Aku mematut diri di depan cermin, kaos polo putih, dipadu celana training biru, membuat kegantengan ku naik satu tingkat.Jangan pikir aku akan pergi olahraga, aku berpakaian seperti ini, karena sedang menjalankan misi rahasia. "Ma, tolong jangan ricuh di sini. Mas Afnan di rumah." Sayup-sayup terdengar suara Sandi, entah dengan siapa dia bicara. Aku yang bersiap untuk berangkat ke alun-alun kota, menghentikan aktivitasku sejenak. Demi melihat siapa, yang sudah bertamu sepagi ini. Aku keluar dan menuju ke lantai bawah, langkahku terhenti di ujung tangga. Rupanya ibu mertuaku sedang bicara dengan Sandi. Untuk apa dia datang ke rumah ini? Sedangkan saat anaknya sakit saja, dia tidak perduli. "Kamu kenapa meblokir nomor Mama?" tanya Mama dengan suara tinggi. "Sstt... Mama jangan keras-keras bicaranya, nanti Mas Afnan dengar, aku nggak enak Ma, " jelas Sandi, berusaha membuat Mama mau memelankan suaranya. Tapi sayang, aku sudah berdiri di sini, dan mendengar pe
Aku pulang dengan rasa yang campur aduk, antara senang, benci dan cemburu. Senang karena bisa melihat Uma dan anak-anak dalam jarak dekat, meski kenyataan tidak sesuai harapan. Benci, kenapa harus ada Prabu bersama mereka? Kan, Uma bisa pergi dengan anak-anak sendiri? Kenapa bawa-bawa Prabu segala. Cemburu? Jelas aku cemburu, siapa yang sanggup melihat pujaan hatinya, bersikap mesra pada pria lain, meski tak ada sentuhan fisik, tapi tatapan mereka mengisyaratkan cinta, dan aku tidak suka. "Mas, aku sudah memasak sup ayam kampung kesukaanmu," ucap Sandi, saat aku sedang di dapur mengambil minuman di kulkas. Sandi memang sudah banyak berubah, dia mulai tahu apa saja masakan favorit ku, dia belajar dari Bi Murni. Rasa masakan Sandi, pun sekarang jauh lebih enak. Sebenarnya aku tergiur mendengar tawaran Sandi, sup ayam kampung bukan hanya makanan kesukaan ku, tapi juga Uma. Dulu dia sering memasak makanan ini, saat masih menjadi istriku. "Mas, makan ya? Aku ambilin, dari pagi kamu b
Pov UmaSudah Jam dua lebih, tapi Alfa belum juga datang. Di WA grup kelas hari ini, guru sudah menyampaikan anak-anak dipulangkan sejak jam dua belas tadi, karena dewan guru ada rapat.Jarak antara sekolah dan rumah sakit ini, kurang dari satu kilo meter. Harusnya Alfa sudah ada di depanku dari tadi, ini sudah dua jam lebih tidak nongol juga, kemana anak itu? Bikin aku bingung memikirkannya.Bolak balik kutelfon orang tua teman-teman Alfa, mungkin mereka ada melihat Alfa, atau malah Alfa sedang berada di rumah mereka. Nihil Alfa tidak ada di rumah siapapun. "Semua anak sudah pulang dari tadi, Bu," jawab wali kelas Alfa."Tapi Alfa belum pulang sampai sekarang, saya sudah menelfon semua wali murid, tapi nggak ada yang tahu di mana Alfa. Saya takutnya Alfa jadi korban---" ucapku menggantung."Ibu jangan negativ thingking dulu, nggak mungkin Alfa diculik. Satpam tidak akan membiarkan anak-anak dijemput orang tidak dikenal. Mungkin dia main di rumah teman lain atau saudaranya mungkin?"
Alfa lahap menikmati es krim yang kubelikan, sambil terus berceloteh tentang kegiatannya seharian ini. Aku tersenyum sendiri melihat tingkahnya, tidak hanya wajah, tapi sifat dan watak Alfa, Uma banget. Ramah, cerdas, dan baik hati, sayang kami terpisah lebih dari lima tahun. Semua karena keegoisanku sendiri, andai waktu bisa diulang kembali, aku akan menjemput Uma di rumah orang tuanya waktu itu. Semua memang sudah terlanjur terjadi, tapi masih bisa diperbaiki kan? Aku tahu, Uma sudah berubah, dia bukan lagi istriku yang penurut, tapi wanita yang mandiri, dengan karir yang cemerlang. Jujur aku merasa minder berhadapan dengan Uma yang sekarang, dia terlalu sempurna. Cantik dan punya segalanya. Apalah dibanding aku yang hanya seorang manajer di dealer mobil milik saudaraku. Tapi ada satu hal yang membuatku terus maju, Alfa dan Via, mereka darah dagingku. Mereka berhak untuk hidup bahagia, punya keluarga utuh. Dengan bersatunya kembali aku dengan Uma, bisa mewujudkan semua itu. Dan
Hatiku terasa lega, setelah memberi tahu Alfa siapa diri ini sebenarnya. Aku tahu dia masih kaget dan syok, saat tahu Ayah yang dikiranya sudah meninggal, ternyata masih hidup, dan sekarang berada di depan nya Mungkin sebagian orang menilai aku jahat dan culas, tapi Alfa punya hak untuk tahu kebenarannya, dan aku juga punya hak untuk diakui sebagai Ayah. Bukankah memisahkan Ayah dan anak adalah perbuatan dosa?. "Kita sudah sampai, sekarang kamu temui Bunda. Ingat! Jangan marah sama Bunda, Oke?" ucapku sambil mengacak rambut Alfa. Sesaat setelah kami sampai depan rumah sakit. "Iya, Yah," jawab Alfa singkat, kemudian dia mencium takzim tanganku. Bocah lelaki itu turun, dengan langkah gontai, seperti tidak punya semangat. Semoga dia baik-baik saja, doaku dalam hati. Baru mendapatkan perlakuan seperti ini dari Alfa saja, hatiku sudah gembira. Bagaimana bahagianya aku, kalau setiap hari, kedua anakku, Uma juga, selalu mencium tanganku sebelum pergi? Ah, aku tidak bisa membayangkannya.
Pov Uma"Bunda, kenapa kita nggak tinggal aja di rumah, Ayah?" tanya Alfa, saat aku menemaninya belajar. Jadi Mas Afnan sudah cerita, kalau dia adalah Ayah kandung, Alfa? Seharian ini Alfa hanya diam, ditanya pun tak menyahut, kini tiba-tiba dia bicara seperti ini. "Tinggal sama Ayah?" Aku membeo ucapan Alfa. "Iya, kasihan Ayah, Bund. Di rumah Ayah tinggal sendirian, nggak ada temannya. Kita pindah sana aja, yuk? Biar Alfa bisa main bola sama, Ayah. Main lari-larian, kan seru Bund. Kayak si Dani itu, sering pergi mancing sama ayahnya," ucap Alfa polos. Bener-bener kurang ajar Mas Afnan, sudah berani memberi tahu Alfa, tentang jati dirinya, kini meracuni fikiran Alfa, agar mau tinggal bersamanya, maksudnya apa coba?Lagi pula dia sudah punya istri, untuk apa mengajak Alfa tinggal bersamanya? Jangan-jangan dia mau merebut hak asuh Alfa, ini tidak bisa dibiarkan! Laki-laki tak tahu diri itu harus diberi pelajaran. Aku diam sejenak, berfikir mencari
Pov UmaGedung yang terdiri dari dua lantai ini nampak gagah berdiri di hadapanku, dulu aku sering ke sini, mengantar makan siang atau menunggu Mas Afnan kerja, karena kami ada janji kencan. Ya, aku berada di parkiran dealer mobil, di mana Mas Afnan bekerja. Aku nekat datang ke sini, untuk menyelesaikan urusanku dengan mantan suamiku itu. Sebenarnya Mas Prabu menawarkan diri untuk menemaniku, tapi ku tolak. Bukan apa-apa, aku hanya merasa nggak enak kalau nanti, dia melihatku marah-marah. Bisa ill feel dia. "Mau aku temenin?" tawar Mas Prabu. "Nggak usah, aku berani sendiri kok, Mas. Nggak usah khawatir, deh. Dia nggak bakal berani macem-macem," sanggahku. "Bukan apa-apa, aku hanya nggak mau kamu CLBK sama, dia.""Apaan sih? Lebay!""Aku cemburu, Buuu." Sehangat itu hubunganku dengan Mas Prabu, pria itu paling bisa, membuat hatiku berbunga-bunga. Beda jauh dengan Mas Afnan, yang kaku. Dan kini saatnya aku melabrak Mas Afnan, aksinya sudah sangat meresahkan, menghasut orang-ora
Pov Uma"Aku tidak akan berhenti mengejarmu!" seru Mas Afnan, tapi tidak ku perdulikan. Kutinggalkan ruang kerja Mas Afnan, dengan terburu-buru, kupikir dia akan minta maaf, karena telah membawa Alfa tanpa ijinku, tapi malah merayuku dengan rayuan gombal murahan. Dia bilang mencintaiku? Halo... Lima tahun terakhir kemana, Paaak? Dia ingin rujuk denganku? Itu karena pernikahan kedua dan ketiganya gagal. Coba kalau rumah tangganya baik-baik saja? Apa masih ingat aku, dia?Dasar songong! Memangnya dia pikir aku gadis bau kencur, yang bisa dibodohi? Sebagai lelaki dengan ego tinggi, Mas Afnan butuh wanita yang manut, nurut, dan tak banyak menuntut, dan itu dia dapat dari aku, ketika masih menjadi istrinya, dulu. Apa dia lupa? Aku ditempa oleh luka yang dia ciptakan, untuk menjadi sosok petarung yang tangguh dan pantang menyerah, tidak hanya bisa bersembunyi dibalik ketek laki-laki. Aku bukan lagi Uma, yang akan rela mengorbankan segalanya, meski berakhir sia-sia. Kalau aku rujuk kemba
"Segera ajukan gugatan cerai kita, Mas. Aku menunggu," pungkas Wina, lalu menyeret kopernya keluar. "Wina!" seruku lantang, sebelum Wina mencapai pintu. Dia menghentikan langkah, dan menoleh kepadaku. "Apalagi Mas?" tanyanya jengkel. Aku diam, bingung harus bagaimana. Sudah berusaha menahannya, tapi dia tetep kekeh pada pendiriannya. Dasar keras kepala. Tak berkacakah dia? Wajahnya biasa saja, kurang cantik menurutku. Aku sudah merendahkan harga diriku, memohon padanya tapi seolah dia tak butuh. Harusnya dia bersyukur, aku yang tampan ini memperistri dia. Bukannya bersikap arogan seperti ini. Sebenarnya aku ingin memohon padanya sekali lagi, agar membatalkan kepergiannya, tapi jika kulakukan, aku takut dia makin besar kepala. Ya sudah lah, kalau dia mau pergi, biar saja. Mungkin lebih baik begitu, soal Ryan biar aku cari pengasuh nanti. Siapa tahu dengan status baruku, Riyanti mau menerimaku kembali. "Semoga kamu tidak menyesali keputusan ini nanti," ucapku akhirnya. "Gitu aja
"Dari mana kamu?" tanyaku, ketika mendapati Wina masuk ke dalam rumah dengan cara mengendap-endap. Dia terlonjak kaget, hingga kunci pintu yang dia genggam terjatuh. "Apa pedulimu?!" ketus Wina. "Jelas aku peduli, kamu istriku," tukasku. "Istri? Kamu masih ingat kalau aku ini istrimu? Kenapa kamu mengejar wanita lain, kalau masih merasa punya istri?" sindirnya."Tidak usah mengalihkan pembicaraan, aku tanya kamu dari mana?" ucapku datar. "Bukan urusanmu!" ucap Wina tak acuh, melewatiku begitu saja. "Apa susahnya menjawab pertanyaan suamimu? Aku tanya kamu baik-baik, tapi jawabanmu ketus begitu! Kamu punya tata krama nggak sih? Aku ini suamimu, orang yang seharusnya kamu hormati!" Suaraku naik satu oktaf.Wina berhasil memancing emosi yang dari tadi aku tahan. Tiba-tiba aku teringat pesan Mbak Yeni, "Kamu tahu betul bagaimana karakter Wina, dia memang kasar, kalau bicara tanpa saringan. Kamu yang waras ngalah dong! Kamu harus bisa membimbing dia, mengubah sikapnya pelan-pelan. Me
Hubunganku dengan Wina semakin renggang, kami hanya dua orang asing yang tinggal satu atap. Tak saling peduli, bahkan tak saling sapa. Wina yang biasa menyiapkan segala keperluanku, kini tak melakukanya lagi. Di rumah jarang sekali tersedia makanan, tapi cuci setrika dan beres-beres tetap dia lakukan. Bagiku tak masalah, yang penting Ryan terurus. Kasihan kalau anak itu harus merasakan dampak dari pertikaian kedua orang tuanya. Kadang aku merasa bimbang, apakah melanjutkan rencanaku menceraikan Wina, atau melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat ini. Lalu bagaimana dengan Ryan?Memikirkan semua itu kepalaku rasanya mau pecah. Aku dan Wina sama-sama keras kepala, tak ada yang mau mengalah. Aku enggan minta maaf, begitu pun Wina. Diantara kami tak ada yang mau memulai memperbaiki keadaan, semua berpegang teguh pada pendirian. "Kamu yang lebih tua ngalah, sudah tahu Wina itu orangnya bar-bar, harusnya kamu bersikap lembut menghadapinya, bukannya malah menandingi. Kalau dia diam,
Di sinilah kami sekarang, di ruang tamu rumahku, yang sudah seperti ruang sidang. Aku duduk berdampingan dengan Wina, di sofa panjang. Riyanti duduk di sofa single depanku, di sampingnya duduk Pak Rt. Sementara Bu Rt dan Bu Ratmi berdiri. "Tolong jelaskan duduk perkaranya, biar saya bisa membantu mencari solusinya," ucap Pak Rt bijak. "Suami saya berselingkuh dengan janda gatel itu, Pak!" tuding Wina, dia menatap Riyanti penuh kebencian. "Itu tidak benar, itu fitnah! Antara saya dan Mas Afnan tidak ada hubungan apa-apa," sela Riyanti. "Pak Rt dengar sendiri, kan? Dia bahkan memanggil suami saya, Mas. Itu menunjukkan kalau mereka memang punya hubungan spesial, buktinya dia punya panggilan mesra," sergah Wina. "Wina!" bentakku. "Tuh, Pak Rt lihat sendiri, dia nggak terima selingkuhannya disalahkan," sahut Wina. Aku yang berusaha menahan emosi dari tadi, rasanya ingin menggampar mulutnya yang tidak tahu tata krama itu. "Bu Wina, tolong tenang dulu. Beri kesempatan Pak Afnan menje
"Cerai?" Mbak Yeni membeo ucapanku. Setelah kuceritakan tentang niatku untuk bercerai dengan Wina. "Iya Mbak, aku sudah nggak tahan sama sikap Wina. Susah diatur, apalagi penampilannya, bikin ilfeel aja. Rasanya aku ini nggak punya istri, tapi pembantu," ucapku meluapkan unek-unek di hati. "Hhh!" Mbak Yeni membuang nafas kasar. "Kamu dari dulu nggak berubah, selalu buru-buru mengambil keputusan, tanpa dipikir dulu baik buruknya, efek jangka panjangnya. Hanya menuruti emosi saja. Bagaimanapun juga Wina itu istrimu, wanita pilihanmu sendiri, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa kamu buat nikahi dia. Kalau Wina tidak sesuai keinginanmu, bicaralah baik-baik.""Aku sudah capek ngomong sama dia, Mbak. Dia itu keras kepala," selaku."Bingung aku harus ngomong apa sama kamu. Dulu kupikir kamu menikahi Wina, karena sudah siap dengan resiko punya istri dengan latar belakang seperti itu. Kupikir kamu bisa membimbingnya, agar dia bisa mengimbangimu. Eh ternyata makin kesini, makin---
Sejak kejadian pelabrakan yang dilakukan oleh ibu-ibu tidak kenal, terhadap Riyanti. Hubunganku dengan Riyanti menghangat, maksudku dia sudah tidak menolak lagi bantuanku. Karena aku sudah menjadi pahlawan untuknya. Aku ini manajer, perusahaannya pun milik saudaraku, jadi aku sedikit bebas keluar kantor, tanpa perlu ijin. Yang penting pekerjaanku beres, begitu kata Mbak Yeni. Dan kesempatan ini kugunakan untuk mendatangi warung Riyanti. Bantuin dia, dan jaga-jaga kalau ada kejadian serupa. Dari sikapnya, aku merasa Riyanti ini membutuhkan aku sebagai pelindungnya. Meski itu tidak terucap dari bibirnya, aku bisa merasakan itu. "Mas, akhir-akhir ini perasaanku kok nggak enak ya?" ucap Riyanti suatu hari. "Nggak enak gimana?""Nggak enak aja, aku juga nggak tahu kenapa. Tapi feelingku mengatakan bakal ada kejadian yang nggak enak lagi." ucapnya khawatir. "Nggak usah negatif thinking jadi orang, nanti malah kejadian. Mikir itu yang positif aja, yang baik-baik, biar yang terjadi juga
"Kamu kenapa sih, Mas? Sekarang kok jarang makan di rumah, nggak mau dibawain bekal," tanya Wina ketika aku menolak sarapan, dan tidak mau membawa bekal yang sudah dia siapkan. "Nggak pa-pa, hampir tiap hari ada aja yang bawa makanan, masak iya aku tolak, nggak enak," bohongku. Padahal aku males makan masakan Wina yang itu-itu saja. Lagi pula aku males bawa bekal dari rumah, kayak anak TK aja. Mending aku makan di warungnya Riyanti, rasanya enak plus bisa menatap wajah cantiknya. "Beneran itu alasannya? Bukan karena ada alasan lain?" tanyanya curiga. "Alasan lain apa? Kamu jangan ngarang ya?" "Mungkin aja kamu lebih suka makan di warung Mbak Janda, yang sekarang lagi viral itu.""Mbak Janda?" Aku membeo ucapan Wina. "Iya, warung sotonya Mbak Riyanti. Warga baru kompleks ini.""Kamu itu ngarang, aku memang pernah makan di sana, tapi nggak setiap hari juga. Nggak bosen apa, makan soto terus," sangkalku. Padahal aku hampir setiap hari makan di warung itu. Bagiku tidak ada kata bosa
Setelah kedatanganku yang pertama mendapat sambutan baik dari Riyanti, hampir setiap hari aku berkunjung ke warung itu. Tapi aku memilih jam makan siang, yang pengunjungnya tak terlalu ramai. Aku juga sering bantu Riyanti, beres-beres saat warungnya kalau mau tutup. Entah lah, apa yang kulakukan ini dosa atau tidak, aku hanya ingin meringankan sedikit saja beban janda muda itu. Meski berkali-kali dia menolak bantuanku. "Mas Afnan nggak usah repot bantu-bantu di sini. Ada anak-anak, biar mereka aja yang mengerjakan," ucap Riyanti ketika membantunya menurunkan belanjaan dari mobil. "Nggak pa-pa, aku seneng bisa bantu kamu.""Iya, tapi aku nggak enak. Apa kata orang nanti, melihat Mas Afnan bantuin aku di sini!" "Ya emang kenapa? Nggak salah, kan?""Mas, aku ini sudah berusaha sebisa mungkin menyembunyikan masa lalu kita lho, kalau kamu kayak gini nanti tetangga tahu, kalau aku ini mantan istrimu.""Kalau mereka tahu kenapa?""Kan bisa jadi bahan gunjingan, Mas. Aku malu.""Sudah ngg
Sejak Riyanti menghantui pikiranku, aku jadi penasaran ingin bertemu dengannya, meski tak bisa ngobrol lama, setidaknya aku bisa memandang wajahnya. Tapi setiap hari aku hanya bisa menatap pagar terkunci dari luar, rumah Riyanti selalu sepi. Paling-paling aku melihat pembantunya yang sedang nyapu halaman. Tak kehilangan akal, aku berusaha bangun pagi, agar bisa melihat Riyanti. Begitu azan berkumandang, aku segera bergegas ke mesjid terdekat, tapi rumah Riyanti sudah sepi. Usaha apa lagi yang harus kulakukan agar bisa bertamu Riyanti? Tiba-tiba terlintas ide dikepalaku, mengapa aku tidak ke warung makannya saja? Pura-pura makan. Selain bisa menatap wajahnya dari dekat, aku bisa merasakan enaknya masakan dia. "Tumben pagi-pagi sudah mau berangkat, Mas?" sapa Wina, ketika melihatku sudah rapi. "Iya, ada beberapa berkas yang harus diperiksa," bohongku. Berkas apaan? Aku hanya ingin sarapan di warung makan milik Riyanti. "Nggak sarapan dulu? Sudah mateng lho, aku ambilin ya?""Ngga