Melani bangkit, dan beralih duduk disamping Evelyn, wanita itu merengkuh tubuh Evelyn yang berguncang hebat. Wanita itu paham apa yang dirasakan Evelyn, dia tau jika Evelyn memiliki hati yang lembut, dan orangnya sangat tidak tegaan.Melani mengusap-usap punggung Evelyn, dia berusaha menenangkan Evelyn. Tapi tidak dengan Karina, gadis itu tetap tak beranjak dari duduknya meski untuk sekedar menenangkan sahabatnya itu. Pasalnya dia sudah kelewat kesal, sudah berulang kali dia mengatakan agar Evelyn tak terlalu memikirkan nasib orang lain.Setelah tenang, Evelyn menghapus jejak air matanya. Karina menyodorkan botol air mineral kehadapan Evelyn tanpa sepatah kata pun. Melani tersenyum melihat itu, meski Karina masih sangat kesal pada Evelyn, tapi gadis itu tetap memperlihatkan perhatiannya.Evelyn meraih botol itu dan meneguknya sedikit, kemudian dia menyimpannya kembali diatas meja."Sudah tenang?" tanya Melani lembut. Evelyn mengangguk. "Jadi apa yang kamu inginkan? Membatalkan rencana
Sebelum subuh, Evelyn sudah bangun lebih dulu, dia meraih handuk dan masuk ke kamar mandi, berniat membersihkan diri sebelum shalat subuh. Beberapa menit menghabiskan waktu di kamar mandi, Evelyn keluar dengan sudah berpakaian lengkap, bersamaan dengan itu, azan subuh berkumandang. Evelyn memutuskan segera shalat, dia mengenakan mukena dan menggelar sajadah, kemudian mulai melaksanakan dua rakaatnya dengan khusyuk.Tak lupa Evelyn juga memanjatkan do'a, agar rencananya hari ini diberi kelancaran tanpa hambatan."Semoga ini jalan yang terbaik." batin Evelyn sembari memejamkan mata.Dia menghela napas, kemudian melepas mukena untuk kembali dilipat. Setelah itu, Evelyn bangkit dan menaruh mukena dan sajadahnya ditempat semula.Evelyn keluar dari kamar, dia berjalan ke dapur untuk membantu Bu Dena yang sudah lebih dulu bangun dan sudah berada di dapur. Saat melewati kamar Karina, ternyata sahabatnya itu juga sudah bangun, mereka berjalan bersama menuju dapur."Masak apa hari ini, Bu?" ta
Pak Hendra segera mendorong kursi roda Bu Maya ke kamar, sebelum orang-orang melihatnya dan menduga-duga."Mama benar-benar kecewa dengan Evelyn, Pa!" ucap Bu Maya dengan sorot penuh kekecewaan."Mama jangan begitu. Mama tau sendiri apa alasannya, kan? Evelyn melakukan itu karena memikirkan Chika, Ma!" sahut Pak Hendra mencoba memberi pengertian."Tapi, Pa. Apa Marissa berpikir, sebelum membayar orang untuk mencelakai Mama? Enggak, kan?!" balas Bu Maya emosi."Evelyn dan Marissa tak sama, Ma! Mereka sangat jauh berbeda. Jadi Mama tak bisa menyamakan mereka! Jika memang Marissa berpikir sebelum melakukannya, dia tak mungkin tetap melakukannya juga, Ma!" berang Pak Hendra tak terima menantunya disamakan dengan mantan menantunya.Bu Maya terdiam mendengarnya, dia terisak dan menunduk dalam, tak berani menatap wajah suaminya yang sedang menatapnya tajam."Bu-bukan begitu maksud Mama, Pa ... Tapi--" Bu Maya menangis kencang, tak kuasa melanjutkan ucapannya. Paham jika istrinya sedang kalut
"Maksud kamu apa, Lyn?" tanya Karina mengernyit.Evelyn menoleh sekilas saja, setelahnya kembali memalingkan wajah, melihat dengan gelisah barisan mobil yang berada didepan mobil mereka.Melani yang duduk disamping kemudi, melirik Evelyn dari spion. Evelyn yang duduk tepat dibelakang Melani membuat wajahnya tampak jelas, bisa Melani rasakan riak kegelisahan yang tercetak jelas di wajah wanita itu."Jangan khawatir, Lyn! Berdoa saja, semoga kita bisa datang tepat waktu." Mendengar ucapan Melani, Evelyn pun hanya bisa mengangguk pasrah. Dia menghembuskan napas berat, dan menyandar sambil memejamkan mata. "Makanya, Lyn! Jangan kelamaan mikir! Udah berapa kali aku bilang? Nyesel, kan?" omel Karina menyindir Evelyn. Wanita itu tak menjawab ocehan sahabatnya, dia memilih diam sembari menata hati, agar bisa lebih ikhlas dengan apa yang terjadi nanti.Ponselnya bergetar, Evelyn membuka tas untuk mencari benda pipih itu disana. Seketika matanya membeliak senang saat membaca sebuah pesan. Dada
"Kenapa, Lyn? Bian nggak angkat?" tanya Karina yang paham dengan kegelisahan Evelyn. Karina mendengkus kasar saat melihat Evelyn menggeleng."Coba lagi, Lyn!" timpal Melani yang sejak tadi menyimak pembicaraan keduanya."Udah, Tan. Aku sudah hubungi dua kali, tapi tetep nggak diangkat. Gimana ini, Tan? Aku takut mereka sudah melangsungkan akad, dan ... Kita datang terlambat," resah Evelyn. Sejak tadi, wanita itu tak berhenti memainkan ponsel. Beberapa chat juga sudah dia kirim pada Bian, tapi tetap saja tak ada respon dari suaminya itu."Kamu tenang dulu, ya? Kita pasti nggak bakal telat, kok!" sahut Melani berusaha menenangkan.Evelyn mengangguk, meski hatinya tetap saja resah. Dia berusaha tenang, berpikir positif dan berdoa dalam hati."Pak, bisa lebih cepat, nggak?" kata Karina pada supir pribadi Melani."Jalanan lumayan ramai, Mbak. Tapi saya akan usahakan agar kita cepat sampai," sahut sang supir. Yang ada didalam mobil sama-sama tegang, semua larut dalam pikiran masing-masing.
Melani berjalan anggun menuju rumah Bu Maya, saat sudah dekat, dia menjadi pusat perhatian semua orang disana, mungkin karena dia datang dengan didampingi anggota kepolisian.Bisik-bisik mulai terdengar, ada yang mempertanyakan alasan kedatangan polisi dan wanita yang tak mereka tau siapa itu, ada juga yang mengeluarkan pendapat, bahkan ada juga yang sekedar menebak-nebak.Melani terus melangkahkan kakinya, hingga ia menapaki lantai teras rumah Bu Maya dan hampir mencapai pintu, saat ia berbalik kebelakang, dia kaget sebab tak mendapati Karina dan Evelyn disana. Tapi, wanita itu tak ingin terlambat, dia memilih masuk sebab ijab kabul terdengar akan dimulai. Namun langkahnya dihadang orang-orang, kedatangannya dipertanyakan. Terjadi lah sedikit keributan kecil, sebab perdebatan Melani dan orang-orang yang tadi menahannya.Dihadapan penghulu, serta beberapa orang saksi, Bian duduk dengan wajah yang terus menunduk. Sejak tadi, fokusnya tak berada disana, yang dia pikirkan hanya Evelyn, d
Ibuk-ibuk disana sudah pada heboh sendiri. Karina mengajak Evelyn untuk mendekat, dia ingin bertanya lebih jelas."Nggak usah, Rin! Mending kita ke mobil saja. Kita tunggu Tante Melani disana," tolak Evelyn saat Karina mengajaknya mendekat kearah para tetangga yang sudah heboh."Kamu yakin, Lyn? Atau kita kesana aja, yuk!" Karina kembali mengajak Evelyn, tapi kali ini dia mengajak Evelyn ke rumah Bu Maya."Aku nggak bisa, Rin! Nggak tega liat Chika ...." kata Evelyn dengan tatapan kosong. Nyatanya, dia bukan hanya tak tega dengan perasaan Chika saja, tapi lebih tak tega lagi dengan hatinya, dia tak siap menangis dihadapan Bian. 'Ah, Mas! Kenapa kamu mengingkari janji? Bukankah kamu mengatakan akan menungguku?' batin Evelyn dengan sesak yang teramat dalam. "Jangan mikirin perasaan orang lain terus! Kapan kamu mau ngertiin diri sendiri?" bentak Karina gemas. "Aku--" Belum selesai Evelyn menyelesaikan ucapannya, Karina sudah lebih dulu menarik tangannya."Dah, ah! Ayok!" sambar Karina
Sorak-sorai dari para warga menghiasi langkah Marissa, wanita itu hanya bisa menunduk dengan dendam yang makin besar."Mamiiiii ...." teriakan Chika terdengar saat langkah Marissa sudah makin jauh, Marissa menoleh dan hanya bisa menatap pedih, putrinya ingin mengejar, tapi segera ditangkap oleh Bian dan dipeluk untuk ditenangkan oleh lelaki itu.Saat akan melanjutkan perjalanan, sosok wanita yang paling ia benci muncul disana. Evelyn menatap iba kearah Marissa, tapi tatapan itu malah disalah artikan oleh Marissa, yang ia tangkap, Evelyn sedang menertawakan dirinya saat ini. Marissa menatap penuh kebencian pada Evelyn, dendam dalam dirinya semakin besar.Marissa melanjutkan langkahnya yang kembali didorong oleh polisi dibelakangnya. Sedang Evelyn kembali ditarik oleh Karina, agar lebih dekat.Bian yang menyadari kedatangan Evelyn langsung tersenyum senang, lelaki itu berlari menyongsong wanita tercintanya. "Terimakasih sudah datang, Lyn! Terimakasih sudah menyelamatkan Mas dari pernik
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel