Di Kursi kecil sisi barat menara sihir, Azura termenung dan tenggelam dalam lamunannya.“Pada misi kali ini, saya memintamu untuk tidak membicarakannya kepada siapapun, termasuk Pangeran Elenio. Saya tau, kau dengannya begitu dekat. Akan tetapi, demi kelancaran misi, saya ingin hanya kau saja yang tahu.”Pikirannya memutar kembali kalimat yang telah dikatakan oleh La Gramarye.“Misi ya…,” lirih Azura.“Selamat siang, Nona Azura,” sapa Elizabeth yang seketika berada di depannya.“Siang, ada apa Elizabeth?” tanya Azura penuh keheranan.“Saya ke sini atas perintah Guru La Gramarye.”“Oh…. Ada apa?” tanya Azura kembali.“Guru berpesan bahwa kau harus segera bergegas ke Desa Hongsmede,” jawab Elizabeth.Azura menganggukkan kepalanya perlahan. “Baik, terima kasih sudah mengingatkanku.”Elizabeth pun tersenyum tipis seraya menundukkan kepalanya. “Jika kau butuh sesuatu bicarakan saja kepada saya.”“Iya Elizabeth, kau tidak perlu khawatir.”Elizabeth hanya menganggukkan kepalanya.“Yosh! Aku
“Elemenzeus sun light run.” Ucap Azura di dalam hati sambil melesat jauh menadah bocah laki-laki yang terlempar. Wush! Srak! “Ah syukurlah, aku berhasil menyelamatkanmu,” ujar Azura. “Te-terima kasih, Kakak,” sahut bocah itu. “Dasar perempuan pengganggu!” Suara berat yang menyeramkan berteriak penuh emosi. Azura meletakkan bocah laki-laki itu ke tepi jalan. “Kau tunggulah di sini! Ah tidak, kalau bisa kau bersembunyi ya!” “Ta-tapi Kakak bagaimana?” tanya bocah laki-laki itu. Azura tersenyum tipis, lalu menjawab. “Tidak perlu khawatir, semua akan baik-baik saja.” Azura pun melangkahkan kakinya meninggalkan bocah itu. Akan tetapi, sang bocah malah menarik tangan Azura dengan gemetar. “Hah.” Azura menghela napasnya sejenak. ‘Aku harus cepat!’ kata Azura di dalam hati. Azura mengerutkan dahinya, lalu menatap iblis bertanduk itu dari jarak yang tidak terlalu jauh. “Hei, Dek. Lepas ya. Semua akan baik-baik saja. Tapi, jika kau ketakutan, kau bisa menutup matamu.” Jelas Azura semb
“Sakit sekali….” Lirih Azura seraya membuka matanya dengan perlahan.Cahaya lampu kekuningan menyapanya untuk pertama kali.‘Ini di mana?’ Batin Azura bertanya-tanya saat ia menyadari bahwa tempatnya kini sangat asing.Prak. Prak.Langkah kaki terdengar dari kejauhan.“Itu bukan orang jahat, kan?” Pandangan Azura menatap pintu dengan tajam.Klerek.Pintu sederhana yang terbuat dari bambu itu pun terbuka.“Kau sudah sadar? Syukurlah.” Ungkapan bahagia terdengar indah dari pria berkaos oblong hitam.“Ka-kau..,” lirih Azura. Seketika hatinya terhempas dengan lega. Tempat yang ia singgahi sekarang adalah bilik yang terjamin keamanannya.Pria itu tersenyum lebar sambil berjalan mendekati Azura. “Kau tidak perlu memaksakan diri, istirahat saja dulu.”“Apa yang terjadi?” Azura tanpa basa-basi langsung menanyakan kronologi setelah ia pingsan.“Aku menemukanmu di perbatasan ibu kota. Jujur saja, aku tidak menyangka jika akan bertemu denganmu saat itu,” jawabnya.“Tapi Pangeran…, apa yang kau l
“Hah.” Azura menghela napas panjang.“Oke, kondisimu sudah membaik,” sahut tabib perempuan itu.“Terima kasih telah memeriksaku,” kata Azura.Vanya sang tabib perempuan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak perlu berterima kasih, sudah tugas saya untuk memantau kesembuhan, Nona.”Azura tersenyum tipis.“Ini ada ramuan herbal yang bisa menjaga imunitasmu.” Ujar Vanya sambil memberikan sebotol kecil kepada Azura.“Kau buat sendiri?” Tanya Azura sembari menerima botol itu.“Tentu saja. Apa kau pikir aku tidak cukup pandai untuk meracik obat-obatan?”“A-a-ah maafkan aku. Aku tidak bermaksud meragukanmu,” jawab Azura dengan canggung.‘Duh Azura, kau mengapa bodoh sekali sih,’ decak Azura di dalam hati.“Tidak apa-apa, aku tidak tersinggung kok. Yah, aku memang suka sekali berpenampilan apa adanya, makanya banyak orang yang memandangku sebelah mata.” Tutur Vanya sambil duduk di kursi kayu.“Mengapa kau tidak tersinggung?” tanya Azura.“Yah untuk apa tersinggung? Mereka hanya dapat me
“Apa kau sudah mau pergi?” Tanya Pangeran Elzenath sambil menghalang langkah Azura.“Iya,” jawab Azura dengan senyuman yang tenang.“Jujur saja, sebenarnya akua gak khawatir membiarkanmu berangkat sendiri,” ujar Pangeran Elzenath.“Hm, seperti Pangeran terlalu meremehkanku,” sahut Azura.“A-ah tentu saja tidak. Bukan itu maksudku.”“Hah.” Azura menghela napasnya sejenak. Lalu ia berjalan menghampiri Pangeran Elzenath.Puk! Puk!Tepukan hangat Azura layangkan ke pundak Pangeran Mahkota.“Kau tidak perlu khawatir Pangeran. Aku tidak selemah yang kau pikir!” tutur Azura.Pangeran Elzenath lantas tersenyum tipis. “Baiklah, tapi kau harus ingat dengan janji yang aku bicarakan kemarin.”“Hm, tentu saja. Aku bukan seorang pengkhianat.”“Ha ha ha, kau ini bisa saja menghibur seseorang.”Azura memasang jubah kepalanya, lalu ia menatap Pangeran Elzenath dengan tegas. “Aku izin pamit, Pangeran.”“Ya, berhati-hatilah di jalan!”Azura pun melangkahkan kakinya meninggalkan perkemahan Pangeran Elzen
"Nona, ah tunggu, tadi siapa namamu?" "Azura.""Ah itu! Iya ya, Azura. Apa makanan kesukaanmu?" Laurel terlihat sangat antusias berjalan bersama Azura."Makanan? Hm, tidak ada.""Hah? Apa?! Tidak ada?" Laurel membulatkan kedua bola matanya dengan sempurna seakan hendak keluar dari pelupuknya."Iya, tidak ada," sahut Azura."Baru kali ini aku bertemu dengan manusia yang tidak memiliki makanan kesukaan loh.""Oh ya? Segitu langkanya?""Iya! Kau sangat langka! Aku sudah sering bertemu dengan manusia bahkan selain manusia juga aku sering bertemu, lalu mereka semuanya memiliki makanan kesukaan. Yah meskipun semuanya beda-beda jenis makanannya sih," jelas Laurel."Begitukah?" heran Azura."Kalau boleh tahu, mengapa kau tidak memiliki makanan kesukaan?" "Karena bagiku semua makanan sama saja.""Oh ya? Tidak pernah kau berpikir seperti, 'Hm makanan ini sungguh enak, lidahku bagaikan meleleh penuh kenikmatan' begitu tidak pernah?" Laurel terus mengulik alasan Azura tidak memiliki makanan kes
"Pilihlah satu atau dua senjata yang kau inginkan!" Seru Laurel saat ia dan Azura sampai di sebuah ruang persenjataan.'Hebat, apakah dia sendiri yang membuat ini?' tanya Azura di dalam hati."Pilih pilih dulu sajalah, sesuai tipe yang kau inginkan," ujar Laurel.Azura melihat-lihat beragam senjata yang terpampang di ruangan tersebut. "Laurel," panggil Azura."Ya siap," sahut Laurel."Apakah semua senjata ini kau yang buat sendiri?""Apa kau pikir orang yang lembut sepertiku mampu membuat senjata yang tajam itu?" tanya balik Laurel.Azura terdiam sejenak."Hm aku paham. Pasti bukan kau yang buat sendiri." Ucap Azura sambil menganggukkan kepalanya."Ha ha ha." Laurel tiba-tiba tertawa keras.Azura dengan penuh tanda tanya menatap Laurel dengan tajam. 'Apa maksudnya?'"Kau terkecoh dengan jawabanku ha ha ha.""Maksudmu?" Azura menaikkan kedua alisnya.Laurel berjalan mendekati Azura. "Nona, ada suatu hal yang perlu kau pelajari. Jangan lihat seseorang hanya dari luarnya saja."Azura se
Azura termenung sambil bersila di bawah pohon rimbun."Hoam." Sesekali ia menguap dan hampir saja tertidur di rerumputan.'Melakukan apalagi ya? Aku jadi bingung sendiri,' kata Azura di dalam hati.Di saat Azura sedang bingung ingin melakukan kegiatan, tiba-tiba ia mengendus bau busuk yang terkadang merebak terbaw angin."Hum, uhuk. Bau apa ini?" tanya Azura kepada dirinya sendiri.Azura yang memang tidak memiliki agenda, berusaha mengendus aroma tak sedap itu beberapa kali, guna menemukan penyebabnya."Hum, hum. Ini bener bau, tapi dari mana?" Azura bertolak pinggang dan terus berpikir mengenai asal usul bau tak sedap itu.Syuu.Tiba-tiba angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya. Aroma itu pun semakin tercium dan berhasil menusuk hidung mungil Azura."Uhuk, uhuk. Ini benar-benar bau!" "Haaaa! Haaa! Aku lapar!" Di tengah keluh kesah Azura yang merasakan bau menyengat, tiba-tiba datanglah seorang iblis dengan ekspresi yang menggebu-gebu."Lapar! Aku lapar!"Azura yang terkaget m
"Sudah lama ya kita tidak duduk berdua seperti ini," ucap Azura."Yah kau saja yang terlalu sibuk." Sahut Elenio, lengkap dengan senyum sinisnya."Aku ada tugas misi, mau bagaimana lagi.""Tapi kau hebat, Azura," puji Elenio.Azura lantas menoleh dan menatap Elenio. "Hebat kenapa? Kau bicara apa, Elen?""Iya, kau sangat hebat tau!" Tutur Elenio sambil menganggukkan kepalanya."Mana ada," gumam Azura."Kau hebat, Azura. Aku mohon kau jangan menyangkal itu.""Sekarang, coba jelaskan, aku hebat karena apa?""Banyak hal yang kau lalui. Kau juga hebat bisa mengalahkan banyak iblis," jawab Elenio."Hah." Azura menghela napasnya sejenak.Syuuu.Pepohonan bergoyang diterpa semilir angin."Aku berkali-kali hampir mati. Perutku saja sampai bolong," ucap Azura."Bo-b-b-bolong?!" Elenio terkaget setelah mendengar perkataan Azura.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya bolong, perlu aku tunjukkan?""Mana? Aku mau lihat!""Tidak boleh!" larang Azura."Cih, tadi kau menawarkan.""Aku perem
"Memangnya kenapa aku tidak boleh ikut dalam misi itu?" Tanya Azura sambil menatap Pangeran Elzenath dengan tajam."Hola, semua!" Sapa Laurel dari kejauhan yang berhasil memecah suasana."Cih," desis Pangeran Elzenath."Kalian sedang bicara apa? Sepertinya asik sekali?" Tanya Laurel sambil merangkul pundak Pangeran Elzenath."Kau ini, datang di saat yang tidak tepat!" Decak Pangeran Elzenath sambil mengepalkan kedua tangannya."Loh, emang iya?""Pake nanya lagi!" bentak Pangeran Elzenath."Hue he he, maaf ya. Aku tidak tahu." Sahut Laurel sambil tertawa kecil."Kenapa kalian bekerja sama untuk mencegahku menjalankan misi dari Guru La Gramarye?" tanya Azura dengan tegas."Ho ho ho, misi apa? Memang si Kakek tua itu memberikanmu misi apa sih? Aku saja ti-.""Diam!" potong Azura.Laurel langsung terdiam."Aku tidak ingin basa-basi. Aku butuh kepastian! Mengapa kalian bekerja sama mencegahku menjalankan misi itu? Apa kalian memandangku dengan lemah? Apa menurut kalian, aku tidak mampu men
Azura berjalan menyusuri lorong menara sihir yang cukup gelap.'Aku seperti berjalan di film horor,' decak Azura di dalam hati.Syuu. Cletak.Hembusan angin yang kencang, berhasil membuka paksa jendela usang di sisi lorong."Tanpa permisi." Gumam Azura sambil melihat jauh ke luar jendela.Prak. Prak.Langkah kaki perlahan mendekati Azura."Elizabeth, apa kabar?" tanya Azura."Saya sungguh terpukau. Kau menyadari kehadiranku dengan cepat."Azura tersenyum tipis, lalu ia pun berbalik dan menatap Elizabeth."Bukankah kita teman?" seloroh Azura.Elizabeth tersenyum kecil, lalu ia memejamkan matanya beberapa saat."Kau belum menjawab pertanyaanku loh." Ucap Azura sambil berdekap tangan."Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" Tanya Elizabeth sambil menatap nanar mata Azura."Aku baik. Meskipun beberapa kali berada di ambang kematian." Jawab Azura sambil menatap pemandangan di luar jendela."Syukurlah jika begitu," ujar Elizabeth.Puk. Puk."Jika kau mati, mungkin Guru akan depresi." Sambung El
"Hah, aku lemas sekali." Lirih Azura seraya berjalan dengan lunglai."Maaf, kita tidak bisa masak daging," ucap Laurel.Azura menunjuk Laurel sambil berkata. "Ini semua gara-gara kau!""Hah?" Laurel pun menyanggah dengan mulut yang lebar."Iya! Gara-gara kamu! Kamu sih masak dagingnya lama, jadi keburu ada iblis," ujar Azura."Heleh, bukankah ini semua gara-gara kau?!" Laurel seketika menghentikan langkahnya."Kok aku?!" Azura yang tidak mau kalah, langsung berbalik tanya dengan mata yang membulat sempurna."Iya kamu! Coba saja jika kamu tidak marah-marah dan ngambek selayaknya bocah, kita mungkin sudah membakar daging dan menikmatinya sebelum para iblis itu datang." Decak Laurel sambil bertolak pinggang seperti seorang ayah yang memarahi putrinya."Apa?! Kau ini sebenarnya laki-laki atau perempuan sih?! Seenaknya sekali menilai seseorang!""Aku? Menilai? Aku menilai kamu? Hei, aku bukan menilai, tapi aku berbi-."Belum sempat Laurel melanjutkan perkataannya, tiba-tiba sesuatu menimpa
“Hoam, aku tidak mengerti mengapa kau malah mengajakku jalan saat dini hari.” Ujar Azura seraya menguap.“Agar kita cepat sampai ke Ibu Kota Tirakia.” Jelas Laurel yang memimpin jalan.“Mengapa harus cepat-cepat? Santai saja tidak sih?” gerutu Azura.“Kalau sudah sampai mah enak,” sahut Laurel.“Tapi kalau jalan dini hari seperti tadi bisa-bisa kita bertemu iblis.”“Siang hari juga kita bisa bertemu iblis.”“Tapi besar kemungkinan kita bertemu iblis kalau gelap.”Laurel menghentikan langkahnya.Bruk!Azura yang selama ini berjalan mengantuk, seketika menabrak punggung Laurel.“Aduh! Punggungmu keras sekali,” decak Azura.“Lagi pula mengapa kau malah menabrakku? Jika mau memelukku, bilang saja,” sahut Laurel.“Cih, mana ada. Hoam.”Laurel menoleh dan menatap Azura.“Kau sungguh mengantuk?” tanya Laurel dengan khawatir.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.“Ya sudah, kita beristirahat dulu saja di sini!” Seru Laurel sambil mengarahkan Azura untuk duduk di bawah pohon mangga yang
“Baik, kalau begitu saya permisi.” Ucap seorang perempuan berambut pendek seraya pergi.“Siapa itu? Muridmu?” tanya Azura.“Oh, itu?” Tanya balik Laurel sambil menoleh dan menatap Azura.“Iya, memang kau berpikir apa, hah?!” Sahut Azura sambil berdekap tangan.“Dia bukan muridku.” Jelas Laurel sambil tersenyum tipis.“Lalu?”“Nih, dia memberiku sebuah surat ini.” Kata Laurel sambil menyodorkan Azura sebuah amplop putih.“Surat cinta?” ledek Azura.“Kau berpikir apa sih, ha ha ha.”“Yah, lalu apa? Mengapa juga kau malah memberikan surat itu kepadaku?” heran Azura.Laurel langsung meraih tangan Azura dan meletakkan amplop putih itu di atas telapak tangan Azura.“Heh?” Azura semakin bingung dengan sikap Laurel.“Surat itu untukmu.” Kata Laurel sambil berpaling dari pandangan Azura.“Untukku? Untuk apa? Apa sih maksudmu? Tinggal bicara saja, mengapa harus ada surat begini?”“Itu bukan surat dariku,” lirih Laurel.“Heh? Lalu?” Azura menaikkan kedua alisnya.“Itu dari pengawal kerajaan,” uc
"Nih!" Kata Laurel sambil menyodorkan segelas teh hijau kepada Azura."Kau sehat?" tanya Azura."Tentu saja, mengapa kau bertanya seperti itu?" Tanya balik Laurel sambil duduk di sebelah kanan Azura.Azura pun menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak biasanya saja kau baik.""Cih, sebegitu buruknya aku di pikiranmu?" sahut Laurel."Ha ha ha, tidak buruk selalu sih.""Ya sudah, nih ambil!" Seru Laurel seraya menggoyang-goyangkan segelas teh hijau."Hm, baiklah. Terima kasih." Kata Azura sembari menerima segelas teh hijau dari Laurel."Aku kagum dengan perkembanganmu," ujar Laurel."Heleh, jangan memujiku sebaik itu." Sahut Azura sambil mengendus aroma teh hijau.Laurel menggelengkan kepalanya. "Aku tidak sedang memujimu. Aku bicara apa adanya.""Oh begitukah?" lirih Azura."Aku rasa perkembangan yang sekarang telah cukup, jadi apakah kau akan balik ke Ibu Kota?" tanya Laurel.Azura menoleh dan menatap Laurel selama beberapa detik, kemudian ia memalingkan pandangannya."Kau mengusir
"Hem benar! Kau benar Camaro!" Ucap Azura sambil menganggukkan kepala penuh tekad."Kalau begitu ayok Azura!" teriak Camaro."Hyaaaa!"Azura dan Camaro berlari menerjang kobaran api.'Saat ini, aku harus bisa!' kata Azura di dalam hati."Azura, ambil posisi barat!" seru Camaro."Hm, oke!" Sahut Azura sambil menganggukkan kepalanya dan berlari ke arah barat sesuai dengan instruksi Camaro."Uhuk! Uhuk!" Asap yang menggumpal begitu pekat mengganggu pernapasan dan penglihatan Azura.'Aku harus menggunakan sihir perlindungan,' kata Azura di dalam hati."Elemenzeus light eyes protected!" gumam Azura.Melalui sihir perlindungan yang Azura aktifkan, ia mampu melihat lebih jelas semua objek di antara asap tebal."Azura, mari serang bersamaan!" seru Camaro."Hm, baik!" Kata Azura sambil menganggukkan kepalanya."Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatan. Elemenzeus white light ball!" Teriak Azura dan Camaro secara serempak.Syuuuu!Bola cahaya putih melesat dengan ce
“Hya! Hya!”Syut! Switch!“Hah hah.”Azura dengan penuh tekad berlatih seorang diri di bawah sinar rembulan.‘Aku, harus lebih kuat!’ tegas Azura di dalam hati.“Hya!”Whoosh! Duar!Brak.Azura terduduk lelah. “Sial, seharusnya aku bisa menahan diri sedikit lagi. Jika begini, aku bisa membangunkan banyak orang.”Brum! Brum!Sesekali Azura merasakan sebuah getaran misterius di dekatnya.“Getar?” Dengan rasa waspada, Azura memperhatikan sekelilingnya.‘Di saat seperti ini, adalah cara yang tepat untukku menciptakan sihir baru,’ kata Azura di dalam hati.Azura langsung menundukkan kepalanya, lalu ia berkonsentrasi dengan keras.“Wahai Dewa pemelihara alam semesta, aku..., Azura Amalthea, meminjam sedikit kekuatanmu. Elemenzeus light eyes detected!”Mata Azura seketika di kelilingi oleh cahaya violet.‘Aku berhasil! Aku bisa, aku bisa merasakannya!’ senang Azura di dalam hati.Azura pun tersenyum puas. Kini, dengan kekuatan sihir yang ia ciptakan, ia mampu melihat objek halus yang tidak t