"Fitri menunggu kabar dari Bang Akram, Ma," ucapnya lesu masih menggenggam ponselnya. "Istri sholihah, segitunya!" ledek kakaknya. "Kak, doa istri yang sholih dan tulus itu akan memudahkan urusan suami. Iri bilang, Kak," cibir Fitri. Farid sangat kagum dengan adiknya, awalnya gadis manja namun punya pemikiran begitu dalam. Rela meninggalkan karir demi keluarganya. Pendapatnya ibu rumah tangga adalah karir terbaik bagi wanita. Mendidik anak-anak bukan tugas ringan, di butuhkan kepintaran, kesabaran, kedisiplinan dll. "Sebentar lagi kakak juga bakal punya istri yang mendoakan kakak," sahut Farid. "Ma, jadi ya. Besok kita ke rumah Arin, lihat itu kakak sudah ngebet pengin nikah," tawa Fitri melihat kelakuan kakaknya. Farid meraih Hilda yang ada di pangkuan Grandpa dan di bawanya menjauh dari mereka. Farid berjalan sambil menggelitiki Hilda, balita itu terus tertawa. "Mirip ABG ya, Pa. Diledek masih malu-malu," "Sayang, kakak nggak mau nikah di marahi. Giliran sudah sadar di ledeki
"Bunda," rengek Daffa. "Anak Bunda, ke halaman yuk! Bermain sebentar sambil menunggu kedatangan Ayah," ajak Fitri dengan semangat. "Kakak Syifa, sekalian ajak Hilda ya!" imbuhnya. Fitri berdiri dan menggandeng kedua anaknya. Saat sampai di ruang keluarga Syifa melepaskan diri, mendekati adiknya. "Bunda duluan saja, kakak yang ajak Hilda ke depan," kata Syifa sambil menatap bundanya dengan berbinar. Fitri mengangguk, tubuhnya sudah di tarik dengan semangat oleh Daffa. Langkah kaki anak dan bunda itu berhenti di dekat permainan prosotan, "Kak Daffa, bunda nunggu di sini, kalau main ini. Bunda takut naik," "Kita ke yang itu saja ya, Bun. Ayunan," Daffa mengurungkan niatnya naik prosotan. "Boleh-boleh," Fitri mengangguk dengan antusias. "Bunda yang warna apa?" tanya Daffa polos. "Kak Daffa yang milih, Bunda yang mana saja bisa kok," sahut Fitri gemes. "Tidak bisa begitu, Bunda Sayang. Bunda adalah wanita yang akan Daffa selalu hormati, lindungi InsyaAllah. Jadi, Bunda harus mend
"Kalau bicara yang jelas, Abang," Fitri sudah tidak sabar dengan jawaban yang di sampaikan suamunya. Dia menatap lekat ke arah cermin yang memantulkan wajah suaminya."Sini, biar Abang yang sisirin, Sayang," Akram merebut sisir yang di pegang istrinya."Abang, tidak perlu memberi teka teki. Istrimu akan menerima apapun itu, tidak peduli hasil yang Abang dapat. Yang terpenting bagiku Abang sudah berusaha," Fitri menebak jika suaminya berat mengatakan kebenarannya. Akram tersenyum simpul sambil menyisiri rambut Fitri yang panjang. Dia sangat nyaman jika berdekatan dengan belahan jiwanya. "Sayang, tunggu sebentar. Abang cari sesuatu dulu," ucap Akram ambigu. Dahi Fitri berkerut, memandangi arah kemanapun langkah Akram."Mencari apa, Bang?" akhirnya Fitri bersuara tak tahan melihat pria itu terus berjalan mengitari antara kursi, lemari, ranjang dan nakes."Sayang! Tas Abang di letakan dimana?" Akram berbalik menghadap istrinya."Abang cari tas? Sebentar, aku ingat-ingat dulu," dahi Fitr
"Sayang, lekas kamu telepon sahabatmu!" Akram merasa reaksi Fitri menandakan lupa. "Abang, serius banget. Aku sudah telepon Arin tadi siang," ucap Fitri sangat tenang seperti tidak terjadi apa-apa, semua mata teruju padanya. Farid melemparinya bantal sofa yang ada di dekatnya. "Kak! Kenapa?" tanya Fitri kesal, mimiknya sudah maju entah berapa centi. Sembari memungut bantal dan melemparkan kembali kepada kakaknya. "Tidak lucu, Dek! Semua sudah resah dengan reaksimu!" gerutu Farid, tatapannya tidak lepas dari adiknya. "Tadi itu aku teringat sesuatu, bukan karena kaget belum memberi kabar sahabatku. Arin bilang, Ayahnya baru pulang dari luar kota pagi jadi, kita kesananya menjelang makan siang. Jam 10 atau 11an gitu," papar Fitri. Semua mata tampak lega dengan penjelasan Fitri, Papa meresapi minum kopi buatan mama. Aromanya menyeruak "Pa, kelihatannya kopinya enak banget," "Kebiasaan, mau minta kan? Bikin sendiri saja, sekalian suamimu di buatkan!" decak Papa, Fitri paling suka n
"Iya, Sayang. Abang mengerti, ibu rumah tanggapun capek di rumah. Abang minta maaf, sudah mengorek lukamu. Tapi, Abang janji tidak akan mengulangi lagi. Meskipun Abang menikah lagi pada kenyataannya tangki cinta Abang sudah penuh dengan cintamu," ucap Akram lembut sambil meraih tangan istrinya untuk di genggam. Kali ini Fitri tidak menolak."Hati Abang hanya berisi namamu, Sayang," Akram membawa tangan Fitri di dadanya pandangan lurus ke jalanan."Gombal!""Mana ada, Sayang. Abang mengatakan sejujurnya," Akram menoleh dan tersenyum sangat menawan.Fitri membalas senyum terbaiknya. Hati Fitri juga terpaut begitu dalam, sekalipun Akram pernah menyakitinya namun lautan maafnya begitu luas untuk suaminya. "Terimakasih, kamu sudah mengorbankan karirmu dan dengan ikhlas mengurusku dan anak-anak," ucap Akram tulus.Istri yang bahagia bisa memperlancar rejeki suami. Bahkan ada yang bilang bahwa 'Happy wife, happy life'. Artinya, keluarga yang bahagia dimulai dari istri yang bahagia. Kali ini
Fitri sangat tahu jika hal petama yang tidak disukai seorang laki-laki yaitu ketika sang istri sok tahu dan ingin mengajari suaminya.Ada perasaan sesal, suasana mendadak canggung. Mobil memasuki gerbang utama kawasan Perumahan Elit."Rumah nomor berapa, Sayang?" tanya Akram datar. "Nomor Lima, Bang," jawab Fitri. Akram mengangguk tanpa menoleh."Bang, maaf," cicit Fitri.Akram menoleh dan tersenyum pada istrinya yang begitu peka, mengelus pucuk jilbab sambil memperlambat laju mobil, "Itu kan, yang ber cat abu-abu?" "Heem," jawab Fitri dengan membalas senyum suaminya.Mobil kedua orang tuanya mengikuti dari belakang, mobil masuk gerbang rumah. mereka membuka kaca jendela dan mengenalkan diri kepada scurity yang berjaga. Setelah di persilahkan, Akram menginjak gas perlahan untuk memarkirkan kendaraan di halaman yang luas. "Sayang, dulu kamu sering ke sini?" tanya Akram sambil membuka seat balt."Iya, Bang. Kami teman akrab, teman nongkrong. Maklum sama-sama jomblo," Fitri terkekeh.
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B
Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve