Bu Dena terkejut begitu melihat Evelyn yang menangis dilantai, segera dia hampiri dan membawa Evelyn dan pelukannya."Astaghfirullah ... Kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Dena dengan menangkup kedua pipi Evelyn.Evelyn menggeleng lemah, tak ingin menjawab. Bu Dena langsung paham, dan mengangguk. Dia membantu Evelyn berdiri dan membawanya ke kamar."Istirahat dulu. Kalau ada apa-apa panggil Ibu, ya?" katanya. Setelahnya, wanita itu langsung keluar dan menutup pintu sambil menghembuskan napas berat....Marissa tersenyum puas, dia baru saja menghubungi orang suruhannya, mengancam agar mereka tak buka mulut, dan menyeret namanya dalam kasus ini. "Dasar orang miskin. Enaknya punya banyak duit, ya, gini! Bisa nyogok siapa saja yang gila uang!" Dia bicara sendiri. Kemudian terkekeh sambil memain-mainkan ponselnya."Ah, ya! Aku lupa. Jatahku bulan ini belum dikirim si tua bangka, sedang uangku mulai menipis. Aku harus melancarkan aksi lagi, supaya transferan bulan ini lebih besar." gumamnya sam
Evelyn memutuskan menceritakan semuanya pada Karina, gadis itu tak terlalu terkejut mendengarnya, diawal dia sudah bisa menebak ada satu hal yang membuat Evelyn begitu keras menolak Bian, padahal dia sendiri bisa melihat rasa cinta itu masih sangat besar."Jadi, kamu menuruti keinginannya?" tanya Karina. Evelyn mengangguk, membuat Karina mendengkus kasar."Aku pikir begitu. Aku rasa kebahagiaan aku dan Mas Bian adalah melihat Mama bisa kembali sehat. Dan lebih baik ada yang berkorban untuk itu," sahut Evelyn memejamkan mata. Ingin menekan sesak yang mendera, berusaha ikhlas meski harus melepas orang yang dicintainya."Kamu nggak ada cara lain gitu? Selain mengorbankan perasaan kamu sendiri?" tanya Karina lagi."Kayaknya enggak, Rin! Lagian dia meminta seperti itu. Aku harus menolak Mas Bian, dan memaksanya menikahi Marissa. Dan itu akan jadi jaminan untuk keselamatan Mama, lebih baik aku mundur, dari pada harus dihantui rasa bersalah jika terjadi sesuatu pada Mama," tandasnya. Karina
Belum selesai wanita itu melanjutkan ucapannya, suara seorang pria terdengar menyapa."Mami? Ada apa ini?" tanya Brata—pria yang tak lain adalah pemilik perusahaan, atau lelaki tua yang baru saja berbagi peluh dengan Marissa.Marissa dan wanita yang tadi sempat bersitegang dengannya menoleh serempak. Marissa membelalak mendengar panggilan pria itu. Mami? Apa maksudnya? Apa wanita itu adalah istrinya? Jika iya berarti sekarang dia sedang berada dalam masalah besar."Eh, kebetulan Papi keluar. Perempuan yang berpakaian kurang bahan ini siapa? Salah satu karyawan Papi, kah? Kalau iya, segera pecat! Mami nggak suka. Gaya kok kayak wanita jal*ang!" sindir wanita itu sambil melirik sinis Marissa yang terdiam."Emm ... Itu ... Ee ... Papi nggak tau, Mi! Mungkin lagi nyari lowongan. Udah, nggak usah dipikirin. Mending sekarang kita ke ruangan Papi, yuk!" Ajak pria itu menarik tangan sang istri.Marissa membelalak, dia tak menyangka jika pria yang baru saja dia layani itu tak berniat membelany
Marissa memarkir mobilnya, kemudian segera turun menuju kantornya. Dia berjalan masuk dengan dada berdebar, para karyawan sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing, hingga tak ada yang terlalu memperhatikan kedatangannya.Sebelum bertemu atasannya, Marissa mampir lebih dulu ke ruangannya. Ingin bertanya pada rekan yang tadi menghubunginya."Sus!" panggil Marissa begitu pintu ruangan dia buka.Perempuan yang dipanggil Susi itu menoleh, dan melempar tatapan tanya pada Marissa. Tapi dia kembali mengalihkan pandangan pada komputer didepannya. Melihat rekannya yang cuek saja, Marissa pun menghampiri."Beneran aku dipanggil Bos?" tanyanya. Susi tak menoleh, tapi hanya mengangguk sebagai jawaban."Kira-kira kenapa, ya? Bos ada bilang apa lagi?" Marissa kembali bertanya membuat Susi yang tengah fokus pada pekerjaannya itu mendengkus sebal."Ya, mana aku tau, Ris! Mending kamu ke ruangannya sekarang, deh! Gangguin aja, orang lagi banyak kerjaan juga!" sahut Susi dengan ketus. Marissa mendeli
Evelyn sudah sampai di rumah sakit, pada akhirnya Karina juga yang mengantarnya, karena gadis itu tak sampai hati membiarkan Evelyn menunggu angkutan umum. Tapi dia hanya mengantar sampai depan saja, setelah itu dia langsung berpamitan karena ada urusan.Dengan menenteng rantang yang berisi makan siang untuk mertuanya, Evelyn mengayunkan langkah menuju ruang ICU tempat Bu Maya dirawat."Assalamu'alaikum, Pa," ucap Evelyn memberi salam. Terdengar suara Pak Hendra menyahut."Wa'alaikum salam." Pak Hendra menoleh dan tersenyum pada Evelyn, kemudian matanya beralih pada rantang yang berada di tangan kiri Evelyn. "Bawa apa itu, Nak? Dari wanginya menggugah sekali," canda Pak Hendra. Evelyn terkekeh dan berjalan masuk, kemudian menyalami tangan mertuanya dan menaruh rantang pada meja di samping ranjang Bu Maya."Ini makan siang untuk Papa. Papa belum makan, kan?" tanya Evelyn."Wah, tau saja kamu kalau Papa rindu masakan rumahan," sambut Pak Hendra antusias."Yasudah, kalo gitu Papa makan s
Bian tercekat, dia terkejut mendengar penuturan Evelyn, Mamanya tak benar-benar berubah? 'bukankah Papa bilang Mama ingin memperbaiki kembali hubunganku dengan Evelyn? makanya dia meminta bertemu. Tapi apa ini?' Batin Bian kalut.Melihat reaksi Bian, ada rasa tak tega sebenarnya, apalagi membawa-bawa nama Bu Maya dalam masalah ini, dia takut Bian akan kembali marah pada sang Mama. Tapi, mau bagaimana lagi, Marissa bersikeras ingin menikah dengan Bian, dan mengancam akan menghabisi nya*wa Bu Maya jika Evelyn tak menuruti keinginannya."Mas ..." panggilnya, tapi lebih serupa desisan."Kenapa, Lyn? Harus bagaimana Mas meyakini kamu? Apa Mas harus benar-benar pergi dulu agar kamu percaya betapa Mas benar-benar menyesal?" racau Bian frustasi. Dia menatap Evelyn lekat, sedang perempuan itu tak berani membalas tatapan lelaki yang dicintainya, takut pertahanannya akan runtuh."Aku tau, Mas. Bahkan bisa kulihat ketulusan dari tatapanmu. Tapi ... Ini bukan tentang kamu menyesal atau tidaknya, M
"Kenapa Papa seolah putus asa gini? Bukannya Papa bilang akan selalu mendukung setiap keputusan Bian? Kenapa sekarang malah berubah? Tadi juga Evelyn bilang, ini permintaan Mama saat mereka bertemu sebelum terjadinya kecelakaan, yang mana yang bisa Bian percaya, Pa? Disatu sisi Papa mengatakan jika Mama sudah berubah, dan pertemuannya dengan Evelyn untuk memperbaiki hubungan kami. Tapi Evelyn malah mengatakan yang sebaliknya, jadi yang mana yang harus Bian percaya, Pa?" Bian mengulang pertanyaan yang sama. Dia benar-benar merasa frustasi, sampai tak sadar malah membentak sang Papa.Pak Hendra tampak menghela napas, wajahnya murung, ada sedikit penyesalan Bian rasakan, kenapa dia harus membentak sang Papa, bahkan dihadapan tubuh kaku sang Mama."Jika Evelyn mengatakan ini untuk kebaikan Mama, maka tak ada pilihan lain, selain kita menurutinya. Kamu mau kehilangan Mama?" tanya Pak Hendra pelan. Bian mendesah pelan mendengar penuturan sang Papa."Memangnya ada apa, Pa? Kenapa kita harus
Bian tercengang melihat keberadaan Marissa sepagi ini di rumahnya, bukan hanya itu yang membuat Bian terkejut, disisi kanan wanita itu sudah tergeletak sebuah tas besar dan dua buah koper, sedang Chika dia gandeng disebelah kiri."Kamu sedang apa disini? Dan a-pa, ini?" tanya Bian tak habis pikir.Dia heran, kenapa wanita itu datang ke rumahnya dengan membawa tas dan koper seakan ingin pindah?"Mas ... Izinkan aku tinggal disini, kami terusir dari rumah, dan tak tau harus mengadu kemana," Adu Marissa.Bian makin tercengang, terusir katanya? Bagaimana bisa? Bahkan rumah itu miliknya sendiri, bukan rumah sewa atau kontrakan yang mungkin saja diusir jika telat membayar."Maksudnya terusir bagaimana? Bukannya rumah itu milikmu sendiri? Siapa yang mengusirmu? Dan kenapa pula kamu malah pergi? Bukannya mempertahankan apa yang seharusnya jadi milikmu!" sembur Bian."Ng ... Ce-cerita nya panjang, Mas. Yang pasti sekarang kamu harus bantu aku dan Chika. Biarkan kami tinggal disini, ya? Nggak l
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel