Manor Duan, Kaili Utara
Tetua Duan, Duan Mingyu, berdiri di menara tertinggi di Manor Duan. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya, membawa serta aroma pinus dari hutan di bawah.Dia termenung seorang diri setelah mendengar kabar munculnya Seruling Giok Ru Yi. Kabar berita yang membuatnya terkejut, gelisah sekaligus gembira. Benda pusaka milik Klan Duan, yang konon memiliki kekuatan untuk mengendalikan kekuatan tiga klan kuat yang lain telah lama menghilang dari sejarah. Kini, keberadaannya kembali terungkap, membawa harapan sekaligus ancaman bagi klan Duan.Sebagai Tetua klan Duan, dia sangat mengkhawatirkan masa depan klannya. Meski saat ini ada sepupunya, Jenderal Duan dan Pasukan Merahnya, tetapi keberadaan Seruling Giok Ru Yi di tengah klan mereka merupakan harga diri yang akan menentukan kelangsungan hidup klan mereka kelak. "Jika seruling itu jatuh ke tangan yang salah," pikirnya, "maka kehancuran kita tak terelakkan."Pria tampan yang meDuan Yu Yan termenung sendirian di sudut taman. Angin sepoi-sepoi menyapu rambutnya yang hitam legam, sementara matanya yang bening menatap kosong ke arah bunga-bunga yang bermekaran. Dia sangat sedih karena dalam beberapa hari ke depan harus meninggalkan manor tempatnya lahir dan dibesarkan.Duan Yu Yan menghela napas panjang, mencoba mengusir kegelisahan yang menggelayuti hatinya. "Aku harus kuat," bisiknya pada diri sendiri. "Ini adalah takdirku."Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Duan Yu Yan menoleh dan melihat sepupunya, Mei Ling, datang menghampirinya dengan senyum ceria."Yu Yan, kau di sini rupanya! Aku mencarimu ke mana-mana," kata Mei Ling sambil duduk di sebelahnya."Aku hanya ingin menyendiri sebentar," jawab Duan Yu Yan dengan suara pelan.Mei Ling menatapnya dengan penuh pengertian. "Aku tahu ini berat bagimu. Tapi kau harus percaya, di ibukota dan Tanah Bebas, kau akan menemukan kebahagiaanmu."Duan
Bunyi denting guzheng di tengah malam yang sunyi, terdengar hingga seantero wisma Lonceng Naga. Seakan-akan sebuah mantra yang menghipnotis para tamu wisma untuk terhanyut dan terbuai dalam alunan merdu guzheng sang pemilik wisma itu.Tak terkecuali seseorang yang masih terjaga di dalam kamarnya. "Lagu yang merdu," gumam sosok berhanfu putih itu seraya membuka jendela kamarnya.Ditatapnya pemandangan malam yang temaram. Bulan purnama menggantung di langit, bersinar keperakan di antara awan-awan yang gelap. Suasana begitu sunyi, hanya denting senar guzheng yang sayup-sayup terdengar, menambah syahdu dan haru biru kalbu.Tidak hanya ingin terhanyut begitu saja, sosok itu keluar dari kamarnya kemudian dengan ilmu meringankan tubuhnya melayang dari satu atap ke atap bangunan lain di kompleks wisma yang luas itu. Mencari asal alunan musik yang merdu itu.Hingga dia tiba di sebuah paviliun yang terpencil, di sudut wisma yang tersembunyi di balik rerumpu
Dong Fai, ketua pintu kematian keenam, tersenyum lebar. Dia masih berdiri menatap Xie Jing Cuan lekat-lekat. Meski sudah cukup lama mengenal pria berambut putih itu, dia selalu merasakan sebuah misteri yang menyelimuti pria itu."Hanya duduk?" tanyanya sembari bersedekap tangan dan menyandarkan bahunya pada sebongkah batu besar yang ada di sampingnya."Ah, aku sungguh lupa. Tuan Muda Dong Fai sangat menyukai arak yang harum dan lezat." Xie Jing Cuan meliriknya sekilas kemudian menjentikkan jarinya.Seketika senar guzheng berdenting lebih keras disertai gemerincing lonceng yang cukup nyaring. Dari sela-sela asap tipis yang bersumber pada kolam air panas yang menyebar bak kabut, muncul seseorang. Seorang pelayan pria yang berjalan kaki tanpa ekspresi."Bawakan arak yang paling lezat untuk tamuku." Ucapan Xie Jing Cuan terdengar lembut, namun tegas pada sosok yang baru saja muncul dari balik kabut.Gerak-geriknya kaku tidak seperti para pela
Berpuluh tahun lalu, saat pertama kali turun gunung, Xie Jing Cuan mengemban tugas untuk membantu menyelesaikan masalah di Utara. Klan Duan berseteru dengan pasukan Negeri Utara di perbatasan.Langit kelabu dan angin dingin menyambutnya saat ia tiba di kota kecil yang menjadi pusat konflik. Musim dingin membuat kota yang berada tepat di perbatasan Kaili dan Negeri Utara itu berada dalam kondisi yang buruk. Kegagalan panen, kekurangan bahan makanan, kejahatan merajalela membuat situasi di kota Angin Utara berada di titik terendah."Sudah menjelang malam. Sebaiknya aku mencari penginapan." Xie Jing Cuan bergumam seorang diri.Dia berdiri terpaku di depan gerbang kota yang nampak lusuh. Hanya ada dua buah tiang yang hampir roboh tanpa ada pos penjagaan atau sejenisnya."Benarkah ini sebuah kota?" gumamnya seraya mengamati sekitarnya.Suasana di perbatasan Utara Kaili sungguh jauh berbeda dengan di Tanah Bebas bahkan di Dataran Tengah sekali
Sepeninggalan rombongan pria tadi, Xie Jing Cuan masih terpaku memantau situasi di sekelilingnya. Dia tidak kekurangan uang untuk mendapatkan penginapan yang nyaman dan mewah apalagi jika sekadar sebuah penginapan ala kadarnya seperti penginapan Tuan Song di hadapannya."Sayang, jika aku harus membayar mahal untuk menginap di penginapan lusuh seperti itu," keluhnya seraya tersenyum jahil.Apalagi untuk menjaga keamanan dirinya sendiri. Xie Jing Cuan tidak akan sudi mengeluarkan koin miliknya barang sekeping pun. Sebagai tuan muda dari Keluarga Xie yang termasyur di ibukota Kaili dan murid utama Liu Yaoshan, ketua Sekte Sembilan Pintu Kematian, dia tidak memerlukan itu semua. Dan tentunya tidak kekurangan uang seperti yang dikatakannya pada rombongan pria tadi."Ada banyak tempat yang bisa aku jadikan sebagai tempat beristirahat tanpa membayar," gumamnya lagi seraya melirik deretan bangunan yang nampak gelap dan sepi.Xie Jing Cuan berjalan menyebe
Seorang gadis berhanfu merah muda berdiri di depan pintu kedai. Di belakangnya seorang pemuda berhanfu putih dan berjubah putih dan gadis berhanfu biru cerah, mengikutinya. Dari pakaian dan gaya mereka, sepertinya mereka berasal dari keluarga yang terhormat. Pria paruh baya tadi terbungkuk-bungkuk berlari menghampirinya. "Iya Nona, silakan! Ada meja kosong di dekat jendela sana." Pelayan kedai menunjuk ke arah meja yang sudah di mana Xie Jing Cuan duduk dengan santai.Xie Jing Cuan pura-pura tidak mendengar dan tidak mengetahui kedatangan para tamu itu. Dia menatap jalanan di luar kedai, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Juga toko-toko dan kedai yang semuanya ramai pengunjung. Dan semuanya terlihat tergesa-gesa dalam beraktivitas. Sesuatu yang sedari tadi membuatnya sedikit bingung. Tidak ada yang bersikap santai dan sembarangan, semua bergegas dengan cekatan. "Tidak adakah meja yang kosong?" Gadis itu bertanya dengan gaya angkuh.
"Pelayan!" Serunya memanggil pelayan tadi, yang kini tengah melayani seseorang yang baru saja datang.Xie Jing Cuan menyadari arak yang diminumnya bukanlah arak yang dipesannya. Arak itu bukan arak madu dan semut dari pegunungan selatan seperti yang tertera di pintu masuk kedai. Salah satu alasan yang membuatnya memilih kedai itu di antara sekian banyak kedai yang bertebaran di pusat kota ini.Seorang Xie Jing Cuan tidak akan bisa ditipu jika mengenai arak terbaik di wilayah Kaili. Begitu juga jika mengenai uang, dia tidak akan mau rugi sedikit pun untuk membayar mahal arak palsu atau berkualitas rendah."Aiya Tuan, apakah kau ingin memesan lagi?" Pelayan itu tergopoh-gopoh mendatanginya."Arak apa ini?" Xie Jing Cuan menunjukkan kendi arak di atas meja. Raut wajahnya yang semula tenang tanpa riak, kini terlihat muram."Aiyo tentu saja ini arak madu dan sarang semut dari pegunungan selatan yang sangat berkhasiat, Tuan," sahut pelayan itu
Setelah meninggalkan kedai, Xie Jing Cuan kembali berkeliling kota hingga sore hari. Jalan-jalan sempit dan berliku di kota Angin Utara dipenuhi dengan aroma rempah-rempah dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka membuatnya melupakan insiden di kedai tadi."Aku masih merasa heran, mengapa penduduk kota seperti tergesa-gesa dalam melakukan segala hal. Bahkan makan dan minum pun mereka seperti tidak menikmatinya, asal kenyang saja." Xie Jing Cuan berdiri terpaku menatap orang-orang di sekitarnya. Mereka begitu tergesa-gesa bak tengah berlomba dengan waktu.Matahari mulai tenggelam di balik pegunungan, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan. Suasana mulai sepi. Toko dan kedai satu persatu mulai berangsur berkurang pengunjungnya. Bahkan ada beberapa yang sudah bersiap-siap untuk menutup toko dan kedai mereka."Eh, begitu sore menjelang, suasana seketika sepi." Lagi-lagi Xie Jing Cuan hanya bergumam dalam hati saja. "Apakah kota ini hanya hid
Meigui Jin, Ibukota Negeri UtaraLi Feng Hai menatap Permaisuri Ye Yang hampir saja memuntahkan darah saat membuka kotak-kotak peti yang dibawanya. Wanita cantik itu seketika menjadi pucat pasi. Perutnya terasa mual."Yang Mulia, selain itu ada pesan dari Tuan Xie Jing Cuan sebagai pemilik Wisma Lonceng Naga." Li Feng Hai menyerahkan sebuah gulungan.Permaisuri Ye membacanya dan kemudian berteriak marah melemparkan gulungan itu. Jika kedua peti berisi kepala Kasim Zhou dan Kasim Zheng membuatnya merasa ngeri, maka gulungan itu membuatnya naik darah."Apa kalian ingin membuatku bangkrut," geramnya seraya melirik Li Feng Hai.Li Feng Hai hanya tersenyum tipis. Kemudian dia menjelaskan tujuannya datang ke Negeri Utara selain membawa kepala kedua kasim yang dipenggal Wu Hongyi dan juga tagihan dari Xie Jing Cuan atas merusak Wisma Lonceng Naga."Yang Mulia, Negeri Kaili tidak akan ikut campur suksesi di Negeri Utara. Namun, Kaisar Ao
Seperti yang dikatakan Xie Jing Cuan tadi, matahari perlahan-lahan muncul di timur. Meski masih malu-malu, tetapi sinarnya cukup untuk menyinari pedang di tangan Xie Jing Cuan.Di halaman wisma, di mana semua orang berkumpul, Pedang Bulan milik Wu Hongyi tiba-tiba bergetar dan melayang. Pedang itu terbang melesat meninggalkan halaman."Ketua," gumam Wu Hongyi lirih. Dia berusaha untuk bangun dan mengikuti pedangnya. Namun, tubuhnya tak mampu lagi."Yu, kita harus ke danau!" Fu Rui segera memapah Wu Hongyi dan membawanya terbang. Diikuti Ketua Qilin dan yang lain. Sebelum itu Dun Ming sempat meminta para pelayan wisma untuk mengurus jenazah Kang Li.Mereka tiba di danau yang membeku, tepat saat Xie Jing Cuan melemparkan Pedang Matahari yang bersatu dengan Pedang Bulan ke arah Zhang Jiawu dan tepat menancap di dadanya. Pria itu menatap dadanya yang terluka parah. Dicabutnya pedang itu dan melemparkannya. Dia hendak menyerang
Ketua Qilin tertegun, pasir keemasan berhamburan di halaman wisma. Sosok Feiyu berdiri tegak di tengah halaman dengan pusaran pasir mengelilinginya."Aku tidak keberatan untuk menyapu bersih kalian semua," ucapnya dengan tatapan dingin pada para anggota sekte Lotus Hitam yang tersisa."Bai Hua, sebaiknya kita mundur dan membantu Ketua," Yang Hui berbisik pelan. Bai Hua tidak segera menyahut.Dia menatap sekelilingnya sekilas. Kemudian dia mengangguk dan memberi isyarat agar seluruh anggota sekte mundur mengikutinya.Para tetua sekte Lotus Hitam itu pun mundur dengan terbang menjauhi wisma.Sementara itu Kang Li berusaha membantu Wu Hongyi dan Dun Ming. Namun,jurus tapak beracun milik kedua Kasim dari Negeri Utara itu mengenai dadanya. Kang Li pun tersungkur jatuh melayang dari atap aula utama."Kang Li!" Dun Ming berteriak panik dan meluncur turun untuk menangkap tubuh Kang Li. Sedangkan Wu Hongyi menatap keduanya yang meluncur d
Ao Yu Long hanya memandangi kepergian Jenderal Duan. Dia melirik atap aula utama di mana Wu Hongyi dan Dun Ming masih bertarung dengan kedua Kasim dari Negeri Utara. Di sisi lain, Dong Xiu Bai dan Mu Jin masih berjaga-jaga melindungi Pangeran Dong Fang Xian. "Xie Jing Cuan, mau tidak mau aku harus bertarung dengan Zhang Jiawu bukan?" gumamnya seraya menatap Zhang Jiawu yang masih berdiri tegak tak jauh darinya. "Aku tidak ingin bertarung denganmu, Yang Mulia." Pria berhanfu dan berjubah hitam bermotif bunga lotus itu berkata dengan kesal. "Bagiku bukan masalah, apakah harus bertarung denganmu atau tidak," sahut Ao Yu Long santai. Dia tersenyum tipis dan tangannya bergerak mengangkat pedang esnya. Pedang itu berkilau kebiruan ditimpa sinar bulan. Menimbulkan kilatan-kilatan kebiruan yang indah, tetapi juga mengerikan. Siapa pun tahu jika pedang itu ditebaskan dengan kekuatan
Kelopak-kelopak lotus hitam berhamburan menyerang Wu Hongyi dan Dun Ming. Pedang Bulan Wu Hongyi berkelebat cepat mencacah kelopak-kelopak lotus itu hingga hancur berkeping-keping.Zhang Jiawu memberi isyarat pada anggota sekte Lotus Hitam yang masih berada di luar untuk menyerbu masuk. Wu Hongyi yang menyadari situasi mulai tidak menguntungkan mereka, membunyikan lonceng di jarinya. Begitu juga dengan Dun Ming.Dari kegelapan malam, muncul sosok-sosok mayat hidup yang menghadang para anggota sekte Lotus Hitam. Sementara Kang Li sadar betul dia tidak akan bisa menahan mereka semua sendirian. Dia mengibaskan selendang putihnya disertai mantra Sutra Kematian.Selendang putih itu berkelebat dengan cepat, meliuk-liuk dan menghajar sepuluh pembunuh bayaran dari organisasi Tangan Kematian. Yu Jue, pimpinan mereka pun terluka cukup parah. Namun, kedatangan orang-orang dari sekte Lotus Hitam membuat Kang Li kerepotan.Beruntung sa
Seorang pria muda tampan berhanfu dan jubah hijau muda tersenyum menatap sang kasim. Memamerkan deretan giginya yang putih berseri-seri dan senyum yang teramat manis. "Dun Ming, si pemilik senyum malaikat," gumam Kasim Zhou. Dun Ming, ketua pintu kematian ke-lima, tersenyum tipis menganggukkan kepalanya. "Wah, rupanya Kasim Zhou masih mengingatku dengan baik. Aku sungguh merasa terhormat." Dun Ming kembali memamerkan senyuman yang bak malaikat. Sayangnya, senyum indahnya itu hampir dipastikan membawa maut bagi orang-orang di sekelilingnya. Karena itu dia dijuluki Pemilik Senyum Malaikat Maut. "Jangan halangi aku!" Kasim Zhou menyipitkan matanya dan tanpa basa-basi menyerang Dun Ming dengan pedangnya. Pemuda tampan itu hanya tersenyum tipis dan terbang menghindari serangan sang kasim. Dia melompat ke atap aula utama bergabung dengan Wu Hongyi yang tengah bertarung dengan Kasim Zheng. Wu Hongyi tertegun, tetapi tidak bertanya dan justru menjadi
Kasim Zheng menatap Wu Hongyi. Dia kembali berdiri tegak. Darah merembes di hanfu ungunya, tetapi itu tidak menghalanginya untuk melanjutkan pertarungannya. "Pangeran Mahkota patuhilah perintah Permaisuri Ye!" Dia berseru pada Pangeran Dong Fang Xian yang berdiri di atap bangunan di belakang bangunan di mana Kasim Zheng dan Wu Hongyi berada. "Kasim Zheng! Aku hanya mematuhi perintah Ayahanda Kaisar! Yang Mulia memerintahkan diriku untuk pergi dari Negeri Utara dan baru diijinkan kembali jika Yang Mulia telah tiada!" sahut Pangerang Dong Fang Xian dari kejauhan. Pangeran Dong Fang Xian berbicara dengan tenang dan tegas. Dia sangat memahami keberpihakan Kasim Zheng dan Kasim Zhou pada Permaisuri Ye. Mereka berdua merupakan Kasim yang terkuat baik posisi, status maupun ilmu beladiri diri, di dalam Istana Meigui Jin. Bahkan Kasim Wang pun belum tentu mampu mengalahkan salah satu dari mereka berdua. "Pangeran, jangan salahkan hamba!" Kasim Zheng m
Tongkat berkilau itu bergerak cepat sebelum pedang milik Rou menyabet Yu Jue. Benda itu menghantam dada Rou dan membuat gadis cantik jatuh ke tanah berlapis salju yang dingin. Seteguk darah muncrat dari mulutnya."Kami hanya ingin membawa kembali Pangeran Mahkota!" Sang pemilik tongkat, seorang pria berpakaian khas berwarna ungu dan hitam, berbicara dengan tegas.Rou berdiri meski tertatih-tatih. Dia mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangannya. "Tidak semudah itu! Lewati aku dulu!" Rou sama sekali tidak gentar. Meski menyadari tongkat perak berkilau di tangan pria itu cukup berbahaya bahkan mungkin mematikan."Gadis kecil, jangan memaksaku!" Pria itu bergerak cepat. Tongkatnya memukul tanah dan salju kembali berhamburan bersamaan dengan batu-batuan yang melapisi halaman utama wisma.Rou dengan cepat menghindar. Dia melompat dan berputar kemudian mendarat di ujung tangga yang menuju aula utama. Meski terluka, tetapi dia masih mampu bertahan d
Pintu gerbang kayu terbuka karena ditendang dengan kekuatan yang cukup besar. Kini pintu gerbang wisma Lonceng Naga itu terbuka lebar. Papan nama kayu yang tergantung di atasnya ikut terjatuh dan terbelah dua. Hanya lonceng naga saja masih tergantung kokoh di atas pintu gerbang itu."Begitulah cara kalian bertamu?" Rou berdiri tegak di tengah halaman aula utama. Dia berdiri seorang diri, menyambut kedatangan para tamu yang tak diundang dan sepertinya juga tidak berniat untuk menginap di wisma selayaknya para tamu yang biasa mengunjungi wisma."Kami sudah membunyikan lonceng di gerbang! Namun, tidak ada yang membukakan pintu gerbang!" sahut salah seorang dari orang-orang yang memaksa untuk memasuki wisma.Dia seorang wanita cantik yang mengenakan hanfu berwarna biru dan putih. Dia melangkah maju mendekati Rou dengan penuh percaya diri."Tentu saja! Bagaimana kami akan menyambut tamu yang datang di tengah malam di tengah musim dingin seperti ini? Bu