Ya Allah, sebaiknya aku harus bagaimana? Mending aku sendiri yang cerita atau Papa yang cari tau sendiri?"Nda ... Huaaaa ... Nda!" terdengar suara tangis Hilda memanggil bundanya. "Pa, Hida bangun. Aku ke kamar dulu, Pa, Ma" tangisan Hilda membuatku bernafas lega terhindar dari rentetan pertanyaan dari orang tua. Aku tau tidak selamanya aku mampu menyembunyikan ini semua terlebih lagi Syifa sekarang ini sering bertingkah membuat pertunjukan drama jadi sangat mudah di tebak kalau kami sedang tidak baik-baik saja. Aku menghampiri Hilda mengelus-elus lembut punggungnya hingga dia tertidur kembali, sampai aku sendiri tak terlelap, terbangun saat menjelang subuh. Alhamdulillah aku bisa tidur dengan pulas. Aku melepaskan pelukan dari Hilda untuk mandi dan sholat subuh. "Bunda, kita sholat bareng yuk," suara Syifa muncul dari balik pintu kamar. Aku meletakan jari telunjuk di depan mulutku sebagai isyarat agar suara tidak boleh kencang, adiknya masih tidur. Dia paham kode yang aku beri.
Hening ... tet tot ... zonkArtinya mau tak mau aku akan bercerita dengan Mama. "Mama, maaf ... aku takut kalau Mama menertawakan keputusanku," Fitri kembali terisak karena merasa telah menyakiti hati Mamanya. "Sayang, walaupun Mama marah tapi kamu tetap punya hak dalam mengambil keputusan. Ceritakan!""Ma ... Bang Akram sudah menikah lagi, Fitri sekarang punya adik madu, Ma," ucapku perlahan. "Astaghfirullah, pantas saja dia nggak bisa ikut menginap. Jadi sekarang dia lagi pulang kerumah adik madumu?" tanya Mama, aku jawab dengan anggukan. "Ma, Bang Akram menyembunyikan status barunya dari kami semua, baru terbongkar Minggu kemarin. Bang Akram menikah lagi sudah 3 bulan. Bang Akram membohongi kami semua, Bapak dan Ibu juga tidak di beri tau. Bapak marah besar sama Bang Akram," aku mulai bercerita."Lalu apa yang akan kamu lakukan? Pahala menanti kalian jika cara kalian menjalaninya benar. Jika nantinya justru banyak mudharatnya/keburukan justru kalian ada dalam kubangan dosa," uc
"Papa!" ucap Mama dan aku bersamaan. "Papa, anak-anak dimana?" aku mengalihkan fokus Papa. "Mereka masih asyik main, papa sudah lelah. Tenaga Papa sudah nggak kaya dulu lagi, rencana apa, Sayang? Kenapa Kakak nggak boleh tau," tanya Papa. "Nanti Mama akan cerita, biar Fitri bangunkan Hilda dulu," aku lega dengan ucapan Mama. Selesai memandikan Hilda semua anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan. "Kak Farid!" aku kaget tadi sebelum membangunkan Hilda Kak Farid belum berada di rumah. "Kenapa kaget? Ketemu kakak harusnya salam, atau menyapa ini malah teriak, nggak sesuai dengan kenyataan kamu sudah punya anak 3, harusnya anggun lah," ucap Kak Farid tersenyum jail. "Kak, aku itu wanita anggun, cantik, cerdas dan bersahaja," ucapku kesal sambil mendudukkan Hilda di kursi khususnya biar nggak kabur saat disuapi. Aku duduk di hadapan Kak Farid. Syifa sudah berada di samping Kak Farid. "Kalian ini, malu lah sama yang kecil-kecil, mereka saja diam malah kalian yang heboh," seper
Aku menoleh ke arah suara yang tak jauh dari posisiku "Sayang, yang sakit mana?" Aku membantu Daffa untuk berdiri."Daffa, jagoan uncle nggak apa kan?" tanya Kak Farid."Daffa nggak apa, Bunda, Uncle, Ayah. Daffa tadi penasaran kenapa Bunda ad-" Aku langsung membungkam ucapan Daffa dengan menyuapkan jeruk yang berada di tanganku. Tadinya aku sedang menyiapkan buah untuk Hilda tapi penasaran dengan obrolan Kakak dan Bang Akram. "Manis ya, Kak?""Manis, Bun. Mau lagi," aman Daffa tak melanjutkan kalimatnya. "Ini, sekalian kamu bagi sama Hilda ya!" pintaku pada Daffa. "Siap, Bunda. Terus bunda mau lanjut mengin-" "Daffa, buruan. Adikmu sedang menunggu," ah ... beginilah jadinya kalau ketahuan sama anak jelas polos dan jujur. Aku melihat Bang Akram dan Kak Daffa yang sudah terbahak. "Kalian, nggak lucu!" Aku berjalan duduk di sofa tempat mereka ngobrol tadi. Mereka menyusul duduk di dekatku. Belum lama duduk sudah terdengar bunyi ponsel Bang Akram. Aku melirik kearah Kak Farid."Bang,
Di ponselku tertera notifikasi pesan masuk yang dikirim aku sendiri dari hp suamiku. Debaran jantung berdetak lebih kencang, aku beranjak mencuci muka terlebih dahulu untuk mengurangi kegugupanku. Aku memencet nomor yang sudah aku kasih nama 'Indah Maduku' nama yang pas kan? "Assalamualaikum, Dek. Ini Nomor Fitri, Kakak barumu," aku menyapa terlebih dan mengenalkan bahwa nomor ini adalah Kakak madunya. "Wa'alaikumussallam, Mba Fitri, nanti aku save nomornya. Apa kabarnya, Mba. Aku telpon Mas Akram kok nggak diangkat ya?""Kebetulan sekali kamu menanyakan itu, Dek. Bisakah kita ketemu hari ini. Nanti jam 10.30 pas menjelang makan siang aku tunggu di kafe dekat rumahmu," ucapku sangat lembut. "Boleh deh, memang Mba Fitri tau tempat saya tinggal?""Daerah situ tempatku nongkrong bareng teman-teman dulu semasa kuliah, aku tunggu di Kafe Syakir ya. InsyaAllah pukul 10.30 aku sudah disana. Ini lagi siap-siap,""Ya, Mba. Aku tunggu di sana. Apakah Mba Fitri bawa anak-anak?""Tidak, biar m
Aku tersenyum kepada pelayan "Terimakasih, Mba," "Maaf, Bu? Apakah masih ada yang kurang?""Sudah cukup, Terimakasih,""Sama-sama, Ibu. Semoga puas dengan hidangan kami," ucap pelayan ramah. "Silahkan dimakan, Dek. Mumpung masih anget, nanti kita lanjutkan lagi obrolannya," bukankah tak baik berdebat dihadapan makanan?Selesai makan jam menujukan pukul 11, mereka meminta pelayan untuk membereskan meja. "Bagaimana kamu sepakat dengan pernyataan tadi? Aku tak akan mengusik kamu saat bersama suamimu. Dan kamu jangan mengusikku saat Bang Akram sedang bersama keluargaku. Tidak telpon atau wa jika tidak urgent, kalau kamu mau hubunganmu dengan Bang Akram langgeng, bukan karena aku mengancam, tapi aku hanya mengingatkan, beliau orang yang paling nggak suka di usik dan merasa tidak dipercaya,""Tapi, Mba. Kalau aku tak menghubungi nanti Mas Akram tidak mengingatku bagaimana?" ucapan Indah lebih mirip anak kecil."Kamu tidak percaya diri sekali, padahal dulu kamu yang meragukan aku. Kenapa
"Indah, kakak madumu ini menikah sudah lebih dari 10 tahun jadi sebelum kamu hadir tentunya aku bisa menyimpan. Kalau sekarang jatahku jelas berkurang banyak jadi boro-boro menyimpan. Yang penting kebutuhan anak-anakku tercukupi. Kamu kan tau sendiri anakku tiga," ucap Fitri menerangkan dengan logika agar tak timbul salah paham. "Maaf, Mba. Aku sudah berprasangka. Tolong jangan minta Mas Akram untuk menceraikan aku,""Baiklah aku pulang dulu, tak enak juga dengan temanku menunggu di depan. Kamu langsung pulang?""Kesini sama teman?""Temanku pemilik kafe ini, dulu aku sering kesini sebelum ketemu dengan suamiku, ayo apa kamu masih betah disini?""Aku mau pulang juga, terimakasih traktirannya,""Indah, terimakasih kamu sudah menyepakati permintaanku," aku memeluk maduku. Ada perasaan aneh di dada entah apa aku sendiri tak bisa mengartikan. Sesak, tenggorokan tercekat, ah ... adik maduku. Kami beriringan berjalan keluar. "Indah, kamu duluan saja. Aku mau pamit sama temanku," Indah men
Bukan hanya kaget tapi lebih tepatnya malu. Malu dengan posisi masih di pangkuan suaminya."Kak Farid!" Aku berusaha berdiri namun masih ditahan sama Bang Akram. "Bang, lepasin. Aku malu sama Kakak," Akram menahan istrinya bukan tanpa alasan. Untuk menutup asetnya yang sudah mengembang. Nanti ketika sudah kembali ke bentuk semula akan diijinkan istrinya pindah. "Jangan bergerak, tunggu sebentar saja," aku paham dengan kondisi suamiku. Aku merasakan dibawah sana mulai mengecil aku baru bangkit. "Kalian ya, nggak ada malu-malu nya bermesraan dihadapan Kakak," seloroh Kak Farid sangat paham dengan kebiasaan mereka yang selalu menempel jika bersama. Sampai dia bingung situasi macam apa yang mereka ciptakan. Setelah penghianatan suaminya Fitri masih menempel seperti itu. "Kak, biar nggak panas lihat kita bermesraan aku jodohkan dengan temanku ya, itu loh yang dulu sering kesini. Dia masih menjomblo menunggu Kakak melamarnya. Dia sudah tau kalau Kakak ipar sudah nggak ada, jadi semakin
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B
Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve