Tian Min mendengarkan dengan penuh perhatian. "Apakah itu merupakan asal-usul dari Sekte Lotus Hitam?"Yu Xue menoleh dan tersenyum. "Benar. Setelah itu Zhao Zhingyi memberikan sisik naga yang tersisa pada murid-muridnya yang lebih muda."Tian Min tertegun sejenak. "Zhao Zhingyi rupanya memiliki banyak murid," gumamnya perlahan."Benar sekali!" Lagi-lagi Yu Xue membenarkan ucapan pemuda itu. "Murid-muridnya inilah yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Kaili. Lembah Selaksa Bunga, Lembah Merah, Lembah Ular, Hutan Kematian hingga ke Utara.""Maksud Guru merekalah cikal bakal berdirinya sekte-sekte kuat saat ini seperti Istana Bunga, Sekte Sembilan Pintu Kematian dan Elang Emas? Termasuk jurus Pedang Sang Pemabuk?" Tian Min cukup terkejut dengan ucapan Yu Xue barusan.Yu Xue mengangguk, mengiyakan dugaan pemuda itu. Keduanya kembali terdiam. Menikmati angin malam yang mulai terasa lebih sejuk. Juga aroma harum bunga yang perlahan-lah
Keesokan paginya, Yu Xue, Bao Yu, dan Tian Min berpamitan kepada Lady Wang. Mereka bertiga memutuskan untuk segera kembali ke Lembah Persik."Terima kasih atas segalanya, Lady Wang," kata Yu Xue dengan suara lembut.Pria itu menatap Majikan Istana Bunga yang berdiri kaku di hadapan mereka. Tatapan matanya tak beralih dari Tian Min. Pemuda itu sendiri menundukkan kepalanya, tidak berani membalas tatapan wanita yang merupakan kakak seperguruan sang ibunda, Lady Jing.Lady Wang memaksakan diri untuk tersenyum, meski matanya menyiratkan kesedihan. "Tian Min, ini adalah kitab milik ibumu, Lady Jing. Jagalah baik-baik," katanya sambil menyerahkan kitab kuno yang terbungkus kain sutra ungu.Tian Min menerima kitab itu dengan penuh hormat. "Terima kasih, Lady Wang. Aku akan menjaga kitab ini dengan segenap jiwa." Suaranya terdengar sedikit bergetar.Lady Wang mengangguk pelan. Meski keberatan untuk melepas putra sang adik seperguruan, dia tidak m
"Ayo kita menyeberang!" Ucapan Yu Xue menyadarkan Tian Min dari lamunannya.Pria itu menuntut Haiye Qilin dan mendahului mereka berdua menyeberangi jembatan kayu. Bao Yu menyusul di belakangnya dan barulah Tian Min mengikuti mereka berdua. Mereka bertiga dan Haiye Qilin menyeberangi jembatan dengan hati-hati. Meski terkesan rapuh, ternyata jembatan kayu itu kokoh dan kuat menahan beban.Sesekali Tian Min memandang ke bawah, di mana air sungai mengalir lumayan deras. Jika terpeleset dan terjatuh ke sungai pasti akan terseret dan terbawa arus sungai hingga jauh. Dia bergidik ngeri membayangkan jika itu terjadi pada mereka.Namun, mereka dapat menyeberang dengan selamat. Bahkan setelah melihat pemandangan di sekitar yang sangat indah, kekhawatiran Tian Min lenyap seketika. Setelah menyeberangi sungai, mereka tiba di Lembah Persik tepat saat tengah hari. Tian Min tertegun melihat pemandangan yang terhampar di hadapannya. "Indahnya lembah ini," ujarnya kagum.
Paviliun Kolam Naga, Wisma Lonceng Naga, Tanah BebasKetua Ren berdiri tegap di hadapan Xie Jing Cuan, wajahnya penuh ketegasan. "Ketua, perjalanan Lady Wang dan yang lainnya ke Lembah Selaksa Bunga berjalan lancar. Tidak ada hambatan berarti. Lady Jing pun telah dimakamkan dan dikremasi," lapornya dengan suara mantap.Xie Jing Cuan mengangguk pelan, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Ketua Ren. "Bagus. Sekarang, kembali ke barat dan bantu Ketua Ang Hui memantau situasi di sana. Jangan lupa perhatikan gerak-gerik suku Xiaong Nu," perintahnya tegas.Ketua Ren membungkuk hormat sebelum berbalik dan meninggalkan kolam air panas. Xie Jing Cuan kembali duduk di depan guzhengnya, jari-jarinya yang lentik mulai memetik senar-senar dengan lembut, menghasilkan melodi yang menenangkan. Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh kedatangan seorang pelayan yang tergesa-gesa."Tuan, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda," kata pelayan itu dengan
Manor Duan, Kaili UtaraTetua Duan, Duan Mingyu, berdiri di menara tertinggi di Manor Duan. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya, membawa serta aroma pinus dari hutan di bawah.Dia termenung seorang diri setelah mendengar kabar munculnya Seruling Giok Ru Yi. Kabar berita yang membuatnya terkejut, gelisah sekaligus gembira. Benda pusaka milik Klan Duan, yang konon memiliki kekuatan untuk mengendalikan kekuatan tiga klan kuat yang lain telah lama menghilang dari sejarah. Kini, keberadaannya kembali terungkap, membawa harapan sekaligus ancaman bagi klan Duan.Sebagai Tetua klan Duan, dia sangat mengkhawatirkan masa depan klannya. Meski saat ini ada sepupunya, Jenderal Duan dan Pasukan Merahnya, tetapi keberadaan Seruling Giok Ru Yi di tengah klan mereka merupakan harga diri yang akan menentukan kelangsungan hidup klan mereka kelak. "Jika seruling itu jatuh ke tangan yang salah," pikirnya, "maka kehancuran kita tak terelakkan."Pria tampan yang me
Duan Yu Yan termenung sendirian di sudut taman. Angin sepoi-sepoi menyapu rambutnya yang hitam legam, sementara matanya yang bening menatap kosong ke arah bunga-bunga yang bermekaran. Dia sangat sedih karena dalam beberapa hari ke depan harus meninggalkan manor tempatnya lahir dan dibesarkan.Duan Yu Yan menghela napas panjang, mencoba mengusir kegelisahan yang menggelayuti hatinya. "Aku harus kuat," bisiknya pada diri sendiri. "Ini adalah takdirku."Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Duan Yu Yan menoleh dan melihat sepupunya, Mei Ling, datang menghampirinya dengan senyum ceria."Yu Yan, kau di sini rupanya! Aku mencarimu ke mana-mana," kata Mei Ling sambil duduk di sebelahnya."Aku hanya ingin menyendiri sebentar," jawab Duan Yu Yan dengan suara pelan.Mei Ling menatapnya dengan penuh pengertian. "Aku tahu ini berat bagimu. Tapi kau harus percaya, di ibukota dan Tanah Bebas, kau akan menemukan kebahagiaanmu."Duan
Bunyi denting guzheng di tengah malam yang sunyi, terdengar hingga seantero wisma Lonceng Naga. Seakan-akan sebuah mantra yang menghipnotis para tamu wisma untuk terhanyut dan terbuai dalam alunan merdu guzheng sang pemilik wisma itu.Tak terkecuali seseorang yang masih terjaga di dalam kamarnya. "Lagu yang merdu," gumam sosok berhanfu putih itu seraya membuka jendela kamarnya.Ditatapnya pemandangan malam yang temaram. Bulan purnama menggantung di langit, bersinar keperakan di antara awan-awan yang gelap. Suasana begitu sunyi, hanya denting senar guzheng yang sayup-sayup terdengar, menambah syahdu dan haru biru kalbu.Tidak hanya ingin terhanyut begitu saja, sosok itu keluar dari kamarnya kemudian dengan ilmu meringankan tubuhnya melayang dari satu atap ke atap bangunan lain di kompleks wisma yang luas itu. Mencari asal alunan musik yang merdu itu.Hingga dia tiba di sebuah paviliun yang terpencil, di sudut wisma yang tersembunyi di balik rerumpu
Dong Fai, ketua pintu kematian keenam, tersenyum lebar. Dia masih berdiri menatap Xie Jing Cuan lekat-lekat. Meski sudah cukup lama mengenal pria berambut putih itu, dia selalu merasakan sebuah misteri yang menyelimuti pria itu."Hanya duduk?" tanyanya sembari bersedekap tangan dan menyandarkan bahunya pada sebongkah batu besar yang ada di sampingnya."Ah, aku sungguh lupa. Tuan Muda Dong Fai sangat menyukai arak yang harum dan lezat." Xie Jing Cuan meliriknya sekilas kemudian menjentikkan jarinya.Seketika senar guzheng berdenting lebih keras disertai gemerincing lonceng yang cukup nyaring. Dari sela-sela asap tipis yang bersumber pada kolam air panas yang menyebar bak kabut, muncul seseorang. Seorang pelayan pria yang berjalan kaki tanpa ekspresi."Bawakan arak yang paling lezat untuk tamuku." Ucapan Xie Jing Cuan terdengar lembut, namun tegas pada sosok yang baru saja muncul dari balik kabut.Gerak-geriknya kaku tidak seperti para pela
Meigui Jin, Ibukota Negeri UtaraLi Feng Hai menatap Permaisuri Ye Yang hampir saja memuntahkan darah saat membuka kotak-kotak peti yang dibawanya. Wanita cantik itu seketika menjadi pucat pasi. Perutnya terasa mual."Yang Mulia, selain itu ada pesan dari Tuan Xie Jing Cuan sebagai pemilik Wisma Lonceng Naga." Li Feng Hai menyerahkan sebuah gulungan.Permaisuri Ye membacanya dan kemudian berteriak marah melemparkan gulungan itu. Jika kedua peti berisi kepala Kasim Zhou dan Kasim Zheng membuatnya merasa ngeri, maka gulungan itu membuatnya naik darah."Apa kalian ingin membuatku bangkrut," geramnya seraya melirik Li Feng Hai.Li Feng Hai hanya tersenyum tipis. Kemudian dia menjelaskan tujuannya datang ke Negeri Utara selain membawa kepala kedua kasim yang dipenggal Wu Hongyi dan juga tagihan dari Xie Jing Cuan atas merusak Wisma Lonceng Naga."Yang Mulia, Negeri Kaili tidak akan ikut campur suksesi di Negeri Utara. Namun, Kaisar Ao
Seperti yang dikatakan Xie Jing Cuan tadi, matahari perlahan-lahan muncul di timur. Meski masih malu-malu, tetapi sinarnya cukup untuk menyinari pedang di tangan Xie Jing Cuan.Di halaman wisma, di mana semua orang berkumpul, Pedang Bulan milik Wu Hongyi tiba-tiba bergetar dan melayang. Pedang itu terbang melesat meninggalkan halaman."Ketua," gumam Wu Hongyi lirih. Dia berusaha untuk bangun dan mengikuti pedangnya. Namun, tubuhnya tak mampu lagi."Yu, kita harus ke danau!" Fu Rui segera memapah Wu Hongyi dan membawanya terbang. Diikuti Ketua Qilin dan yang lain. Sebelum itu Dun Ming sempat meminta para pelayan wisma untuk mengurus jenazah Kang Li.Mereka tiba di danau yang membeku, tepat saat Xie Jing Cuan melemparkan Pedang Matahari yang bersatu dengan Pedang Bulan ke arah Zhang Jiawu dan tepat menancap di dadanya. Pria itu menatap dadanya yang terluka parah. Dicabutnya pedang itu dan melemparkannya. Dia hendak menyerang
Ketua Qilin tertegun, pasir keemasan berhamburan di halaman wisma. Sosok Feiyu berdiri tegak di tengah halaman dengan pusaran pasir mengelilinginya."Aku tidak keberatan untuk menyapu bersih kalian semua," ucapnya dengan tatapan dingin pada para anggota sekte Lotus Hitam yang tersisa."Bai Hua, sebaiknya kita mundur dan membantu Ketua," Yang Hui berbisik pelan. Bai Hua tidak segera menyahut.Dia menatap sekelilingnya sekilas. Kemudian dia mengangguk dan memberi isyarat agar seluruh anggota sekte mundur mengikutinya.Para tetua sekte Lotus Hitam itu pun mundur dengan terbang menjauhi wisma.Sementara itu Kang Li berusaha membantu Wu Hongyi dan Dun Ming. Namun,jurus tapak beracun milik kedua Kasim dari Negeri Utara itu mengenai dadanya. Kang Li pun tersungkur jatuh melayang dari atap aula utama."Kang Li!" Dun Ming berteriak panik dan meluncur turun untuk menangkap tubuh Kang Li. Sedangkan Wu Hongyi menatap keduanya yang meluncur d
Ao Yu Long hanya memandangi kepergian Jenderal Duan. Dia melirik atap aula utama di mana Wu Hongyi dan Dun Ming masih bertarung dengan kedua Kasim dari Negeri Utara. Di sisi lain, Dong Xiu Bai dan Mu Jin masih berjaga-jaga melindungi Pangeran Dong Fang Xian. "Xie Jing Cuan, mau tidak mau aku harus bertarung dengan Zhang Jiawu bukan?" gumamnya seraya menatap Zhang Jiawu yang masih berdiri tegak tak jauh darinya. "Aku tidak ingin bertarung denganmu, Yang Mulia." Pria berhanfu dan berjubah hitam bermotif bunga lotus itu berkata dengan kesal. "Bagiku bukan masalah, apakah harus bertarung denganmu atau tidak," sahut Ao Yu Long santai. Dia tersenyum tipis dan tangannya bergerak mengangkat pedang esnya. Pedang itu berkilau kebiruan ditimpa sinar bulan. Menimbulkan kilatan-kilatan kebiruan yang indah, tetapi juga mengerikan. Siapa pun tahu jika pedang itu ditebaskan dengan kekuatan
Kelopak-kelopak lotus hitam berhamburan menyerang Wu Hongyi dan Dun Ming. Pedang Bulan Wu Hongyi berkelebat cepat mencacah kelopak-kelopak lotus itu hingga hancur berkeping-keping.Zhang Jiawu memberi isyarat pada anggota sekte Lotus Hitam yang masih berada di luar untuk menyerbu masuk. Wu Hongyi yang menyadari situasi mulai tidak menguntungkan mereka, membunyikan lonceng di jarinya. Begitu juga dengan Dun Ming.Dari kegelapan malam, muncul sosok-sosok mayat hidup yang menghadang para anggota sekte Lotus Hitam. Sementara Kang Li sadar betul dia tidak akan bisa menahan mereka semua sendirian. Dia mengibaskan selendang putihnya disertai mantra Sutra Kematian.Selendang putih itu berkelebat dengan cepat, meliuk-liuk dan menghajar sepuluh pembunuh bayaran dari organisasi Tangan Kematian. Yu Jue, pimpinan mereka pun terluka cukup parah. Namun, kedatangan orang-orang dari sekte Lotus Hitam membuat Kang Li kerepotan.Beruntung sa
Seorang pria muda tampan berhanfu dan jubah hijau muda tersenyum menatap sang kasim. Memamerkan deretan giginya yang putih berseri-seri dan senyum yang teramat manis. "Dun Ming, si pemilik senyum malaikat," gumam Kasim Zhou. Dun Ming, ketua pintu kematian ke-lima, tersenyum tipis menganggukkan kepalanya. "Wah, rupanya Kasim Zhou masih mengingatku dengan baik. Aku sungguh merasa terhormat." Dun Ming kembali memamerkan senyuman yang bak malaikat. Sayangnya, senyum indahnya itu hampir dipastikan membawa maut bagi orang-orang di sekelilingnya. Karena itu dia dijuluki Pemilik Senyum Malaikat Maut. "Jangan halangi aku!" Kasim Zhou menyipitkan matanya dan tanpa basa-basi menyerang Dun Ming dengan pedangnya. Pemuda tampan itu hanya tersenyum tipis dan terbang menghindari serangan sang kasim. Dia melompat ke atap aula utama bergabung dengan Wu Hongyi yang tengah bertarung dengan Kasim Zheng. Wu Hongyi tertegun, tetapi tidak bertanya dan justru menjadi
Kasim Zheng menatap Wu Hongyi. Dia kembali berdiri tegak. Darah merembes di hanfu ungunya, tetapi itu tidak menghalanginya untuk melanjutkan pertarungannya. "Pangeran Mahkota patuhilah perintah Permaisuri Ye!" Dia berseru pada Pangeran Dong Fang Xian yang berdiri di atap bangunan di belakang bangunan di mana Kasim Zheng dan Wu Hongyi berada. "Kasim Zheng! Aku hanya mematuhi perintah Ayahanda Kaisar! Yang Mulia memerintahkan diriku untuk pergi dari Negeri Utara dan baru diijinkan kembali jika Yang Mulia telah tiada!" sahut Pangerang Dong Fang Xian dari kejauhan. Pangeran Dong Fang Xian berbicara dengan tenang dan tegas. Dia sangat memahami keberpihakan Kasim Zheng dan Kasim Zhou pada Permaisuri Ye. Mereka berdua merupakan Kasim yang terkuat baik posisi, status maupun ilmu beladiri diri, di dalam Istana Meigui Jin. Bahkan Kasim Wang pun belum tentu mampu mengalahkan salah satu dari mereka berdua. "Pangeran, jangan salahkan hamba!" Kasim Zheng m
Tongkat berkilau itu bergerak cepat sebelum pedang milik Rou menyabet Yu Jue. Benda itu menghantam dada Rou dan membuat gadis cantik jatuh ke tanah berlapis salju yang dingin. Seteguk darah muncrat dari mulutnya."Kami hanya ingin membawa kembali Pangeran Mahkota!" Sang pemilik tongkat, seorang pria berpakaian khas berwarna ungu dan hitam, berbicara dengan tegas.Rou berdiri meski tertatih-tatih. Dia mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangannya. "Tidak semudah itu! Lewati aku dulu!" Rou sama sekali tidak gentar. Meski menyadari tongkat perak berkilau di tangan pria itu cukup berbahaya bahkan mungkin mematikan."Gadis kecil, jangan memaksaku!" Pria itu bergerak cepat. Tongkatnya memukul tanah dan salju kembali berhamburan bersamaan dengan batu-batuan yang melapisi halaman utama wisma.Rou dengan cepat menghindar. Dia melompat dan berputar kemudian mendarat di ujung tangga yang menuju aula utama. Meski terluka, tetapi dia masih mampu bertahan d
Pintu gerbang kayu terbuka karena ditendang dengan kekuatan yang cukup besar. Kini pintu gerbang wisma Lonceng Naga itu terbuka lebar. Papan nama kayu yang tergantung di atasnya ikut terjatuh dan terbelah dua. Hanya lonceng naga saja masih tergantung kokoh di atas pintu gerbang itu."Begitulah cara kalian bertamu?" Rou berdiri tegak di tengah halaman aula utama. Dia berdiri seorang diri, menyambut kedatangan para tamu yang tak diundang dan sepertinya juga tidak berniat untuk menginap di wisma selayaknya para tamu yang biasa mengunjungi wisma."Kami sudah membunyikan lonceng di gerbang! Namun, tidak ada yang membukakan pintu gerbang!" sahut salah seorang dari orang-orang yang memaksa untuk memasuki wisma.Dia seorang wanita cantik yang mengenakan hanfu berwarna biru dan putih. Dia melangkah maju mendekati Rou dengan penuh percaya diri."Tentu saja! Bagaimana kami akan menyambut tamu yang datang di tengah malam di tengah musim dingin seperti ini? Bu