belum terbiasa dengan bunyi yang keluar dari pipa-pipa besar itu. Sembari berjalan mengikuti rombongan, ia menoleh ke kiri dan kanan, memperhatikan setiap isi ruangan dengan seksama sampai-sampai tidak menyadari kalau rombongan telah berhenti. Duk! “Ah, maaf…” ujar Dan pada orang yang ada di depannya. Lelaki berambut agak pirang itu menoleh ke arahnya dan hanya mengangguk tersenyum. “Baiklah,” ujar satu orang lainnya yang berdiri menghadap rombongan di bagian paling depan. “Hari ini kita sudahi pengenalan bagian-bagian dari sistemnya. Selanjutnya, penutup dari komandan divisi kelima kita, Komandan Hollen. Waktu dan tempat dipersilahkan.” Tap... tap... tap... Terlihat sepatu monk strap hitam yang familiar di matanya. Kemudian langkah kaki itu terhenti tepat di depan barisan yang paling tengah. Matanya memperhatikan satu per satu pes
"Tapi… bagaimana cara membukanya?" tanya Dan yang melihat pintu tanpa gagang lagi. Area sekitar pintu sudah ia periksa, tapi tidak ada tombol apapun yang ia temukan. "Ruangan tertius benar-benar membingungkan... " gumamnya menghela napas. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membatalkan rencana dadakannya itu. Namun, ketika hendak membuka pintu keluar, ia teringat akan suatu hal. Gawat! Aku tidak tahu cara mengembalikan rak bukunya! *** Drap.. drap.. drap…! “Huff… Huff…” “Dan? Lama sekali baru sampai?” tanya Mister Hollen yang sudah duduk di kursi utama ruang makan. Karena butuh waktu setengah jam untuk mengetahui cara menutup rak bukunya! “I-iya, dad. Aku keramas dulu tadi…” jawab Dan yang masih ngos-ngosan. “Ah, ibu!” sahutnya pada sang ibu yang tersenyum ke arahnya. Sudah lama sekali kita tidak makan bertiga bersama! Tapi… “Ibu sedang merasa kurang sehat? Wajah ibu terl
Fungus Co. , salah satu dari lima perusahaan terbesar se-nasional yang bergerak di bidang jasa. Didirikan oleh seorang pebisnis misterius yang sampai saat ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Jasa yang mereka tawarkan ini sedikit unik. Meskipun memiliki ribuan pekerja (termasuk AMAH & AMAPOB), tetapi mereka hanya melayani satu jenis layanan, yakni membasmi musuh-musuh kecil yang terus muncul di sepanjang dinding-dinding bunker yang lazim disebut jamur. Memang tersebut terdengar sederhana, bahkan sepele. Namun, mengingat maraknya pertumbuhan jamur di dinding-dinding bunker yang terus menerus muncul semenjak tiga puluh tahun yang lalu membuat mereka selalu mendapatkan permintaan setiap harinya. Entah jam berapa pun itu. Budi, salah satu pekerja di Fungus Co., sedang melaksanakan pekerjaannya. Namun, ruangan tempat ia berada saat itu sangat gelap meskipun waktu menunjukkan jam satu siang. Hanya ada lampu-lampu kecil berwarna merah yang memiliki jarak sejauh empat meter dengan
-Lantai 33, kediaman utama Gray, ruang tidur tamu- Klang! “Aduh, jatuh deh, haha!” Tuan Anomen tertawa canggung sembari membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. “Sepertinya kita harus menambahkan fitur di bagian telapak tangan. Para AMAH masih susah untuk menggenggam benda-benda yang kecil.” ujarnya. “Apa karena aku sudah terlalu tua…?” lanjutnya bergumam. “Toras!” serunya. Robot berang-berang yang berdiri di sampingnya sedari tadi langsung menyala kembali. “Ya, tuan?” “Ambilkan sendok yang baru.” “Baik, tuan.” Kemudian robot itu langsung bergerak meninggalkan ruangan. “Kita tunggu dulu ya…!” ucap Tuan Anomen menoleh ke arah kirinya. Rosa yang sedari tadi menyaksikan monolog yang tidak bisa dipahaminya itu hanya mengangguk pelan. . Beberapa menit kemudian… . Wungg…. Pintu terbuka. “Ini, tuan.” Robot berang-berang itu membuka bagian perutnya dan memperlihatkan sebuah ruang kecil yang menampung sebuah sendok di dalamnya. Tuan Anomen langsung mengambil dan menyendok
-Lantai 130, ruang kelas- Di atas tempat duduknya Visera termenung. Saat itu, waktu terasa sangat amat lambat baginya. Entah sudah berapa kali ia memeriksa jadwal pembelajarannya itu- berharap agar jam istirahat segera datang. Penjelasan yang dilontarkan oleh gurunya pun sama sekali tidak ada yang masuk di otaknya. Tau gitu aku telat-telatin aja tadi… batinnya yang tadi terburu-buru karena bangun kesiangan. Ia menoleh ke sebelah kiri dan kanannya. Pantas saja banyak kursi yang kosong- Eh, ngga sih, cuma delapan… Mana gurunya cuma rekaman lagi…! Canggih apanya! Ini mah namanya pembodohan! batinnya menatap sinis hologram bergerak yang menyerupai seorang wanita dewasa itu. Yaah, wajar sih. Toh biaya pembelajarannya gratis. Mana mungkin mereka menyediakan pengajar yang berpendidikan tinggi. Memutar rekaman materi dari internet yang sudah diubah ke bentuk hologram saja sudah cukup. Memang cara yang jenius, paman Gray. “Demikian pemaparan materi untuk hari ini, selanjutnya kita akan m
TheBarr : Sebelum melewati perbatasan lantai, jangan lupa ganti jaringanmu ke privat. Sangria : roger. | Klang! "Ups.." Untung di atas tempat yang sepi... batin Visera menghela napas. Di dalam terowongan setinggi 60 cm itu ia merangkak. Beberapa barang bawaannya ia rekatkan erat pada tubuhnya. Dengan penuh hati-hati, ia bergerak menuju ke atas sembari sesekali memeriksa peta hasil tiruannya itu. Sepuluh meter lagi.... batinnya mengusap keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. [ Berhasil tersambung ke jaringan Privat. ] Ting! TheBarr : Ikuti saja navigasi ini [ TheBarr mengirimkan berkas ] Ia menekan dokumen itu dan muncul sebuah layar baru yang berisikan peta dari area yang telah, sedang, dan akan dilaluinya tersebut, termasuk tempat yang menjadi tujuan perjalanannya. TheBarr : kalau ada gang yang berkedap-kedip merah, itu tandanya ada orang lain di sana. Orang... Lain? Visera terdiam selama beberapa saat. Oh, para pekerja... (tukang AC seperti Dan) Kemudian ia mela
Jika ada suatu gagasan dikumandangkan ke orang banyak… Menurutmu apa yang akan terjadi setelahnya? | “…kembali ke permukaan, bukanlah sekedar angan-angan belaka lagi…” Semuanya terdiam, membuat Tuan Anomen menjadi sedikit ragu akan pendapat semuanya tentang gagasan darinya itu, terlebih ketika ia menatap ketiga orang yang sama sekali tidak disangka-sangka olehnya sebelumnya untuk datang menghadiri pertemuan itu. Prok… prok…! Tiba-tiba terdengar suara tepukan dari seseorang. Lantas yang lainnya pun ikut bertepuk tangan. “Ide yang sangat luar biasa, Tuan Anomen! Brilliant! Bukan begitu, para hadirin sekalian??” sahut Tuan Gray mengambil alih panggung sementara yang lainnya sibuk berbisik-bisik ke kanan dan kirinya. “…Saya paham, beberapa di antara anda sekalian pasti masih mempertimbangkan apakah hidup di permukaan dapat menjamin kehidupan yang aman dan nyaman seperti dulu ataukah sebaliknya.” Tuan Anomen kembali buka suara. “Tapi bukan berarti keraguan itu harus dijadikan halan
Hari itu, aku menyaksikan semuanya dari dalam ventilasi… . . . Duk… duk… duk… Dengan merangkak, ia terus maju melewati terowongan yang tingginya hanya sebatas 60 cm itu. Mata ambernya terlihat mengkilap setiap kali melewati cahaya menembus penutup ventilasi di bawahnya. Klang! “Ups-!” Tidak sengaja lututnya mengenai bagian besi yang mencembung keluar. Ia langsung terdiam, berusaha mendengar kalau-kalau ada suara lain dari arah ujung depan dan belakangnya. Merasa tidak ada suara apapun, ia pun lanjut merangkak ke depan hingga menemukan satu penutup ventilasi lain yang menjadi tempat tujuannya itu. Duk… Ia merendahkan tubuhnya untuk melihat sisi bagian yang lain dengan jelas. Terlihat sekumpulan beberapa orang dewasa yang sedang berdiri di bawah sebuah panggung. Beberapa dari mereka tengah berbincang dan tertawa. Salah satu suara terdengar familiar di telinganya. ‘Ah, itu papa…’ pikirnya. Begitu menemukan sosok ayahnya yang tengah tersenyum lebar di antara barisan tersenyum, i
-Lantai 44, pintu masuk bagian Barat- Yo, kembali bersama denganku, "(-%&!. Ga kebaca kan? Itu karena namaku… Ra. ha. si. a~ “KyaaAAHahahaHAHA!” tawanya tanpa sadar, membuat pengunjung yang sedang mengantri di kiri, kanan, depan, dan belakangnya menoleh ke arahnya. Ia pun langsung terdiam dan menunduk malu. Huff… Biar kuulang…. Yo! Kembali lagi Bersama denganku, sss… Satu! Ya, Satu! Hari ini H-1 sebelum misi kesekian kami dimulai~! Jadi waktunya untuk apa itu…? ….Ya! Waktunya untuk menghambur-hamburkan uang sebelum menerima gaji yang akan datang! Dan karena aku termasuk senior paling senior di sini, ekhem. Aku jadi diberi wewenang untuk belanja di lantai atas deh! Pip! “Silahkan masuk.” Nah… Kita mulai dari mana ya… Matanya bergerak kesana dan kemari, melirik setiap toko yang berlomba-lomba memasarkan barang dagangannya. Setiap toko setidaknya memiliki satu alat ini yang memiliki fungsi untuk menampilkan produk-produk penjualan mereka dalam bentuk hologram. Baginya, ba
Dor! Suara tembakan itu cukup untuk membuat seluruh pasang mata tertuju ke arah belakangnya. Seorang siswa yang berada di barisan paling belakang berdiri mematung dan menatap balik setiap pasang mata yang tertuju ke arahnya dengan raut wajah yang cemas. Beberapa orang siswa di samping kiri dan kanannya terlihat sedang menahan tawa, dan di depan ketika terpampang sebuah layar hologram yang menunjukkan tampilan seperti… game online… Healah… cuma game toh…. batin Rosa mengelus dadanya, merasa lega karena pemikirannya ternyata hanyalah sebatas pemikiran belaka. Kemudian, ia pun lanjut menuruni kendaraan secara perlahan dan bergabung dengan para siswa siswi yang telah berbaris di depan sebuah pintu besar dan tinggi. “Wuah… megah sekali…” gumamnya secara tidak sadar. “-iya, kediaman daerah Quartus memang berbeda ya!” celetuk siswi di sampingnya, orang yang sama dengan siswi yang duduk di sebelahnya tadi. Rosa hanya membalas “O, oh…”. Quartus… Berarti lantai ini dekat dengan lantai bas
-Lantai 33, kediaman Gray- “Memindai Identity Chip.” Nguunngg… “Memindai sidik jari.” Nguunngg… “Memindai retina.” Nguunngg… “Pemindaian berhasil. Silahkan masuk.” Tap... tap... tap… Suara langkah kaki yang berjalan hingga ke tengah-tengah ruangan. “Lapor, tuan.” ujar seorang pria berjas hitam dengan atribut-atribut yang lengkap. “Hmm.” jawab seorang pria lain yang tak lain dan tak bukan adalah sang tuan yang dimaksud tersebut. Dengan menggenggam segelas minuman yang berwarna kebiru-biruan, ia bersandar di atas sebuah kursi. “Berikut laporan yang barusan telah kami terima dari Mister Osmus…” lanjut bawahannya itu yang kemudian mengeluarkan sebuah layar hologram dan mengantarkan layar tersebut hingga ke hadapan matanya. “…..” ia mengerutkan dahinya. “Sudah berapa kali kubilang, jauhkan sedikit layarmu itu…!” Mendengar perintah itu, bawahannya langsung menggeser layar tersebut menjauhi matanya. “Baik. Mohon maaf, tuan.” Mood-nya sedang buruk… “…..” Sang tuan menatap isi l